Anda di halaman 1dari 8

Ibnu Qayyim al-Jauziyah

Ibnu Qayyim al-Jauziyah


( Lahir: 691 H. - Wafat: 751 H. )
1. NAMA DAN KELAHIRAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
Namanya:
Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa'd bin Hariz bin Makki, Zainuddin az-Zura'i, kemudian adDimasyqi al-Hanbali.
Kunyahnya:
Abu Abdillah, dan gelarnya: Syamsuddin. Dia masyhur dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Dimutlakkan padanya secara ringkas dengan nama Ibnu al-Qayyim, dan tidak benar dimutlakkan
padanya dengan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Sebab pemimpin Madrasah al-Jauziyah di Damaskus
adalah ayah-nya, Abu Bakar Ibnu Ayyub az-Zura'i, lalu keturunannya dan anak cucu mereka setelah
itu masyhur dengannya. Kemudian salah satu dari mereka dipanggil dengan Ibnu Qayyim alJauziyah.
Sedangkan al-Jauzi adalah nisbat kepada suatu tempat di Bashrah. Ada yang mengatakan,
dinisbatkan kepada al-Jauz (buah kelapa) dan jual belinya.
Kelahirannya:
Dr. Bakar Abu Zaid mengatakan, Kitab-kitab biografi ber-sepakat bahwa sejarah kelahirannya pada
691 H.
Muridnya, ash-Shafadi menyebutkan kepastian hari dan bulannya, dengan men-jelaskan bahwa
kelahirannya pada tanggal 7, bulan Shafar dari tahun tersebut. Pendapatnya ini diikuti oleh Ibnu
Taghri Bardi, ad-Dawuri, dan as-Suyuthi. Aku belum pernah melihat ada orang yang menegaskan
tentang tempat kelahirannya, apakah di Zura' ataukah di Damaskus, selain al-Maraghi dalam
Thabaqat al-Ushuliy-yin. Dia mengatakan bahwa kelahirannya di Damaskus. Sementara mereka
menyatakan mengenai biografinya dan biografi ayahnya, 'Az-Zura'i al-Ashl (asalnya orang Zura'),
kemudian ad-Dimasyqi.' Seperti diketahui bahwa istilah mereka dengan pengungkapan ini terkadang
dimaksudkan untuk menunjukkan tempat kelahiran kemudian tempat berpindah bagi orang yang
dikemukakan bio-grafinya. Bisa juga yang mereka maksudkan bahwa orang tuanya atau kakekkakeknya, misalnya, dari negeri ini, kemudian berpin-dah ke negeri lainnya. Wallahu a'lam.
2. PUJIAN ULAMA KEPADA IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
Ibnu Rajab al-Hanbali 5 mengatakan, Dia bertafaqquh dalam madzhab, menguasai dan berfatwa,
konsisten menyertai Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah, dan menguasai berbagai disiplin ke-ilmuan
Islam. Dia memiliki pengetahuan tentang tafsir yang tidak tertan-dingi, ushuluddin, dan ilmu ini
berpuncak kepadanya, hadits berikut maknanya, fikihnya, dan detil-detil istinbath darinya yang tidak
bisa disamai oleh orang lain dalam hal tersebut, fikih dan ushulnya, bahasa Arab, dan dia memiliki
penguasaan yang luas terhadapnya, ilmu Kalam, nahwu dan selainnya.
Dia mengetahui ilmu Suluk (perilaku), ilmu kalam ahli Ta-sawwuf, isyarat, dan detil-detil mereka. Dia
memiliki penguasaan yang luas terhadap ilmu-ilmu ini. Ibnu Katsir mengatakan tentangnya, Dia
mendengarkan hadits, sibuk dengan ilmu, dan menguasai berbagai macam ilmu, terutama ilmu
tafsir, hadits, dan dua asal. Ketika Syaikhul Islam kembali dari negeri Mesir pada 712 H., dia
menyertainya hingga Syaikh wafat. Dia mengambil ilmu yang melimpah darinya, di samping
kesibukan yang telah dilakukannya sebelumnya. Dia terus mendapatkan tambahan di pintunya
dalam berbagai disiplin ilmu, di samping banyak melakukan pencarian di malam dan siang hari,
serta banyak berdoa. Ibnu Nashir ad-Dimasyqi mengatakan, Dia memiliki berba-gai macam disiplin
ilmu, terutama tafsir dan ushul berupa manthuq (tekstual) dan mafhum (kontekstual).
Adz-Dzahabi mengatakan, Dia menaruh perhatian terhadap hadits, matan dan rijalnya. Dia

menyibukkan diri dengan fikih, dan menerangkannya dengan bagus. Juga dalam bidang Nahwu, dan
mendalaminya, serta memahami dua ushul (fikih dan nahwu).
Asy-Syaukani mengatakan, Dia menguasai berbagai macam ilmu, mengungguli orang-orang
sejawatnya, masyhur di berbagai penjuru, dan memiliki pengetahuan yang luas tentang pendapatpendapat salaf.
Al-Qadhi Burhanuddin az-Zura'i mengatakan, Tidak ada di bawah kolong langit ini orang yang lebih
luas ilmunya daripada-nya. Dia mengajar di ash-Shadariyyah, dan memimpin di al-Jau-ziyah dalam
waktu yang lama, serta menulis dengan tangannya sesuatu yang tak terhitung banyaknya.
Al-Hafizh Ibnu Nashiruddin asy-Syafi'i mengatakan, Asy-Syaikh al-Allamah Syamsuddin, salah satu
ahli tahqiq, tokoh penga-rang, ahli tafsir yang jarang ditemui, memiliki karya-karya yang bagus
berkenaan dengan ilmu-ilmu syariat dan hakikat.
Al-Hafizh as-Suyuthi mengatakan, Dia menjadi salah seorang imam besar dalam bidang tafsir,
hadits, furu', dua pokok, dan bahasa Arab.
Al-Qadhi Abdurrahman at-Tafahni al-Hanafi mengatakan, (Beliau adalah) murid Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim al-Jauziyah yang karya-karyanya tersebar di berbagai penjuru. Dia mengatakan juga,
Seandainya dia (Ibnu Taimiyah) tidak memiliki peninggalan kecuali ilmu yang melekat pada
muridnya, Ibnu al-Qayyim, niscaya itu sudah cukup.
Mulla Ali al-Qari mengatakan mengenainya dan mengenai syaikhnya, Siapa saja yang menelaah
Syarah Manazil as-Sa`irin, maka tampak jelas baginya bahwa keduanya termasuk di antara tokoh
Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan di antara wali umat ini.
Shiddiq Hasan Khan mengatakan, Ulama agung (tokoh yang tinggi kedudukannya).
3. IBADAH DAN AKHLAK IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, Dia memiliki ibadah dan tahajjud, shalat panjang hingga
mencapai klimaksnya, beribadah, berdzikir, lahap dengan cinta, inabah (taubat), istighfar, butuh
kepada Allah, tunduk kepadaNya, dan bersimpuh di hadapanNya di pintu ubudiyahNya. Aku tidak
pernah menyaksikan orang seper-tinya dalam hal itu. Aku juga tidak pernah melihat ada orang yang
lebih luas ilmunya daripadanya, dan lebih tahu tentang makna al-Qur`an dan Sunnah serta hakikat
iman daripadanya. Namun dia bukanlah orang yang ma'shum. Tetapi aku tidak pernah melihat orang
sepertinya berkenaan dengan semua itu. Dia mendapatkan ujian, mendapatkan gangguan berkalikali, dan dipenjara bersama Syaikh Taqiyyuddin pada terakhir kalinya di penjara Damaskus dalam
keadaan terpisah darinya dan tidak dilepaskan kecuali sete-lah kematian Syaikh. Selama masa
dipenjarakan, dia menyibukkan diri membaca al-Qur`an dengan tadabur dan tafakur. Dari situ,
kebaikan yang banyak terbuka di hadapannya, mendapatkan aspek cita rasa yang sangat besar dan
akibat yang benar. Disebabkan hal tersebut, dia menguasai tentang ilmu-ilmu ahli ma'rifat dan menyeruak ke dalam relung mereka. Karya-karyanya sarat dengan hal itu.
Dia berhaji beberapa kali dan bermukim sementara waktu di Makkah. Penduduk mengutarakan
tentangnya, karena kegigihan beribadah dan banyak melakukan thawaf, sebagai suatu perkara yang
menakjubkan.
Ibnu Katsir mengatakan, Aku tidak pernah mengetahui di dunia ini, di zaman kami, orang yang lebih
banyak beribadah dari-padanya. Dia memiliki metode dalam shalat yang dia panjangkan sekali. Dia
memanjangkan rukuk dan sujudnya. Terkadang banyak sahabatnya yang mencelanya, tapi dia tidak
kembali dan tidak menarik diri darinya, semoga Allah merahmatinya.
Ibnu Hajar 5 mengatakan, Apabila dia telah Shalat Shubuh, maka dia duduk di tempatnya untuk
berdzikir kepada Allah hingga siang, dan dia mengatakan, 'Inilah waktu makanku. Seandainya aku
tidak makan, niscaya kekuatanku menjadi lemah.' Dia pernah mengatakan, 'Dengan kesabaran dan
kefakiranlah, kepemimpinan dalam agama akan diraih.' Dia juga mengatakan, 'Seorang peniti jalan
itu harus memiliki semangat yang bisa menjalankan dan me-naikkannya, dan ilmu yang bisa
menerangi dan menuntunnya'.
Ibnu Katsir 5 mengatakan, Dia adalah orang yang bagus bacaan Qur`annya dan akhlaknya, banyak

mencintai orang lain, tidak dengki kepada siapa pun, tidak menyakitinya, tidak memper-budaknya,
dan tidak dendam kepada siapa pun. Ringkasnya, dia sangat sedikit keburukannya dalam semua
urusan dan ihwalnya, sedangkan yang lebih mendominasinya adalah kebajikan dan akhlak yang
utama.
4. PENCARIAN ILMU YANG DILAKUKAN OLEH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
Dr. Bakar bin Abdullah Abu Zaid mengatakan, Siapa yang memperhatikan biografi Ibnu al-Qayyim 5,
maka dia mendapati-nya memiliki kecintaan yang jujur dalam menuntut ilmu, kesung-guhan yang
besar dalam mengkaji dan meneliti, kebebasan dalam mengambil ilmu dari para syaikh, baik dari
Hanabilah maupun selainnya, dan melebur di jalan ilmu. Hal itu telah bercampur de-ngan daging dan
darahnya sejak usia dini, serta bersemangat dalam mencari ilmu sejak masih kecil, pastinya pada
saat usia tujuh tahun. Hal itu tampak lewat perbandingan antara tarikh kelahirannya 691 H. dengan
tarikh kematian sejumlah syaikhnya yang dari mereka dia menimba ilmu.
Di antara syaikhnya, ialah asy-Syihab al-Abir (wafat 697 H.). Dengan demikian, dia mulai mendengar
pada saat berusia tujuh tahun. Sungguh Ibnu al-Qayyim memuji syaikhnya, asy-Syihab, dan dia
menyebutkan sekelumit dari ta'birnya terhadap mimpi dalam kitabnya, Zad al-Ma'ad, kemudian
mengatakan, Aku mendengar beberapa juz di hadapannya, dan aku belum diperkenankan membaca ilmu ini di hadapannya karena masih kecil, sementara kema-tian menjemputnya.' Di antara
syaikhnya, ialah Abu al-Fath al-Ba'labaki (wafat pada 709 H.), dan dia telah membaca sejumlah kitab
di hadapan-nya tentang nahwu, di antaranya Alfiyyah Ibnu Malik. Alfiyyah dan sejenisnya seperti alMuthawwalat (teks-teks panjang lainnya) ber-kenaan dengan bahasa Arab, tidak dipelajari kecuali
oleh orang yang mampu, menguasai, dan mencapai puncak dalam pencarian.
Artinya, dia telah menguasai bahasa Arab saat masih belum berusia 19 tahun.
Demikian pula tentang jumlah syaikh dan gurunya, sebagai-mana yang akan disebutkan tentang
guru-gurunya insya Allah. Se-sungguhnya banyaknya penyimakan dan gurunya, melimpahnya ilmu
yang dikuasainya, dan banyaknya keahliannya di dalamnya, padahal masa tinggalnya di dunia ini
(sekedar) hampir 60 tahun menunjukkan kepada kita juga atas kebenaran hasil (kesimpulan) ini.
5. UJIAN YANG DIHADAPI IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
Ustadz Abdul Azhim Abdussalam Syarafuddin mengatakan, Dia mendapatkan gangguan
sebagaimana yang menimpa Syaikh-nya. Dia dipenjara bersamanya di penjara setelah dihinakan,
diarak di atas unta sembari dicambuk dengan cemeti, dan dipenjara, karena mengingkari syadd arrihal (memaksakan perjalanan jauh) untuk menziarahi kubur al-Khalil (seorang penyair).
Dia juga mendapatkan ujian dalam hubungannya dengan para qadhi. Hal itu karena dia berfatwa
tentang bolehnya perlombaan dengan tanpa muhallil (penengah), lalu as-Subki mengingkarinya dan
memintanya menarik pendapatnya, maka dia menarik apa yang difatwakannya. Yang menjelaskan
(problematika) ini adalah bahwa asy-Sya-fi'iyah, Hanafiyyah dan Ahmad berpendapat bahwa jika
seseorang berlomba (pacuan kuda) dengan selainnya, dan salah satunya me-nyerahkan rahn
(taruhan), maka perlombaan pacuan kuda tersebut boleh. Apabila masing-masing dari keduanya
menyerahkan taruhan, maka perlombaan pacuan kuda tidak diperbolehkan, kecuali jika keduanya
memasukkan muhallil (peserta lomba yang tidak dipungut taruhan) antara keduanya. Hal itu karena
perlombaan pacuan kuda dengan tanpa keberadaannya dalam kondisi ini menjadi perjudian, karena
masing-masing dari keduanya bertaruh untuk mengambil jika menang dan diambil jika kalah.
Sekiranya keduanya memasukkan muhallil di antara kedua-nya, maka boleh bertaruh. Dia adalah
peserta lomba ketiga yang membawa kuda yang bisa menandingi kuda keduanya, dan dia tidak
membayar sedikit pun. Jika dia bisa mengalahkan keduanya, maka dia mengambil taruhan yang
diserahkan keduanya. Jika muhallil bisa mengalahkan salah satunya, maka dia dan pemenang
berserikat pada harta orang yang terakhir. Jika keduanya menga-lahkan muhallil, maka keduanya
mengambil taruhan yang telah keduanya keluarkan, dan muhallil tidak menanggung kerugian sedikit
pun. Pendapat mereka diselisihi Ibnu al-Qayyim, lalu dia berpen-dapat tentang bolehnya perlombaan
pacuan kuda dengan tanpa muhallil. Bahkan, dia cenderung tidak membolehkan muhallil. Pen-dapat
yang disinyalir darinya dalam masalah ini, ialah perkataan-nya, Pendapat tentang muhallil (peserta
lomba yang tidak dipungut taruhan) adalah madzhab yang diambil manusia dari Sa'id bin alMusayyab. Adapun sahabat, maka tidak dihafal dari seorang pun dari mereka bahwa dia
mensyaratkan muhallil atau pemberi taruhan, padahal mereka banyak melakukan perlombaan dan
memberikan jaminan. Bahkan, yang dihafal dari mereka ialah kebalikannya.

Dia mengemukakan dalil-dalil dari kalangan yang berpenda-pat tentang muhallil dan
membantahnya, kemudian mengemuka-kan dalil-dalil yang melarang muhallil. Di antara yang
disebutkan darinya sebagai penjelasan tentang akibat yang ditimbulkan pada muhallil berupa
kebatilan pendapatnya, dan mengenai hal ini ada dua macam kerusakan:
Pertama, keluar dari keharusan berlaku adil, yang notabene adalah penyerta syariat yang sempurna,
berputar bersamanya, karena porosnya adalah keadilan. Kedua, membuat orang yang menaati Allah
dan RasulNya, yang menyerahkan taruhan karena berkeinginan belajar perlom-baan (pacuan kuda)
agar memiliki kemampuan berjihad, menjadi lebih buruk keadaannya daripada orang pinjaman ini
yang nota-bene adalah penyusup. Bahkan, penyusup ini, yaitu muhallil, hanya memperhatikan
kepentingan dirinya sendiri.
Dia dipenjara bersama Syaikhnya dalam keadaan terpisah darinya dan tidak dilepaskan kecuali
setelah kematian Syaikh. Selama masa dipenjara, dia menyibukkan diri membaca al-Qur`an dengan
tadabur dan tafakur. Dari sanalah, kebaikan yang banyak terbuka di hadapannya.
Dia berhaji beberapa kali, dan bermukim sementara waktu di Makkah. Penduduk mengutarakan
tentang-nya, karena kegigihan beribadah dan banyak melakukan thawaf, dengan suatu yang
menakjubkan. Dr. Bakar bin Abdullah Abu Zaid mengatakan yang ringkas-nya,
Banyak fatwa dan aqa'id (akidah) yang masyhur darinya, yang karena sebagiannya dia
mendapatkan gangguan, di antaranya sebagai berikut:
1. Masalah talak tiga dengan satu lafazh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 5 berfatwa bahwa talak tiga
dengan satu lafazh dianggap satu. Ibnu al-Qayyim berfatwa ten-tang masalah ini sejalan dengan
pilihan syaikhnya, Ibnu Taimiyah, sedangkan penduduk bumi pada umumnya menerapkan bahwa
talak tiga dengan satu lafazh dianggap tiga, bukan satu. Ini adalah perkara yang karenanya
menimbulkan pengingkaran dalam jiwa, terutama jiwa yang memiliki wawasan luas tentang sejarah
fikih dan ilmu perselisihan.
Murid-muridnya menyebutkan gangguan yang menimpanya dikarenakan fatwa ini. Ibnu Katsir
mengatakan, Dia berfatwa tentang masalah talak sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Taqiy-yuddin
Ibnu Taimiyah, dan karena sebab itu terjadi kerenggangan hubungan yang terlalu panjang untuk
disebutkan dengan Qadhi al-Qudhah Taqiyyuddin as-Subki dan selainnya.
2. Fatwanya tentang bolehnya perlombaan (pacuan kuda) dengan tanpa muhallil (peserta lomba
yang tidak dipungut ta-ruhan).
3. Pengingkarannya terhadap syadd ar-rihal (memaksakan perjalanan jauh) ke kubur al-Khalil.
Ibnu al-Qayyim berusaha sekuat tenaga mengembalikan khalaf ke jalan Salaf. Ini menyelisihi
sesuatu yang dianut oleh strata pemikiran di masyarakat di mana dia hidup. Sebab masyarakat telah
dikuasai oleh sejumlah kesalahan dan dikepung oleh sejumlah keyakinan yang tidak sejalan dengan
madzhab salaf. Dan termasuk hal yang tidak bisa dihindarkan bila Ibnu al-Qayyim mendapatkan
gangguan sedemikian rupa, ketika menyuarakan kebenaran secara lantang dalam masyarakat
seperti ini.
Di antara amalan yang diperhitungkan sebagai qurabat (pen-dekatan diri kepada Allah), ialah syadd
ar-rihal (memaksakan per-jalanan jauh) ke kubur al-Khalil. Ibnu al-Qayyim mengingkari hal itu,
menyampaikan kepada orang-orang sezamannya, baik masya-rakat umum maupun terpelajar, dan
menjelaskan kepada mereka bahwa syadd ar-rihal (memaksakan perjalanan jauh) ini merupakan
perkara yang diingkari dalam agama dan bid'ah yang menyelisihi jalan yang lurus. Hal itu
mengakibatkan pergolakan yang mence-ngangkan, sehingga dia dipenjarakan karenanya. Hal ini
dikatakan oleh Ibnu Rajab, Dia dipenjara pada satu masa, karena mengingkari syadd ar-rihal
(memaksakan perjalanan jauh) ke kubur al-Khalil.
6. GURUNYA DAN MURID IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
Gurunya:
Ayahnya, Abu Bakar Ibnu Ayyub Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Abd ad-Da`im, Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah, asy-Syihab al-'Abir, Ibnu asy-Syirazi, al-Majdu al-Harrani, Ibnu Maktum, al-Kahhali, alBaha` bin Asakir, al-Hakim Sulaiman Taqiyyuddin Abu al-Fadhl bin Hamzah, Syarafuddin bin
Taimiyah, saudara Syaikhul Islam, al-Mutha'im, Fathimah binti Jauhar, Majduddin at-Tunisi, al-Badr
bin Jama'ah, Abu al-Fath al-Ba'labaki, ash-Shaff al-Hindi, az-Zam-lakani, Ibnu Muflih, al-Mizzi.
Muridnya:
Al-Burhan bin al-Qayyim al-Jauzi, putranya Burhanuddin, Ibnu Katsir, Ibnu Rajab, Syarafuddin bin alQayyim, putranya Abdullah bin Muhammad, as-Subki, Ali bin Abdul Kafi bin Ali bin Tamam as-Subki,
adz-Dzahabi, Ibnu Abdil Hadi, an-Nabulsi, al-Ghazi, al-Fairuz Abadi al-Muqri.
7. HAJI DAN MUJAWARAH YANG DILAKUKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
Dr. Bakar Abu Zaid mengatakan,
Murid terdekatnya, al-Allamah Ibnu Rajab 5 menyebutkan kepada kita bahwa syaikhnya, Ibnu alQayyim 5 berhaji beberapa kali dan bermukim sementara waktu di Makkah. Lalu dia menga-takan,
Dia haji berkali-kali dan bermukim sementara waktu di Makkah. Penduduk Makkah membicarakan
tentangnya, karena kegigihannya beribadah dan banyak melakukan thawaf, sebagai suatu yang
menakjubkan.
Ibnu al-Qayyim menyebutkan di sejumlah kesempatan dalam kitabnya tentang sebagian ihwalnya,
saat dia berada di Makkah semoga Allah senantiasa menyucikan dan mengaman-kannya, di
antaranya sebagai berikut: 1. Dia menulis kitabnya, Miftah Dar as-Sa'adah wa Mansyur Wilayah alIlm wa al-Iradah, saat bermukimnya di Makkah semoga Allah memeliharanya. Dia mengatakan di
akhir mukadimahnya, Ini adalah sebagian hidangan dan hadiah yang telah Allah bukakan kepadaku
ketika aku memfokuskan diri untukNya di sisi BaitNya, menjatuhkan diri di pintuNya dalam keadaan
miskin lagi hina, mengharapkan hembusan dan kekuatanNya di BaitNya, baik pagi maupun petang.
Maka dia pun (yakni dirinya) tidak terelakkan untuk mengutarakan segala hajatnya, dan
menggantungkan harapannya kepadaNya. Lalu dia memasuki pagi dalam keadaan bermukim di
pintuNya, dan singgah di tempat naunganNya.
2. Dia mencari kesembuhan dengan air Zamzam. Dia menga-takan, Pada saat aku bermukim di
Makkah, aku terkena berma-cam-macam penyakit, sedangkan di sana tidak ada tabib dan tidak ada
obat-obatan sebagaimana di kota-kota lainnya. Maka aku ber-obat dengan madu dan air Zamzam,
ternyata aku melihat suatu yang menakjubkan di dalamnya berupa kesembuhan.
3. Dia mengobati dirinya dengan ruqyah dan minum air Zamzam. Dia mengatakan dalam kitabnya,
Madarij as-Salikin, saat membicarakan tentang ruqa (jamak dari ruqyah), Aku telah men-coba hal itu
pada diriku dan pada orang selainku perkara-perkara yang menakjubkan, terutama saat bermukim di
Makkah. Aku mengalami penyakit yang mengganggu hingga nyaris aku tidak bisa bergerak, dan hal
itu terjadi pada saat thawaf dan selainnya. Aku pun bersegera membaca al-Fatihah, dan
mengusapkannya pada tempat yang sakit, ternyata seakan-akan kerikil jatuh. Aku telah mencoba hal
itu berkali-kali.
Aku mengambil sewadah air Zamzam, lalu aku membacakan al-Fatihah padanya dan meminumnya,
ternyata dengan hal itu aku mendapatkan manfaat dan kekuatan yang belum pernah aku jumpai
sebagai obat serta perkara yang lebih besar daripada itu. Tetapi itu tergantung kekuatan iman dan
keyakinan yang benar. Hanya Allah-lah tempat untuk dimohon pertolonganNya.
4. Tafa`ul (optimisme)nya tatkala putranya tersesat jalan pada hari Tarwiyah.
Dia mengatakan dalam Miftah Dar as-Sa'adah di akhir pem-bahasan tentang fa`l (optimisme), Aku
kabarkan kepadamu tentang diriku mengenai kasus ini, yaitu aku kehilangan salah satu anakku pada
hari Tarwiyah di Makkah, sedangkan dia masih anak-anak. Aku berusaha mencari-nya, dan
memanggilnya di semua rombongan hingga waktu hari kedelapan, ternyata aku tidak mendapatkan
beritanya. Aku pun putus asa karenanya, maka seseorang berkata kepadaku, 'Ini adalah kelemahan,
naiklah dan masuklah sekarang ke Makkah lalu carilah.' Aku pun menaiki kuda, ternyata aku
menjumpai segolongan orang berbincang-bincang dalam kegelapan malam di jalan. Salah satu dari
mereka mengatakan, 'Suatu kampung telah kehilangan sesuatu lalu aku menemukannya.' Aku tidak
tahu, apakah selesainya kata-katanya itu lebih cepat ataukah didapatinya anak itu pada sebagian
penduduk Makkah, lalu aku mengenalinya lewat suaranya.

8. KARYA TULIS IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH 5 YANG SUDAH DICETAK


1. Ijtima' al-Juyusy al-Islamiyyah 'ala Ghazwi al-Mu'aththilah wa al-Jahmiyyah, dicetak di India pada
1314 H., kemudian dicetak di Mesir pada 1351 H.
2. Ahkam Ahl adz-Dzimmah, dicetak dengan tahqiq Shubhi ash-Shalih dalam dua jilid.
3. Asma` Mu`allafat Ibnu Taimiyah, risalah ini dicetak dengan tahqiq Shalahuddin al-Munajjid.
4. I'lam al-Muwaqqi'in an Rabb al-Alamin, dicetak dalam empat jilid di percetakan al-Muniriyah dan
percetakan as-Sa'adah.
5. Ighatsah al-Lahfan min Mashayid asy-Syaithan, dicetak berkali-kali dalam dua jilid.
6. Ighatsah al-Lahfan fi Hukm Thalaq al-Ghadhban, dicetak dengan tahqiq Muhammad Jamaluddin
al-Qasimi. 7. Bada`i' al-Fawa`id, dicetak di Mesir pada percetakan al-Mu-niriyyah dengan tanpa
tanggal, dan ini empat juz dalam dua jilid.
8. At-Tibyan fi Aqsam al-Qur`an, dicetak beberapa kali.
9. Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-Maulud, dicetak beberapa kali, di antaranya dua cetakan bertahqiq:
salah satunya cetakan Abdul Hakim Syarafuddin al-Hindi 380 H., dan kedua, dengan tahqiq Abdul
Qadir al-Arna`uth, 391 H.
10. Tahdzib Mukhtashar Sunan Abi Dawud, dicetak bersama Mukhtashar al-Mundziri, dan syarahnya
(Ma'alim as-Sunan), karya al-Khaththabi dalam delapan jilid kecil.
11. Jala` al-Afham fi ash-Shalah wa as-Salam ala Khair al-Anam.
12. Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah, dicetak di Mesir berkali-kali.
13. Hukm Tarik ash-Shalah, dicetak berkali-kali di Mesir.
14. Ad-Da` wa ad-Dawa`, dicetak dengan judul al-Jawab al-Kafi Liman Sa`ala an ad-Dawa` asySyafi.
15. Ar-Risalah at-Tabukiyyah, dicetak di percetakan as-Salafiy-yah di Mesir 1347 H.
16. Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin, dicetak per-tama kalinya di percetakan asSa'adah, Mesir, 1375 H.
17. Ar-Ruh, dicetak berkali-kali.
18. Zad al-Ma'ad fi Hadyi Khair al-Ibad, dicetak berkali-kali dalam empat jilid, dan terakhir dicetak
dalam lima jilid.
19. Syifa` al-Alil fi Masa`il al-Qadha` wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta'lil, dicetak dua kali.
20. Ath-Thibb an-Nabawi, dicetak secara tersendiri dua kali, dan ini diambil dari Zad al-Ma'ad.
21. Thariq al-Hijratain wa Bab as-Sa'adatain, dicetak berkali-kali.
22. Ath-Thuruq al-Hakimah fi as-Siyasah asy-Syar'iyyah, dicetak berkali-kali.
23. Uddah ash-Shabirin wa Dzakhirah asy-Syakirin, dicetak ber-kali-kali.
24. Al-Furusiyyah, dan ini adalah ringkasan dari al-Furusiyyah asy-Syar'iyyah.
25. Al-Fawa`id, dan ini bukan Bada`i' al-Fawa`id, dicetak per-tama kalinya di percetakan alMuniriyyah. 26. Al-Kafiyah asy-Syafiyah fi al-Intishar li al-Firqah an-Najiyah, dicetak berkali-kali dan
masyhur dengan nama an-Nuniyyah.

27. Al-Kalim ath-Thayyib wa al-Amal ash-Shalih, dicetak berkali-kali di Mesir dan India, dengan nama
al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib.
28. Madarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaka Na'bud wa Iyyaka Nasta'in, dicetak berkali-kali dalam
tiga jilid dengan nama ini. Ini adalah syarah Manazil as-Sa`irin, karya Syaikhul Islam al-Anshari.
29. Miftah Dar as-Sa'adah wa Mansyur Wilayah al-Ilm wa al-Iradah, dicetak berkali-kali. Kitab ini
berisikan tentang mengetahui ilmu dan keutamaannya, mengetahui hikmah Allah pada penciptaanNya dan hikmahNya dalam tasyri'Nya, serta mengenal kenabian dan kebutuhan yang sangat
besar kepadanya.
30. Al-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha'if, dicetak ber-kali-kali, dan dicetak dengan nama alManar.
31. Hidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-Nashara, dicetak berkali-kali.
9. WAFAT IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
Dia 5 wafat pada malam Kamis, 13 Rajab waktu adzan Isya 751 H. dalam usia 60 tahun, semoga
Allah merahmatinya. Dia dishalatkan keesokan harinya setelah shalat Zhuhur di al-Jami' al-Umawi,
kemudian di Jami' Jarrah, dan manusia berdesak-desakan untuk melayat jenazahnya.
Ibnu Katsir mengatakan, Jenazahnya disaksikan oleh penuh manusia, disaksikan para qadhi, para
tokoh, dan orang-orang shalih, baik dari kalangan khusus maupun umum. Orang-orang berdesakdesakan untuk bisa memikul kerandanya.
Dia dimakamkan di Damaskus, di pekuburan al-Bab ash-Shaghir di sisi ibunya semoga Allah
merahmati keduanya. Seba-gian muridnya menyebutkan bahwa tidak lama sebelum kematian-nya,
dia bermimpi melihat Syaikh Taqiyyuddin, dan bertanya kepadanya tentang kedudukannya, maka
Syaikh mengisyaratkan ketinggian kedudukannya melebihi kedudukan para tokoh, kemu-dian
mengatakan, 'Engkau sebentar lagi akan menyusul kami, tetapi engkau sekarang berada pada
tingkatan Ibnu Khuzaimah.' Wallahu a'lam.

Nasihat Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Kepada Para Pengikut


Sunnah
--------------------------------------------------------------------------------------------------Ibnu Qayyim Al Jauziyah

Apabila seorang mukmin menghendaki supaya Allah Subhanahu wata'ala


menganugerahinya bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan
sunnah Rasul-Nya Shallallahu'alaihi wasallam dan pemahaman akan kitab-Nya dan
diperlihatkan hawa nafsu, bidah, kesesatan dan jauhnya manusia dari shirothol
mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Apabila
ia menghendaki untuk menempuh jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk
dicemooh oleh orang-orang bodoh dan ahlul bidah, dicela, dihina dan ditahdzir oleh
mereka. Sebagaimana pendahulu mereka melakukannya kepada panutan dan imam kita
Shallallahu alaihi wa Salam.
Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada
mereka, maka mereka akan murka dan membuat makar kepadanya...
Sehingga dirinya menjadi orang yang :
Asing di dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka

Asing di dalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah dikarenakan berpegangnya mereka


dengan kebidahan
Asing di dalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka
Asing di dalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka
Asing di dalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka
Asing di dalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya
Asing di dalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di
atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka
Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang
masyarakat tidak ada yang mau menolong dan membantunya.
Karena dirinya adalah :
Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh
Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bidah
Penyeru kepada Allah Subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihi wasallam di
tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bidah
Penyeru kepada yang maruf dan pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum
yang menganggap suatu hal yang maruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang
mungkar sebagai maruf

Anda mungkin juga menyukai