Anda di halaman 1dari 27

BAB III

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH

A. Biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyah


a. Riwayat Hidup Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah adalah seorang ulama yang cukup
terkenal. Beliau termasuk seorang ahli ilmu fiqh kenamaan dan
mujtahid yang bermadzhab Hambali. Pemikiran beliau mengenai
pendidikan adalah bahwa pendidikan harus berlandaskan kepada akal,
jiwa, dan jasmani. Menurutnya, akal, jiwa, dan jasmani merupakan
wujud totalitas unsur yang melatarbelakangi adanya gerak dan langkah
manusia dalam kehidupannya. ( Susanto. 2010: 32)
Nama lengkap dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyah adalah Muhammad
Ibn Abi Bakr ibn Ayyub ibn Sa’id ibn Hariz al-Zuriy al-Dimasyqiy Abu
Abdillah Syams al-Din. (Supriyatno. 2011: 15). Nama pendeknya
adalah Syamsuddin Muhammad. (Hidayatullah dan Latif. 2005: 123).
Dia dilahirkan pada tanggal 7 Safar 691 H dan bertepatan pada tahun
1292 M di Azra (dulu bernama Zar), salah satu desa di Damsyiq, dan
wafat pada tanggal 13 Rajab 751 H di Damsyiq, pada usia 60 tahun,
dimakamkan ditanah pekuburan wakaf al-Bab al-Saghir di pinggir kota
tersebut. ( Suuwito dan Faozan. 2011: 15)
Beliau adalah putra seorang ulama pendiri Madrasah “Al-Jauziat”
(Qayyim al-Jauziat) di Damaskus bernama Abu Bakar bin Ayyubm
seorang ulama yang khusyu’, pintar dan bijaksana keturunan keluarga
besr Zur’i, sebuah marga yang cukup berpengaruh di Damaskus. Dari
situlah beliau terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah merupakan anak sulung dari dua
bersaudara. Adik lelaki satu-satunya bernama Abdul Faraj
Abdurrahman bin Abu Bakar. Ibnu Qayyim menikah dengan seorang
wanita shalehah penduduk Damaskus dan dikaruniai dua orang putra
yang bernama:

47
48

1. Abdullah, lahir pada tahun 724 H dan meninggal dunia tahun 756
H, ia adalah anak yang sangat cerdas dan memiliki daya ingat
yang cukup kuat. Konon pada usia kurang lebih sembilan tahun,
ia sudah sanggup hafal surat al-A’raf hanya dalam tempo dua
hari. Ia juga mengajar di Madrasah Shadriyah sesudah ayahnya.
Banyak orang termasuk gurunya dibuat kagum oleh
kecerdasannya. Keberaniannya sungguh luar biasa dalam
memerangi perbuatan-perbuatan yang dianggap bid’ah.
2. Ibrahim. Lahir pada tahun 726 H dan meninggal dunia tahun 767
H, seperti kakaknya, Ibrahim juga sangat cerdas. Ia menguasai
berbagai bidang ilmu, terutama ilmu nahwu dan ilmu fiqh. Ia
berguru pada ayahnya dan ulama-ulama besar lain yang banyak
terdapat di Damaskus. Ia juga mengajar di Madrasah Shadritah
dalam mata pelajaran ilmu nahwu. Bahkan ia sanggup mengulas
kitab Alfiyah Ibnu Malik dengan sempurna. (Hidayatullah dan
Latif. 2005: 124)
b. Perjuangannya Dalam Menuntut Ilmu
Dia memiliki keinginan yang sungguh-sungguh dalam menuntut
ilmu. Tekad luar biasa dalam mengkaji dan menelaah sejak masih muda
belia. Dia memulai perjalanan ilmiahnya pada usia tujuh tahun. Allah
mengkaruniainya bakat melimpah yang ditopang dengan daya akal luas,
pikiran cemerlang, daya hapal mengagumkan, dan energi yang luar
biasa. Karena itu, tidak mengherankan jika dia ikut berpartisipasi aktif
dalam berbagai lingkaran ilmiah para guru (syaikh) dengan semangat
keras dan jiwa energis untuk menyembuhkan rasa haus dan memuaskan
obsesinya terhadap ilmu pengetahuan. Sebab itu, dia menimba ilmu dari
setiap ulama spesialis sehingga dia menjadi ahli dalam ilmu-ilmu Islam
dan mempunyai andil besar dalam berbagai disiplin ilmu.(Al-Katani.
2004: 3)
49

c. Guru-Gurunya
Ibnu Qayyim telah berguru pada sejumlah ulama terkenal.
Mereka inilah yang memiliki pengaruh dalam pembentukan pemikiran
dan kematangan ilmiahnya. Inilah nama guru-guru Ibnu Qayyim.
1. Ayahnya Abu Bakr bin Ayyub (Qayyim al-Jauziyah) di mana Ibnu
Qayyim mempelajari ilmu faraid. Ayahnya memiliki ilmu
mendalam tentang faraid.
2. Imam al-Harran, Ismail bin Muhammad al-Farra', guru mazhab
Hanbali di Dimasyq. Ibnu Qayyim belajar padanya ilmu faraid
sebagai kelanjutan dari apa yang diperoleh dari ayahnya dan ilmu
fikih.
3. Syarafuddin bin Taimiyyah, saudara Syaikh al-Islam Ibnu
Taimiyyah. Dia menguasai berbagai disiplin ilmu.
4. Badruddin bin Jama'ah. Dia seorang imam masyhur yang
bermazhab Syafi'i, memiliki beberapa karangan.
5. Ibnu Muflih, seorang imam masyhur yang bermazhab Hanbali. Ibnu
Qayyim berkata tentang dia, "Tak seorang pun di bawah kolong
langit ini yang mengetahui mazhab imam Ahmad selain Ibnu
Muflih."
6. Imam al-Mazi, seorang imam yang bermazhab Syafi'i. Di samping
itu, dia termasuk imam ahli hadits dan penghafal hadits generasi
terakhir.
7. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah Ahmad bin al-Halim bin
Abdussalam an-Numairi. Dia memiliki pengaruh sangat besar
dalam kematangan ilmu Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim menyertainya
selama tujuh belas tahun, sejak dia menginjakkan kakinya di
Dimasyq hingga wafat. Ibnu Qayyim mengikuti dan membela
pendapat Ibnu Taimiyyah dalam beberapa masalah. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya penyiksaan yang menyakitkan dari orang-
orang fanatik dan taklid kepada keduanya, sampai-sampai dia dan
50

Ibnu Taimiyyah dijebloskan ke dalam penjara dan tidak dibebaskan


kecuali setelah kematian Ibnu Taimiyyah. (Al-Katani. 2004: 4)
d. Disiplin Ilmunya
Disiplin ilmu yang didalami dan dikuasainya hampir meliputi
semua ilmu syariat dan ilmu alat. Ibnu Rajab, muridnya, mengatakan,
"Dia pakar dalam tafsir dan tak tertandingi, ahli dalam bidang
ushuluddin dan ilmu ini mencapai puncak di tangannya, ahli dalam
fikih dan ushul fikih, ahli dalam bidang bahasa Arab dan memiliki
kontribusi besar di dalamnya, ahli dalam bidang ilmu kalam, dan juga

ahli dalam bidang tasawuf." Dia berkata juga, "Saya tidak melihat ada
orang yang lebih luas ilmunya dan yang lebih mengetahui makna Al-
Qur'an, Sunnah dan hakekat iman daripada Ibnu Qayyim. Dia tidak
makshum tapi memang saya tidak melihat ada orang yang
menyamainya."
Ibnu Katsir berkata, "Dia mempelajari hadits dan sibuk dengan

ilmu. Dia menguasai berbagai cabang ilmu, utamanya ilmu tafsir, ilmu

hadits, ilmu ushuluddin, dan ushul fikih."

Adz-Dzahabi berkata, "Dia mendalami hadits, matan dan

perawinya. Dia menggeluti dan menganalisa ilmu fikih. Dia juga

menggeluti dan memperkaya khasanah ilmu nahwu, ilmu ushuluddin,

dan ushul fikih."

Ibnu Hajar berkata, "Dia berhati teguh dan berilmu luas. Dia
menguasai perbedaan pendapat para ulama dan mazhab-mazhab salaf."
As-Suyuthi berkata, "Dia telah mengarang, berdebat, berijtihad
dan menjadi salah satu ulama besar dalam bidang tafsir, hadits, fikih,
ushuluddin, ushul fikih, dan bahasa Arab.
Ibnu Tughri Burdi berkata, "Dia menguasai beberapa cabang
ilmu, di antaranya tafsir, fikih, sastra dan tatabahasa Arab, hadits, ilmu-
51

ilmu ushul dan furu'. Dia telah mendampingi Syaikh Ibnu Taimiyyah
sekembalinya dari Kairo tahun 712 H dan menyerap darinya banyak
ilmu. Karena itu, dia menjadi salah satu tokoh zamannya dan
memberikan manfaat kepada umat manusia. (Al-Katani. 2004: 4)
e. Murid-murid Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Manusia mengambil manfaat dari ilmu Ibnu Qayyim. Karena itu, dia
memiliki beberapa murid yang menjadi ulama terkenal. Di antaranya
adalah sebagai berikut.
1. Al-Burhan Ibnu Qayyim. Dia adalah putra Burhanuddin Ibrahim,
seorang ulama nahwu dan fikih yang mempuni. Dia belajar dari
ayahnya. Dia telah berfatwa, mengajar, dan namanya dikenal.
Metodenya sama dengan sang ayah. Dia memiliki keahlian dalam
bidang tatabahasa Arab. Karena itu, dia menulis komentar atas kitab
Alfiyah IbniMalik. Kitab komentar (syarh) itu dia namakan Irsyad
al-Salik ila Halli Alfiyah Ibni Malik.
2. Ibnu Katsir. Dia adalah Ismail 'Imaduddin Abu al-Fida' bin 'Umar
bin Katsir ad- Dimasyqi asy-Syafi'i, seorang imam hafizh yang
terkenal.
3. Ibnu Rajab. Dia adalah Abdurrahman Zainuddin Abu al-Faraj bin
Ahmad bin Abdurrahman yang biasa digelar dengan Rajab al-
Hanbali. Dia memiliki beberapa karangan yang bermanfaat.
4. Syarafuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Dia adalah putra Abdullah
bin Muhammad. Dia sangat brilian. Dia mengambil alih pengajaran
setelah ayahnya wafat di ash- Shadriyah.
5. As-Subki. Dia adalah Ali Abdulkafi bin Ali bin Tammam as-Subki
Taqiyuddin Abu al-Hasan.
6. Adz-Dzahabi. Dia adalah Muhammad bin Ahmad bin 'Usman bin
Qayimaz adz- Dzahabi at-Turkmani asy-Syafi'i. Dia adalah seorang
imam, hafizh yang memiliki banyak karangan dalam hadits dan
Iain-lain.
52

7. Ibnu Abdulhadi. Dia adalah Muhammad Syamsuddin Abu Abdullah


bin Ahmad bin Abdulhadi al-Hanbali. Dia adalah seorang hafizh
yang kritis.
8. An-Nablisi. Dia adalah Muhammad Syamsuddin Abu Abdullah an-
Nablisi al- Hanbali. Dia mempunyai beberapa karangan, di
antaranya kitab Mukhtashar Thabaqat al-Hanabilah.
9. Al-Ghazi. Dia adalah Muhammad bin al-Khudhari al-Ghazi asy-
Syafi'i. Nasabnya sampai kepada Zubair bin Awwam r.a.
10. Al-Fairuzabadi. Dia adalah Muhammad bin Ya'qub al-Fairuzabadi
asy-Syafi'i. Dia pengarang sebuah kamus dan karangan-karangan
lain yang baik. (Al-Katani. 2004: 5)
f. Karya Ibnu Qayyim al-Juziyah
Ibnu Qayyim adalah orang yang sangat banyak mengarang buku.
Hal inilah yang menyebabkan inventarisasi karya-karyanya secara teliti
menjadi sulit. Inilah daftar buku-buku karangannya yang diberikan para
ulama.
1. Al-Ijtihad wa at-Taqlid. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab
Miftah Dar As-Sa'adah.
2. Ijtima' al-Juyusy al-Islamiyah. Telah dicetak berulang kali.
3. Ahkam Ahl adz-Dzimmah. Telah dicetak dalam dua jilid yang
ditahkik oleh Shubhi ash-Shalih.
4. Asma' Muallafat Ibnu Taimiyyah. Sebuah disertasi yang diterbitkan
atas tahkik Shalahuddin al-Minjid.
5. Ushul at-Tafsir. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Jala'
al-Afham.
6. Al-A'lam bi Ittisa 'i Thuruq al-Ahkam. Dia menyebutkannya dalam
kitab Ighatsah al-Luhfan.
7. A'lam al-Muaqqi 'in 'an Rabb al-Alamin. Telah dicetak berulang
kali dalam empat jilid.
8. Ighatsah al-Luhfan min Mashadir asy-Syaithan. Telah berkali-kali
dicetak dalam dua jilid.
53

9. Ighatsah al-Luhfan fi Hukm Thalaq al-Ghadban. Sebuah disertasi


yang telah dicetak atas tahkik Muhammad Jamaluddin al-Qasimi.
10. Iqtida' adz-Dzikr bi Hushul al-Khair wa Daf'i asy-Syar. Ash-Shufdi
menyebutkannya dalam kitab al-Wafi bi al-Wafiat (11/271) dan
Ibnu Tughri Burdi dalam kitab al-Manhal ash-Shafi 011/62), sebuah
manuskrip.
11. Al-Amali al-Makkiyah. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab
Badai'u al- Fawaid.
12. Amtsal al-Qur'an. Telah tercetak.
13. Al-Ijaz. Pengarang kitab Kasyf azh-Zhunun (1/206) dan al-Baghdadi
dalam kitab Hadiah al-Arifin (11/158) menisbahkannya kepada
Ibnu Qayyim.
14. Badai' al-Fawaid. Tercetak dalam dua jilid.
15. Buthlan al-Kimiya' min Arba'in Wajhan. Buku ini telah diisyaratkan
oleh Ibnu Qayyim dalam buku Miftah Dar as-Sa 'adah.
16. Bayan al-Istidlal 'ala Buthlan Isytirath Muhallil as-Sibaq wa an-
Nidhal. Kitab ini telah disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalam kitab
A'lam al- Muwaqqi'in. Dan juga ash-Shufdi dalam kitab al-Wafi bi
al-Wafiyat (11/271) dan Ibnu Rajab dalam kitab Dzail Thabaqat al-
Hanabilah (11/450) telah menyebutkannya dengan nama ad-Dalil
'ala Istighnai al-Musabaqah 'an at- Tahlil.
17. At-Tibyan fi Aqsam al-Qur'an. Telah dicetak beberapa kali.
18. At-Tuhfah al-Makkiyah. Dia menyebutkannya dalam berbagai
tempat dalam kitab Badai'u al-Fawaid.
19. At-Tahbir lima Yahillu wa Yahrum min Libas al-Harir. Ibnu
Qayyim menyebutkannya dalam kitab Zad al-Ma 'ad.
20. Tuhfah al-Maududfi Ahkam al-Maulud. Telah dicetak berulang
kali.
21. Tuhfah an-Nazilin bi Jiwar Rabb al-Alamin. Dia menyebutkannya
dalam kitab Madarij as-Salikin.
54

22. Tadbir ar-Riasah fi al-Qawaid al-Hukmiyah bi adz-Dzaka' wa al-


Qarihah. Al- Baghdadi menyebutkannya dalam kitab al-Idhah al-
Maknun fi adz-Dzail 'ala Kasyf azh-Zhunun (1/271).
23. At-Ta'liq 'ala al-Ahkam. Ibnu Qayyim mengisyaratkannya dalam
kitab Jala' al- Afham.
24. At-Tafsir al-Qayyim. Ini adalah tulisan terpisah-pisah dalam tafsir
Syaikh Muhammad Uwais an-Nadawi dalam satu jilid. Tapi, dia
tidak mencakup semua ucapan Ibnu Qayyim dalam tafsir. Namun,
itu adalah suatu usaha yang patut mendapat pujian.
25. Tafdhil Makkah 'ala al-Madinah. Ibnu Rajab dalam kitab adz-Dzail
(11/450), ad- Dawudi dalam kitab Thabaqat al-Mufassirin (11/193),
Ibnu al-'Ammad dalam kitab Syadzarat al-Dzahab (6/178) dan al-
Sakhawi dalam kitab al-A'lam bi at- Taubikh (him. 280) telah
menyebutkannya, tapi dengan nama Tafdhil Makkah.
26. Tahdzib Mukhtashar Sunan Abi Daud. Telah dicetak bersama
dengan kitab Mukhtashar al-Mundziri dan syarahnya Ma 'alim as-
Sunan oleh al-Khatthabi dalam delapan jilid.
27. Al-Jami' bain as-Sunan wa al-Atsar. Ibnu Qayyim menyebutkannya
dalam kitab Badai'u al-Fawaid.
28. Jala'u al-Afhamfi ash-Shalat wa as-Salam 'ala Khair al-Anam.
Telah dicetak berkali-kali di Mesir dan India.
29. Jawabat Abidi ash-Shalban wa Anna ma Hum 'alaih Din asy-
Syaithan. Ibnu Rajab dalam kitab adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi
dalam kitab ath-Thabaqat (IV 93) dan Ibnu al-'Ammad dalam kitab
asy-Syadzarat (VI/179) menyebutkannya.
30. Al-Jawab asy-Syafi li man Sa 'ala 'an Tsamarah ad-Du 'a idza
Kana ma Quddura Waqi'un. Asy-Syaukani menyebutkannya dalam
kitabal-Badrath-Thali'(1V144).
31. Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah. Telah dicetak berkali-kali.
32. Al-Hamil, Hal Tahidhu am La. Ibnu Qayyim telah menyinggung
masalah ini dalam kitab Tahdzib Sunan at-Tirmidzi.
55

33. Al-Hawi. Ahmad 'Ubaid dalam kata pengantar kitab Rawudah al-
Muhibbin berkata, "Ibnu Hajar al-Asqallani telah menyebutkannnya
dalam kitab Fath al- Bari, juz XI
34. Hukm Tafdhil Ba'd al-Awulad 'ala Ba'd fi al-'Athiyah. Ibnu Qayyim
menyebutkannya dalam kitab Tahdzib as-Sunan.
35. Ad-Da' wa ad-Dawa'. Telah dicetak berkali-kali dan dinamakan
juga dengan al- Jawab al-Kafi liman Sa'ala 'an ad-Dawa'asy-Syafi.
36. Dawa' al-Qalb. 'Abdullah al-Jabburi menyebutkannya dalam Fihris
Maktabat Awuqaf Baghdad (11/369). Ada juga naskah dengan
tulisan tangan oleh al-Jabburi dengan nomor 4732. Kemungkinan
besar naskah ini adalah naskah kitab ad- Da ' wa ad-Dawa'.
Meskipun demikian, lebih baik kita menahan diri dalam mengambil
kesimpulan sebelum membaca transkrip naskah tersebut. Wallahu
a'lam.
37. Rabi'ul-Abrar fi-ashshalah 'ala an-Nabi al-Mukhtar. Al-Baghdadi
menye butkannya dalam kitab Hadiyah al-'Arifin (11/272) setelah
menyebutkan kitab Jala'u al-Afham.
38. Ar-Risalah al-Halabiyahfi ath-Thariqah al-Muhammadiyah. Ini
adalah kumpulan bait-bait syair. Muridnya ash-Shufdi dalam al-
Wafi bi al-Wafiyat (11/272), Ibnu Tughri Burdi dalam al-Manhal
ash-Shafi yang masih dalam bentuk manuskrip (111/62), ad-Dawudi
dalam ath-Thabaqat (IV93) dan Haji Khalifah dalam Kasyf azh-
Zhunun (1/861) menyebutkannya.
39. Ar-Risalah asy-Syafi'iyah fi Ahkam al-Mu'awwidzatain. Muridnya
ash-Shufdi dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/272) dan Ibnu Tughri
Burdi dalam al-Manhal as- Shafi (111/62) menyebutkannya.
40. Risalah Ibni Qayyim ila Ahad Ikhwanihi. Ditemukan satu
naskahnya dalam kumpulan manuskrip perpustakaan al-
Mahmudiyah di Madinah al-Munawwarah nomor 8/221 majami'
yang terdiri dari beberapa halaman dalam ukuran kecil.
56

41. Ar-Risalah at-Tabukiyah yang dicetak di Mesir dengan nama ini


dan dicetak juga dengan judul Tuhfah al-Ahbab fi Tafsir Qawuluhi
Ta 'ala: wa ta 'awanu 'alalbirri wattaqwa wa la ta'awanu 'alalitsm
wal'udwan wa attaqullaha innallaha syadidul'iqab.
42. Raf'u at-Tanzil. Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (1/909) dan
al-Baghdadi dalam Hadiyah al-'Arifin (11/158) menyebutkannya.
43. Raf'u al-Yadainfi ash-Shalah. Muridnya Ibnu Rajab dalam adz-
Dzail (11/150), ash-Shufdi dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/272),
Ibnu Hajar dalam ad-Duraf al- Kaminah (IV/33), as-Suyuthi
dalamBaghyah al-Wu'at (V63), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat
(11/93), Ibnu al-'Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168) dan Haji
Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (1/911).
44. Raudhah al-Muhibbin wa Nazhah al-Musytaqin. Ibnu Qayyim
menulisnya dalam perjalanan jauh dari tanah air dan
perpustakaannya. Kitab ini telah dicetak berkali- kali.
45. Ar-Ruh wa an-Nafs. Ini bukan kitab ar-Ruh. Ibnu Qayyim telah
menyebutkannya dalam kitab ar-Ruh, Mitah as-Sa'adah dan Jala'u
al-Afham.
46. Zad al-Musafirin ila Manazil as-Su 'ada 'fi Hadyi Khatam al-
Anbiya'. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/93), ad-Dawudi dalam at-
Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169),
dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158).
47. Zad al-Ma'ad fi Hadyi Khair al-'Ibad. Ini telah dicetak berkali-kali
di India, Mesir, Syiria dan terakhir diterbitkan dalam lima jilid.
48. As-Sunnah wa al-Bid'ah. Ahmad 'Ubaid menyebutkannya dalam
mukadimah kitab Rawudhah al-Muhibbin.
49. Sharh Asma' al-Kitab al-Aziz. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/449),
ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/92) dan Ibnu al-Ammad dalam
asy-Syadzarat (VI/169) menyebutkannya.
57

50. Syarh al-Asma' al-Husna. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/450),


ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93) dan Ibnu al-'Ammad dalam
asy-Syadzarat (VI/170) menyebutkannya.
51. Syifa' al-Alil fi Masail al-Qadha' wa al-Qadr wa al-Hikmah wa at-
Ta'lil. Ini telah diterbitkan.
52. Ash-Shabr wa as-Sakan. Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun
(11/1432) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158) telah
menyebutkannya.
53. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkam Ahl al-Jahim. Ibnu Rajab
menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalam at-
Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169).
54. Ash-Shawaiqal-Munazzalah 'alaaj-Jahmiyah waal-Mu'atthilah,
satujilid. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450),
ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-
Syadzarat (VI/169), asy-Syaukani dalam al- Badr at-Thali'
(117144), Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (11/1083), al-
Baghdadi dalam Hadiyah al-'Arifin (11/158) dengan nama ash-
Shawaiq al-Mursalah. Kitab ini belum diterbitkan, yang telah
diterbitkan hanya kitab al-Mukhtashar karya Muhammad bin al-
Maushili.
55. At-Tha'un. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/93),
ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-'Ammad dalam Asy-
Syadzarat (W196) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin
(11/158).
56. Thibb al-Qulub. Az-Zarkali menyebutkannya dalam kitab al-A'lam
(VI/280), Ahmad 'Ubaid dalam mukadimah Rawudhah al-Muhibbin
dan dia berkata, "Profesor Ma'luf menyebutkan bahwa ada satu
naskahnya di Berlin."
57. At-Thibb an-Nabawi. Ibnu Qayyim menyatukannya dengan kitab
Zad al-Ma 'ad, tapi ia telah diterbitkan secara terpisah.
58

58. Thariq al-Hijratain wa Bab as-Sa'adatain. Telah dicetak beberapa


kali. Ibnu Qayyim menyebutkan kitab ini dalam berbagai kitab
karangannya dengan judul Safar al-Hijratain.
59. At-Thuruq al-Hukmiyahfi as-Siyasah asy-Syar'iyah. Telah dicetak
ulang beberapa kali.
60. Thariqah al-Bashair ila Hadiqah as-Sarair fi Nazhm al-Kabair.
Kitab ini tercantum dalam indeks buku-buku Auqaf di Baghdad dan
disebutkan bahwa buku ini ada naskahnya yang sangat berharga
ditulis tahun 811 H.
61. Thalaq al-Haidh. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab
Tahdzib Sunan Abi Dawud.
62. 'Uddah ash-Shabirin wa Dzakhirah asy-Syakirin. Ini telah dicetak
berulang kali.
63. Aqd Muhkam al-Ahibba' baina al-Kalam at-Thayyib wa al-Amal
ash-Shalih al- Marfu' ila Rabb as-Sama'. Ibnu Rajab
menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/ 449), ad-Dawudi dalam at-
Thabaqat (11/92), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169)
dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158).
64. Al-Fatawa. Al-Alusi menyebutkannya dalam Jala 'u al- Ainain.
65. Al-Fath al-Quds. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (II450), ad-Dawudi
dalam at- Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat
(VI/169) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-Arifin (11/158).
66. Al-Fath al-Makki. Ibnu Qayyim telah menyebutkannya dalam
kitabnyaitoda'w al-Fawaid.
67. Al-Futuhat al-Qudsiyah. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam
kitabnyaMiftah Daras-Sa'adah.
68. Al-Farq bain al-Khillah wa al-Mahabbah wa Munazharah al-
Khalil li Qawumih. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail
(11/450) dan Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168).
69. Al-Farusiyah. Kitab ini adalah ringkasan kitab al-Farusiyah asy-
Syar'iyah. Dan, telah dicetak di Mesir.
59

70. Al-Farusiyah asy-Syar'iyah. Ibnu Tughri Burdi menyebutkannya


dalam a\-Manhal ash-Shafi (E/hlm. 93).
71. Al-Fawaid. Telah dicetak.

72. Qurrah 'Uyun al-Muhibbin wa Rawudhah Qulub al-'Arifin. Al-


Baghdadi menyebutkannya dalam Hidayah al-'Arifin (11/158).
73. Al-Kafiyah asy-Syafiyah fi an-Nahw. Pengarang Kasyf azh-Zhunun
(11/1369). (Al-Katani. 2004: 12)

Sebagian orang tidak mampu membedakan antara Ibnu Qayyim


al-Jauziyah dengan Ibnu al-Jauzi karena kemiripan nama. Kesalahan ini
telah berakibat pada penisbahan beberapa kitab karya Ibnu al-Jauzi
kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Kesalahan seperti itu terjadi karena
kelalaian para penulis manuskrip atau karena perbuatan orang-orang
yang sentimen terhadap Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Sebagai bukti adalah bahwa Ibnu al-Jauzi adalah Abdurrahman
bin Ali al-Qursyi, wafat tahun 597 H. Meskipun dia adalah salah
seorang ulama dari golongan Hanbali yang terkemuka dan banyak
menulis, tapi dalam kajian masalah nama-nama dan sifat Allah SWT
dia tidak mengikuti metode Imam Hanbal karena dia dalam hal ini
menempuh metode takwil. Ini jelas bertentangan dengan metodologi
Ibnu Qayyim sebab dia menempuh metode ulama salaf.
Di antara buku yang dinisbahkan kepada Ibnu Qayyim, padahal
sebenarnya itu adalah karya Ibnu al-Jauzi, adalah kitab Daf'u Syubahit-
Tasybih bi Akaffit-Tanzih. Kitab ini banyak memuat takwil yang keliru.
Karena itu, dia terjerumus dalam ta'thil guna melepaskan diri dari noda
tasybih (penyerupaan).
Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada Ibnu Qayyim al-
Jauziyah sehingga dia mengikuti langkah ulama salaf. Sebab itu, dia
selamat dari noda tasybih dan bahaya takwil. Dia menempuh cara
ulama salaf dimana dia hanya menetapkan apa yang ditetapkan Allah
60

SWT untuk dirinya dan apa yang ditetapkan oleh Rosul-Nya tanpa
melakukan penyimpangan, tasybih, dan ta’thil.

B. Pentingnya Penanaman Pendidikan Akhlak Sejak Dini


Kegiatan pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga, tidak bisa
dilepaskan dari pendidikan sebelumnya, yakni dalam kandungan atau
sebelum lahir (prenatal), sekitar saat kelahiran (perinatal), saat baru
kelahiran (neonatal), setelah kelahiran (postnatal), termasuk pendidikan
anak usia dini yang saat ini dilakukan oleh peneliti sendiri.
Konsep pendidikan anak yang dikemukakan Ibnu Qayyim secara
umum tertuang dalam karyanya Tuhfatul Maudud bi ahkamil Maulud.
Dalam buku ini Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan konsep
pendidikan anak yang muaranya diatur oleh tuntunan al-Quran dan
Sunnah. Ibnu Qayyim juga menyoroti pentingnya proses perkembangan
anak dari waktu ke waktu dan ia akan memberikan periodisasi pendidikan
anak usia prasekolah.
Menurut Ibnu Qayyim, kegiatan pendidikan yang dilaksanakan
dalam keluarga, tidak bisa dilepaskan dari pendidikan sebelumnya yakni
dalam kandungan atau sebelum lahir (prenatal), sekitar saat kelahiran
(perinatal), saat baru kelahiran (neonatal), setelah kelahiran (postnatal),
termasuk pendidikan anak usia dini yang saat ini dilakukan oleh peneliti
itu sendiri. Dengan demikian bila dikaitkan dengan pendidikan anak usia
dini merupakan serangkaian yang masih ada keterkaitannya pendidikan
sebelumnya. Sehingga dapat terwujudnya generasi yang unggul, dan
pendidikan itu memang merupakan sebuah kebutuhan dalam kehidupan
manusia.
Dalam konteks pendidikan anak usia dini, tanggung jawab orang tua
mendidik anak dengan sabar dan seksama, serta mengetahui kondisi
kebutuhan penyiapan pendidik yang mampu mengasuh dan membimbing
61

anak usia sejak lahir sampai 6 tahun merupakan suatu keharusan. Hal ini
dikatakan oleh Ali RA dalam kitabnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah:
‫ مروهم طاعة اللة و علموهم الخير‬:‫ وقال الحسن‬,‫ علموهم و أدبوهم‬:‫قال على رضي اللة عنه‬
“Imam Ali RA berkata: “ajari dan didiklah anak-anakmu, sedangkan
Hasan berkata: ajaklah mereka untuk taat pada Allah dan ajarilah
mereka tentang kebaikan.” (Al-Jauziyah. 1994 : 188)

Penjelasan di atas bahwa pentingnya adab dan akhlak bagi anak


didik menurut Ibnu Qayyim karena dengan adab akhlak yang baik adalah
sebuah hubungan orang tua dengan anak dapat terjalin dengan baik dan
kondusif, yang pada gilirannya dapat menciptakan kelancaran komunikasi
dan interaksi yang harmonis bagi keduanya.
Diantara pandangannya tentang pendidikan anak, Ibnu Qayyim
dalam kitabnya yang khusus mengenai anak, Tuhfat al-Maudud bi Ahkam
al-Maulud mengatakan:

‫ فإنه ينشأ عما عوده‬،‫ومما حيتاج اليه الطفل غاية اإلحتجاج االعتناء بأمر خلقه‬

‫ وطيش وح دة‬،‫ وغض ب وجلاج وعجل ة وخف ة م ع ه واه‬،‫املريب ىف ص غره منح ر‬

‫ وتص ري يف ه ذه األخالق ص فاة‬،‫ فيس عب علي ه يف ك ربه تال يف ذل ك‬,‫وجش ع‬

‫ وهلذا جتد‬،‫ ول ه خترز منه ا غاي ة التخ رز فص حته وال ب د يوم ا‬،‫وهيئ ات راس خة‬

‫اكثر الناس منحرفة أخالقهم وذلك من قبل الرتبية الىت نشأ عليها‬
“Hal lain yang sangat dibutuhkan anak adalah akhlak. Karena ia
akan tumbuh dengan perilaku yang sesuai dengan didikan
pengasuhnya sejak kecil. Jika akhlak mulia tidak ditanamkan
pada anak sejak ini, maka akan sulit mendapatkannya ketika
dewasa. Akhlak tersebut akan menjadi sifat dan karakter yang
kuat tertanam didalam dirinya. Oleh karena itu, kita dapati
kebanyakan manusia akhlaknya menyimpang atau berubah karena
pendidikan yang ia dapatkan”. (Al-Jauziyah. 1994:200)
62

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauzyah, tanggung awab tarbiyah


pendidikan anak itu berada dipundak orang tua dan pendidik (murabbi)
apalagi ketika anak masih dalam masa awal pertumbuhan. Mereka sangat
membutuhkan pembina yang selalu mengarahkan akhlak dan perilakunya,
karena anak-anak pada masa itu sangat tidak mampu untuk membina diri
mereka sendiri, sehingga mereka membutuhkan seorang qudwah yang
menjadi panutan untuk diri anak dalam sikap dan perilakunya.
Disamping itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menegaskan bahwa:

‫ جمالس الله و والباط ل والغن اء والف واخش‬:‫جيب أن جيتنب الص يب إذا عق ل‬

،‫ عس ر علي ه مفارقت ه ىف الك رب‬،‫ فإن ه إذا عل ق بس معه‬،‫والب دع ومنلط ق الس وء‬

‫ حيتاج صاحبه‬،‫ فتغري العوائد من اصعب األمور‬،‫وعز على وليه استنقاذه منه‬

‫ واخلروج عن حكم الطبيعة عسر جدا‬،‫إىل استجداد طبيعة ثانية‬

“seorang anak juga wajib dijauhkan dari hal-hal tak berguna atau
sia-sia, baik nyanyian, perminan-permainan, berbagai bid’ah, dan
ucapan atau pikiran yang buruk dan batil. Karena kalau semuanya
itu sudah melekat, sulit untuk diubah dan dihilangkan ketika
besar.” (Al-Jauziyah. 1994: 210)

Ibnu Qayyim menegaskan bahwa seorang anak hendaknya dijauhkan dari


sifat malas, santai, dan tidak mempunyai aktifitas positif, tetapi justru harus
dibiasakan bekerja keras, sportif, dan melakukan berbagai kesibukan. Karena
pada dasarnya orang yang paling bahagia adalah mereka yang dapat bekerja
dan melakukan aktifitas-aktifitas positif dan kontributif, sehingga
membiasakan anak dengan keseriusan dan kesungguhan belajar dan
beraktifitas akan berdampak positif pada pola hidupnya dikemudian hari.(Al-
Jauziyah. 2006:230)
Dari beberapa pandangan Ibnu Qayyim diatas, jelaslah bahwa anak-anak
adalah sosok yang harus diakui eksistensinya sebagai objek dan subjek
pendidikan. Dengan demikian, ia harus mendapatkan pendidikan yang baik
63

dengan cara mengarahkan, membimbing, dan menumbuh kembangkan


potensi-potensi positif yang dimilikinya untuk persiapan dikehidupannya
yang anak datang.
Jika sejak masa kanak-kanaknya, ia tumbuh dan berkembang dengan
berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut,
ingat, pasrah, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, ia akan
memiliki kemampuan dan bekal pengetahuan didalam menerima setiap
keutamaan dan kemuliaan, disamping terbiasa dengan sikap akhlak mulia.
Sebab benteng pertahanan religius yang berakar pada hati sanubarinya,
kebiasaan mengingat Allah yang telah dihayati dalam dirinya dan instrospeksi
diri yang telah menguasai seluruh pikiran dan perasaan, telah memisahkan
anak dari sifat-sifat jelek, kebiasaan-kebiasaan dosa, dan tradisi-tradisi
jahiliyah yang rusak. Bahkan setiap kebaikan akan diterima menjadi salah
satu kebiasaan dan kesenangan, dari kemuliaan akan menjadi akhlak dan sifat
yang paling utama.
Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan yang dilakukan oleh
kebanyakan orang tua yang beragama terhadap anak-anaknya, dan para
pendidik terhadap murid-muridnya. Tidak aneh jika Islam sangat
memperhatikan pendidikan anak-anak dari aspek moral, dan mengeluarkan
petunjuk yang sangat berharga dalam membentuk anak dan mengajarkan
akhlak yang tinggi.
Berikut ini sebagian wasiat dan petunjuk Rasulullah SAW dalam upaya
mendidik anak:
- Tirmidzi meriwayatkan dari Ayyub bin Musa dari ayahnya dari
kakeknya bahwa Rasulullah Saw bersabda:

‫ح دثنا نص ر بن علي اجلهض مي ح دثنا ع امر بن ايب ع امر اخلزاز ح دثنا أي وب بن‬
‫موس عن أبيه جده أن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال ما حنل والد ولدا من‬
‫حنل أفضل من أدب حسن‬
64

“Tidak ada suatu pemberian yang lebih utama yang diberikan oleh
seorang ayah kepada anaknya, kecuali budi pekerti yang baik.” (HR. At-
Tirmizi, hadist nomor 1875)
- Ibnu Majh meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah
Saw. Bersabda:

‫حدثن العباس بن الوليد الذمشقي حدثنا علي بن عياش حدثنا سعيد بن عمارة‬
‫اخربين احلارث بن النعمان مسعت أنس بن مالك حيدث عن رسول اهلل صلى اهلل‬
‫عليه وسلم قال أكرموا أوالدكم وأحسنوا أدهبم‬

“Muliakan anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan budi


pekerti yang baik.” (HR. Ibnu Majah.tt: 597)
- Amr bin Syu’aib dari Ayahnya, dari Kakeknya, Nabi Saw
Bersabda:

“ Didalam Musnad sunan Ibnu Daud tentang hadits Amr bin Syuaib
dari ayahnya dari kakeknya. Rasulullah bersabda: perintahlah anak-
anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia 10 tahun dan pisahlah
tempat tidur mereka. Didalam hadits ini terdapat 3 (adab)tatakrama
dalam memerintah anak : 1. Memerintah mereka untuk shalat, 2. Memukul
mereka bila membangkang, dan 3.nmemisah tempat tidur mereka”(HR.
Abu Daud)
Berdasarkan hadist-hadist diatas, dapat disimpulkan bahwa para pendidik,
terutama ayah, ibu, mempunyai tanggungjawab sangat besar dalam
mendidik anak-anak dengan kebaikan dan dasar-dasar moral.
C. Penyebab Terbentuknya Akhlak Terpuji dan Tercela
65

Akhlak menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah didasarkan pada empat


pondasi sebagai berikut:
1. Al-Shabru (sabar) yang mendorongnya menguasai diri, menahan
amarah, tidak mengganggu orang lain, lemah lembut dan tidak
gegabah, serta tidak tergesa-gesa.
2. Al-Iffah (Kehormatan diri) yang dapat menjauhi hal-hal yang hina
dan buruk, baik berupa perkataan maupun perbuatan, memiliki
rasa malu, mencegah dari rasa kekejian, bakhil, dusta, ghibah, dan
mengadu domba.
3. Al-Syaja’ah (Keberanian) yang mampu mendorong pada
kelapangan jiwa, sifat-sifat mulia, rela berkorban, dan memberikan
sesuatu yang dicintai.
4. Al-Adl (adil) yang mampu mendorong manusia pada jalan tengah,
yaitu tidak meremehkan dan tidak berlebih-lebihan (Qayyim.
2013: 320-321)
Empat sendi ini sekaligus merupakan sumber akhlak yang baik dan
utama. Akhlak yang baik secara umum meliputi akhlak yang baik dalam
bermuamalah dengan manusia dan akhlak yang baik dalam bermuamalah
dengan Allah. Materi akhlak yang baik dalam bermuamalah dengan
manusia yaitu dengan mengamalkan perbuatan yang ma’ruf, baik dalam
ucapan maupun perbuatan dan menahan diri dari menyakiti orang lain
(perbuatan buruk).

Sedangkan materi akhlak yang baik dalam bermuamalah dengan Allah


yaitu mengetahui bahwa segala sesuatu yang muncul datang dari Allah
menuntut untuk disyukuri. Akhlak manusia kepada Allah membutuhkan
rasa cinta kepada-Nya dan menunjukan ketaqwaan manusia sebagai
khalifah di bumi. Sedangkan akhlak manusia kepada sesama menunjukan
kemuliaannya, karena mengoptimalkan potensi yang diberikan kepadanya
sebagai khalifah.
66

Sedangkan empat sumber yang menjadi dasar akhlak yang rendah


adalah sebagai berikut:

1. Al-Jahl (kebodohan) yaitu menampakkan kebaikan dalam bentuk


keburukan, menampakkan kekurangan dalam bentuk
kesempurnaan dan menampakkan kesempurnaan dalam bentuk
kekurangan.
2. Al-Dhalm (kedzaliman) yang membuatnya meletakkan sesuatu
bukan pada tempatnya, memarahi perkara yang mestinya diridhai,
meridhai sesuatu yang mestinya dimarahi (tidak senang kepada
hal-hal yang diridhai dan meridhai sesuatu yang seharusnya tidak
dibenarkan) dan sebagainya dari tindakan-tindakan yang tidak
proporsional.
3. Al-Syahwah (syahwat) yang mendorong seseorang memiliki
sesuatu, kikir, bakhil, tidak menjaga kehormatan, rakus, dan hina.
4. Al-ghadlab (marah) yangmendorong seseorang bersikap takabbur,
dengki, dan iri, menciptakan permusuhan, dan menganggap orang
lain bodoh. (Qayyim.2013: 317)
Dari himpunan semua ini, maka tersusunlah akhlak yang tercela.
Sedangkan sumber dari empat perkara ini ada dua macam, yaitu: pertama,
jiwa yang berlebih-lebihan saat lemah, yang melahirkan kebodohan,
kehinaan, bakhil, kikir, celaan, kerakusan, dan kekerdilan. Kedua, jiwa
yang berlebih-lebihan saat kuat, yang melahirkan kedzaliman, amarah,
kekerasan, kekejian, dan kesewenang-wenangan.

Sebagian akhlak yang tercela melahirkan sebagian yang lain,


sebagaimana sebagian akhlak terpuji juga melahirkan sebagian sifatnya
yang lain. Akhlak yang baik ada diantara dua akhlak yang tercela, seperti
kedermawanan yang ada diantara bakhil dan boros, tawadhu’ yang ada
diantara kehinaan dan takabur. Selagi jiwa menyimpang dari pertengahan
ini, tentu ia akan cenderung kepada salah satu diantara dua sisinya yang
tercela. Siapa yang menyimpang dari akhlak tawadhu’, maka ia akan
67

menyimpang dari pertengahan ini, tentu ia akan cenderung kepada salah


satu diantara dua sisinya yang tercela. Siapa yang menyimpang dari akhlak
tawadhu’, maka ia akan menyimpang ke sifat takabur dan riya atau
kehinaan dan kekerdilan. Siapa yang menyimpang dari kesabaran yang
terpuji, maka ia menyimpang ke kegundahan dan keguncangan atau
kekerasan hati dan kekasaran tabiat.

Dalam kitabnya, Tuhfat al-wadud bi ahkam al-Mauludi, Ibnu Qayyim


al-Jauziyah mengklasifikasikan akhlak menjadi dua macam, yaitu fitri dan
muhasabah (diupayakan). Pertama, akhlak fitri, menurutnya bahwa akhlak
yang baik dan jelek itu bertempat pada fitrah, dan fitrah inilah yang
menunjukan kepada manusia mana akhlak yang baik dan mana akhlak
yang tercela. Sebagaimana kata Ibnu Qayyim, “Sesungguhnya Allah telah
menentukan dan menetapkan sifat adil dan tidak pilih kasih terhadap fitrah
manusia” (Qayyim 2006: 281).

Kedua, akhlak muktasabah (diupayakan), yaitu akhlak yang dimiliki


oleh seseorang melalui latihan, pembiasaan, dan pendidikan. Sebagaimana
yang dinyatakan Ibnu Qayyim, “anak itu akan berkebang sebagaimana
kebiasaan yang dibiasakan oleh pendidik dimasa kecilnya” (Qayyim.
2006: 263).

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa adab dan akhlak bagi anak didik
begitu penting, karena dengan adab dan akhlak yang baiklah sebuah
hubungan orang tua dengan anak dapat terjalin dengan baik dan kondusif,
yang pada gilirannya dapat menciptakan kelancaran komunikasi dan
interaksi yang harmonis bagi keduanya.
Jika pendidikan anak jauh dari pada akidah Islam, lepas dari ajaran
religius atau tidak berhubungan dengan Allah, maka tidak diragukan lagi,
bahwa anak akan tumbuh dewasa diatas dasar kefasikan, penyimpangan,
kesesatan, dan kekafiran. Bahkan ia akan mengikuti nafsu dan bisikan-
68

bisikan setan, sesuai dengan tabiat, fisik, keinginan, dan tuntutan yang
rendah.
Dan jika sifat-sifat kebinatangan dapat mengalahkan dirinya, dengan
sendirinya ia akan mengejar segala kesenangan dan kenikmatan dengan
segala cara dengan jalan haram sekalipun. Ia tidak akan merasa malu
melakukannya, meski hati dan akalnya akan menghalanginya.
Dan jika tabiat anak itu bertipe aktif dan progresif, ia akan sombong
dan takabur dihadapan sesama manusia, menonjolkan kekuasaan dan
kesewenang-wenangannya terhadap orang kecil, dan akan bangga dengan
ucapan dan perbuatannya. Tidak heran jika didalam mencapai semua itu
akan membuat istana diatas tengkorak-tengkorak manusia dan aliran-aliran
daran yang tidak berdosa.
Selanjutnya jika sifat-sifat setan telah menguasai dirinya, ia akan
memecah belah hubungan kasih sayang sesama manusia. Ia akan membuat
dengan meracuni sumur-sumur dan mencemari air, ia akan membuat dosa
dan kejahatan dengan keindahan dan akan menanamkan benih-benih
permusuhan dan kebencian di tengah-tengah umat manusia.
Dengan demikianlah orang-orang tersebut berperilaku menurut
kehenda hawa nafsunya yang buruk, dan bertolak menurut tabiatnya yang
menyimpang. Ia tunduk kepada perintah hawa nafsunya yang membabi
buta dan mempertaruhkan dirinya.
Allah Swt berfirman dalam surat Al-Qashshas:50:

      


        
         
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti
hawa nafsunya dengan baik tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun” (Departemen Agama. 2003: 313)

Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada yang lebih sesat selain orang-
orang yang mengikuti hawa nafsunya saja. Orang yang seperti ini
termasuk orang yang paling sesat, ketika disodorkan petunjuk dan jalan
69

yang lurus yang menyampaikan kepada Allah dan surga-Nya, tetapi ia


tidak mempedulikannya dan tidak mendatanginya, bahkan hawa nafsunya
mengajak dirinya untuk menempuh jalan yang mengarah kepada
kebinasaan dan kesengsaraan, dirinya pun mengikuti dan meninggalkan
petunjuk.
Kedzaliman, sikap melampaui batas dan tidak menyukai kebaikan
membuatnya ingin tetap diatas kesesatannya dan Allah tidak menunjuki
orang yang seperti ini. Oleh karena itulah Allah SWT menerangkan,
bahwa Dia tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang zalim, yaitu
mereka yang melekat dengan kezaliman dan sikap membangkang, ketika
kebenaran datang, ia malah menolaknya dan ketika disodorkan hawa nafsu
ia malah mengikutinya.
Kriteria perbuatan baik menurut ajaran Islam yaitu:
Perbuatan manusia yang disengaja dalam situasi yang
memungkinkan adanya pilihan dapat diberi nilai baik dan buruk. Untuk
menetapkan perbuatan seperti itu ada beberapa pendapat yang
dikemukakan sebagai tolak ukurnya.
Ukuran-ukuran diatas belum memberikan kepastian karena hanya
bersifat subyektif, lokal, dan temporal. Dan oleh karena itu nilainya
bersifat relatif. Uraian berikut ini mencoba memberikan gambaran tentang
kriteria perbuatan baik menurut ajaran Islam.
Seperti telah dikemukakan bahwa setiap perbuatan manusia yang
dapat dinilai, lahir dari suatu kehendak. Setiap kehendak selalu menuju
kepada suatu tujuan. Maka sebenarnya dalam memberi nilai perbuatan
seseoranng terletak pada kehendak dan tujuan perbuatannya. Karena setiap
kehendak menuju sebuah nilai, dengan demikian, pada pokoknya penilaian
itu diletakkan dan diterapkan pada kehendak dan tujuan dari perbuatan
tersebut.
Setiap perbuatan lahir dari kehendak dan setiap kehendak lahir dari
keyakinan yang tertanam dalam batinnya, karena sangat sukar
dibayangkan ada sebuah perbuatan yang lahir dan uncul diluar kehendak
70

dan keyakinannya. Memang dalam kenyataannya ada perbuatan yang lahir


dari kehendak yang bertentangan dengan keyakinan. Dalam hal ini, untuk
memberi nilai suatu perbuatan, faktor kehendak dan tujuan perbuatan
tersebut menjadi tolak ukur penilaian. Atau, niat seseorang sebagai dasar
terbitnya perbuatan adalah menjadi standar pengukurannya.
Jadi sebenarnya, perbuatan baik itu dapat diberi nilai baik atau buruk
karena dilihat dari niat orang yang melakukannya, tidak dilihat dari hasil
sebagai akibat dari perbuatan itu. Maka, perbuatan yang disertai niat baik,
bernilai baik, meskipun mengakibatkan keburukan. Dan perbuatan dengan
niat buruk, tetap bernilai buruk meskipun menghasilkan kebaikan.
Rasulullah Saw bersabda:

“Segala perbuatan selalu mempunyai niat, dan perbuatan itu dinilai


sesuai dengan nilainya.”
Pada dasarnya setiap perbuatan tidak dapat dinilai baik atau buruk
sebelum diketahui niat orang yang melakukannya. Seperti orang yang
membakar harta suapan, tidaklah dapat dinilai perbuatannya itu sebelum
diketahui niat yang mendasarinya. Perbuatan ini bisa bernilai baik niatnya
untuk menginsafkan orang yang memberi dan tidak ada jalan lain yang
lebih baik selain itu. Juga dapat bernilai buruk bila dengan niat membalas
dendam kepadanya.
Oleh karena itu, dalam memberi hukum terhadap perbuatan
seseorang tidak dilihat dari segi manfaat atau mudharat (keburukan) dari
perbuatan itu, melainkan dari niatnya. Dengan istilah lain nilai moral itu
tergantung pada niat orang yang melakukan perbuatan tersebut. (Asmaran,
1994: 33-34)
Menurut Ahmad Amin, hukum akhlak ialah memberi nilai suatu
perbuatan bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya. (Amin. 2006: 137)
Karenanya, manusia itu tidak tercela atas perbuatan yang ia lakukan
dengan niat baik meskipun buruk akibatnya, akan tetapi ia tercela bila ia
sanggup menyelidiki sebelumnya akibat perbuatannya itu.
71

Disini terletak peranan akalanya dalam mempertimbangkan baik


buruknya suatu perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan bisa dinilai baik
jika menurut pkirannya bahwa perbuatan itu baik dan buruk atau tercela
jika melakuakan perbuatan yang diputuskan akalnya buruk.
Selanjutnya, dalam menetapkan nilai perbuatan manusia, selain
memperhatikan niat yang mendasarinya, kriteria lain yang harus
diperhatikan ialah cara melakukan perbuatan itu. Meskipun seorang
mempunyai niat baik, tetapi bila dia lakukan dengan cara yang salah, dan
dinilai tercela karena salah melakukannya, bukan tercela niatnya. Seperti
seorang ayah yang keterlaluan memukul anaknya sampai anaknya
mengalami cacat seumur hidupnya. Mungkin niat orang tua itu baik, yaitu
untuk mendidik anaknya agar jangan nakal lagi. Dari contoh ini, dilihat
dari niatnya, perbuatan itu baik, tetapi dari cara melakukannya adalah
buruk. Perbuatan seperti itu dalam ilmu akhlak dinili sebagai perbuatan
butuk.
Dalam contoh lain, bersedekah adalah baik, tetapi jika ia
memberikan dengan cara yang dapat menyakitkan hati si penerimanya
maka ia akan dapat dinilai buruk. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah: 263:
        
    
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima).
Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (Q.S Al-Baqarah: 263)
(Departemen Agama. 2003: 35)

Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah menyebutkan empat tingkatan


dalam kebajikan. Tingkatan pertama, nafkah yang terlahir dari niat yang
shalih dan pemberi nafkah tidak mengiringinya dengan menyebut-
nyebutnya dan menyinggung perasaan penerima.
Tingkatan kedua, berkata yang baik, yaitu kebajikan berupa
perkataan dengan segala bentuknya yang mengandung kebahagiaan bagi
72

seorang muslim, meminta maaf dari orang yang meminta apabila dia tidak
memiliki apa yang dia minta, dan sebagainya dari perkataan yang baik.
Tingkatan ketiga. Kebajikan dengan memberi maaf dan ampunan
kepada orang yang telah berlaku buruk kepada anda, baik dengan
perkataan maupun dengan perbuatan. Dua yang terakhir ini lebih utama
dan lebih baik dari tingkatan berikut.
Tingkatan keempat, pemberi infak itu mengiringi infaknya dengan
perlakuan menyakitkan kepada penerimanya karena dia telah mengotori
kebaikannya tersebut dan dia telah berbuat baik dan jahat (sekaligus).
Kebajikan yang murni walaupun sangat sedikit adalah lebih baik daripada
kebajikan yang dicampuri oleh keburukan walaupun kebajikan itu banya.
Ini merupakan ancaman yang keras terhadap orang yang berinfak yang
menyakiti orang yang diberikan nafkahnya tersebut. Sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang yang suka mencela, dan bodoh.
Selanjutnya mengenai pendidikan jiwa, yang berimplikasi pada
akhlak islam dan nantinya akan menjadi potensi bagi jiwa manusia, Ibnu
Qayim berpendapat bahwa potensi yang ada pada diri manusia harus
dilatih dan dibiasakan sehingga akan menjadi kebiasaan yang sulit
dihapuskan. Jiwa merupakan sesuatu yag menduduki tempat tertingi
apabila dihubungkan dengan sifat-sifat seorang hamba. Akan tetapi,
dianggap rendah apabila dkaitkan dengan akhlak dan perbutan baik dengan
perbuatan itu karena usahanya maupun karena sudah menjadi tabiatnya,
dan sesungguhnya harga diri itu tergantung bagaimana dia berusaha untuk
menempatkan atas apa yang dia anggap baik, begitu pula sebaliknya.
Pada hakikatnya, jiwa berada pada posisi yang lemah, yang
digambarkan dengan sifat-sifat bodoh dan kegelapan dan cenderung
membawa kepada kejahatan. Agar manusia dapat memperoleh
keberuntungan, jiwa harus diluruskan dengan mendidiknya sesuai akhlak
islam. Salah satu faktor penting yang dapat meluruskan jiwa seseorang
adalah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agar terhindar dari
73

kebodohan. Selain itu, pendidikan jiwa pun membutuhkan kesungguhan


hati, kesabaran, dan pengetahuan yang matang.(Susanto.2010: 36-37)

Anda mungkin juga menyukai