Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“FILSAFAT PENDIDIKAN”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi

DOSEN PENGAMPU : Syaeful Rokhman, S.Pd.I

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

SITI HILWA ZAKIATUL FADILLAH : 21101033

IKLIMA SOPHIA ROHIM : 21101020

WINDY FADILAH : 21101038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)

INSAN KAMIL

BOGOR

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur tak lupa kami panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat,
hidayah serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Filsafat Pendidikan” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi. Selain itu, makalah
ini disusun untuk menambah wawasan tentang Filsafat Pendidikan bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ustadz Syaeful Rokhman selaku dosen mata kuliah
Tafsir Tarbawi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang membantu
dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bogor, 11 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………... i


DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….… ii
BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………………...….…. 1
A. Latar Belakang …………………………………………………………..….…. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………..….… 2
C. Tujuan ………………………………………………………………………...…. 2
BAB 2 PEMBAHASAN ……………………………………………………………..…. 3
A. Filsafat Pendidikan ………………………………………………………..….… 3
B. Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Para Ahli …………………..…....… 5
a. Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Socrates ( 470-399 SM ) ..… 6
b. Pemikiran filsafat pendidikan menurut Plato (427-347 SM) ……..…. 6
c. Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Aristoteles (367-345 SM) .... 6
C. Tujuan Filsafat Pendidikan …………………………………………………..... 7
D. Asas Bermanfaat dan Keunggulan Filsafat Pendidikan ………………..……. 8
a. Asas Empirisme ……………………………………………………..….. 8
b. Asas Nativisme ………………………………………………………..… 9
c. Asas Konvergensi ………………………………………………..……… 10
E. Tafsir Tematik Surah Ali Imran Ayat 104 ………………………………..…… 11
F. Tafsir Tematik Surah Ar-Rum 30 ………………………………………..…..... 13
BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………………… 16
A. Kesimpulan …………………………………………………………………….. 16
B. Saran ………………………………………………………………………….… 17
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….….. 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan
kehidupan manusia. Pendidikan sendiri memiliki makna yaitu usaha manusia dewasa yang
sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-
nilai serta dasar pandangan hidup kepada generasi selanjutnya, agar menjadi manusia yang
bertanggung jawab akan tugasnya sesuai dengan sifat dan hakikat kemanusiaanya. Lebih luas
masalah pendidikan adalah masalah yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia. Bahkan pendidikan bisa juga akan menghadapi persoalan yang tidak mungkin
dijawab dengan menggunakan analisa ilmiah semata-mata, tetapi memerlukan analisa dan
pemikiran yang mendalam, yaitu analisa filsafat.
Filsafat sendiri dimulai dari rasa ingin tahu dan dari rasa ragu-ragu. Karakteristik
berfikir filsafat adalah sifat menyeluruh, sehingga seorang ilmuwan tidak puas hanya mengenal
ilmu dari segi pandang ilmu itu sendiri, tapi ingin melihat hakikat ilmu dalam konsentrasi
pengetahuan yang lainnya. Ajaran filsafat menjangkau masa depan umat manusia dalam
bentuk-bentuk ideologi. Pembangunan dan pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa pun
bersumber pada inti sari ajaran filsafat. Oleh karena itu filsafat telah menguasai kehidupan
umat manusia, menjadi norma negara, menjadi filsafat hidup suatu bangsa.
Makalah ini menekankan pada bagaimana konsep dan penjelasan rinci mengenai
filsafat pendidikan, sebuah pemikiran untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang
dibutuhkan. Makalah ini diharapkan dapat memberikan modal pengetahuan bagi para pembaca
khususnya yang memiliki tugas langsung dalam dunia pendidikan, agar mampu memahami
bagaimana pendidikan dalam paradigma kefilsafatan dan menerapkannya dalam pembelajaran.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di rumuskan masalah yang akan dipelajari dalam
penyusunan makalah ini, yaitu :
1. Apa makna filsafat pendidikan?
2. Bagaimana pemikiran para ahli tentang filsafat pendidikan?
3. Apa tujuan filsafat pendidikan?
4. Apa saja asas bermanfaat dan keunggulan filsafat pendidikan?
5. Apa tafsir tematik surah Ali Imran ayat 104 dan Ar-Rum ayat 30?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui makna filsafat pendidikan.
2. Mengetahui pemikiran para ahli tentang filsafat pendidikan.
3. Menjelaskan secara ringkas tujuan filsafat pendidikan yang sebenarnya.
4. Menjabarkan beberapa asas filsafat pendidikan.
5. Menguraikan tafsir tematik surah Ali Imran ayat 104 dan juga surah Ar-Rum ayat 30.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Filsafat Pendidikan
Bila kita membicarakan filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau
di zaman Yunani Kuno. Pada masa itu semua ilmu dinamakan filsafat. Dari Yunani lah kata
“filsafat” ini berasal, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. “Philos” artinya cinta yang sangat
mendalam dan “sophia” artinya kebijakan atau kearifan. Istilah filsafat sering dipergunakan
secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam
penggunaan populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu) dan dapat
juga disebut sebagai pandangan masyarakat.
Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup (Weltanschauung).
Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-
akarnya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Suseno (1995:20) bahwa filsafat sebagai ilmu
kritis. Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa
yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan. Di pihak lain ada yang beranggapan
bahwa filsafat sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan yang tidak memiliki
kegunaan praktis. Ada pula yang beranggapan bahwa para filsuf bertanggung jawab terhadap
cita-cita dan kultur masyarakat tertentu, contohnya Karl Marx dan Friedrich Engels yang telah
menciptakan komunisme, John Dewey yang menjadi peletak dasar kehidupan pragmatis di
Amerika.
Gazalba (1974:7) mengatakan bahwa filsafat adalah hasil kegiatan berpikir yang
radikal, sistematis, universal. Kata “radikal” berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya
akar. Filsafat bersifat radikal, artinya permasalahan yang dikaji, pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dan jawaban yang diberikan bersifat mendalam sampai ke akar-akarnya yang bagi
orang awam mungkin dianggap hal biasa yang tidak perlu dibahas lagi, tetapi filsafat ingin
mencari kejelasan makna dan hakikatnya. Misal: Siapakah manusia itu? Apakah hakikat alam
semesta ini? Apakah hakikat keadilan?
Filsafat bersifat sistematis artinya pernyataan-pernyataan atau kajian-kajiannya
menunjukkan adanya hubungan satu sama lain, saling berkait dan bersifat koheren (runtut). Di
dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran besar yang menjadi titik tolak dan inti
pandangan terhadap berbagai pertanyaan filsafat. Misal : aliran empirisme berpandangan
bahwa hakikat pengetahuan adalah pengalaman. Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada
pengetahuan. Pengalaman diperoleh karena ada indera manusia yang menangkap objek-objek

3
di sekelilingnya (sensasi indera) yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh akal
sehingga menjadi pengetahuan.
Filsafat bersifat universal, artinya pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban filsafat
bersifat umum dan mengenai semua orang. Misalnya: Keadilan adalah keadaan seimbang
antara hak dan kewajiban. Setiap orang selalu berusaha untuk mendapatkan keadilan.
Walaupun ada perbedaan pandangan sebagai jawaban dari pertanyaan filsafat, tetapi jawaban
yang diberikan berlaku umum, tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan kata lain, filsafat
mencoba mengajukan suatu konsep tentang alam semesta (termasuk manusia di dalamnya)
secara sistematis.
Filsafat sering juga dapat diartikan sebagai “berpikir reflektif dan kritis” (reflective and
critical thinking). Namun, Randall dan Buchler (via Sadulloh, (2007:17) memberikan kritik
terhadap pengertian tersebut, dengan mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak
memuaskan, karena beberapa alasan, yaitu: 1) tidak menunjukkan karakteristik yang berbeda
antara berpikir filsafati dengan fungsi-fungsi kebudayaan dan sejarah, 2) para ilmuwan juga
berpikir reflektif dan kritis, padahal antara sains dan filsafat berbeda, 3) ahli hukum, ahli
ekonomi juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu berpikir reflektif dan kritis, padahal mereka
bukan filsuf atau ilmuwan.
Dalam Alquran dan budaya Arab terdapat istilah “hikmat” yang berarti arif atau bijak.
Filsafat itu sendiri bukan hikmat, melainkan cinta yang sangat mendalam terhadap hikmat.
Dengan pengertian tersebut, maka yang dinamakan filsuf adalah orang yang mencintai dan
mencari hikmat dan berusaha mendapatkannya. Al-Syaibani (1979:26) mengatakan bahwa
hikmat mengandung kematangan pandangan dan pikiran yang jauh, pemahaman dan
pengamatan yang tidak dapat dicapai oleh pengetahuan saja. Dengan hikmat filsuf akan
mengetahui pelaksanaan pengetahuan dan dapat melaksanakannya.
Seorang filsuf akan memperhatikan semua aspek pengalaman manusia. Pandangannya
yang luas memungkinkan ia melihat segala sesuatu secara menyeluruh, memperhitungkan
tujuan yang seharusnya. Ia akan melampaui batas-batas yang sempit dari perhatian yang khusus
dan kepentingan individual. Titus (1984: 3) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti
sempit maupun dalam arti luas.
Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan metodologi
atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat diartikan sebagai “science
of science” yang bertugas memberi analisis secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-
konsep ilmu, mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian
yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda

4
dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup dan makna
hidup.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat merupakan kegiatan berpikir
yang khas, yaitu radikal, sistematis dan universal untuk mencari kearifan, kebenaran yang
sesungguhnya dari segala sesuatu. Berfilsafat berarti berpikir merangkum tentang pokok-
pokok atau dasar-dasar dari hal yang ditelitinya.

B. Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Para Ahli


Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan (the mother of sciences) yang mampu
menjawab segala pertanyaan dan permasalahan. Mulai dari masalah-masalah yang
berhubungan dengan alam semesta hingga masalah manusia dengan segala problematika dan
kehidupanya.
Di antara permasalahan yang dapat dijawab oleh filsafat adalah permasalahan yang ada
di lingkungan pendidikan. Padahal menurut John Dewey, seorang filosof Amerika, filsafat
merupakan teori umum dan landasan pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan
pengalaman yang terdapat dalam pengalaman pendidikan.
Apa yang dikatakan John Dewey memang benar. Karena itu filsafat dan pendidikan
memiliki hubungan hakiki dan timbal balik, filsafat pendidikan yang berusaha menjawab dan
memecahkan persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis dan memerlukan jawaban
secara filosofis.
Jika kita memperhatikan pemikiran orang barat yang membahas filsafat mereka sama
sekali lepas dari apa yang dikatakan agama. Bagi mereka titik berat filsafat adalah mencari
hikmah. Hikmah itu dicari untuk mengetahui suatu keadaan yang sebenarnya, apa itu, dari
mana itu, hendak kemana, dan bagaimana. Namun, pertanyaan filosofis itu kalau diteruskan,
akhirnya akan sampai dan berhenti pada sesuatu yang disebut agama. Baik filosofis Timur
maupun Barat mereka memiliki pandangan yang sama bila sudah sampai pada pertanyaannya
“Bilakah permulaan yang ada ini, dan apakah yang sesuatu yang pertama kali terjadi, apakah
yang terakhir sekali bertahan di dalam ini” (Rifai, 1994: 67). Akan tetapi mereka akan berusaha
untuk mencari hikmah yang sebenarnya supaya sampai puncak pengetahuan yang tinggi, yaitu
Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Berikut pemikiran filsafat pendidikan
menurut para ahli :

5
a. Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Socrates ( 470-399 SM )
Prinsip dasar pendidikan, menurut Socrates adalah metode dialektis. Metode ini di
gunakan Socrates sebagai dasar teknis pendidikan yang direncanakan untuk mendorong
seseorang berpikir cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki
pengetahuannya. Seorang guru tidak boleh memaksakan gagasan-gagasan atau
pengetahuannya kepada seorang siswa, karena seorang siswa dituntut untuk bisa
mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis.
Metode ini tidak lain digunakan untuk meneruskan intelektualitas, mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan dan kekuatan mental seseorang. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang
benar adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan
menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi
(Smith. 1986:25).

b. Pemikiran filsafat pendidikan menurut Plato (427-347 SM)


Menurut Plato, pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya selaku individu maupun
sebagai warga negara. Negara wajib memberi pendidikan kepada setiap warga negaranya.
Namun demikian, setiap peserta didik harus diberi kebebasan untuk mengikuti ilmu sesuai
bakat, minat, dan kemampuan masing-masing jenjang usianya. Sehingga pendidikan itu sendiri
memberikan dampak dan perubahan bagi kehidupan pribadi, bangsa, dan negara.
Menurut Plato, idealnya dalam sebuah negara pendidikan memperoleh tempat yang
paling utama dan mendapatkan perhatian yang sangat mulia, maka ia harus diselenggarakan
oleh negara. Karena pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari
belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran.
Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak
benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat,
apa yang patut dan apa yang tidak patut (Raper,1988:110).

c. Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Aristoteles (367-345 SM)


Menurut Aristoteles, agar orang bisa hidup baik maka ia harus mendapatkan
pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akal semata-mata, melainkan soal memberi bimbingan
kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, yaitu akal, guna mengatur nafsu-nafsu. Akal
sendiri tidak berdaya, sehingga ia memerlukan dukungan perasaan yang lebih tinggi agar
diarahkan secara benar.

6
C. Tujuan Filsafat Pendidikan
Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita
semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan,
benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan sebagainya. 1) Filsafat adalah sekumpulan sikap
dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
Definisi tersebut menunjukkan arti sebagai informal; 2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau
pemikiran terhadap kepercayaan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang
formal; 3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan; 4) Filsafat adalah
sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep; 5) Filsafat
adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia
dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Dari beberapa definisi tadi bahwasanya semua jawaban yang ada di filsafat tadi
hanyalah buah pemikiran dari ahli filsafat saja secara rasio. Banyak orang termenung pada
suatu waktu. Kadang-kadang karena ada kejadian yang membingungkan dan kadang-kadang
hanya karena ingin tahu, dan berpikir sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok. Apakah
kehidupan itu, dan mengapa aku berada disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan
kehidupan dalam alam yang besar ini? Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan ? apakah
yang terjadi itu telah terjadi secara kebetulan? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana,
ataukah ada maksud dan fikiran di dalam benda. Semua soal tadi adalah filsafat, usaha untuk
mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan sistem
pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme. Oleh karena itu filsafat dimulai oleh rasa
heran, bertanya dan memikir tentang asumsi-asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka
kita perlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawabnya.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik,
baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan
dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan
universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis,
harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah
filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses
pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang
kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik
pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi
kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan

7
dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan
memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat,
memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan
pendidikan, dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik.
Secara umum tujuan pendidikan dapat dikatakan dapat membawa anak ke arah tingkat
kedewasaan, artinya membawa anak didik agar dapat berdiri sendiri (mandiri) dalam hidupnya
di tengah-tengah masyarakat.

D. Asas Bermanfaat dan Keunggulan Filsafat Pendidikan


Asas-asas filsafat pendidikan ialah suatu dasar atau pokok yang menjadi acuan kajian
filsafat pendidikan. Adapun asas-asas filsafat pendidikan ialah asas empirisme, asas nativisme
dan asas konvergensi. Tentang berbagai aliran atau gerakan pendidikan itu akan memberikan
pengetahuan dan wawasan historis kepada tenaga kependidikan. Hal itu sangat penting agar
para pendidik dapat memahami dan pada gilirannya kelak dapat memberikan kontribusi
terhadap dinamika pendidikan itu.
Dan tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan pengetahuan dan wawasan historis
tersebut, setiap tenaga kependidikan diharapkan memiliki bekal yang memadai dalam meninjau
berbagai masalah yang dihadapi, serta pertimbangan yang tepat dalam menetapkan kebijakan
dan tindakan sehari-hari.

a. Asas Empirisme
Secara harfiah, arti empirisme dari kata Yunani “emperia” yang berarti pengalaman.
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal
dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan manusia, dan
menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan
tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari – hari perintisnya
adalah John Locke ( 1632-1704), dia mengagumi metode Descrates, tetapi ia tidak menyetujui
isi ajarannya.
Menurut Locke, rasio mula-mula harus dianggap “as a white paper” dan seluruh isinya
dari pengalaman. Ada dua pengalaman : lahiriah ( sensation ) dan batiniyah (reflexion). Kedua
sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal ( simple ideas ). Jiwa manusiawi bersifat
pasif sama sekali dalam menerima ide-ide tersebut.
Jika hal empirisme di bawa ke ranah pendidikan maka empirisme mempunyai
pengertian yang lebih spesifik. Bahwasanya hasil pendidikan dan perkembangan itu

8
bergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak didik selama hidupnya.
Pengalaman itu diperolehnya di luar dirinya berdasarkan perangsang yang tersedia baginya.
John Locke berpendapat bahwa anak yang di dunia ini sebagai kertas kosong atau sebagai meja
berlapis lilin (Tabula Rasa) yang belum ada tulisan di atasnya.
Hal ini berarti, baik dan buruknya anak tergantung pada baik dan buruknya pendidikan
yang diterimanya. Menurut J.J. Rausseau (1712-1778) bahwa manusia pada dasarnya baik
sejak ia dilahirkan. Jadi kalau ada manusia yang jahat bukan karena benihnya, tetapi
dikembangkan setelah ia lahir, yakni setelah ia hidup di masyarakat dan setelah terpengaruh
oleh lingkungan serta kebudayaan. Menurut Mensius ( 372-289 SM), yang menyatakan bahwa
manusia pada dasarnya baik, sehingga cinta pada dasarnya lebih pengertian yang dangkal.
Menurut H. Sun Tzu (289-230 SM) bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat, akan tetapi
untunglah manusia juga cerdas dan dengan kecerdasannya ia dapat mengolah kebaikan yang
ada pada dirinya. Ia menjadi manusia yang baik karena ia bergaul dengan masyarakat. Jadi
manusia itu menjadi baik bukan karena benihnya, tetapi karena hidup dan bergaul dengan
masyarakat.

b. Asas Nativisme
Asas nativisme bertolak dengan teori empirisme yang dianut oleh Schopenhauer
(seorang filosuf bangsa Jerman, 1788-1860) yang berpendapat bahwa bayi lahir dengan
pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk. Dalam hubungannya dengan pendidikan
dan perkembangan manusia, ia berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan
itu ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperolehnya sejak lahir. Asas Nativisme
berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan
dengan perkembangan anak didik. Aliran pendidikan yang menganut paham nativisme ini
disebut aliran pesimisme.
Dengan kata lain, Nativisme merupakan aliran pesimisme (murung) dalam pendidikan.
Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan
yang dimiliki oleh anak didik. Lingkungan tidak berarti apa-apa dalam perkembangan manusia,
apa yang dikerjakan, apa yang diucapkan, dan apa yang dipikirkan merupakan kecakapan yang
dibawa sejak lahir, tetapi nativisme tidak menjelaskan bagaimana seorang lahir dengan
membawa potensi, apakah potensi itu mempunyai hubungan sangat erat dengan kondisi orang
tua atau tidak, selama ini tidak pernah ada penjelasan. Apabila orang tuanya mempunyai IQ
tinggi atau mempunyai IQ rendah akan dapat berpengaruh kepada anaknya. Dalam beberapa

9
penelitian menyimpulkan bahwa anak sangat dipengaruhi oleh keadaan orang tua, baik keadaan
fisik, psikis, maupun sosial-ekonominya.

c. Asas Konvergensi
Aliran konvergensi dipelopori oleh William Stern (seorang ahli pendidikan bangsa
Jerman, 1871-1939), ia berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai
pembawaan baik maupun buruk. Proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun
faktor lingkungan sama – sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada
waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan sesuai untuk
perkembangan anak itu.
Apabila pengaruh lingkungan sama besar dan kuatnya dengan pembawaan siswa, maka
hasil pendidikan didapat siswa itu pun akan seimbang dan baik, dalam arti tidak satu faktor pun
yang dikorbankan secara sia-sia. Seterusnya, apabila pengaruh lingkungan lebih besar dan lebih
kuat dari pembawaan, hasil pendidikan siswa hanya akan sesuai dengan kehendak lingkungan,
dan pembawaan (watak dan bakat) siswa tersebut akan terkorbankan. Sebaliknya, jika
pembawaan siswa lebih besar dan kuat pengaruhnya daripada lingkungan, hasil pendidikan
tersebut hanya sesuai dengan bakat dan kemampuannya tanpa bisa berkembang lebih jauh,
karena ketidakmampuan lingkungan. Oleh karena itu, terlalu kecilnya pengaruh lingkungan
pendidikan, misalnya mutu guru dan fasilitas yang rendah akan merugikan para siswa yang
membawa potensi dan bakat yang baik.
Oleh karena itu William Stern disebut teori Konvergensi artinya memuat ke suatu titik.
Jadi menurut teori konvergensi ini adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan mungkin diberikan.
2. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan itu sendiri.
3. Pendidikan diartikan sebagai penolong atau pertolongan yang diberikan kepada
lingkungan anak didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah
berkembangnya pembawaan yang buruk. Sebagai contoh, benarkah jika kita
mengatakan ‘si Mizan adalah merupakan hasil dari pembawaan dan lingkungannya si
Mizan?. Ketika jawabannya ‘benar’, maka seolah-olah si Mizan itu ‘hanya’ merupakan
hasil dari proses alam yaitu pembawaan dan lingkungan belaka. Jika pembawaannya
begini dan lingkungannya begitu, maka manusia akan demikian pula. Jika demikian
halnya, maka apa bedanya dengan proses mencari hasil dari ‘angka-angka’ dalam
pengetahuan matematika?. Kalau memang proses perkembangan manusia sama halnya
dengan rumus-rumus pengetahuan matematika, maka dapat dipastikan bahwa tugas

10
guru (ahli pendidik) akan lebih mudah yaitu tinggal mencari jalan untuk mengetahui
pembawaan seseorang (kalau saja pembawaan itu dapat diketahui dengan pasti), dan
kemudian mengusahakan suatu lingkungan atau pendidikan yang cocok (relevan)
dengan pembawaan tersebut.
Sekali lagi, proses perkembangan binatang dengan manusia tidaklah dapat disamakan.
Sebab perkembangan binatang adalah merupakan hasil dari pembawaan dan lingkungannya,
binatang hanya ‘terserah’ pada pembawaan keturunan dan pengaruh lingkungannya. Dimana
perkembangan pada binatang seluruhnya ditentukan oleh kodrat dan hukum-hukum alam.
Sementara manusia tidak hanya dari pembawaan dan lingkungannya, melainkan manusia lebih
memiliki pengalaman ‘empirik’ yang dapat mempengaruhi perkembangannya.
Dengan berpijak pada uraian di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa jika ditanya tentang
‘perkembangan manusia itu bergantung pada pembawaan ataukah kepada lingkungan?’, atau
manakah yang lebih dasar atau lebih kuat mempengaruhi perkembangan manusia itu?. Maka
kita dapat mengatakan bahwa itu bukanlah bentuk pertanyaan yang perlu dicari jawabannya,
sebab hal itu adalah merupakan suatu pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Begitu juga W.
Stern tidak menerangkan seberapa besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut dan
hingga dewasa ini dominasi pengaruh kedua faktor itu belumlah dapat ditetapkan.
Sesuai dengan corak dan karakteristik sosiologi, diantara tiga asas filsafat pendidikan
dan teori perkembangan sosial di atas yang sangat mendukung adalah teori empirisme. Di
Amerika telah diselidiki seorang anak bernama Anna yang hidup terpencil di daerah Attic,
Pensyilvanea di rumah seorang petani sejak umur 6 bulan sehingga umur 5 tahun. Setelah
dipindah ke rumah biasa, Anna mulai belajar bahasa, mulai tertarik dengan anak lain dan turut
bermain dengan anak-anak normal lainnya. Perubahan tingkah laku Anna karena berhubungan
dengan lingkungannya dan pengalaman Anna sebelum dipindah ke rumah yang normal juga
dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat.

E. Tafsir Tematik Surah Ali Imran Ayat 104

‫ع ِن ْال ُم ْن َك ِر ۚ َوأُو َٰلَئِكَ ُه ُم‬ ِ ‫َو ْلت َ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أ ُ َّمةٌ يَ ْدعُونَ ِإلَى ْال َخي ِْر َويَأ ْ ُم ُرونَ ِب ْال َم ْع ُر‬
َ َ‫وف َويَ ْن َه ْون‬
‫َْال ُم ْف ِل ُحون‬

11
Artinya : Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)

Melalui Ayat tersebut di atas Allah memerintahkan kepada umat Islam agar di antara
mereka ada sekelompok orang yang bergerak dalam bidang dakwah yang selalu memberi
peringatan apabila tampak gejala-gejala perpecahan dan pelanggaran terhadap ajaran agama,
dengan jalan mengajak dan menyuruh manusia untuk melakukan kebaikan, menyuruh kepada
ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar.

Cara yang ditempuh dengan cara menyadarkan manusia bahwa perbuatan-perbuatan


yang baik itu akan mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk orang lain, baik di dunia maupun di akhirat. Begitu juga sebaliknya, bahwa
kemungkaran dan kejahatan itu akan selalu menimbulkan kerugian dan marabahaya, baik bagi
pelakunya maupun orang lain.

Tujuan dakwah tidak akan tercapai hanya dengan anjuran melakukan perbuatan baik
saja tanpa dibarengi dengan sifat-sifat keutamaan dan menghilangkan sifat-sifat buruk dan
jahat agar tujuan dakwah dapat tercapai dengan baik.

Maka umat Islam harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk
mencapainya. Kemenangan tidak akan tercapai tanpa kekuatan, kekuatan tidak akan terwujud
melainkan dengan persatuan.

Persatuan dan kesatuan tidak dapat diraih kecuali diimbangi dengan sifat-sifat yang
utama. Sifat yang utama ini pun tidak akan terpelihara tanpa terjaganya agama. Akhirnya,
agama tidak mungkin terpelihara tanpa adanya dakwah.

Dari sinilah dapat dimengerti apabila Allah mewajibkan kepada umat Islam untuk
melakukan dan menggiatkan dakwah agar agama yang mereka anut dapat berkembang dengan
baik dan sempurna, sehingga misi agama “memberikan rahmat bagi seluruh alam” dapat
tercapai. Tanpa adanya dakwah, agama tidak mungkin dapat berkembang. Dalam rangka
berdakwah, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :

● Harus memahami kandungan Al-Qur’an dan Sunnah serta sejarah dakwah Rasulullah
Saw.

12
● Harus memahami keadaan orang-orang yang menjadi objek dakwah.
● Harus memahami bahasa serta dialek orang-orang yang menjadi objek dakwah.
● Harus memahami agama dan mazhab mazhab yang berkembang dalam masyarakat.

Dengan dorongan agama dan keimanan yang kuat, tercapailah bermacam-macam


kebajikan yang akan membawa kepada persatuan dan kesatuan, dan akan terwujud kekuatan
yang besar untuk mencapai kemenangan dalam setiap perjuangan.

Ayat tersebut di atas ditunjukkan kepada umat Islam agar memperhatikan kepentingan
dakwah yaitu melaksanakan Amar ma'ruf nahi munkar di masyarakat secara
berkesinambungan.

Amar ma'ruf nahi munkar artinya mengajak untuk saling menyuruh orang lain
mengerjakan kebajikan baik perintah wajib maupun sunnah yang akan membawa mereka
kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Nahi munkar mempunyai arti mencegah perbuatan yang dilarang oleh Allah baik
Perbuatan yang diharamkan maupun makruh, yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam
neraka.

F. Tafsir Tematik Surah Ar-Rum ayat 30

Ayat ini menjelaskan soal fitrah penciptaan manusia sebagai makhluk yang beragama.
Allah Swt berfirman:

‫الديْنُ ْالقَيِ ُۙ ُم َو َٰل ِك َّن اَ ْكثَ َر‬


ِ َ‫ّٰللا َٰۗذلِك‬
ِ‫ق ه‬ ِ ‫علَ ْي َه ۗا ََل تَ ْب ِد ْي َل ِلخ َْل‬
َ ‫اس‬ َ َ‫ّٰللا الَّتِ ْي ف‬
َ َّ‫ط َر الن‬ ْ ِ‫فَاَقِ ْم َوجْ َهكَ ِل ِلدي ِْن َحنِ ْيفً ۗا ف‬
ِ ‫ط َرتَ ه‬
‫اس ََل َي ْع َل ُم ْون‬
ِ َّ‫ۙۙالن‬

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Surah Ar-
Rum Ayat 30)

Pada hakekatnya, setiap manusia lahir ke dunia ini dengan membawa fitrah berupa
keyakinannya kepada agama (Islam). Demikian ditegaskan oleh para ulama tafsir, ketika
menjelaskan tentang maksud ayat di atas. Seiring berjalannya waktu, maka fitrah yang sudah

13
Allah tetapkan tersebut, akan tetap atau berubah tergantung pada kondisi lingkungan di mana
manusia itu berada.

Nabi Muhammad Saw menegaskan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah)
-beragama Islam-, maka tergantung kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang
yahudi, nasrani atau majusi.”

Dari keterangan hadis di atas jelaslah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam kondisi
beragama (Islam). Agama itu fitrah yang sudah ada sejak manusia lahir, bahkan ketika mereka
masih berada di alam rahim. Demikian ditegaskan dalam ayat yang lain.

Begitu melekatnya fitrah berupa agama ini di dalam diri manusia, maka meski
seseorang larut dalam pelukan nafsu duniawi, yang seringkali melenakannya dari ajaran agama,
atau bahkan melupakannya pada tuhan, pada saat tertentu akan muncul kerinduan dalam
dirinya untuk kembali kepada agama, kembali kepada tuhannya.

Jika seseorang menuruti kata hatinya untuk kembali kepada Tuhannya, kepada ajaran
agamanya, maka sangat mungkin pintu hidayah akan terbuka lebar baginya. Namun
sebaliknya, jika ia lebih memperturutkan hawa nafsunya, tidak mengindahkan kata hatinya,
maka dia akan semakin terjerumus pada kesesatan dan gelimang dosa.

Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf menjelaskan ayat di atas dengan


mengutip sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyatakan, “setiap
hamba-Ku Aku ciptakan dalam keadaan lurus (berpegang teguh pada ajaran agama), kemudian
setan telah melencengkannya dari agamanya, serta menyuruhnya untuk menyekutukan-Ku
dengan yang lainnya.”

Dari keterangan hadis qudsi di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya kita diciptakan oleh
Allah dalam kondisi berpegang teguh pada agama, berada pada fitrah Allah. Tetapi, tipu daya
setanlah yang kemudian memalingkan kita dari ajaran agama kita.

Setan telah memperdaya kita untuk mengingkari Allah, dengan menjadikan selain Allah
sebagai tuhan. Ada di antara umat manusia yang kemudian kembali kepada fitrah agamanya.
Ada pula yang tetap berada pada kesesatan dan kekufuran.

Satu hal yang harus kita sadari bersama adalah bahwa selama hayat masih dikandung
badan, selalu ada kesempatan untuk kembali kepada agama, kembali kepada Tuhan. Tuhan

14
sangat senang jika ada hamba-Nya yang telah lama berkelana, mengembara mengarungi
kehidupan ini, serta jauh dari-Nya, kemudian dia kembali ke jalan-Nya.

Seperti halnya orang tua yang telah lama ditinggal anaknya pergi merantau kemudian
kembali pulang ke pangkuannya. Bahkan, kasih sayang Tuhan kepada hamba-hamba-Nya jauh
melebihi kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya.

Alangkah sayangnya, jika kesempatan hidup di dunia ini yang hanya sekali, tidak
dimanfaatkan untuk menjalani fitrah kemanusiaan, yaitu memeluk erat agama, medekatkan diri
kepada Tuhan, menjadi hamba-hamba-Nya yang dikasihi dan dicintai-Nya. Betapa malangnya
diri ini, jika hidup di dunia ini yang hanya sementara, diisi dengan amal yang sia-sia, yang
hanya akan membawa kita pada penyesalan tiada tara di akhirat kelak.

Dengan tetap pada fitrah itu, maka kita semua berharap semoga kelak, ketika Tuhan
mengambil kita untuk kembali kepada-Nya, Tuhan akan memanggil dengan panggilan mesra:
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam
surga-Ku.” Wallahu A’lam.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa :

1. Dari Yunani lah kata “filsafat” ini berasal, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”.
“Philos” artinya cinta yang sangat mendalam dan “sophia” artinya kebijakan atau
kearifan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-
hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Berfilsafat merupakan kegiatan berpikir
yang khas, yaitu radikal, sistematis dan universal untuk mencari kearifan, kebenaran
yang sesungguhnya dari segala sesuatu. Berfilsafat berarti berpikir merangkum tentang
pokok-pokok atau dasar-dasar dari hal yang ditelitinya.
2. Pemikiran filsafat pendidikan menurut beberapa ahli :
- Prinsip dasar pendidikan, menurut Socrates adalah metode dialektis. Socrates
berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang benar adalah untuk merangsang penalaran
yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual
yang terus menerus dan standar moral yang tinggi (Smith. 1986:25).
- Menurut Plato, pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya selaku individu maupun
sebagai warga negara. Negara wajib memberi pendidikan kepada setiap warga
negaranya. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa
yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang baik
dan apa yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak patut (Raper,1988:110).
- Menurut Aristoteles, pendidikan bukanlah soal akal semata-mata, melainkan soal
memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, yaitu akal, guna
mengatur nafsu-nafsu.
3. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses
pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang
kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan.
Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan
negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan
pertanyaan tentang kebijakan pendidikan, dan praktik di lapangan dengan
menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik.

16
4. Adapun asas-asas filsafat pendidikan ialah asas empirisme, asas nativisme dan asas
konvergensi.
5. Dalam surah Ali Imran ayat 104 Melalui Allah memerintahkan kepada umat Islam agar
di antara mereka ada sekelompok orang yang bergerak dalam bidang dakwah yang
selalu memberi peringatan apabila tampak gejala-gejala perpecahan dan pelanggaran
terhadap ajaran agama, dengan jalan mengajak dan menyuruh manusia untuk
melakukan kebaikan, menyuruh kepada ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar.
6. Dalam surah Ar-Rum Allah menjelaskan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam
kondisi beragama (Islam). Agama itu fitrah yang sudah ada sejak manusia lahir, bahkan
ketika mereka masih berada di alam rahim. Tetapi, tipu daya setanlah yang kemudian
memalingkan kita dari ajaran agama kita.

B. Saran

Demikian makalah ini kami susun dengan semaksimal mungkin, kami memohon maaf
apabila banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Kami sangat
mengharapkan kritik dan juga saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan
penyusun, aamiin.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abusyuja. (n.d.). Tafsir Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 104. Abu Syuja. Retrieved

March 13, 2022, from http://abusyuja.com/2021/03/tafsir-al-quran-surat-ali-imran-

ayat-104.html

Blog Anshar. (2013, March 20). ASAS ASAS FILSAFAT PENDIDIKAN. Blog Anshar.

Retrieved March 13, 2022, from http://anshar-mtk.blogspot.com/2013/03/asas-asas-

filsafat-pendidikan.html?m=1

FILSAFAT PENDIDIKAN (1st ed., Vol. 136 hlm 14 x 21). (2019). Nizamania

Learning Center.

Junaedi, D. (2013, March 20). ASAS ASAS FILSAFAT PENDIDIKAN. Blog Anshar.

Retrieved March 13, 2022, from http://anshar-mtk.blogspot.com/2013/03/asas-asas-

filsafat-pendidikan.html?m=1

M.Hum, D. R. (2015, April 13). Mengenal Filsafat Pendidikan. MENGENAL

FILSAFAT PENDIDIKAN. Retrieved March 13, 2022, from

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131763780/pendidikan/bpk-mengenal-filsafat-

pendidikan.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai