Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH FIKIH

MAHZAB DALAM ISLAM

Kelompok:

Putri

Kelas X. B

MAN 3 KUNINGAN
A. 1 Mahzab syafi'i

Imam al-Syafi'i lahir di Gaza, Pelestina pada tahun 150 H/767 M dan meninggal dunia di
Fusfat (Kairo) Mesir pada tahun 204 H /20 januari M.ia wafat pada malam Jumat setelah
maghrib pada akhir bulan Rajab, tahun 204 H di M.

Pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup pada zaman
pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadis) dan Ahlur
Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad).[5] Imam Syafi'i mulanya belajar
kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-
Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Ia juga belajar dari
banyak ulama-ulama Hijaz.[9]

Imam Syafi'i kemudian pergi ke Irak untuk mempelajari istinbat yang digunakan oleh para
fukaha di sana. Sejak saat itu ia mulai merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat
dikatakan berada di antara kedua mazhab sebelumnya, mazhab Hanafi dan mazhab Maliki.

Imam Syafi'i mulai mendirikan mazhabnya sendiri. Ia menyusun mazhabnya berdasarkan


Hadis dan Qiyas. Metodologi yang digunakan Imam Syafi'i merupakan hasil kolaborasi dari
ilmu hadis yang dipelajarinya dari para ahli di Hijaz dan para ahli kias di Irak. Kedua ilmu
tersebut dielaborasikan olehnya sebagai dasar dari mazhabnya, yakni mazhab Syafi'i.[11]

Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh
al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip
mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang).
Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.[5][12]

Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud
bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an
dalam menetapkan hukum Islam.

Sunah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran.
Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah
(pembela Sunnah Nabi).

Ijmak atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu
masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat,
bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena
menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.

Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijmak tidak juga ditemukan
hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara
menetapkan hukum Islam.
Kitab-kitab mazhab Syafi'i lain yang tersohor antara lain:[21]

Al-Muctasharul Kabier

Al-Muctasharush Shagier

Al-Farâidl, karya Al-Buwaithy

Al-Djami'ul Kabier

Al-Djami'ush Shagier, karya Al-Muzamy

Al-Mabsuth

Al-Muctashar, karya Harmalah Al-Mishry

Al-Fushul, karya Abu Ishâq Al-Mawarzy

Al-Bajân, karya Ash Shairafiy

Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau
metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah
Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang
paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu
keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para
pendukungnya.

A. 2 Biografi Mahzab Maliki

Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin
Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), Bahasa
Arab: ‫مالك بن أنس‬, lahir di Madinah pada tahun 711 M / 90H dan meninggal pada tahun 795M /
174H. Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadis, serta pendiri Mazhab Maliki. Juga merupakan guru
dari Muhammad bin Idris pendiri Madzhab Syafi'i.

Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin
Jutsail bin Amr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imam Malik dilahirkan di kota Madinah. sedangkan
mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat perbedaaan riwayat. Al-Yafii dalam kitabnya
Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa Imam Malik dilahirkan pada 94 H. Ibn Khalikan dan
yang lain berpendapat bahwa Imam Malik dilahirkan pada 95 H. Sedangkan Imam Adz-Dzahabi
meriwayatkan Imam Malik dilahirkan 90 H. Imam Yahya bin Bakir meriwayatkan bahwa ia
mendengar Malik berkata, "Aku dilahirkan pada 93 H," dan inilah riwayat yang paling benar
(menurut al-Sam'ani dan ibn farhun).[3]
Imam Malik bin Anas dikenal luas akan kecerdasannya. Suatu waktu ia pernah dibacakan 31
buah Hadis Rasulullah dan mampu mengulanginya dengan baik dan benar tanpa harus
menuliskannya terlebih dahulu.

Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40


tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.

Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadis, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari
seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi
yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al-
Laitsi al-Andalusi al-Mashmudi.

Sejumlah ulama berpendapat bahwa sumber-sumber hadits itu ada tujuh, yaitu al-Kutub as-
Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad-Darimi sebagai
ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibnu Hazm berkata,” Al Muwaththa’
adalah kitab tentang fiqh dan hadis, aku belum mengetahui bandingannya.

Hadis-hadis yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal,
mu’dlal dan munqathi. Sebagian ulama menghitungnya berjumlah 600 hadis musnad, 222 hadis
mursal, 613 hadis mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadis tanpa penyandara,
hanya dikatakan "telah sampai kepadaku” dan “dari orang kepercayaan," tetapi hadits-hadits
tersebut bersanad dari jalur-jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn
Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits-Nadifa
mursal, munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan tabi’in dan 600 dari
tabi’in-tabi’in. Imam Malik meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al-Mujmir, Zaib bin
Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, Az-Zuhri, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath
Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya banyak sekali di antaranya ada yang lebih tua darinya
seperti az-Zuhri dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri,
Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang
belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al-Qaththan dan Abi Ishaq.Malik bin
Anas menyusun kompilasi hadis dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini,
Al Muwatta'.Imam Malik diketahui sangat jarang keluar dari kota Madinah. Ia memilih
menyibukkan diri dengan mengajar dan berdakwah di kota tempat Rasulullah Saw wafat
tersebut. Beliau sesekali keluar dari kota Madinah untuk melakukan ibadah haji di kota Mekkah
A. 3 Biografi mahzab Hambali

Ahmad bin Hanbal (bahasa Arab: ‫أحمد بن حنبل‬, lahir 20 Rabiul awal 164 H (27 November 780)
- wafat 12 Rabiul Awal 241 H (4 Agustus 855))[1] adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam.
Ia lahir di Mary, Turkmenistan, utara Afganistan. Serta ia dikenal dengan nama Imam Hambali.

Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga
mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu,
ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Ia telah mempelajari
Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini, ia pernah pindah atau merantau ke Syam
(Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama
yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12
buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i
mengatakan tentang diri Imam Ahmad, "Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang
saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad
bin Hambal". Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru dia pernah berkata,
"Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal".

Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah

1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua
puluh tujuh ribu hadits.

2. Kitab at-Tafsir, tetapi Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini telah hilang”.

3. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh

4. Kitab at-Tarikh

5. Kitab Hadits Syu'bah

6. Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an

7. Kitab Jawabah al-Qur`an

8. Kitab al-Manasik al-Kabir

9. Kitab al-Manasik as-Saghir

10. Kitab Ushul as-Sunnah


A. 4 Mahzab Ja'fari

Ja‘fari adalah salah satu mazhab dalam aliran Syiah, dan kemudian terkenal dan termasuk
dalam lima mazhab besar bersama empat mazhab Suni (Syafi‘i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali).

Mazhab Ja‘fari didirikan Ja‘far as-Sadiq (80 H/699 M–148 H/765 M), imam keenam dalam
tradisi Syiah Imamiyah (Mazhab Imam Dua Belas). Nama lengkap Ja‘far as-Sadiq adalah Ja‘far
bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Setelah Ali bin Abi Thalib, ia dipandang sebagai imam terbesar kaum Syiah dalam rangkaian
Imam Dua Belas. Sebagian besar, untuk tidak mengatakan seluruhnya, pemikiran yang
berkembang dalam Syiah Imamiyah berasal dari Ja‘far as-Sadiq. Mungkin agak sulit dibedakan
mana pendapat resmi Syiah Imamiyah dan mana pendapat Mazhab Ja‘fari secara khusus.Berbeda
dari keempat mazhab lain dalam tradisi Suni yang hanya menitikberatkan perhatian pada
masalah hukum, Mazhab Ja‘fari di samping tetap membicarakan masalah hukum, juga
memasukkan masalah lain seperti teologi dan politik sebagai tema bahasannya.Pendapat Ja‘far
as-Sadiq di luar Hukum Islam. Imam Ja‘far as-Sadiq hidup pada masa ketika pertentangan
pendapat di kalangan umat Islam sudah menajam. Pertentangan itu telah mengarah pada
perpecahan politik, seperti masalah status muslim yang melakukan dosa besar, kada, dan kadar.

Masalah ini menjadi tema bahasan utama di kalangan tokoh muslim pada masa itu. Perbedaan
pendapat itu telah menyulut munculnya berbagai aliran dalam Islam, seperti Khawarij,
Muktazilah, Kadariyah, dan Murji’ah.

Dalam masalah politik, Syiah Imamiyah berpendapat bahwa khilafah (kekhalifahan) adalah
masalah duniawi. Meskipun demikian, mereka tetap menempatkan khilafah sebagai salah satu
rukun iman menurut versi Syiah Imamiyah.

Tentang proses menjadi khalifah, terdapat perbedaan pendapat antara Syiah Imamiyah secara
keseluruhan dan pandangan pribadi Ja‘far as-Sadiq. Syiah Imamiyah berpendapat bahwa jabatan
khalifah didapatkan melalui wasiat, sementara menurut Ja‘far as-Sadiq melalui pemilihan.

Jika pemerintahan sudah terbentuk, maka umat Islam wajib taat kepada khalifah (penguasa)
tersebut. Umat Islam dilarang memberontak terhadap penguasa yang sedang berkuasa, karena hal
itu akan menimbulkan kehancuran dalam masyarakat.

Kerusakan yang muncul akibat pemberontakan akan jauh lebih besar daripada kerusakan yang
diakibatkan kezaliman penguasa. Ja‘far as-Sadiq memberikan kriteria normatif bagi seorang
kepala negara, yakni harus adil, tepercaya, dan paling cakap di antara semua calon yang ada.

Dalam masalah teologi, Syiah Imamiyah sependapat dengan Muktazilah, yakni manusia
mempunyai kebebasan dalam bertindak dan karenanya manusia secara individual harus
bertanggungjawab atas perbuatannya.
Menurut Ja‘far as-Sadiq, Allah SWT telah memberikan kepada manusia qudrah (kuasa), dan
dengan qudrah itu manusia bertindak. Allah SWT hanya memberikan pilihan, yakni perbuatan
yang dilarang dan yang boleh dilakukan.

Tentang seorang muslim yang melakukan dosa besar, Syiah Imamiyah sependapat dengan
Muktazilah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar berada dalam dua posisi: antara mukmin
dan kafir.

Masalah lain yang terkait dengan teologi adalah taqiyyah, yakni merahasiakan keyakinannya
(kesyiahannya) untuk menghindari tekanan para penguasa. Seperti keyakinan dan pendapat
umum semua aliran Syiah, Syiah Imamiyah juga berpendapat bahwa seseorang diperbolehkan
melakukan taqiyyah.

Konsep taqiyyah ini sangat berkaitan dengan politik pada masa itu, karena para penguasa
sering memaksakan keyakinan mereka terhadap sebagian kelompok umat Islam. Demi
keselamatan mereka, Ja‘far as-Sadiq menganjurkan pengikutnya untuk melakukan taqiyyah.

Sumber Hukum Mazhab Ja‘fari. Sumber hukum Mazhab Ja‘fari adalah Al-Qur’an, sunah,
ijmak, dan akal. Dari daftar urutan sumber hukum tersebut, terlihat sedikit perbedaan antara
mazhab dalam tradisi Suni dan Mazhab Ja‘fari.

Semua mazhab sepakat mengenai tiga sumber hukum pertama, yakni Al-Qur’an, sunah, dan
ijmak, tetapi berbeda dalam menetapkan sumber hukum keempat. Dalam Mazhab Suni, sumber
hukum keempat adalah kias (analogi), sedangkan dalam Mazhab Ja‘fari adalah akal.

Mazhab Syiah menolak menggunakan kias, karena, menurut mereka, kias tidak dapat
digunakan untuk mengkhususkan nas.

Dari tata urutan sumber hukum di atas juga terlihat bahwa Mazhab Ja‘fari berperan sangat
besar bagi akal. Akal (penalaran) dapat digunakan sebagai dasar penetapan hukum kalau tidak
ditemukan nas. Artinya, Mazhab Ja‘fari membuka ruang yang sangat lebar bagi ijtihad.

Akal bagi Syiah Imamiyah paling tidak mempunyai dua fungsi: (1) untuk mengetahui
masalah yang harus diyakini, seperti mengetahui Tuhan dan kenabian; dan (2) untuk
menetapkan keputusan hukum atas masalah yang tidak ditemukan hukumnya dalam nas atau
ijmak.

Menurut Mazhab Ja‘fari, ijtihad tetap diperlukan ketika imam sudah tidak ada, apalagi sesuai
dengan perkembangan zaman, masalah sosial yang memerlukan keputusan hukum terus
bermunculan. Meskipun demikian, bagi Mazhab Ja‘fari, ijtihad tidak boleh dilakukan secara
sembarangan, tetapi harus tetap dilandaskan pada Al-Qur’an, sunah, pendapat para imam, dan
ijmak orang sebelum mereka.
Untuk menghindari penggunaan ijtihad secara semena-mena, Mazhab Ja‘fari memberikan
beberapa persyaratan kualitatif bagi seseorang yang melakukan ijtihad, yakni mengetahui: (1)
bahasa Arab secara mendalam; (2) ilmu kalam; (3) Al-Qur’an dan sunah serta seluk-beluk ilmu
yang berkaitan dengan kedua sumber tersebut;

(4) jalan istinbat (penyimpulan hukum dari dalil), manhaj (metode), istidlal (pencarian rujukan
pada ayat Al-Qur’an dan sunah), dan cara mempertemukan hadis yang saling bertentangan; (5)
masalah yang telah menjadi ijmak dalam mazhab; (6) hakikat masalah yang dihadapi; dan (7)
masalah ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terdapat dalam mazhab.

Mazhab Ja‘fari membagi para mujtahid menjadi empat:

(1) mujtahid mutlak (muÅtaq), yakni orang yang memiliki otoritas untuk berijtihad dalam segala
aspek secara mandiri;

(2) mujtahid fi al-furu‘, yakni orang yang hanya memiliki otoritas melakukan ijtihad dalam
persoalan furu‘ (cabang) ajaran agama, dan tidak bisa melepaskan diri dari kerangka ijtihad
mujtahid mutlak;

(3) mujtahid mukharrij, yakni orang yang hanya dibolehkan memberikan perbandingan di antara
pendapat para mujtahid, dan dibolehkan mengeluarkan pendapat pribadi berdasarkan pendapat
yang terkuat; dan

(4) mukharrij, yakni orang yang hanya dibolehkan untuk memilih pendapat yang terkuat, dan
tidak boleh mengeluarkan pendapat pribadi.

Kitab pokok yang menjadi pegangan Mazhab Ja‘fari adalah al-Kafi (Yang Mencukupi) karya
Abu Ja‘far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (w. 329 H/941 M); Man la Yahdiuruhu al-Faqih
(Orang yang Tidak Dihadiri oleh Ahli Fikih) karya Abu Ja‘far Muhammad bin Ali bin Husin bin
Musa Babuyah al-Qummi (w. 381 H/991 M); dan at-Tahdzab (Peringatan), serta al-Ibtisar
(Berpikir), keduanya karya Muhammad bin Hasan at-Tusi. Mazhab Ja‘fari berkembang di Iran,
Irak, India, Pakistan, Nigeria, Somalia, dan juga di beberapa dunia Islam lain.
A. 5 Mahzab Hanafi

Mazhab Hanafi (bahasa Arab: ‫الحنفية‬, translit. al-ḥanafīyah) ialah salah satu mazhab fikih
dalam Islam Sunni. Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu
Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi.[1]Mazhab ini diamalkan dan berkembang di
kalangan orang Islam Sunni di kawasan Afganistan, Irak, Persia, Mesir, Turki, anak-benua India,
Tiongkok, Rusia, dan sebagian Afrika Barat. Mazhab Hanafi juga sempat berkembang di
Maroko, tetapi kemudian mulai tergeser oleh Mazhab Maliki.[2].

Secara sederhana dasar-dasar metodologi fikih Abu Hanifah dalam menetapkan suatu hukum
fikih bisa dilihat dari urutan berikut:

1. Al-Qur'an,

2. Sunnah,

3. Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar),

4. Ijmak,

5. Qiyas,

6. Istihsan

buku terkait mazhab Hanafi dan menjadi pegangan utama para penganut mazhab Hanafi.
Buku-buku tersebut antara lain:[9]

1. Al-Djami'ul Kabier

2. Al-Djami'ush Shaghier

3. Al-Mabsuth

4. As-Sijarul Kabier

5. As-Sijarush Shagier

6. Az-Zijadat

Keenam buku yang ditulis oleh Muhammad Ibn Al-Hasan juga dikenal sebagai Kitab
Dhâhirur Riwâjah oleh para penganut mazhab Hanafi. Keenam buku tersebut kemudian
dikumpulkan lagi oleh Al-Hakim Asj Sjahied dalam karyanya yang berjudul Al-Kâfi.

Anda mungkin juga menyukai