Anda di halaman 1dari 13

Dalam buku 'Sejarah Maulid Nabi' oleh Ahmad Sauri, seperti dilansir situs NU, sejarah

Maulid Nabi sudah dilakukan oleh masyarakat Muslim bangsa Arab sejak tahun kedua

hijriah. Catatan tersebut merujuk pada Nuruddin Ali dalam kitabnya Wafa'ul Wafa bi

Akhbar Darul Mustafa.

Dalam catatan tersebut juga dijelaskan, Khaizuran (170 H/786 M) yang merupakan

ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid datang ke Madinah dan

memerintahkan penduduk mengadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di

Masjid Nabawi. Dari Madinah, Khaizuran juga menyambangi Makkah dan melakukan

perintah yang sama kepada penduduk Makkah untuk merayakan Maulid Nabi

Muhammad SAW.

Dikutip dari buku 'Pro dan Kontra Maulid Nabi' karya AM Waskito, sejarah

peringatan Maulid Nabi sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Berikut ini tiga

teori asal usul perayaan Maulid Nabi.

1. Perayaan Maulid diadakan oleh kalangan Dinasti Ubaid (Fathimi) di Mesir yang

beraliran Syiah Ismailiyah (Rafidhah) pada tahun 362-567 hijriah. Perayaan

Maulid Nabi dilakukan sebagai salah satu perayaan saja.

2. Maulid Nabi berasal dari kalangan ahlus sunnah oleh Gubernur Irbil di wilayah

Irak, Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri. Dikisahkan, peringatan Maulid Nabi

dirayakan dengan mengundang para ulama, ahli tasawuf, ahli ilmu, dan seluruh

rakyatnya, serta memberikan hidangan, hadiah, hingga sedekah kepada fakir-

miskin.
3. Peringatan Maulid Nabi diadakan pertama kali oleh Sultan Shalahuddin Al

Ayyubi atau Muhammad Al Fatih dengan tujuan untuk meningkatkan semangat

jihad kaum Muslimin, dalam rangka menghadapi Perang salib melawan kaum

Salibis dari Eropa dan merebut Yarusalem.

Sementara itu, sejarah peringatan Maulid Nabi di Indonesia sendiri mulai berkembang

di masa Wali Songo atau sekitar tahun 1404 masehi. Peringatan Maulid Nabi

dilakukan demi menarik hati masyarakat memeluk agama Islam.

Oleh karenanya, Maulid Nabi juga dikenal dengan nama perayaan Syahadatin. Selain

itu, perayaan Maulid Nabi juga dikenal dengan Gerebeg Mulud karena tradisi

masyarakat merayakan Maulid Nabi dengan cara menggelar upacara nasi gunungan.
SIMTUDDUROR

Maulid simtudduror adalah Kitab maulid yang disusun oleh Habib Ali bin

Muhammad bin Husin Al-Habsyi. Dikenal juga dengan nama maulid habsyi karena

merujuk pada nama pengarangnya. Secara lengkap, maulid ini memiliki judul asli

Simtudduror fi akhbar Maulid Khairil Basyar min akhlaqi wa aushaafi wa siyar.

Namun, untuk memudahkan pelafalannya, masyarakat biasa menyebutnya dengan

maulid simtudurror saja.

Maulid Simthud Durar cukup masyhur bagi kaum Muslimin di Indonesia. Hal

itu tidak lepas dari penyusunnya yang sangat alim dan sangat besar kecintaannya

kepada Baginda Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Ia adalah Habib Ali bin Muhammad bin Husain

al-Habsyi. Sang penulis lahir pada hari Jumat, 24 Syawal 1259 H (17 November 1843

M) di kota Qasam, sebuah kota di negeri Hadramaut, Yaman, dan wafat di kota

Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H (6 Maret 1915

M). Sejak masih kecil, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sudah dikenal sebagai

pecinta Al-Qur’an dan memiliki rasa cinta yang sangat besar kepada Rasulullah.

Sayyidil Habib Ali al-Mantsur, dalam kitab Al-Jawahirul Maknunah wal Asrarul

Makhzunah berkisah, saat masih sangat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari

dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai berbagai disiplin ilmu,

sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Di bawah asuhan dan

pengawasan kedua orang tuanya, yaitu Al-‘Arif billah Habib Muhammad bin Husin

bin Abdullah al-Habsyi dan ibundanya, Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad

Al-Hadi al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang salehah

yang sangat bijaksana. Tidak hanya kepada kedua orang tuanya, Habib Ali bin

Muhammad al-Habsyi juga belajar pada ulama yang lain di Hadhramaut saat
itu. Setelah Habib Ali al-Habsyi sudah dewasa, dan sudah menguasai berbagai disiplin

ilmu, guru-gurunya memberikan izin untuk menyampaikan dan menyebarluaskan

ilmu yang dimilikinya. Ia mulai menjadi pendakwah dan mengisi pengajian di hadapan

khalayak ramai, sehingga dengan cepat, Habib Ali menjadi pusat perhatian dan

kekaguman, serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya

diserahkan tampuk kepimpinan tiap majelis ilmu, lembaga pendidikan, serta

pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu. Habib Ali memiliki banyak

karya yang sampai saat ini masih dibaca oleh umat Islam. Di antara karangannya yang

sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, ialah Simthud

Durar fi Akhbar Maulidi Khairil Basyar wama Lahu min AkhlaqI wa Aushaf wa Siyar

(Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat, dan Riwayat

Hidupnya). Penyusunan Maulid Simthud Durar tidak memiliki latar belakang secara

khusus. Namun secara eksplisit, Habib Ali Al-Habsyi mengungkap niatnya yang lurus

dan meyakini kehadiran Rasulullah di tempat-tempat dibacakannya maulid ini. Beliau

mengatakan:

َ ‫َك أَ َّن ر ْوح َه ﷺ‬


ِ ‫تح ْضر عِنْد َ ق ِرَائَتِه‬ َّ ‫ وَل َا ش‬،‫ فَت ْح جَدِي ْد‬،‫المَوْلِد أَ نَا أَ َّلفْته عَلَى نيِ َة صَالِ حَة‬

Artinya, “Maulid Simthud Durar yang saya susun ini atas dasar niat yang benar, media

yang baru, dan tidak diragukan kembali bahwa sungguh ruh Rasulullah akan hadir

saat membacanya.” (Lihat, Al-Jawahirul Maknunah wal Asrarul Makhzunah, h. 42).

Maulid Simthud Durar ditulis dua tahun sebelum Habib Ali wafat. Tepatnya pada

tahun 1330 H (1912 M). Setelah semuanya rampung, kemudian dibacakan dalam
rumahnya bersama para habaib yang lain. Setelah pembacaan itu selesai, Habib Ali al-

Mantsur berkata:

‫نح ْن الا‬ َ ‫قَا‬. ‫و َل ََّما قرِئ َ ال ْمَوْلِد بِبَي ْتِه ِ سَن َة َ ألف وثلاثمئة وثلاثون هــ‬
َ َ ‫الم َوْلِد ك َأَ ْن عَاد‬: ‫ل رَض ِي الله عَن ْه‬

‫صف َة م َلَانَة بتَِعْظِيْمِه ِ ﷺ‬


ِ ‫ وَكل عِبَار َة‬،‫ عَلَيْه ِ نوْر عَظِيْم‬،‫سَمِعْنَاه‬

Artinya, “Setelah maulid (Simthud Durar) dibaca di rumahnya, tahun 1330 H, Habib

Ali al-Mantsur berkata: Maulid (Simthud Durar) seperti mengembalikan kita semua

(pada zaman Rasulullah), maka dengarkanlah, di dalamnya terdapat cahaya yang mulia,

dalam setiap ungkapan terdapat sifat yang sangat condong mengagungkan Rasulullah.”

(Sayyid Ahmad bin Ali bin Alawi al-Habsyi, Syarah Simthud Durar fi Akhbar Maulidi

Khairil Basyar wama Lahu min AkhlaqI wa Aushaf wa Siyar, halaman 391).

Menurut Habib Ali al-Masntsur, dengan menghayati makna dan kandungan yang ada

dalam Maulid Simthud Durar, pembaca dan orang-orang yang mendengarkannya bisa

seolah ada pada zaman Rasulullah, dan menyaksikan langsung bagaimana cara

Rasulullah bersikap, bagaimana cara Rasulullah bersabar ketika ditimpa ujian,

bagaimana teladan Rasulullah, sifatnya yang mulia, dan akhlaknya yang

agung. Timbulnya penghayatan sebagaimana penjelasan di atas, tidak lepas dari cara

penyusunannya yang sangat rinci dan detail. Maulid Simthud Durar tak ubahnya

seperti sejarah dan sirah nabawiyah lainnya, kecuali bentuk penyampaiannya saja.

Habib Ali Al-Habsyi menyampaikan dengan ungkapan yang sangat syahdu, dengan

cara yang sangat sistematis dan praktis. Keutamaan Simthud Durar yang lain juga

disebutkan dalam kitab At-Ta’rif bil Maulid min Kalami Shahibil Maulid, dengan

mengutip pesan penyusun perihal keutamaan membacanya, yaitu:


ْ‫ أَ َّنه ي َ ْظه َره لَه شَيْء م ِن‬،ِ ‫جعَلَه م ِنْ أَ ْور َادِه‬ ِ َ ‫مَوْلِد ِي هذ َا أَ شْ و َف أَ َّنه لَوْ د َاوَم َ الوَاحِد عَلَى ق ِرَائَتِه ِ و‬
َ َ ‫ح ْفظِه ِ و‬

‫سِرِه ِ ﷺ‬

Artinya, “Maulidku ini (Simthud Durar) sangat bermanfaat. Bahwa sesungguhnya,

barang siapa yang tekun membacanya, menghafalnya, dan menjadikannya sebagai

wirid, maka sungguh akan ditampakkan kepadanya rahasia (sir) Rasulullah ‫ﷺ‬. Ada

keutamaan lain dengan membaca Simthud Durar yang tidak kalah utama dengan yang

telah disebutkan, yaitu menjadi penyebab futuh (dibukanya kepahaman). Keutamaan

ini terjadi pada Habib Umar bin Idrus al-Idrus. Suatu saat ia bermimpi, seolah ia

sedang menceritakan kisah kedangkalan murid-muridnya dalam memahami kitab,

kemudian ada orang yang memberikan petunjuk kepadanya, bahwa penyebab

terbukanya ilmu ada dalam maulid Simthud Durar. Oleh karenanya, setelah ia

terbangun dari mimpinya, ia berkata:

‫ فَل ْي َحْ ف َْظ المَوْلِد َ أَ ْو يَكْتب َه‬،َ‫م َنْ أَ ر َاد َ الْفَتْح‬

Artinya, “Barang siapa yang hendak diberikan futuh, maka hafalkanlah maulid

(Simthud Durar), atau menulisnya.” (Habib Ahmad bin Alawi bin Ali bin Muhammad

Al-Habsy, At-Ta’rif bil Maulid min Kalami Shahibil Maulid, h. 5).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa maulid Simthud Durar lebih dari

sekadar buku kisah keteladan Nabi. Ia memiliki keutamaan, manfaat, dan berkah.

Alangkah baiknya, ia dijadikan wirid yang selalu dibaca dengan istiqamah, sebab

dengan membacanya akan mengetahui sejarah Rasulullah, sifatnya yang mulia, juga

akan menjadi penyebab bertambahnya kecintaan kepada beliau.


BURDAH

Qasidah Burdah disusun oleh ulama yang sangat tersohor alim, sufi, dan sangat

mencintai Rasulullah saw, yaitu Imam al-Bushiri. Kecintaan Imam al-Bushiri kepada

Rasulullah saw sangat tampak dalam syair-syair Qasidah Burdah. Di dalamnya tidak

hanya menjelaskan bagaimana cara meningkatkan spiritual dan moral, namun juga

mengajarkan hakikat cinta yang sebenarnya kepada Rasulullah saw, sekaligus

pengakuan bagi umat Nabi Muhammad saw dalam hal tidak punya amalan apapun

yang dapat diandalkan tanpa mendapatkan syafaatnya kelak di hari kiamat.

Imam al-Bushiri bernama lengkap Muhammad bin Sa’id bin Himad bin

Abdullah ash-Shanhaji al-Bushiri al-Mishri. Ia lahir di desa Dalas, salah satu desa Bani

Yusuf di dataran tinggi Mesir pada 609 H. Al-Bushiri kecil kemudian tumbuh di

Bushir, desa asal ayahnya. Nisbat atau sebutan al-Bushiri menunjuk pada desa

tersebut. Al-Bushiri wafat pada tahun 696 H, ketika berumur 87 tahun dan

dimakamkan di dekat makam Syaikh Abil ‘Abbas al-Mursi di kota Iskandaria, Mesir.

Sejak kecil al-Bushiri dididik ilmu Al-Qur’an oleh ayahnya secara langsung.

Ia besar dari keluarga yang sangat mencinta ilmu. Tidak heran jika ia kemudian

menjadi sosok ulama yang sangat alim. Selain dari ayahnya, al-Bushiri juga

mengembara untuk mencari ilmu kepada para guru. Semangatnya dalam mencari ilmu

menjadikan al-Bushiri sebagai ulama yang sangat alim sekaligus menjadi sufi dan

sastrawan. Bukti dari keluasan ilmunya bisa dilihat dari berbagai karyanya, yaitu al-

Hamziyyah, al-Haiyyah, al-Daliyyah, Qasîdahtul Mudhriyyah dan Tahdzîbul Fâdil

A’miyyah. Namun yang paling terkenal adalah al-Kawâkibud Duriyyah fî Madhi

Khairil Bariyyah yang lebih populer disebut dengan nama Qasidah Burdah.
Sejarah Qasidah Burdah Dalam Muqaddimah Syarhul Burdah karya Imam

al-Baijuri diceritakan, penulisan Qasidah Burdah bermula ketika Imam al-

Bushiri menderita sakit lumpuh. Ia tidak dapat melakukan apa pun, hanya berdiam

tanpa dapat melakukan apa-apa. Akhirnya Imam al-Bushiri mengisi kekosongan

waktunya dengan menulis pujian-pujian indah tentang Nabi Muhammmad saw

dengan harapan agar mendapatkan syafaat darinya, sebagaimana dijelaskan:

َّ ‫و َل ََّما نَام َ ر َأَ ى‬. ‫شف َ َع بِهَا ِإلَى الله ِ تَع َالَى‬
ِ ‫النبِي فِي م َنَامِه‬ ْ َ ‫ فَاسْ ت‬،‫روِيَ أَ َّنه أَ نْش َأَ هَذِه ِ الْق َصِ يْدَة َ حِيْنَ أَ صَابَه فَالِ ج‬،

َ ‫ح بيَِدِه ِ ال ْمبَارَكَة ِ بَد َن َه ف َعو ْف ِي‬


َ َ‫فَمَس‬

Artinya, “Diriwayatkan sesungguhnya Imam al-Bushiri menggubah Qasidah Burdah

ini ketika sedang menderita sakit lumpuh, kemudian ia memohon syafaat kepada Allah

swt dengannya. Lalu ketika tidur, beliau bermimpi bertemu Nabi Muhammad saw,

kemudian Nabi Saw mengusap badan al-Bushiri dengan tangan yang penuh berkah,

dan setelah itu al-Bushiri pun sembuh.” (Al-Baijuri, Syarhul Burdah, [Mesir, Maktabah

ash-Shafa: 2001], halaman 3).

Setelah bangun dari tidurnya dalam kondisi sehat, banyak orang mendatangi

rumahnya, dan kemudian berkata: “Wahai Tuanku, saya berharap Engkau bisa

memberikan qasidah yang di dalamnya ada pujian kepada Rasulullah.” “Qasidah mana

yang Engkau kehendaki?”, jawab Imam al-Bushiri. “Qasidah yang diawali dengan syair

‘amin tadzakkuri jirânin”, kata mereka. Kemudian Imam al-Bushiri memberikannya.

Setelah itu, banyak orang mengambil berkah darinya sekaligus menjadikannya sebagai

wasilah untuk kesembuhan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Baijuri,
bukan berarti memohon keselamatan dan kesehatan dengan lafal-lafal yang ada dalam

Qasidah Burdah dan menganggapnya memiliki otoritas untuk menyembuhkan

penyakit, namun murni bertawassul kepada Rasulullah saw dengan perantara Qasidah

Burdah.

Kelebihan qasidah yang satu ini dibandingkan dengan qasidah lain terletak dari cara

penyusunannya. Imam Al-Bushiri tidak hanya menulis pujian-pujian yang ditunjukkan

kepada Rasulullah saw dan peningkatan spiritualitas kepada Allah, namun juga

menjelaskan kelahiran Rasulullah saw, mukjizat-mukjizat Al-Qur’an, nasab dan

keturunan Rasulullah saw, mengingatkan manusia dari bahaya hawa nafsu,

menceritakan Isra’ Mi’raj, menjelaskan jihad dan peperangan Rasulullah saw, juga

menjelaskan tawasul dan permohonan syafaat, kemudian ditutup dengan munajat dan

ungkapan perasaan hina di hadapan Allah swt.


BARZANJI

Nama lengkapnya Sayyid Zainal ‘Abidin Ja’far bin Hasan bin ‘Abdul Karim al-Husaini

asy-Syahzuri al-Barzanji. Beliau kelahiran Madinah al-Munawwarah pada Kamis awal

Dzulhijah 1128 H/1716 M. Sayyid Ja’far al-Barzanji wafat pada Selasa setelah shalat

Ahsar 4 Sya’ban 1177 H/1763 M, dan dimakamkan bersama dengan kakeknya di

Baqi’ mennjadi satu dengan keturunan Rasulullah saw yang lain. (Muhammad al-

Qhat’ani, Maulidul Barzanji Tashih wa I’tinâ’, halaman 12).

Sayyid Ja’far al-Barzanji tumbuh besar dengan keilmuan. Semua waktu digunakannya

untuk mencari ilmu, menghafal Al-Qur’an, dan menghafal hadits sekaligus

memahaminya. Dalam catatan sejarahnya, Sayyid Ja’far menghafal Al-Quran 30 Juz

kepada Syaikh Ismail al-Yamani dan ditashih kepada Syekh Yusuf al-Asha’idi. Setelah

Al-Qur’an dihafalnya, ia mulai belajar ilmu tafsir Al-Qur’an dan hadits. Selanjutnya

mempelajari berbagai cabang-cabang ilmu lainnya kepara ulama di Masjid Nabawi.

Setelah semua cabang ilmu Islam dipelajari olehnya, ia menjadi ulama yang sangat

alim yang diakui keluasan ilmunya oleh berbagai ulama. Setelah perjalanan panjang

dalam menuntut ilmu, Sayyid Ja’far al-Barzanji menjadi mufti (ahli fatwa) mazhab

Syafi’iyah di Madinah, yaitu saat usianya mencapai 31 tahun.

Sayyid Ja’far al-Barzanji merupakan ulama yang punya suara merdu, tampan rupawan,

mulia perilakunya, sangat sopan, tinggi cita-citanya, bersungguh-sungguh ketika

membahas ilmu, dapat dipercaya. Karenanya banyak orang meminta pendapat dan

fatwa kepadanya karena keluasan ilmunya.


Syekh Abil Fadl Muhammad Khalil bin ‘Ali al-Muradi menyifati Sayyid Ja’far sebagai

figur kharismatik yang sangat mulia dan sangat alim, dan satu-satunya ulama luar

biasa pada zamannya. Al-Muradi mengatakan:

ِ ‫الشاف ِع َِّية ِ ب ِال ْمَدِي ْنَة‬ َّ ‫الشي ْخ الف َاضِل الع َالِم البَارِع ال َأ ْوح َد المتَف َن ِن مفَتِي‬
َّ ِ ‫السادَة‬ َّ ‫الشافِع ِي‬
َّ ‫هو َ ال ْم ْدنِي‬

ِ‫وَك َانَ فَرْد ًا م ِنْ أَ ف ْرَادِ ال ْعصْر‬. ِ ‫النب َوِ َّية‬


َّ

Artinya, “Ia (Sayyid Ja’far al-Barzanji) adalah ulama Madinah, bermazhab Syafi’i,

seorang syekh, orang mulia, alim, orator ulung, satu-satunya yang menguasai berbagai

cabang ilmu, mufti para syadah mazhab Syafi’iyah di Madinah an-Nabawiyah. Ia juga

menjadi satu-satunya ulama (yang memenuhi kriteria tersebut) pada zamannya.” (Al-

Muradi, Silkud Durâr fî A’yânil Qurûnits Tsâni ‘Asyar, [Beirut, Dârul Basyâ-iril

Islâmiyyah, cetakan ketiga: 1988], juz I, halaman 293).

Sekilas ‘Iqdul Jauhar fi Maulidin Nabiyyil Azhar, atau yang lebih dikenal dengan nama

Maulid Barzanji, Pujian-pujian yang ditulis oleh Sayyid Ja’far al-Barzanji murni atas

dasar kecintaannya kepada baginda Nabi Muhammad saw sekaligus sebagai upaya

untuk meningkatkan kecintaan umat Islam kepada nabinya. Secara ringkas Maulid

Barzanji memiliki paparan sebagai berikut: menjelaskan silsilah keturunan Nabi

Muhammad saw sampai pada moyangnya yang bernama ‘Adnan; menjelaskan masa

kecil dan kelebihannya saat itu; mengisahkan kisah Nabi Muhammad saw saat ikut

berdagang bersama pamannya ke kota Syam ketika berumur 12

tahun; pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah ra pada umur 25 tahun;

dan pengangkatannya menjadi rasul pada usia 40 tahun, dan dakwah Islamnya sampai

umur 62 tahun. Kemudian di akhir tulisan menjelaskan kewafatan Rasulullah saw

setelah semua tugasnya selesai secara sempurna. Maulid Barzanji juga menjelaskan
beberapa keistimewaan saat kelahiran Nabi Muhammad saw. Di antaranya, ia lahir

dalam keadaan langsung bersujud dan dalam keadaan bercelak. Dalam waktu yang

sama berbagai simbol-simbol kemusyrikan dihancurkan oleh Allah, seperti hancurnya

kerajaan Kisra yang besar, padamnya api sesembahan orang-orang Majusi yang

diyakini tidak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun. Di saat itu pula,

semua hewan dan dan makhluk selain manusia merasakan kemuliaan dan

keagungannya. Hal ini ditandai dengan berbuahnya semua pohon-pohon yang tidak

pernah berbuah dalam rangka menghormat dan menyambut kelahiran makhluk paling

baik dan paling mulia.

Syekh Muhammad Nawawi Banten, dalam kitab Madârijus Shu’ûd mengatakan,

Maulid Barzanji laksana media yang mampu menjadi sebab datangnya berbagai

kebaikan (sihrul halâl) dan orang yang membacanya akan mendapatkan keridhaan dari

Allah swt. (Al-Bantani, Madârijus Shu’ûd, halaman 3).

Syekh Nawawi Banten seolah hendak mengatakan, dengan membaca Maulid Barzanji

orang akan mendapatkan keutamaan yang sangat banyak, di antaranya akan

digampangkan semua urusannya, sebagaimana sihir, namun Maulid Barzanji seolah

sihir yang halal. Jika tujuan membacanya agar terhindar dari penyakit, maka ia akan

dijauhkan dari penyakit oleh Allah swt. Tidak hanya itu, dengan membacanya,

seseorang akan mendapatkan kehormatan berupa keridhaan dari Allah swt.


Kesimpulan

Isi dari ketiga maulid tersebut kurang lebih sama, yaitu tentang kecintaan kepada

Rasulullah SAW. Yang membedakan hanyalah adanya rowi di Maulid Barzanji dan

Maulid Simtudduror. Sedangkan Maulid Burdah berisikan Qasidah.

Anda mungkin juga menyukai