Anda di halaman 1dari 15

ILMU RIWAYAH dan KAEDAH PERIWAYATAN

BAB 1
PENDAHULUAN

Bagi umat Islam, Hadis merupakan sumber pokok ajaran agama


Islam setelah Al-
Quran. hadist identik dengan segala sesuatu yang berasal atau yang disa
ndarkan pada Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, ataupun penetapan.
Dengan mempelajarinya, akan dapat diketahui telah sesuai atau belumnya
kita dalam menjalankan syariat Islam seperti
yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Para ahli hadis telah membuat berbagai klasifikasi dalam ilmu hadis.
Sebagai suatu disiplin ilmu, Ilmu Hadis juga memiliki cabang-cabang
sebagaimana ilmu yang lain. Salah satunya ialah ilmu riwayah dan kaidah
periwayatan dan kaidah periwayatan Mempelajari cabang-cabang ilmunya
merupakan langkah awal dalam memahami hadis lebih lanjut.
Dalam makalah ini akan membahas mengenai ilmu riwayah dan kaidah
periwayatan. Semoga dengan makalah ini kita dapat lebih mengenal hadis
Nabi Muhammad SAW secara lebih baik. Sehingga dalam menjalankan ketentuan
Islam lebih yakin karena kita mengetahui dasar atau dalilnya.
1.2 Rumusan masalah

1. Apa itu Ilmu Riwayah?


2. Bagaiman sejarah Ilmu Riwayah?
3. Bagaimana Kaidah Periwayatan?

1.3 Tujuan dan manfaat penulisan

Dari rumusan masalah di atas maka kita dapat mengambil tujuan sebagai
berikut
1. Mengetahui dan memahami ilmu riwayah dan kaidah periwayatan
2. Menambah wawasan mengnai Hadist sebagai salah satu sumber hukum
islam setelah Al-quran
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
penulis dan pembaca tentang hadist dan dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehingga menjadi muslim yang sebenar-benarnya muslim.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ilmu Riwayah

Menurut bahasa riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan yang berarti


annaql (memindahkan dan penukilan).

Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi
Asshalih
adalah :
ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara
teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat serta
segala segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin [1]
Sedangkan Menurut Sebagian Ulama Tahqiq, ilmu hadits Riwayah Ialah :
Ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada Shahibur
Risalah, junjungan kita Muhammad SAW. Dari sikap para perawinya, mengenai
kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan
bersambungnya , dan yang sepertinya.
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang
dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah:
Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang
meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta
periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya[2]
Sedangkan pengertian menurut Muhammad ajjaj a-khathib adalah:
Yaitu ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir
(ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan
cara yang teliti atau terperinci. [3]
Definisi yang hampir sama senada juga dikemukkan oleh Zhafar Ahmad ibn
Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawaid fi ulum al-Hadist,
Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui
dengan perkataan, perbuatan dan keadaan Rasulullah saw serta periwayatan,
pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya[4]
Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada
dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan
penulisan atau pembukuan Hadis Nabi saw.
Objek kajian ilmu Hadits Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan
dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:Cara periwayatan Hadis, baik dari
segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang
perawi ke perawi lain;Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan,
penulisan, dan pembukuannya.

Ilmu hadits Riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadits Dari segi
kelakuan para Perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan
dari segi keadaan sanad.
Ilmu hadits riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadits yang
dilakukan oleh para ahli hadits, bagaimana cara menyampaikan kepada orang
lain dan membukukan hadits dalam suatu kitab
Menurut Syaikh Manna A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits:
sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari
segi periwayatannya secara detail dan mendalam.
Faidahnya: menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam
periwayatannya
Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara
menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan
dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits,
hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun
sanadnya.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya
kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab
berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada
berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya
tidak jelas sama sekali.

2.2 Sejarah ilmu Hadist Riwayah

Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu
bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para
Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw.
Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara
mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau
nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga
kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri
majelis Nabi saw. Tersebut,

Manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti
yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, Aku beserta tetanggaku dari
kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis
Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan
kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya,
apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama. [5]
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga
usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M).
Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis
Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama
pertama yang menghimpun Hadis Nabi saw atas perintah Khalifah Umar ibn abd
al-Aziz.

Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadis


secara besar-besaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama,
seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi,
dan lain-lain. Dengan dibukukan Hadis-Hadis Nabi saw oleh para Ulama di atas,
dan buku mereka pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para Ulama yang
datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadis Riwayah tidak banyak lagi
berkembang.

2.3 Kaidah Periwayatan


Cara Nabi Muhammad saw Menyampaikan Hadis
Dalam menyampaikan hadis, Rasulullah Saw tidak melakukannya dengan satu
cara saja, namun beliau menyampaikan dalam berbagai macam, sesuai dengan
bentuk-bentuk hadis yang terdiri dari perkataan atau sabda, perbuatan, taqrir
dan hal ikhwal atau keadaan Nabi, serta situasi dan kondisi yang ada.[6]
Berikut ini dikemukakan cara-cara Nabi menyampaikan hadis sebagai berikut:
2.3.1 Hadis dalam bentuk perkataan
a. Nabi menyampaikan hadis dengan lisan.
Hadis yang disampaikan Nabi dengan lisan dilaksanakan dengan cara-cara
sebagai berikut:
1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri kaum laki-laki.
2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki.
3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita
memintanya.[7]
Riwayat yang mengisyaratkan cara menyampaikan hadis tersebut adalah sebagai
berikut:
:
. .


( : - : :

)
Artinya:
Berkata kaum wanita kepada Nabi; kaum pria telah mengalahkan kami (untuk
memperoleh pengajaran) dari anda. Karena itu kami mohon anda menyiapkan
waktu satu hari untuk kami (kaum wanita). Maka Nabi menjanjikan satu hari
untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu. (dalam pengajian itu)
Nabi memberi nasehat dan menyuruh mereka (untuk berbuat kebajikan). Nabi
bersabda kepada mereka tidaklah seseorang bagi kalian yang ditinggal mati
oleh tiga orang anaknya, melainkan ketiga anak itu menjadi dinding baginya dari
ancaman api neraka Seorang wanita bertanya: dan (bagaimana jika yang
mati) dua orang anak saja? Nabi menjawab: dua orang anak juga (HR. Al-
Bukhari dari Abi Said al-Khudri)[8]

Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi
menyampaikan hadisnya melalui yaitu :
Dengan lisan dan perbuatan di hadapan orang banyak, dan disampaikan di
masjid pada waktu malam dan subuh.
Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan
korupsi berupa penerimaan hadis dari masyarakat.
Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak di hadapan orang yang
banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu
berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara
permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa takrir atas amalan ibadah
sahabat yang belum dicontohkan langsung oleh Nabi.
Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan
bentuk tulisan.[9]
b. Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk tertulis
Cara seperti ini dilakukan Nabi misalnya ajakan ajakan Nabi untuk memeluk
agama Islam kepada berbagai kepala Negara dan pembesar daerah yang non
Islam lewat surat, perjanjian-perjanjian yang dilakukan Nabi dengan orang-
orang musyrik di Mekah dan dan penduduk Madinah, seperti perjanjian
Hudaibiyah dan piagam Madinah.
2.3.2 Hadis yang berupa perbuatan
Nabi menyampaikan hadis selain dengan cara lisan juga dalam bentuk
perbuatan. Cara ini dilakukan di depan orang banyak di masjid pada waktu
malam dan subuh. Contoh.
,

,
.
.

,
( )

Artinya:
Pada suatu malam, Rasulullah saw shalat di masjid, lalu orang-orang ikut
shalat bersama Nabi, pada malam berikutnya, Nabi shalat di masjid, orang-
orang yang ikut shalat bersamanya makin banyak, kemudian pada malam
ketiga atau keempat, orang-orang berkumpul lagi, akan tetapi Muhammad saw
tidak keluar. Pada waktu subuh, Rasulullah bersabda sesungguhnya saya telah
melihat apa yang kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangi saya untuk
keluar menjumpai kalian, kecuali saya sungguh khawatir (shalat malam tersebut
diwajibkan atas kalian. Peristiwa ini terjadi pada bulan ramadhan. )HR Bukhari
dari Aisyah). [10]

2.3.3 Hadis dalam bentuk taqrir


Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk taqrir dengan cara meminta
penjelasan dari sahabat, dan berupa taqrir berupa dalam amalan ibadah sahabat
yang belum pernah dicontohkan langsung oleh Nabi. Contoh lain adalah sebuah
riwayat tentang tindakan Amr bin al-Ash yang mimpi bersenggama dan keluar
sperma. Ketika masuk waktu subuh, ia lalu bertayammum dan tidak mandi
janabah karena udara terlalu dingin. Dia menjadi imam shalat pada hari itu. Para
sahabat kemudian melaporkan peristiwa itu kepada Nabi. Nabi segera meminta
penjelasan dari Amr perihal tindakan itu Amir menjawab, bahwa ia
bertayammum karena udara terlalu dingin, kemudian amir menyatakan, bahwa
ia mendengar firman Allah swt dalam surah An-Nisa ayat 29:
Terjemahannya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
maha penyayang kepadamu.[11]

Mendengar penjelasan tersebur Amr bin al-Ash tersebut Nabi hanya diam saja
dan tidak memberi komentar apa-apa.
2.3.4 Hadis dalam bentuk hal ihwal.
Hadis dalam bentuk hal ihwal ini dengan cara berupa keadaan Nabi
sesungguhnya bukan merupakan aktifitas Nabi, karena menyampaikan hadis
Nabi bersikaf pasif saja, pihak aktif adakah para sahabat Nabi, dalam arti
sebagai perekam terhadap keadaan Nabi tersebut. Contoh.





()
Artinya: Rasullah Saw adalah seorang elok wajahnya, ciptaan (Tuhan) paling
bagus, (postur tubuhnya) tidak terlalu tinggi dan tidak terlau pendek.[12]

Dari penjelasan di atas dapatlah dibahami bahwa dalam menyampaikan


hadisnya, Nabi tidak terikat hanya dengan satu macam cara saja. Dari
keragaman cara penyampaian hadis oleh Nabi tersebut membawah beberapa
akibat diantaranya adalah: (a) hadis yang berkembang dalam masyarakat
jumlahnya banyak. (b) perbendaharaan dan pengetahuan para sahabat tentang
hadis Nabi tidaklah sama.
2.4 Periwayatan dengan Lafal dan Makna
2.4.1 Hadist Riwayah BIL-LAFDZI (Lafal)

Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai


dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz
dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang
masih asli dari Nabi saw.Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada
persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan
maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau
menghafalnya.

Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai
berikut:

1.
( Saya mendengar Rasulullah saw)
Contonya:
: :




(
)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda: Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama
orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka
hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka. (HR. Muslim dan lain-
lainnya)

2.
( Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)
Contohnya:







:



Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur
Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Siapa yang
beramadhan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya yang
telah lalu.

3.
( Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)
4.
( Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
Contohnya:
:







()
Artinya: Dari Abbas bin Rabi ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab
ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: Sesungguhnya benar-benar aku tahu
bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula)
memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu,
aku (pun) tak akan menciummu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa
para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits.
Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu
menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.

2.4.2 Hadist Riwayah BIL-MANA (MAKNA)


Adapun periwayatan hadis dengan makna sebagaimana yang terdapat dalam
bukunya Hasbi Ash Siddieqy yang berjudul Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,
sebagai berikut:
Adapaun bentuk-bentuk atau cara para sahabat meriwayatkan hadis sebagai
berikut:
a. Dengan lafal yang asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi,
dan mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan
lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi saw.[19]
Namun demikian Jumhur Ulama berpendapat bahwa, boleh bagi perawi
hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna
apabila ia seorang yang mengetahu bahasa arab dengan sempurna dan cara-
cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya. Jika ia bersifat demikian,
bolehlah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan
pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perubahan makna
tersebut.[20]
Bukti lain adalah periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan
oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka
mengemukakan suatu makna dalam satu masalah dengan beberapa redaksi
yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna
hadis bukan kepada lafalnya.[21]
Contoh hadis dalam bentuk makna:
1. Dalam riwayat al-Bukhari yang lain :
















:( )

2. Dalam riwayat al-Bukhari yang lain :























: ) (
3. Dalam riwayat al-Bukhari yang lain :






: )
(
4. Dalam riwayat al-Bukhari yang lain:





: )
22[(]
Redaksi matan hadits yang pertama
(a):
sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal bergantung pada niat. Dan yang
dianggap bagi amal orang apa yang ia niatkan.
Redaksi matan hadits yang ke dua
(b):
Sah atau tidaknya suatu amal bergantung pada niat. Dan yang dianggap bagi
amal setiap orang apa yang ia niatkan.
Redaksi matan hadits yang ke tiga
(c):
amal itu bergantung pada niat.
Redaksi matan hadits yang ke empat
(d):
Amal itu bergantung pada niat. Dan yang dianggap amal orang apa yang ia
niatkan.
Walaupun empat hadits diatas berbeda-bedanya redaksi matannya, akan tetapi
kandungan makna dari hadits tersebut itu sama. Bahwasannya bagus tidaknya
sebuah amal seseorang, atau sah tidaknya amal itu diukur dari niat seseorang
tersebut, bukan dilihat dari keadaan amal seseorang. Ketika sebuah amal itu
baik tanpa dibarengi baiknya amal, maka amal tidak dapat dikatakan baik.
AL-Imam Asy SyafiI telah menerangkan tentang siat-sifat perawi;
Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang dapat dipercaya
tentang agamanya dan dikenal bersifat benar dalam pembicaraanya, memahami
apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal
dan hendaknya dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana
yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena apabila dia
meriwayatkan dengan makna sedang ia tidak mengetahui hal-hal yang
memalingkan makna, boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang
haram.[23]
Tetapi apabila menyampaikan hadis yang secara langsung didengarnya, tidaklah
lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya,
dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila
dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia
meriwayatkan hadis itu dari kitabnya.

Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan


maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya
dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz
atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak
sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu
kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya
maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan
hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun
dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak
diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya
tetap.
Adapun contoh hadits manawi adalah sebagai berikut:


:










,
,
(
, )
Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi saw, yang bermaksud
menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-
laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan
laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain
dia hafal sebagian ayat-ayat Al-Quran. Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki
tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas
kawin) berupa mengajarkan ayat Al-Quran.
Dalam satu riwayat disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Al-Quran.
Dalam riwayat lain disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Al-Quran.
Dan dalam riwayat lain disebutkan:
Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Al-Quran.
(Al-Hadits)
- Hukum Meriwayatkan Hadits Manawi
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadits dengan
cara manawi. Sebagian ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para
perawi meriwayatkan hadits dengan lafadznya yang didengar, tidak boleh ia
meriwayatkan hadits dengan maknanya sekali-kali.
Jumhur ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau
meriwayatkan hadits dengan pengertiannya tidak dengan lafadz aslinya. Kalau ia
seorang yang penuh ilmunya tentang Bahasa Arab dan mengetahui sistem
penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh dan kemungkinannya lafadz-
lafadz yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari
pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits
tersebut, kalau tidak demikian maka tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits
hanya dengan maknanya saja dan wajib menyampaikan dengan lafadz yang ia
dengan dari gurunya.

Imam Syafii menerangkan tentang sifat-sifat perawi:


Hendaknya orang yang menyampaikan hadits itu seorang yang kepercayaan
tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya,
memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan
makna dari lafadz dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadits
persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan makna., karena
apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui
hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh
jadi ia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia
menyampaikan hadits secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa
dia memalingkan hadits kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-
benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatan dengan hadits itu dari
kitabnya.

Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang
memalingkan makna dari lafadz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia
tidak ingat lagi lafadz yang asli, karena dia telah menerima hadits, lafadz dan
maknanya.
Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadist dengan maknanya kalau
lafadznya terlupa, karena kalau hadits itu tidak disampaikan walaupun dengan
maknanya, termasuk yang menyembunyikan hadist. Al-Mawardi berkata: Jika
seseorang tidak lupa kepada lafadz hadits niscaya tidak boleh dia menyebutkan
hadits itu dengan bukan lafadznya, karena di dalam ucapan-ucapan nabi sendiri
terdapat fashahah yang tidak terdapat pada perawinya.
Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya
saja dengan syarat bahwa hadits itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi
pada periode sahabat dan tabiin, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja.
Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hafits yang hanya dengan maknanya
itu setelah meriwayatkan hadits harus memakai kata-kata dan serta
yang serupa dengannya.

Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadits dengan


maknanya itu sebagai berikut:
1. Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan
ushuliyyin.
2. Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu.
3. Diperbolehkan, baik hadits itu marfu atau bukan asal diyakini bahwa hadits
itu tidak menyalahi lafadz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud
hadits itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
4. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafadz asli yang ia
dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
5. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits itu yang terpenting adalah isi,
maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafadz tidak jadi persoalan. Jadi
diperbolehkan mengganti lafadz dengan murodifnya.
6. Jika hadits itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati,
umpamanya hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan
catatan:
Hanya pada periode sahabat
Bukan hadits yang sudah didewankan atau di bukukan
Tidak pada lafadz yang diibadati, umpamanya tentang lafadz tasyahud dan
qunut.

2.5 Tahammul wa Ada al-Hadis


Tahammul adalah kegiatan menerima atau mengambil hadis dari seorang
guru, sedangkan Ada adalah meriwayatkan atau menyampaikan hadis kepada
murid.[24]
1.Syarat-Syarat Tahammul Al-hadis
Syarat-syarat yang dimaksud dalam penerimaan hadis adalah kelayakan si
penerima hadis, apakah disyaratkan islam dan balig atau tidak
a. Tahammul anak kecil
Mayoritas ulama membolehkan penerimaam hadis oleh anak kecil,
sebahagian tidak memperbolehkannya. ulama yang memperbolehkan Tahammul
anak kecil beralasan bahwa banyak dari dari kalangan sahabat, tabiin dan ahli
ilmu menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperi Hasan,
Husain, Ibnu Subair, Ibnu Abbas, Anas ibnu malik dan lain-lain.[25]
Al-Qadhi menetapkan, batas usia minimal usia anak yang di perbolehkan
bertahamul paling tidak suada berusia lima tahun, karena pada usia ini anak
suda mampu menghapal apa yang dia telah dengar dan mengingat-ngingat apa
yang dia hapal, pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhar dan sahabat
Muhammad bin al-Rubai:


Artinya: Saya ingat Nabi saw meludahkan air yang diambilnya dari timbah ke
mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun.[26]
Bagi yang membolehkan penerimaan anak-anak berbeda pandangan pada batas
usia dibolehkannya. Ada yang berpendapat usia minimal lima tahun, ada 15
tahun.[27] dan ada yang tidak membatasi usia minimal yang penting anak
tersebut sudah tamyiz, maka dinilai sah penerimaan hadisnya.
b. Tahammul Orang Kafir dan Orang Fasik.
Jumhur Muhaddisin berpendapat bahwa seorang yang menerima hadis sewaktu
masih dalam keadaan kafir atau fasik dapat diterima periwayatannya,setelah
memeluk Islam dan bertobat.[28]
2. Ada al-Hadis
Berbeda dengan tahammul al-hadis, mayoritas ulama sependapat bahwa orang
yang meriwayatkan hadis dan riwayatnya bisa dijadikan hujah harus memiliki
persyaratan. Syarat-syarat dimaksud adalah Islam, baligh, adil, dan dhabit.[29]

3. Tata cara Tahammul dan Ada al-hadis


Adapun teknik periwayatan hadis oleh ulama pada umumnya dibagi kepada
delapan macam:
1. AL-Sama min Lafzh al-Syaikh.
Al-Sama didasarkan kepada penerimaan riwayat melalui proses
penyimakan/mendengar langsung lafal hadis dari guru hadis yang didiktekan
atau disampaikan dalam pengajian berdasarkan hafalan atau catatannya.
Mayoritas ulama hadis menyempatkan tekhnik al-sama sebagai cara tertinggi
kualitasnya. Walaupun demikian teknik ini masih perlu dipersoalkan sebab layak
atau tidak dipercaya hasil pendengaran seseorang ditentukan oleh beberapa
faktor, yakni: kepekaan alat pendengar, kejelasan suara, kesungguhan
pendengar dan kemampuan intelektual pendengar dalam memahami apa yang
didengarnya.[30]
2. AL-Qiraah al-Syaikh
Kata AL-Qiraah al-Syaikh dikenal juga dengan istilah al-Aradh, yakni
membacakan sebuah riwayat di hadapan seorang guru hadis. Riwayat hadis
yang disampaikan bisa saja berasal dari catatannya atau hafalannya, kemudian
guru hadis tadi menyimak melalui hafalan atau catatannya sendiri.
Kata yang dipakai dalam periwayatan cara al-qiraah adalah: qaraatu ala fulan,
ana asmau fa aqarrabih.
3. Al-Ijazah
Al-Ijazah adalah pemberian izin seorang guru hadis kepada seseorang
untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya, tanpa harus membacakan hadis
satu persatu dengan lisan atau tertulis. Periwayatan dengan cara al-ijazah ada
dua: ijazah bersama al-munawalah dan ijazah mujarradah.[31]
Ijazah bersama al-Munaalah ada dua macam bentuk:
a. Seorang guru hadis menyodorkan hadis kepada murid kemudian mengatakan:
Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang telah saya peroleh ini.
b. Murid yang menyodorkan hadis kepada guru hadis, lalu memeriksanya
kemudian mengatakan Hadis ini telah saya peroleh dari guru-guru saya dan
anda saya beri ijazah untuk meriwayatkannya dari saya.[32]
4. Al-Munawalah
Tekhik ini dilakukan dengan cara seorang guru hadis memberikan sebuah atau
beberapa hadis ataukah sebuah kitab hadis kepada seorang murid seraya
mengatakan inilah hadis yang telah saya riwayatkan.[33]

Al-Munawalah ada dua bentuk:


a. Al-Munawalah al-Mujarradah an-al-ijazah (munawwalah yang tidak disertai
dengan ijazah ) dimana guru memberikan kitab hadis kepada muridnya tanpa
disertai pernyataan tentang kebolehan meriwayatkannya
b. Al-Munawwalah al-Magrunah bi al-Ijazah (munawwalah yang disertai dengan
ijazah). Ulama pada umumnya tidak membolehkan periwayatan dengan
munawwalah tanpa ijazah. Lafal yang dipergunakan dalam cara ini adalah:
Nawalna atau nawalni.
5. Al-Mukatabah
Al-Mukatabah adalah seorang guru menuliskan sendiri atau meminta kepada
orang lain menulis darinya sebagian hadis yang diriwayatkannya untuk muridnya
atau orang tertentu yang mungkin saja tidak berada dihadapannya tetapi berada
ditempat lain.[34]
Periwayatan al-Mukatabah ada dua macam :a) al-Mukatabah yang disertai
dengan ijazah. b) al-Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah.
6. Al-Ilam
Seorang guru memberitahukan kepada muridnya hadis atau kitab hadis
yang telah diterimanya dari seorang periwayat tanpa diikuti pernyataan agar
muridnya meriwayatkan darinya.[35] Ulama berbeda pendapat mengenai
kebolehan periwayatan dengan al-Ilam. Yang membolehkan, alasannya bila
dengan cara al-sama dan al-qiraah dinyatakan sah meski tanpa ijazah maka
cara ilam juga harus diakui, sedangkan yang melarang menganggap bahwa
hadis yang diriwayatkan mempunyai cacat sehingga gurunya tidak memberikan
izin untuk meriwayatkannya.
7. Al-Washilah
Seorang guru mewasiatkan sebuah kitab hadis kepada muridnya untuk
meriwayatkannya. Waktu dia memberikan wasiat mungkin sebelum ia meninggal
atau bepergian ke tempat lain. Kata yang dipakai adalah Ausa Hayya atau yang
semakna dengannya.
8. Al-Wijadah
Al-wijadah adalah seseorang yang mendapati sebuah hadis yang telah
ditulis oleh periwayatnya yang bisa saja semasa ataupun tidak semasa, pernah
bertemu atau tidak dan pernah atau tidak pernah meriwayatkan hadis dari
penulisnya. Pernyataan yang bisa dipakai dengan cara al-Wijadah adalah
wajadtu bi khatt fulan haddatsana fuulan atau wajadtu fi ktabi fuulan bi
khattihi.

Anda mungkin juga menyukai