Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Mazhab
Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar
katadz ahab (pergi) (Al-Bakri,Inah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, tempat
pergi, yaitu jalan (ath-tharq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).
Secara terminologis pengertianmaz hab menurut Huzaemah TahidoYanggo, adalah pokok pikiran atau
dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam.[1]
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulanpendapat mujtahid yang berupa
hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawid) dan
landasan (ushl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah
(1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam
mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum
Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.[2]
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab inidengan berkata, Setiap mazhab dari
berbagai mazhab yang ada mempunyaimetode penggalian (tharqah al-istinbth) dan pendapat tertentu
dalam hukum-hukum syariat. (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).[3]

B. Biografi Empat Imam Mazhab Fiqih


Mengingat betapa masyhurnya nama keempat imam mazhab ini, berikut akan dijelaskan lebih lanjut
bagaimana pribadi dan pemikiran mereka.
1. Imam Hanafi (Tahun 80 150 H.)
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al- Numan bin Sabit bin Zauti lahir pada
tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah4[4]. Semua literatur yang mengungkapkan kehidupan
Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, abid,
wara, taqiy, khusyu dan tawadhu.
Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandarpadarayun, setelah pada Kitabullah dan
As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di kalangan para
ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya denganistihsan yang ia
jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama.[5]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompokkelompok yang berawal dari kesucian (taharah),shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama
sesudahnya sepertiMalik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
b. Imam Maliki (Tahun 93 179 H.)
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada
tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun,
selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.[6]
Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal Al-Quran dan sudah
nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu
hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di antaranya yang paling populer adalahAl

Muwatta yang berarti kemudahan atau kesederhanaan. Keistimewaan Al-Muwatta adalah bahwa Imam Malik
merinci berbagai persoalan kaidah-kaidahfiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar.
c. Imam Syafii (Tahun 150 204 H.)
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafii bin Saaib bin Abiid bin
Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi.
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafii lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina)
dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf
ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah.

[7]
Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafii sudah menghafal Al-Quran, selain itu ia juga banyak
menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa , fiqih Imam
Syafii juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya
amat mempengaruhi Imam Syafii dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya
menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua
kecendrungan dalam mazhab Syafii yang dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama) danqaul jadid (mazhab
baru).
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafii dibangun di Irak pada tahun 195 H.
Kedatangan Imam Syafii ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafii dalam
perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal
mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafii di antaranya di muat dalam
bukunyaAl- Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran Syafii tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan pemikirannya
yang global terhadap masalah-masalahfuruiyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang
menyebabkan kematangan pemikiran Syafii.
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun
terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya.
BukunyaAr -Ris alah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan
perkembangan baru di Mesir.[8]
d. Imam Hambali ( Tahun 164 241 H.)
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin
Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun
164 H/780 M.[9]Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Quran hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga
mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai
konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan
untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam(Syiria).
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh
yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di
antara mereka adalah: Ismail bin Jafar, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin
Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafii, Waki bin Jarrah, smail bin Ulayyah, Sufyan bin
Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Maqil.[10]
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga
ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari, Mus lim, Abu Daud, Nasai,

Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafii. Imam Ahmad, Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya,
Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jumat
bertepatan dengan tanggal dua belas Rabiul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan
ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.[11]
C. Sejarah Empat Mazhab Fiqih
Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in yaitu sekitar abad kedua Hijriyah, dengan munculnya
para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syariah.
Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum
dibukukan.
Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau
713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-Muwaththa', yang
terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far alManshur (137- 159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam
mengarungi kehidupan mereka.
Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis).
Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y)
adalah buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani
(102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jmi' al-Kabr dan al-Jmi' al-Shaghr dan Abu Yusuf (112-183
H) dengan bukunya berjudul Kitabal- Kharj (Kitab tentang PajakPenghasilan). Abu Hanifah sendiri pernah
diminta menjadi qdh (hakim) oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara
Abu Yusuf pernah menjadi qdh pada masa khalifah Harun al- Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas
kemudian oleh para pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki.[12]
Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua alirantersebut. Sementara kalangan ahl alhadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka
ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang 'illah-'illah hukum (legal reasons) dan
maksud-maksud
syariah.
Pada umumnya
ahl
al-ra'y
dengan
kemampuan
debatnya
dapat
mengalahkan argumentasi ahl al-hadts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya Muhammad ibn Idris alSyafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafii (150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak
hadis dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat
menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. Karena jasanya membela hadis,
maka iadijuluki sebagai "nshir al-sunnah" (pembela Sunnah).
Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap sebagai
mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.

1.
2.
3.

D. Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Empat Mazhab Fiqih


Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak
sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian,
kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar
dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomismenjelaskan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkanikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Quran
Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
Perbedaan para sahabat disebabkan karenarayu.

Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebabikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia
berpendapat bahwa salah satu sebab utamaikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum
untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.[13]Setelah berakhirnya masa
sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabiin, muncullah generasi Tabiit Tabiin. Ijtihad para Sahabat dan
Tabiin dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan
kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabiit Tabiin. Di dalam sejarah dijelaskan
bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh
Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga
munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. dan dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab
munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab- mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada
empat mazhab Mazhab Hanafi, Maliki, Syafiie dan Hambali seperti yang ada sekarang.
E. Dasar-Dasar Fiqih Empat Mazhab
a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci, tetapi
kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam
pernyataannya berikut, Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi,
dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya
akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya
sampai pada Ibrahim, Syabi, Hasan Ibnu Sirin, Atha dan Said bin Musayyib(semuanya adalah tabiien), maka
saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.[14]
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah Al-Quran, Sunnah
dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Quran dan Sunnah secara jelas- jelas menunjukkan pada
suatu hukum, maka hukum itu disebut diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tetapi bila nash tadi menunjukkan
secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah- kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral,illat dan lain
sebagainya, maka pengambilan hukum disebut melalui qiyas.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al- Quran dan As-Sunnah. Yang membedakan
dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya
menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama
disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, urf (adatkebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya.Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah
banyak menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang
lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka
illat, hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya.[15]
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami
di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah
mengabaikan nash-nash Al-Quran dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat
sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al- Quran dan Sunnah.
Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak untuk
melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berakar kuat pada
pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu
Zahrah, membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum
tawaf ziarah, Abu Hanifahmengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak
pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
b. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki

Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang
menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang
muncul sesudah itu menyimpulkan dasar- dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha, fuqaha Malikiyah
merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab
Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Quran, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah,
tambih alal illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma qiyas, tradisi orang-orang
Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab,sadd al dara-i, muraat al khilaf, maslahah mursalah dan syaru
man qablana. Al-Qurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai
berikut : Al-Quran, Sunnah, Ijma, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah,
urf, sadd ad-darai, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan
dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Quran, Sunnah, ijma, dan rayi (rasio).[16]
c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafii
Bagi Imam Syafii Al-Quran dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu
kesatuan sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain- lain
hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Quran dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih
Syafiie. Menurut Syaafiie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang
tidak jelas di dalam Al-Quran, merinci yang global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum
tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Quran.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafiie adalah pernyataannya, Setiap
persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Quran. [17]Untuk
membuktikan hipotesanya itu, Syafiie menyebut empat cara Al-Quran dalam menerangkan suatu hukum.
Pertama, Al-Quran menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash
yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yangmengharamkan zina, minum khamar,
makan bangkai, darah dan yanglainnya.Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al- Quran dan
dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat,
apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Quran dal Nabi-lah
yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di
dalam Al-Quran. Bentuk penjelasan Al-Quran untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada
perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Di dalam Al- Quran disebutkan : (4:80) Yang maksudnya : Barang
siapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah.
Dengan demikian, suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Quran,
karena Al-Quran memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi menjauhi yang di larang.

[18]
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang
tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Quran dan Hadits. Penjelasan Al-Quran dalam masalah yang seperti ini,
yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadapmaqas
hid al-Syariah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis, dalam Al-Quran di
sebutkan dalan 4:59
d. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali

Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran- pemikiran fikihnya. Para ulama Hanabilah
berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas
sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar
mazhab Hambali yaitu adalah :
1. Nushus, yang terdiri dari nash Al-Quran, Sunnah dan nash ijma,
2. Fatwa-fatwa sahabat,
3. Apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Quran dan Sunnah; dan apabila
tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus,
4. Hadits-hadits mursal dan dhaif,
5. Qiyas,
6. Istihsan,
7. Snadd al-dara-i,
8. Istishab,
9. Ibthal al jal,
10. Maslahah mursalah.
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam Ahmad bin
Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan
qiyas.
BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat penulis mengambil beberapa poin kesimpulan di antaranya adalah sebagai
berikut :
Sebagaimana diketahui, banyak sahabat nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke Negara
yang baru, dengan demikian kesempatan bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesatu masalah
sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat diatas, QasimAbdul Azis Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor
yang menyebabkan ikhtikaf di klangan sahabat ada tiga yakni :
1. perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Quran
2. perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. perbedaan para sahabat disebabkan karena rayu
Dasar-dasar fiqih empat mazhab banyak menggunakan nash-nash al-Quran atau ketabullah, sunah nabi,
tabih alal illahi (pencari kuasa hokum), ijma, qias, ihtisan, istishab.
B. Penutup
Demikian makalah ini penulis susun, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi pembaca,
khususnya bagi penulis sendiri.
Saran-saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini
dan untuk kemajuan ilmu pengetahuan kedepan.

DAFTAR PUSTAKA
Asy Syakah, Mustofa Muhammad.1995. Islam Tidak Bermazhab. Cet. 2. Gema Insani Press: Jakarta
Mustofa Al Maraghi, Abdullah.2001. Pakar- Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah. Cet. 1. LKPSM: Yogyakarta
Munim A. Sirry. 2006. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar. Risalah Gusti:Surabaya
Sirry, Munim A. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet.2, Risalah Gusti: Surabaya, 1996
http://diaz2000.multiply.com/journal/item/20/Sejarah_Singkat_Munculnya_Mazhab-Mazhab_dalam_Islam
http://apat-kedahi.blogspot.com/2009/04/mazhab-mazhab-fiqih-dan pengertiannya.html
http://www.cybermq.com/pustaka/detail//100/sejarah-perkembangan-fiqh

http://neobyadver.blog.plasa.com/2009/05/26/sejarah-singkat-munculnya-mazhab-mazhab-dalam-islam/

[1] http://mult y play.com

[2] http://www.hayatul islam.net


[3] Ibid hal 3
[4] Abdullah Mustofa Al-maraghi,pakar-pakar fiqih sepanjang sejarah,2001,hal 72
[5] Mu stofa Muhammad Asy Syakab,islam tidak bermazhab,1995,hal 333
[6] http://wiki pedia.org
[7] Munim A.Sirry, sejarah fiqih islam sebuah pengantar,risalah gusti:Surabaya,cet 2,2000,hal 100
[8] Ibid,hal 109-110
[9] Abdullah Mustafa Al-Maraghi, pakar-pakar fiqih sepanjang sejarah: Yogyakarta, 2001, hal 105
[10] http://wiki pedia.org/ahmad bin hanbal
[11] Ibid, hal 2
[12] http://www.hupelita.com
[13] http://diar.multiply.com
[14] Asrry,sejarah fiqih islam sebuah pengantar,Risalah gusti: Surabaya,cet 2,2006,hal 87
[15] Ibid, hal 87-88
[16] Ibid hal 97
[17] Ibid, hal 111
[18] Qs. 59:7

Anda mungkin juga menyukai