Anda di halaman 1dari 3

Dasar al barjanji

menurut Ibrahim Al-Bajuri dalam kitab karangannya Hasyiyat al-Bajuri ‘ala Matn Qasidah al-
Burdah mengatakan bahwa pujian-pujian terhadap Rasulullah ‫ ﷺ‬merupakan tradisi yang harus
didorong dan dilestarikan oleh umat muslim, agar senantiasa patuh kepada Allah ‫ ﷻ‬dan Rasul-
Nya. Ketika baginda Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬masih hidup. Beliau sering kali mendapatkan pujian-
pujian dari para penyair. Mereka para penyair di zaman itu ialah Hasan ibn Tsabit, Abdullah ibn
Rawahah, dan Ka’ab ibn Malik. Diceritakan pula kalau baginda Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬sempat
memberikan burdah (sorban)-nya kepada penyair Ka’ab ibn Zubair lantaran qasidah pujiannya
sangat berkesan pada beliau Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬Tradisi pujian untuk baginda Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬lalu dilestarikan oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir. Bahkan tradisi ini diresmikan secara
konstitusional oleh negara yang mewajibkan para masyarakatnya untuk merayakan Maulud Nabi.
Setelah Dinasti ini tutup usia, tradisi ini dirawat oleh Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayubi (1174-
1193 M atau 570-590 H). Beliau pernah mengatakan kalau tradisi perayaan Maulid Nabi yang
berisi pujian kepada baginda Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dapat mempertebal keimanan dan ketaqwaan
umat muslim. Khalifah Salahuddin merayakan Maulid Nabi pada tahun 580 H dengan
menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat hidup baginda Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, beserta
pujian-pujian kepada beliau dengan menggunakan bahasa seindah mungkin. Seluruh ulama dan
sastrawan waktu itu diundang untuk mengikuti sayembara tersebut. Syaikh Ja’far al Barzanji
keluar menjadi pemenangnya dengan hasil karyanya yang berjudul Iqd al Jawahir (kalung
permata) atau lebih dikenal oleh khalayak umum Kitab Barzanji. Syaikh Ja’far al Barzanji
merupakan seorang Qadhi (hakim) dari Madzhab Maliki yang bermukim di Madinah. Selain
dikenal sebagai Qadhi, beliau juga terkenal sebagai khatib dan pengajar di Masjid Nabawi.
Keilmuannya sangat luas, akhlak dan ketaqwaannya telah menghiasai kepribadiannya dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Banyak orang-orang Madinah mendatangi beliau untuk
meminta do’a, karena waktu itu beliau sangat terkenal sebagai ulama yang do’anya maqbul.

Dalam kitab tersebut menceritakan tentang riwayat Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan bahasa yang sangat
indah. Disajikan dalam bentuk puisi maupun prosa. Adapun isi kitab tersebut meliputi, (1)
Silsilah Nabi dimulai dari Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdul Manaf bin
Qusay bin Kilab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2)
Kehidupan masa kecil baginda nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang sangat luar biasa. (3) Mengikuti
Pamannya ke Syam untuk berdagang di usiannya yang baru 12 tahun. (4) Menikah dengan
Siti Khadijah di usia  25 tahun. (5) Mendapatkan wahyu di usianya 40 tahun sebagai pertanda
diangkatnya beliau menjadi Rasul untuk menyebarkan agama Islam, dan Rasulullah ‫ﷺ‬
meninggal dunia di Madinah ketika usianya 62 tahun.

Selain itu, di dalam kitab tersebut juga terpaparkan akhlak terpujinya baginda Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana beliau bisa mendamaikan para
kabilah yang saling berebut meletakan Hajar Aswad di Ka’bah. Bagaimana beliau ‫ﷺ‬
menyayangi para sahabat dan umat muslim maupun non muslim lainnya, bagaimana beliau
‫ﷺ‬  menjalani kehidupannya dengan sangat sederhana. Serta masih banyak lagi akhlak terpuji
beliau lainnya di dalam kitab tersebut.

Tradisi pembacaan berjanjen sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Indonesia.


Terlebih lagi di lingkungan pesantren, pembacaan berjanjen rutin dilaksanakan mulai dari
awal masuknya bulan Rabi’ul Awwal sampai pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, yaitu tepat
kelahiran baginda Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.  Para Masyayikh di pesantren melaksanakan tradisi
ini berlandaskan pada pendapat para fuqoha Madhzab Syafi’i, seperi Ibnu Hajjar Altsqalani
yang mengatakan bahwa tradisi seperti ini menyimpan banyak makna kebajikan. AlSuyuthi
juga menunjukan sikap toleransinya terhadap produk kebudayaan memeringati kelahiran
baginda nabi Muhammad ‫ ﷺ‬ini. Sikap kedua fuqoha tadi disepakati oleh Ibnu Hajjar
alHaytami dan Abu Shamah, yang menurut mereka berdua peringatan Maulid Nabi
merupakan perbuatan baru (bid’ah) yang sangat terpuji, karena di dalamnya disertai amal
kebaikan, seperti sholawatan, shodaqoh, infaq dan kegiatan lainnya yang mengandung nilai
ibadah.

Wallahu’alam bishowwab

Sumber rujukan

Wasito Raharjo Jati, “ ‘Tradisi, Sunnah, dan Bidah’ Analisa Berzanji Dalam Perspektif
Cultural Studies”, dalam Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, el Harakah
Vol.14 No.2 Tahun 2012.

Biografi Penyusun Nama lengkapnya adalah Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad


bin Umar bin Yusuf bin Ahmad bin Umar asy-Syaibani az-Zabidi asy-Syafi’i. Ia memiliki
gelar Abul Faraj dan masyhur dengan sebutan Ibnud Diba’. Ia merupakan salah satu
ulama yang sangat luas dan dalam pengetahuannya.  Imam Abdurrahman ad-Diba’i
merupakan salah satu ulama kelahiran kota Zabid, Yaman. Beliau lahir bertepatan pada
Muharram 866 H dan wafat pada Jumat 12 Rajab 944 H. Pada masa pertumbuhannya,
Imam Abdurrahman tidak merasakan kasih sayang seorang ayah. Ia harus besar dan
tumbuh bersama kakeknya, Syekh Syarafuddin Abil Ma’ruf Ismail bin Muhammad asy-
Syafi’i, sebab ayahnya wafat bertepatan dengan hari-hari menjelang kelahirannya.
(Habib Abdul Qadir bin Habib Abdullah al-‘Idrus al-Husaini al-Hadrami, an-Nurûs Safîr
‘alâ Akhbâril Qurûnil Âsyir, [Bairut, Dârush Shadr: 2001], halaman 286).

Penamaan Maulid Diba’ Maulid Diba’ sebenarnya bukanlah nama khusus kitab ini.
Sebab semua isi yang ada di dalam maulid Diba’ merupakan ringkasan dari Maulid
Syaraful Anâm, karangan Syekh Syihabuddin bin Qasim, sebagaimana dijelaskan: ‫اِ ْشتَهَ َر هَ َذا‬
‫ِّين َأحْ َم َد ْب ِن‬
ِ ‫اب الد‬ Vُ َ‫ْخ ِشه‬ ِ ‫ف اَأْلن َِام لِل َّشي‬
ِ ‫ب ْال َموْ لِ ْد َش َر‬ َ َ‫ َكانَ ُم ْخت‬.‫ْال ِكتَابُ بِ ْال َموْ لِ ِد ال ِّد ْيبَ ِعي نِ ْسبَةً ِإلَى ُمَؤ لِّفِ ِه ْال َم ْشهُوْ ِر بِاب ِْن ال ِّد ْيبَ ِع‬
ِ ‫صرًا ِم ْن ِكتَا‬
‫م ْال ُمرْ ِس ِّي ْال َم ْشهُوْ ِر ِبا ْب ِن قَا ِس ٍم‬Vِ‫ َعلِ ِّي ْب ِن قَا ِس‬Artinya, “Kitab ini terkenal dengan nama Maulid Diba’i,
karena disandarkan kepada penyusunnya, yang dikenal dengan nama Ibnud Diba’. Kitab
ini merupakan ringkasan dari kitab Maulid Syaraful Anâm, karangan Syekh Syihabuddin
Ahmad bin Ali bin Qasim al-Mursi, yang dikenal dengan nama Ibnu Qasim.” (Al-Anshari,
Mil’ul Awâni, halaman 10). Betapa pun Maulid Diba’ hanya sebatas ringkasan, namun
keberkahan di dalamnya sangat banyak, keutamaannya sangat luas dan tentunya
sebagai media untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah saw.
Semua itu bisa dilihat dari cara penyusunannya yang tidak hanya fokus membahas
tentang perjalanan hidup Rasulullah saw dan shalawat atasnya, namun juga
mencantumkan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits, sehingga pembaca tidak hanya
membaca shalawat namun juga membaca Al-Qur’an dan hadits.
Pendapat Ulama tentang Maulid Diba’ Banyak ulama yang memberikan komentar
positif tentang isi dan kandungan Maulid Diba’. Di antaranya sebagaimana dijelaskan
dalam kitab Mil’ul Awâni: Vً‫ار ال ُّسنَّ ِة النَّبَ ِويَ ِة َسا ِط َعة‬ َ ‫ت القُرْ آنِيَّ ِة َوَأ ْن َو‬ ِ ‫ َأ ْب َر َز بِ ِه ْال ُمَؤ لِّفُ ال ُمع‬.ٌ‫ات َكثِ ْي َرة‬
ِ ‫ْج َزا‬ ٌ َ‫هَ َذا ْال ِكتَابُ ُم َميِّز‬
‫ اَل ِشيَةً فِ ْيهَا‬Artinya, “Kitab ini memiliki perbedaan yang banyak (dengan kitab lainnya).
Penyusun menjelaskan beberapa mukjizat dalam Al-Qur’an, dan cahaya hadits nabi
yang jelas dan merata di dalamnya.” (Al-Anshari, Mil’ul Awâni, halaman 11). Dalam
Maulid Diba’ penyusun menampakkan rasa cinta pada Rasulullah saw dengan hakikat
cinta, memujinya dengan hakikat pujian yang sebenarnya, mengungkapkan kerinduan
dengan rindu yang sebenarnya, sehingga bisa menjadi penyebab untuk mendekatkan
diri kepada Allah sekaligus sebagai media untuk menambah cinta kepada-Nya,
Rasulullah saw dan sahabatnya. Tidak hanya itu, Maulid Diba’ juga menjadi referensi
untuk meneladani hidup Rasulullah saw yang menjadi rahmat kepada umatnya. Dalam
pembacaannya, Imam ad-Diba’i tidak hanya memerintahkan pembaca untuk
bershalawat, namun juga mengajak untuk menghadirkan Rasulullah saw dalam dirinya,
sebagaimana dalam salah satu mukadimah Maulid Diba’ disebutkan: ‫ضرُوا قُلُوْ بَ ُك ْم يَا َم ْعش ََر‬ ِ ْ‫َأح‬
ِ ‫س َم َعانِي َأ َج ِّل اَأْلحْ بَا‬
‫ب‬ َ ‫ َحتَّى َأجْ لُ َو لَ ُك ْم َع َراِئ‬،‫ب‬
ِ ‫ َذ ِوي اَأْل ْلبَا‬Artinya, “Hadirkanlah hatimu wahai orang-orang
yang berakal sehat, sehingga bisa kujelaskan kepadamu makna-makna keagungan
seorang kekasih yang paling dicintai Allah.” Keutamaan Maulid Diba’ Secara eksplisit
keutamaan Maulid Diba’ tidak diragukan. Ulama sepakat dan mengamini bahwa
keutamaannya sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Sebab, dengan
membacanya sudah dipastikan membaca Al-Qur’an, hadits, shalawat, dan juga sebagai
media mengingat dan meneladani Rasulullah saw pada masa hidupnya. Namun secara
implisit, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab at-Ta’rîf bil Maulid, disebutkan: ‫ال َموْ لِ ُد فِ ْي ِه‬
ٌ‫ ِس ٌّر َع ِظ ْي ٌم َحتَّى يَتَ َج َّد ُد بِقِ َراَئتِ ِه َمفَا ِه ْي ُم َج ِد ْي َدة‬Artinya, “Maulid (ini), di dalamnya terdapat rahasia yang
agung, (dengan membacanya) akan mendapatkan pemahaman-pemahaman baru
(tentang Rasulullah saw).” (Nuruddin, al-Jauharul Maknûnah wal Asrârul Makhzûnah,
halaman 16). Pemahaman-pemahaman baru yang didapatkan pembaca merupakan
bagian dari rahasia agung yang terdapat dalam Maulid Diba’. Seolah pembaca tidak
hanya memiliki jaminan pahala dengan membacanya, namun juga akan ada jaminan
penambahan pengetahuan dan kecintaan kepada Rasulullah saw.

Sumber: https://islam.nu.or.id/shalawat-wirid/maulid-diba-penyusun-keutamaan-dan-
cara-bacanya-a9ikC

Sumber: https://islam.nu.or.id/shalawat-wirid/maulid-diba-penyusun-keutamaan-dan-
cara-bacanya-a9ikC

Sumber: https://islam.nu.or.id/shalawat-wirid/maulid-diba-penyusun-keutamaan-dan-
cara-bacanya-a9ikC

Anda mungkin juga menyukai