Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENDIDIKAN INTELEKTUAL DALAM AL-QUR’AN


Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir

Dosen pengampu: Siti Jubaedah, S.Th.I., M.Hum

Disusun oleh :

Nurinayati Hipdiah NIM : 2011104233


Nurulita Hasanah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH MANSHUR
PANDEGLANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan lancer.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen. Tak lupa penyusun ucapkan terimakasih kepada dosen
pengajar. Atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada
rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya
makalah ini . Penulis harap ,dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat
bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai
“PENDIDIKAN INTELEKTUAL DALAM AL-QUR’AN” khususnya bagi
penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini memang masih jauh dari
kata sempurna , untuk itu dengan senang hati menerima kritik dan saran yang
dimaksudkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Pandeglang, Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan Masalah........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kecerdasan intelektual............................................................2


B. QS. Al – Isra’ : 36......................................................................................3
C. QS. Yunus : 35 – 36..................................................................................5
D. QS. Yusuf : 22...........................................................................................6
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kecerdasan merupakan sebuah kekuatan yang bersifat non materi
yang sangat diperlukan oleh oleh setiap makhluk untuk menjalani kahidupan
yang nyata, kecerdasan merupakan potensi yang tersembunyi dalam jiwa.
Sebenarnya dalam al quran memiliki kekuatan untuk mendorong, memicu dan
mengembangkan potensi kecerdasan yang ada pada diri manusia.
Al-qur’an turun di muka bum ini dalam kondisi dan waktu yang
sangat istimewa bagaimana ketika proses penurunanya lebih baik dari seribu
bulan Malaikat turun dalam proses penurunan itu namun banyak yang lalai
akan kejadian istimewa tersebut. Kita akan sulit membayangkan andaikan di
dunia ini tidak ada al quran pasti manusia akan bebas dari aturan tidak ada
rasa takut dan melakukan apa yang disukai, kenapa memahaminya al quran
menglami kesulitan karena Allah SWT menyiapkan sistim bagaimana
memahami al quran itu sendiri.
Dalam menuntut ilmu, kita harus selalu belajar diiringi dengan nilai-
nilai agama, yang mana bersumber utama dari Al-Quran dan As-sunnah.
Untuk itu dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, kita perlu menelaah apa
saja yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dalam makalah ini akan dikaji ayat-
ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan intelektual (Qs. Yunus: 35-
36, QS. Yusuf : 22 dan Qs. Al-Isra’: 36).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian intelektual?
2. Bagaimana  pendidikan intelektual dalam  QS. Al – Isra’ : 36,    QS. Yunus
35 – 36 dan     QS. Yusuf : 22?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian intelektual
2. Untuk mengetahui pendidikan intelektual dalam  QS. Al – Isra’ : 36,    QS.
Yunus 35 – 36 dan     QS. Yusuf : 22

1
BAB II
PENDIDIKAN INTELEKTUAL

A. Pengertian Kecerdasan intelektual


Kecerdasan dalam arti umum  adalah suatu kemampuan umum yang
membedakan kualitas orang satu dengan orang yang lain, kecerdasan
inteletual lazim disebut inteligensi (Joseph, 1978,p.8). Inteligensi adalah
kemampuan kognitif yang dimiliki organisme untuk menyesuaikan diri secara
efektif pada lingkungan yang komplek dan selalu berubah serta dipengaruhi
oleh factor genetic (Galton dalam Joseph,1978,p.20) sedangkan Sudrajat
mengelompokan inteligensi kedalam dua katagori, yang pertama adalah
dengan istilah g factor yang biasa di sebut dengan kemampuan kognitif yang
dimiliki secara individu misal kemampuan mengingat dan berfikir, katagori
yang kedua adalah s merupakan inteligensi yang dipengaruhi oleh lingkungan
sehingga factor s pasti mengandung factor g.1
Kecerdasan intelektual dapat dikembangkan optimal dengaan
memahami bagaimana sistim kerjaa otak manusia, penelitian mutakhir
menujukan bahwaa otak manusia terdiri dari 100 milyar sel aktif masing
masing sel
Kecerdasan intelektual (bahasa Inggris: intelligence quotient,
disingkat IQ) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan
sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti
kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak,
memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat
kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu.
Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa
disebut sebagai tes IQ.

1
Marsuki, Iq-Gpm Kualitas Kecerdasan intelektual generasi pembaharuan masa depan, UB
Press,Malang, 2014. H. 14

2
B.     QS. Al – Isra’ : 36
         
     
 
Artinya: ”dan janganlah kamu ikuti sesuatu yang kamu tidak ketahui. Karena
pendengaran,penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabany”.2
Tafsir Ibnu Katsir
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengata-
kan bahwa makna la taqfu ialah la taqfu (janganlah kamu mengatakan).
Menurut Al-Aufi, janganlah kamu menuduh seseorang dengan sesuatu yang tidak
ada pengetahuan bagimu tentangnya.
Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan, makna yang dimaksud ialah
kesaksian palsu. Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah
janganlah kamu mengatakan bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak
melihatnya; atau kamu katakan bahwa kamu mendengarnya, padahal kamu tidak
mendengarnya; atau kamu katakan bahwa kamu mengetahuinya, padahal kamu
tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah kelak akan meminta
pertanggungjawaban darimu tentang hal tersebut secara keseluruhan.
Kesimpulan pendapat mereka dapat dikatakan bahwa Allah Swt. melarang
mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan
sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi.
Dalam ayat lain disebutkan oleh firman-Nya:

}‫ض الظَّنِّ إِ ْث ٌم‬


َ ‫{اجتَنِبُوا َكثِي ًرا ِم َن الظَّنِّ إِنَّ بَ ْع‬
ْ
jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.
(Al-Hujurat: 12)

Di dalam hadis disebutkan seperti berikut:

ِ ‫أكذب ا ْل َح ِدي‬
"‫ث‬ ُ َّ‫"إِيَّا ُك ْم َوالظَّنَّ ؛ فَإِنَّ الظَّن‬
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit Jumanatul
Ali, 2005), h. 221

3
Jauhilah oleh kalian prasangka. Karena sesungguhnya prasangka itu adalah
pembicaraan yang paling dusta.
Di dalam kitab Sunnah Imam Abu Daud di sebutkan hadis berikut:

"‫ َز َع ُموا‬:‫ْس مطيةُ ال َّر ُج ِل‬


َ ‫"بِئ‬
Seburuk-buruk sumber yang dijadikan pegangan oleh sesorang ialah yang berdasarkan
prasangka.

Di dalam hadis yang lain disebutkan:

"‫"إِنَّ أَفَ َرى الفِ َرى أَنْ يُ ِري َع ْينَ ْي ِه َما لَ ْم ت ََريَا‬
Sesungguhnya kedustaan yang paling berat ialah bila seseorang mengemukakan
kesaksian terhadap hal yang tidak disaksikannya.
Di dalam hadis sahih disebutkan:

َ ‫ َولَ ْي‬،‫" َمنْ ت ََحلَّ َم ُح ْل ًما ُكلف يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة أَنْ يَ ْعقِ َد بَ ْي َن شَعيرتين‬
‫س بِ َعاقِ ٍد‬
Barang siapa yang berpura-pura melihat sesuatu dalam mimpinya, maka kelak di hari
kiamat ia akan dibebani untuk memintal dua biji buah gandum, padahal dia tidak dapat
melakukannya.

Firman Allah Swt.:

} َ‫{ ُك ُّل أُولَئِك‬


semuanya itu. (Al-Isra: 36)
Maksudnya semua anggota tubuh, antara lain pendengaran, penglihatan,
dan hati,

ْ ‫ان َع ْنهُ َم‬


}‫سئُوال‬ َ ‫{ َك‬
akan dimintai pertanggungjawabannya. (Al-Isra: 36)
Seseorang hamba akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang
dilakukan oleh anggota-anggota tubuhnya itu pada hari kiamat, dan semua
anggota tubuhnya akan ditanyai tentang apa yang dilakukan oleh pemiliknya.
Pemakaian kata ula-ika yang di tujukan kepada pendengaran, penglihatan, dan
hali diperbolehkan dalam bahasa Arab.

4
C.     QS. Yunus : 35 – 36
             
            
            
            

Artinya: ” Katakanlah, "Apakah di antara sekutu-sekutu kalian ada yang


menunjukkan kepada kebenaran?” Katakanlah, "Allah-lah yang menunjuki
kepada kebenaran." Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada
kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi
petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kalian (berbuat demikian)?
Bagaimanakah kalian mengambil keputusan? Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali prasangka saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit
pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan3
Tafsir Jalalain
Ayat 35
(Katakanlah, "Apakah di antara sekutu-sekutu kalian ada yang
menunjukkan kepada kebenaran?) dengan menegakan hujah – hujah dan
memberikan petunjuk. ( Katakanlah, "Allah-lah yang menunjuki kepada
kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu)
yang dimaksud adalah Allah ( lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat
memberi petunjuk )lafal yahiddiy asalnya yahtadi;artinya mendapat petunjuk.
( kecuali (bila) diberi petunjuk?) lebih berhak untuk diikuti? Kata tanya disini
mengandung makna mengukuhkan dan sekaligus sebagai celaan, makna yang
dimaksud ialah bahwa yang pertamalah yang lebih berhak untuk diikuti.
(Mengapa kalian berbuat demikian? Bagaimanakah kalian mengambil
keputusan?) dengan keputusan yang rusak ini, yaitu mengikuti orang – orang yang
tidak berhak diikuti.
Ayat 36

3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit Jumanatul
Ali, 2005), h. 126

5
(Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti) didalam penyembahan mereka
terhadap berhala – berhala (kecuali prasangka saja) dalam hal ini mereka hanya
menirukan apa yang telah diperbuat oleh nenek moyang mereka.(Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran) yang
membutuhkan ilmu pengetahuan tentangnya . (Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan) oleh sebab itu maka Dia membalas semua
amal perbuatan yang telah mereka kerjakan itu.

D.     QS. Yusuf : 22


       
  
Artinya: “dan ketika Dia telah cukup dewasa Kami berikan kepadanya
kekuasaan dan ilmu. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang –
orang yang berbuat baik”.4
Tafsir Kementrian Agama
Dikala yusuf mulai dewasa, Allah memberikan pula kepadanya kecerdasan
dan kebijaksanaan sehingga ia mampu memberikan pendapat dan pikiranya dalam
berbagai macam masalah yang dihadapi. Allah juga memberikan kepadanya ilmu,
meskipun ia tidak belajar. Ilmu yang didapat tanpa belajar ini dinamai ilmu
‘ladunni’ karena ia semata – mata ilham dan karunia dari Allah.
Demikianlah Allah memberi balasan pada Yusuf yang tidak pernah
mengotori dirinya dengan perbuatan kejidan jahat, selalu menjaga kebersihan hati
nuraninya, selalu bersifat sabar dan tawakal atas musibah dan bahaya yang
menimpanya. Demikianlah Allah m
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa dalam pendidikan, kita di haruskan untuk menggunakan akal
dan pikiran kita dan juga meminta petunjuk hanya kepada Allah sehingga kita
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit Jumanatul
Ali, 2005), h. 132

6
tidak akan masuk dalam kesesatan melainkan kebenaran. Jalan yang dipakai
jangan hanya taqlid saja tanpa mengetahui apakah benar sesuai dengan
ketentuan Allah dan Rasulnya atau tidak. Dalam belajar kita harus memiliki
etika untuk tidak mengikuti apa-apa yang tidak kita ketahui kebenarannya,
apa-apa yang tidak kita lihat, dengar, maupun yang tidak sesuai dengan suara
hati kita. Dan kita dilarang berbuat atau mengatakan hanya berdasarkan
prasangka atau dugaan, tanpa pengetahuan yang benar karena prasangka
tidaklah dibenarkan sehingga dikhawatirkan akan menyesatkan orang lain.
Semua itu akan dipertanggung jawabkan kepada Allah swt.
Allah SWT menurunkan al quran untuk umat manusia dengan maksud
dan tujuan, semuaany itu adalaah untuk membahagiaakan ketika hidup di
dunia dan akhirat secara umum namun secara mendasar mencerdaskan
manusia sehingga bisa hidup dalam hidayahNya, mendapat kelapangan dan
jaminan surga yang penuh kenikmatan dan untuk mencapai telah ditetapkan
sistim pendekatan agar al quran dapat dipahami secara langsung sehingga
memperoleh kecerdasan yang diperlukan di alquran telah ditetapkan
bagaimana cara yang benar memahami al quran

Daftar Pustaka

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi (Terjemah) Juz XI.


Semarang: Toha Putra.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit
Jumanatul Ali, 2005.

7
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an Volume 6. Jakarta: Lentera Hati.
https://www.bintusapawi.com/2016/10/pendidikan-intelektual-tafsir-tarbawi.html

Anda mungkin juga menyukai