Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH PENGHIMPUNAN DAN PENGKONDIFIKASIAN

HADITS

DOSEN PENGAMPU

Muhammad Noor, M.H.I

KELOMPOK III

Nurul Sakinah Daeng Mangali

Nim : 190202017

Nana Idiatul Islami

Nim : 190202018

Erik Ahmad Septian

Nim : 190202026

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah


memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
makalah ini. Dalam proses penyusunan tugas ini kami menemui beberapa hambatan, namun
berkat dukungan materil dari berbagai pihak, akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini
dengan cukup baik. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih
kepada semua pihak terkait yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, segala saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan
demi perbaikan pada tugas selanjutnya. Harapan kami semoga tugas ini bermanfaat
khususnya bagi kami dan teman-teman sekalian.

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits pedoman kedua bagi umat islam di dunia setelah Al-Qur’an,yang


tentunya memiliki peranan sangat penting pula dalam disiplin ajaran islam. Hadits adalah
segala perkataan,perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabiin.

Dengan demikian,keberadaan Al-Hadits dalam proses kodifikasinya


sangat berbeda dengan Al-Qur’an. Sejarah hadits dan periodsasi penghimpunannya lebih
lama dan panjang masanaya dibandingkan dengan Al-Qur’an. Al-Hadits butuh waktu 3 abad
untuk pengkodifikasiannya secara menyeluruh. Banyak sekali liku-liku dalam sejarah
pengkodifikasian hadits yang berlangsung pada waktu itu.

Munculnya hadits-hadits palsu merupakan alasan yang amat kuat untuk


mengadakan kodifikasi haidts. Selain itu, kodifikasi hadits ketika itu dilakukan karena para
ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadits akan menghilang
bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian
memelihara hadits, dan banyak berita-berita yang dia-adakan oleh kaum penyebar bid’ah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa latar belakang munculnya usaha kodifikasi hadits ?

a. Kodifikasi hadits setelah periode Nabi SAW


b. Kodifikasi hadits periode Sahabat (12-98 H)
c. Kodifikasi Hadits periode masa Tabi’in

2. Bagaimana hadits abad ke III-VII H sampai sekarang ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya usaha kodifikasi hadits


2. Untuk mengetahui hadits pada abad ke III-VII H sampai sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Munculnya Usaha Kodifikasi Hadits


Sejarah mencatat bahwa pada masa rasul hadis belum banyak ditulis
apalagi dibukukan. Menurut data sejarah , proses kodifikasi dari dimulai pada awal abad ke-2
Hijriah atas ide khalifah-khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Azis (99-101 H) ketika memerintahkan
Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan penduduk Madinah untuk menghimpun dan
menuliskan hadits.
Hal ini secara tidak langsung memberikan pengaruh negatif kepada
orientasi hadis-hadis nabi dan menimbulkan kekhawatiran. Kekhawatiran itu ada 3 hal, yaitu :
Pertama, hilangnya hadis dan dengan meninggalnya para ulama. Hal ini kemudian memicu
para ulama untuk segera membukukan hadis sesuai petunjuk sahabat yang mendengar
langsung dari nabi. Kedua,bercampurnya antara hadis yang sahih dan yang palsu. Ketiga,
semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu
dengan yang lainnya.
Dengan menukil pendapat para ulama, Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H)
menyatakan bahwa az-Zuhrilah (124 H) orang pertama menyelesaikan tugas khalifah
tersebut. Pendapat seperti ini juga dipegang juga oleh Imam Malik.
Mengenai kebenaran pendapat ini para orentalis berbeda pendapat.
William Muir (Inggris) setuju dengan pendapat ini dengan alasan tidak ditemukan
peninggalan yang otentik dari kompilasi manapun sebelum pertengahan abad ke-2 Hijriah.
Tampaknya Goldziher (Orientalis terkemuka 1850-1921) juga berpendapat bahwa pencatatan
hadits baru dilakukan baru dilakukan pada awal abad kee-2 Hijriah meskipu ia juga
mengatakan adanya beberapa shahifah yang ditulis pada masa Rasulullah. Namun pernyataan
ini dibantahnya sendiri dengan mengatakan kebenaran bahwa informasi penulisan hadits yang
dilakukan oleh az-Zuhri adalah palsu sebab hadits-hadits fikih Umar bin Abdul Azis.
Mungkin sesekali ia berpendapat demikian karena mengira kitab al-muwaththa’ karya imam
Malik (93-179 H) adalah kitab hadis pertama. Padahal kitab tersebut merupakan kitab hadits
pertama yang dibuktikan berdasarkan metode penyusunan kitab-kitab hukum.
a. Kodifikasi hadits setelah periode Nabi SAW

Para ulama umumnya brpendapat bahwa pembukaan dan penulisan hadis


baru dimulai pada awal ke-2 oleh Ibnu Syihab az-Zuhri (124 H). Sementara kenyataan sejarah
menunjukan bahwa dikalangan sahabat ada yang melakukan pnulisan hadis karena memang
mereka mendapatkan izin dari Nabi SAW sedang ada pula yang tidak menuliskan hadis
karena dilarang oleh Nabi SAW. Pelarangan ini pada awalnya berlaku secara umum, namun
setelah sbagian besar wahyu sudah turun, tepatnya pada momentum Fathu Makkah barulah
penulisan hadis diperkenankan oleh Nabi SAW. Itupun terhadap beberapa sahabat tertentu
yang memiliki keahlian tulis menulis terlebih dahulu. Bagi sahabat yang belum atau tidak
cukup mempunyai keakhlian tulis menulis biasanya tetap mengandalkan hafalannya untuk
menyimpan hadis, seperti Abi Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah, yang menurut satu riwayat
tetap tidak diizinkan menulis hadis oleh Nabi SAW, akhirnya memiliki kumpulan yang
dikenal dngan nama As-Sahifah meskipun merupakan tulisan muridnya, Hamman bin
Munabbih pada tahun 60-an abad 1 H.

Adapun sahabat yang menuliskan hadis, biasanya memiliki catatan


dalam bentuk buku atau Shahifah antara lain;

1. Abudullah bin Amr bin Ash (W 63 H) memiliki As-shahifah, As-Shadiqoh.


2. Abu Syah yang bernama asli Ummar bin Saad Al-Anmari, memiliki catatan khutbah
Nabi ketika penaklukan kota Makkah.
3. Jabir bin Abdullah bin Amr (16 SH-78SH) memiliki Shahifah yang berisi hadis-hadis
Nabi tentang manasik Haji.
4. Samurah bin Jundub (W. 60 H) menghimpun banyak hadis yang kemudian
diwariskan pada putranya Sulaiman.

Sahabat lain yang juga melakukan penulisan antara lain; Abdullah bin
Awfa, Ibn Mas’ud dan Rafi’ bin Khadij. Hanya saja dokumen asli karya mereka tidak
dapat kita lihat sekarang. Namun sebagian besar isinya sudah terpelihara dalam
beberapa kitab hadis, misalnya As-Shahifah Ibnu Amr terpelihara dalam musnad
Ahamd.
Para tabi’in yang mengikuti jejak para sahabat dalam melakukan penulisan hadis
antara lain;
1. Amir bin Sarahil As-Syaa’bi (19-130 H) seorang hakim memilik karya-karya
rujukan seperti kitab Al-Fard’idh, dan As-shadaqoh.
2. Abran bin Usman (20-150 H) adalah penyusun al-Maghazi yang pertama
3. Urwah bin Zubair (22-93 H) yang mencatat hadits-hadits dari Aisyah, ternyata
memiliki karya yang cukup banyak khususnya masalah perang.
4. Qasim bin Muhammad (35-105 H) memberikan catatan hadits pada Abubakar
bin Muhammad (w.117 H) seorang Gubernur Madinah yang ditugaskan untuk
menghimpun hadits.

Pada masa ini pula Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Azizi bin Marwan (w.85 H)
yang menuliskan hadits-hadits yang peernah didengarnya dari sahabat-sahabat
Rasulullah SAW. Tradisi kuat penghimpunan dan pencatatan hadits dari ‘Abdul ‘Aziz
dilanjutkan oleh putranya ‘Umar terhadap pemeliharaan hadits Nabi, maka beiaupun
memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad untuk penghimpunan hadits yang
ada di tangan Amrah binti ‘Abd ar- Rahman dan Qasim, keduanya murid ‘Aisyah. Dan
ternyata az-Zuhrih lah yang pertama kali menyelesaikan tugas khalifah tersebut.
Bagian-bagian kitab ini kemudian dikirim ke berbagai daerah sebagai bahan
penghimpunanhadits selanjutnya. Sekali lagi ini menunjukan bahwa pencatatan
haditspun sudah dilakukan oleh para tabi’in.

b. Kodifikasi Periode Sahabat (12-98 H)


Setelah Nabi Muhammad SAW. Wafat, para sahabat belum memikirkan
penghimpunan dan dan pengkodifikasiannya hadis karena banyak problem yang
dihadapi, di antaranya timbulnya banyak kelompok orang yang murtad, timbulnya
peperangan sehingga banyak penghafal Al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka
bersama Abu Bakardalam membukukan Al-Qur’an. Deemikian juga kasus lain, kondisi
orang-orang asing/non Arab yang masuk islam yang tidak paham bahasa Arab secara
baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan Hadis.
Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan sunnah, tetapi di gagalkan
karena dikhawatirkan terjadi fitnah di tangan orang-orangyang tidak dapat di percaya.
Al-Hakim menceritak bahwa Aisyah ra berakata; “Ayahku menghimpun 500 hadis,
semalam beliau bolak-balik memriksanya ... ketika pagi bliau minta hadis-hadis yang
ada di tanganku untuk dibakar dan berkata; “aku khawatir jika aku mati sementara
hadis-hadis itu masih ditanganmu dari orang-orang yang terpercaya, tetapi tidak
diriwayatkan sbagai mstinya.”
Umar bin Al-Khatab jga prnah ingin mencoba menghimpunnya, tetapi
seetelah bermusyawarah dan bristikharah selama satu bulan beliau berkata;
“Sesungguhnya kau punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum
seebelum kalian mnulis bbrapa buku, keemudian mereka sibuk dengannya dan
meninggalkan kitab Allah. Demi Allah, ssungguhnya aku tidak akan mncampur adukan
kitab Allah dengan ssuatu yang lain selamanya.”
Kekhawatiran Umar Al-Khatab dalam pembukuan hadis adalah
Tasyabbuhmenyerupai dengan ahli kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan
kitab Allah dan menggantikannnya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi
para Nabi mereka dalam kitab Tuhan mereka. Umar khawatir umat Islam meninggalkan
Al-Qur’an dan meninggalkan hadis. Jadi, Aabu Bakar dan Umar tidak berarti melarang
pengkodifikasian hadis, tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan
untuk itu.
Oleh karena itu, pada masa khulafa’ ar-rasyidin ini disebut sebagai masa
pembatasan periwayatan (Taklik Ar-Riwayah). Emikian juga pada sahabat lain yang
semula melarang menulis sunnah akhirnya mmprbolehkannya, bahkan mnganjurkannya
setlah ktidak ada kkhawatiran pemeliharaan Al-Qur’an seperti Abdullah bin Mas’ud,
Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Muawwiyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Umar, Annas bin Malik dan lain-lain.
Ada nama orang diantara sahabat trgolong banyak mriwayatkan hadis
yaitu sebagai berikut;
1. Abu Hurairah sebanyak 5374 hadis
2. Abdullah bin Umar bin Al-Khatab sbanyak 2635 hadis
3. Annas bin Malik sebanyak 2286 hadis
4. Aisyah Ummi Al-Mukminin sebanyak 2210
5. Abdullah bin Abbas sebanyak 1660
6. Jabir bin Abdullah 1540 hadis
c. Kodifikasi pada masa Tabi’in

Sebagaimana para sahabat besar, para sahbat kecil dan tabi;in juga cukup
berhati-hati dalam periwayatan hadis. Cara-cara yang ditempuh disamping yang dilakukan
oleh sahabat besar juga berbagai cara yang sesuai deengan hati nurani mereka dalam rangka
untuk menyampaikan hadis pada generasi berikutnya secara benar dan tidak keliru. Pada
masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi
mengkhawatirkan mereka.

Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabat
ataupun Tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping
banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Makkah. Para sahabat pindah ke daerah baru
disertai dengan pembendaharaan hadis yang ada pada mereka. Kemudian bermunculan
sentra-sentra hadis, sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw yaitu;

1. Madinah, dengan tokoh dikalangan sahabat; Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Abu
Said Al-Khudzri dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in Said Ibnu Musayid,
Urwah ibnu Zubair, Nafi’ Maula ibnu Umar dan lain-lain.
2. Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat; Ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah ibn
Sa’id, dan lain-lain. Dari kalangan Tabi’in, tokoh hadis antara lain; Mujahid ibn
jabr, ‘ikrimah mawla Ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah dll.
3. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat; ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn
waqqas, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan Tabi’in; Masruq ibn al-‘Ajda’,
Syuraikh ibn al-Haris dll.
4. Basrah, debf=gan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Utbah Ibnu Gahzwan,’Imran Ibnu
Husayn dan lain-lain. Dari kalangan tabiin dikenal tokoh: Al-Hasan Al-Basri, Abu
Al’Aliyah dan alain-lain.
5. Syam, dengan tokoh darri kalangan sahabat: Muadz Ibnu Jabal, Abu
Al’Darda,’Ubbadah Ibnu Samit dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabiin: Abu Idris,
Qabishah Ibnu Suaib dan Makhlul Ibnu Abi Muslim.
6. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah Ibnu Amr Ibnu Al-
‘Ash,’Uqbah bin Amir dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Ibnu Abi
Hubayib, Abu Bashrah Al-Ghifari dan lain-lain.
Hadis-hadis yang terima para tabiin ini ada yang berbetuk catatan atau
tukisan-tulisan dan ada pula yang harus dihafal, disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah
terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti.

Periwayatan tidak semata menyangkut hadis-hadis dari Nabi(Marfu’),


tetapi hadis yang bersumbeer dari para sahabat(mawquf) dan tabiin(maqthu). Bahkan
pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk islam yang mereka sadur dari pernnyataan
bani israil atau suhuf mereka sebagai bahan komperasi mereka setelah masuk islam.

d. Bagaimana Hadits abad ke III-VII H sampai sekarang

Pada abad ke III, masa kodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis.
Yang dimaksud dengan masa seleksi atau penyaringan disini, ialah masa upaya para
Mudawwin hadis yang melakuka seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para
ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan suatu kitab tadwin.
Munculnya periode seleksi ini, sebagaimana telah dijelaskan, karena
pada periode tadwin belum berhasil dipisahkan beberapa hadis yang berasal dari
sahabat(mawquf) dan tabi’in (maqthu) dari hadis dari Nabi (marfu’). Begitu pula belum bisa
dipisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang sahih. Bahkan masih adanya hadis yang
mawdhu’(palsu) tercampur pada hadis-hadis yang sahih. Masa ini disebut dengan ‘ashr al-
tajrid wa al-tanqih (masa penerimaan,mentashihan, dan penyempurnaan).
Pada masa ini tidak seorangpun ulama yang membukukan hadits dengan
menukil dari kitab lain. Mereka membukukan hadits berdasarkan hadits-hadits yang diterima
dari para periwayat. Selain menyusun kitab-kitab hadits,mereka juga menyusun kitab-kita
yang berisi teori-teori untuk mentashih hadits. Secara umum, abad ketiga Hijriah ini
merupakan masa keemasan dalam perdaban islam.
Pada abad ke IV-VII H, masa seleksi ini dilanjutkan dengan masa
pengeembangan dan penyempurnaan sistem pnyusunan kitab-kitab hadis. Masa ini disebut
dengan ‘ashr al-tahdzib wa al-taqrib wa al-istidrak wa al-jam’i ( masa pemeeliharaan,
penertiban, penambahan, dan penghimpunan). Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih
mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang
sudah ada.
Dan Hadist pada masa sekarang disebut dengan: ‘Ashr al-syarh wa al-
jam’i wa al-takhrij wa al-bahts (Masa pensyarahan, penghimpunan,pentakhrijan, dan
pembahasan). Kegiatan ulama hadits pada masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah
kitab-kitab hadits yang sudah ada, mentakhrij hadits-hadits dalam kitab tertentu, dan
membahas kandungan kitab-kitab hadits.
Masa ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad ke IV H terus
berlangsung beberapa abad berikutnya dengan demikian , masa perkembangan ini memelwati
2 fase sejarh perkembangan islam, yakni fase pertengahan dan fase modern. Pada masa yang
disebut terakhir, muncul penulis hadits seperti Al-laknawi, Al-qasimi, dan Al-bani serta
ulama lain yang menghimpun hadits-hadits berdasarkan kualitas atau topik tertentu.

Anda mungkin juga menyukai