Anda di halaman 1dari 24

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu

Mata kuliah :perbandingan madzhab fiqih


Dosen pengampu :Husnul Fatarib

Disusun oleh :

WIDIYA KUSUMANINGRUM (1602090062)

Kelas A
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
2017
A. Pengertian perbandingan madzhab fiqih
1. Pengertian Mazhab
Menurut bahasa,madzhab artinya tempat pergi,yaitu jalan. Menurut istilah
ialah hukum yang mencakup berbagai persoalan. Diserupakan dengan tempat
pergi atau jalan artinya bahwa jalan itu akan menyampaikan seseorang kepada
kehidupan, dan hukum itu akan menyampaikan ke akhirat.1
Secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo,
adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam.

Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat


mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat
yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari
pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh.

Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran


(paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkann
suatu hukum Islam dari al-Qur’an dan Hadits.
Menurut K. H. E Abdurrahman, mazhab dalam istilah Islam berarti pendapat,
paham aliran seorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam seperti mazhab
Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal, mazhab Imam Syafi’I,
mazhab Imam Malik, dan lain-lain.
Menurut A. Hasan, mazhab yaitu sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat
seorang alim ulam besar dalam urusan agama baik dalm masalah ibadah maupun
masalah lainnya.2
Menurut istilah para fakih mazhab mempunyai dua pengertian,yaitu:
a. Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
b. Kaidah-kaidah istimbath yang dirumuskan oleh seorang Imam Mujtahid.
Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa pengertian
mazhab adalah: Hasilijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlak Mustaqil)
tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbath.

1
Jalaludin Rahmad, zakat kajian berbagai madzhab,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya).
2
Dedi Supriadi, Ushul Fiqh Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h.17.
2. Pengertian fiqih
Fiqh merupakan sebuah ilmu yang diderivasi dari Al-quran dan hadist dengan
menggunakan kerangka sebuah metode yang disebut ushul fiqh. Ibnu Manzhur
dalam Lisan al-arab menjelaskan fiqih dari segi bahasa sebagai berikut:
“fiqh berarti pengetahuan mengenai sesuatu dan memahaminya. Hal ini
umumnya terkait pengetahuan masalah agama karena keunggulan dan
kemuliaannya dari berbagai bidang ilmu, fiqh pada dasarnya adalah paham,
dikatakan, si fulan diberi fiqh dalam hal agama, yakni diberi pemahaman tentang
agama, maksudnya agar mereka benar-benar memahaminya. Nabi muhammad
saw pernah mendoakan ibnu abbas ya allah ajarilah dia ilmu agama dan berilah
pemahaman tentang ta’wil. Allah mengabulkan doa tersebut dan jadilah ibnu
abbas salah satu orang yang paling memahami al quran di masanya.”
Kesimpulan fiqih adalah pengetahuan atau pemahaman terhadap hukum-
hukum syara yang sifatnya amaliyah. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui dalil
yang sudah terperinci atau yang tidak bersifat global.3
Perbandingan mazhab adalah mengumpulkan pendapat para Imam Mujtahidin
dengan dalil-dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan padanya,
kemudian membandingkan dalil-dalilnitu satu sama lainnya, agar Nampak setelah
dimunaqasyahkan pendapat mana yang terkuat dalilnya”.

Jadi, Perbandingan mazhab fiqih adalah ilmu pengetahuan yang membahas


pendapat-pendapat fuqaha’ beserta dalil-dalinya mengenai berbagi masalah , baik
yang disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil
masing-masing yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan
oleh mujtahidin untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya. Objek
pembahasan dari perbandingan mazhab adalah membandingkan, baik
permasalahanya maupun dalil-dalilnya.

3
Imam mustafa,Fiqh Muamalah Kontemporer,(Jakarta:PT RajaGrafindo 2016).h 1-2.
B. Sejarah Munculnya Mazhab-Mazhab Fiqh
1. Biografi singkat 4 imam mazhab
Mengingat betapa masyhurnya nama keempat imam mazhab ini,
berikut akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana pribadi dan pemikiran
mereka.
a. Imam Abu Hanifah (Tahun 80 – 150 H.)
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah an-Nu’man
bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa
Dinasti Umawiyyah dan pemerintahan abbasiyyah.4
Imam Abu Hanifah ialah sesorang yang amanah dan sangat cakap
benar dalam urusan perniagaan, beliau tidak menipu dan makan
keuntungan yang banyak, beliau juga seorang yang jujur dan tegas dengan
kebenaran dan juga seorang yang sangat menjaga marwah dalam semua
aspek hidupnya.5 Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak
bersandar pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian
ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di
kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu
Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai
sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama. Imam
Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh
berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah),
shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama
sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari,
Muslim dan lainnya. Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada
bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun, ia diwakafkan diperkuburan
khizra. Pada tahun 450/1066 H, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi
nama jami’ Abu Hanifah. Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap
tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Sedangkan di antara

4
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi (Empat Imam Mazhab), (Jakarta:
Amzah,2004), h.13-14.
5
Ibid., h.63-64.
kitab-kitab Imam Abu hanifah aadalah : Al-Musuan, Al-Makharij Dan
Fiqh Akbar.6
b. Imam Maliki (Tahun 93 – 179 H.)
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi,
dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Dalam sumber
lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin
Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail
bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani. Malik bin
Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal
Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia
dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan
fiqih. Imam malik tidak menerima hadist (rawi) yang tidak diketahui
tentang pengambilannya sekalipun pembawa hadist itu dari orang yang
baik dalam bidang agama.7 Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di
antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta’ yang berarti
‘kemudahan’ atau ‘kesederhanaan’. Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan
dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu,
ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Keistimewaan Al-Muwatta’
adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah
fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar.8 Imam Malik
meninggal dunia dimadinah yaitu pada tanggal 14 bulan robi’ul awal tahun
179 hijriyah ada juga pendapat yang mengatakan bahwa beliau meninggal
dunia pada 11, 13 dan 14 bulan rajab. Sementara an-nawawi juga
berpendapat beliau meninggal bulan safar. Pendapat yang pertama adalah
yang termasyhur malik dikebumikan ditanah perkuburan Al-Baq’i,
kuburnya dipintu Ai-Baq’i semoga Allah meridhoinya.9

6
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,( Jakarta: Lentera, 2013), h. Xxvi.
7
Ahmad, “Sejarah Dan Biografi.... h. 71-76.
8
Ibid., h. 103.
9
Ahmad,”sejarah dan biografi.... h. 138
c. Imam Syafi’i (Tahun 150 – 204 H.)
Ia bernama Muhammad Idris Asy-Syafii, Muhammad ibnu Idris bin
Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin
Hasim Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi.
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah
Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu
dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf ayahnya
meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa oleh
ibunya untuk pindah ke Makkah. Pada umur sekitar tujuh tahun Imam
Syafi’i sudah menghafal Al-Qur’an, selain itu ia juga banyak menghafal
hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang
sedemikian rupa , fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya. Dengan
kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat
mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhab
fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh
masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungan dalam
mazhab Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama) dan qaul
jadid (mazhab baru). Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam
Syafi’i dibangun di Irak pada tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke
Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafi’i
dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir
yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya.
Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya di muat dalam
bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam
di sana selama tiga tahun. 10
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat
pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap
masalah-masalah furu’iyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah
faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran Syafi’i.

Ahmad,”sejarah dan biografi...h.139.


10
Kemudian pada tahun 199 H, ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun
204 H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk
d. menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-
Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan
ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir.
C. Imam Hambali ( Tahun 164 – 241 H.)
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin
Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin
Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada bulan
robi’ul awal tahun 164 H. Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad masih
kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya. Ilmu yang pertama kali dikuasai
adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga
mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang
terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di
awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil
dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke
Syam (Syiria). Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama,
jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai
negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri
lainnya.11 Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat yang luhur
dan tinggi yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang hidup
semasa dengannya, juga orang yang mengenalinya. Beliau imam bagi
umat seluruh dunia, juga imam darussalam, mufti bagi negeri irak dan
seseorang yang alim tentang hadist-hadist rasulullah Saw. Juga seseorang
yang zuhud dewasa itu, penerang untuk dunia dan sebagai contoh dan
teladan bagi orang-orang ahli sunnah, seorang yang sabar dikala
menghadapi cobaan, seorang yang saleh dan zuhud. 12
2. Sejarah munculnya Empat Mazhab Fiqih
Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in yaitu sekitar abad
kedua Hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta
terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syariah.
11
Ibid.,
12
Ahmad,”sejarah dan biografi...h. 190
Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama
Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang
merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu
ini belum dibukukan. Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang
mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau 713-795 M) yang
memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul
al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan
kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-
159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum
Muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka.
Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat
Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi
faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah buku-
buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad
ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jâmi'
al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan
bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak Penghasilan). Abu
Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim) oleh seorang
khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara Abu
Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun alRasyid. Baik
Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para pengikutnya
masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki.
Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut.
Sementara kalangan ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan
tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka ahl al-ra'y
pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang 'illah-'illah
hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah.
Pada umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat
mengalahkan argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka
munculnya Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam
Syafi’i (150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak
hadis dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar
dan tujuan-tujuan hukum, dapat menghilangkan supremasi ahl al-ra'y
terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. Karena jasanya membela hadis,
maka ia dijuluki sebagai "nâshir al-sunnah" (pembela Sunnah). Keempat
mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini
dianggap sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-
Jama'ah.

Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta


para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari
penguasaan politik. Mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf,
murid abu Hanifah diangkat menjadi Qadhi dalam pemerintahan tiga
khalifah Abbasyiah: Al-mahdi, Al-hadi dan Al-Rasyid. Al-Kharaj adalah
kitab yang disusun atas permintaan khalifah Al-Rasyid dan kitab ini adalah
rujukan pertama rujukan Hanafi.

Mazhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan al-


Mansyur dan di khilafah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya ketika
diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika, Al-Mu’iz
Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti Mazhab Maliki.
Mazhab Syafi’i membesar di Mesir ketika Shalahuddin al-Ayubi merebut
negeri itu. Mazhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-
Mutawakkil. Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi
kecuali dengan persetujuan imam Ahmad Ibnu hambal.13
ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak
sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara
yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran
atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada
tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an

13
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih (Semarang, 1997),
Hlm. 66-67.
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain
karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash
(sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan
mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan
pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.14

Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam


mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya
dan ia tanpa disadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali
hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan
melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan
lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai
aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing
pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.

Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing


mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia
menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang
sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola kerja
dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam
disebut dengan ushul fiqh.15

Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut


pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama
ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-
masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Setelah
berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in,
muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in

14
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1997), hal.12.
15
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999),
hal. 3
dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai
daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini
dikenal dengan Tabi’it Tabi’in.
Menurut Harun Nasution, aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang
bercorak liberal, ada yang tradisional dan ada pula yang bercorak antara
liberal dan tradisional. Perbedaan pendapat pada aspek teologi ini juga
memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan pemahaman umat Islam
terhadap ajaran Islam itu sendiri.16
Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki
abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah
Abbasiyyah. Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran
fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih
pada periode ini. dan dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-
sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab
muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada sekarang. Dr.
Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul
sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang
“Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang
dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka
pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin
Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit
bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin
Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq
alTsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik
bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198
H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.), dan Imam
Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.)
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi
fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode
khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan,
16
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta
: UI Press, 2002) h.
Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir
adalah periode kemunduran fiqih.
1. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW
sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini
kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan
Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah AlQur'an dan
sunnah Nabi SAW. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi
periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah,
risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat
hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan
itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk
mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju
penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah,
ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini
seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang
menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidin
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW
sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk
pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada
periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga
ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad
ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya
tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya
setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.),
ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan
berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat
Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada
pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H.
3. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai
salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para
sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun
(terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33
H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang
berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada
pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam,
periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama
(700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol
pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan
ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan
berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang
ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
umum lainnya. Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258
M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti
Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian
para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat
besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong
fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna
menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian
para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat
ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta
Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-
Ma'mun. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya
penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang
paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh
Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-
Riwayah dan anNawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh
pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh
Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab
pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-
mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai
pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir,
takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-
masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas
pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan
melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh
lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan
oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid
mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama
fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip
mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya
berstatus sebagai mujtahid fi almazhab (mujtahid yang melakukan
ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat
dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara
mandiri, muncullah sikap atta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta
terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk
mempertahankan mazhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqa
mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul
pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling
tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan
tersebut.
a) Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk
menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada
salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
b) Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada
sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti
pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam
mazhab.
c) Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing
mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat
mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari
sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini
sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan
haram melakukan talfiq.
6. Periode kemunduran fiqh
ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai
munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata
Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh
pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang
semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam
sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid
secara membabi buta. Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak
memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah
disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa
berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar
(terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas
dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab),
tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir
tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri
perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
a.) Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa,
sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama
yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai
mazhab.
b.) Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan
penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah
atTaqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi
ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui,
baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun
menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun
ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh
bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib
dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang
berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk
transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan
kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling
tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat
dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak
dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan
utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas
sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini
dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa
kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim
[1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki
Usmani). Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum
(fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai
dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah
al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata
yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh
Mazhab Hanafi. Adapun sebab-sebab timbul perbedaan pendapat
Masalah khilafah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas
kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang
menyelesaikannya dengan cara yang sangat Sederhana dan mudah,
karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Akan tetapi
dibalik itu masalah khilatiah dapat menjadi ganjalan untuk
menjalin
keharmonisan dikalangan ummat Islam karena sikap ta'asubiyah
(fanatik) yang berlebihan tidak berdasarkan pertimbangan akal
sehat dan sebagainya. Perbedaan pendapat(masalah khilafiah
dalam fiqh) dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian
(ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan
hukum lslam,bahkan sebaliknya bisa memberikan kelenggaran
kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi. Hal ini
berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari
pendapat yang banyak itu,dan tidak terpaku hanya kepada satu
pendapat saja. Sebagian orang memang mempertanyakan, bahwa
perbedaan pendapat kenyataannya membawa laknat, bukan rahmat.
Perbedaan pendapat di kalangan orang awam dan orang yang
kurang ilmunya memang demikian. Perbedaan pendapat di
kalangan ilmuwan (cendekiawan), itulah yang membawa rahmat,
karena wawasan dan pandangannya luas dan tidak kaku. Adapun
daerah tempat terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) Secara
etimologis fiqhiyah, "ikhtilaf" merupakan term yang diambil dari
bahasa Arab yang berarti: berselisih, tidak sepaham,
sedangkansecara terminologis fiqhiyah, ikhh'laf adalah perselisihan
paham atau pendapat di kalangan para ulama fiqh sebagai hasil
ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum
tertentu. Menurut teori hukum Islam yang dibuat ulama pada
zaman pertengahan, struktur hukum Islam dibangun atas dasar
empat dasar yang disebut sumber-sumber hukum. Keempat sumber
itu adalah al-Quran, Sunnah Nabi, lima' dan Qiyas, sebagai dalil-
dalil syara' yang sudah disepakati. Sedangkan Istihsan, Mashalihul
Mursalah, 'urf, Istishab, Syariat sebelum ummat Islam dan mazhab
sahabat dinamakan dalildalil syara' yang tidak disepakati. Malahan
ada yang berpendapat bahwa sumber hukum yang disepakati hanya
dua saja, yaitu al-Quran dan Sunnah. Suatu pertanyaan yang patut
dikemukakan dalam kaitannya dengan sumber dalil-dalil syara'
yang disepakati adalah, apakah pada sumber dalil syara' tersebut
ada kemungkinan terjadi ikhtilaf?. Untuk menjawab pertanyaan di
atas, akan dicoba dijelaskan mengenai keempat sumber yang
dijadikan sebagai sumber dalil syara'. Nash-nash al-Quran ditinjau
dari segi petunjuknya terhadap hukum-hukum terbagi kepada dua
kategori: Qath'iyud-dalalah dan Zaanniyud dalalah. Pada ayat-ayat
alQuran yang termasuk dalam kategori ayat-ayat qath'iyud dalalah,
tidak dapat dita'wilkan dan dipahami dengan arti yang lain kecuali
hanya dengan arti yang sesuai dengan nashnash (ayat-ayat)
tersebut. Pada ayat-ayat yang masuk dalam kategori Zhanniy'ud
dalalah, arti nash-nash itu masih memungkinkan untuk dita'wil atau
dialihkan kepadapengertian yang lain. Dengan demikian. Pada
kategori yang kedua inilah terjadi ikhtilaf dalam nash-nash al-
Quran sebagai sumber rujukan dalam penetapan hukum. Dalam
bahasa lain dikatakan, bahwa perbedaan pendapat di kalangan ahli
hukum, adalah disebabkan karena perbedaan pendapat di antara
para sahabat dalam penafsiran al-Quran yang zhanni'iyud dalalah.
Berbeda dengan al-Quran yang seluruhnya qath'yatul wurud,
meskipun juga terdapat Zhanniyatul dalalah. Dalam hadits Nabi,
dari segi wurudnya ada yang qati'iyul wurud dan ada pula yang
zhanni'iyu iwurud disamping ada yang qat'iyud dalalah dan
zhanni'iyud dalalah. Oleh karena itu kemungkinan ada ikhtilaf pada
bidang hadits sangat besar. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui
ilmu musthalahul hadits, karena dengan ilmu tersebut kebenaran
dan kesahihan suatu hadits dapat diketahui baik dari segi matan
maupun sanad dan perawinya.
D. Tujuan dan Manfaat Mempelajari Perbandingan Mazhab Fiqh
Tujuannya ialah agar kita dapat memahami dengan baik tentang pendapat-
pendapat yang ada dalam berbagai mazhab yang berkembang dalam hukum
Islam untuk menumbuhkan sikap menghargai pendapat orang lain yang
berbeda dengan pendapat kita dan tidak terlalu fanatik (buta) dalam pendapat
atau mazhab yang kita anut. Di atas sudah dikemukakan, bahwa Imam Syafi'i
sangat bijaksana, bila berhadapan dengan masyarakat banyak Disamping itu
perlu kita renungkan,bahwa lmamSyafi'i pernah berbeda pendapat dengan
pendapatnya sendiri (qaul qadim ian qaul jadid). Dengan demikian, dipandang
amat wajar, bila eseorang (ulama), berbeda pendapat dengan orang lain.
Seorang mujtahid bebas berijtihad, asal saja tidak mem. batalkan ijtihad orang
lain. Berbeda,sekiranya dia' membatalkan ijtihadnya (meralat pendapat
lama)sendiri, seperti ImamSyafi'i. Jadi, pada suatu ketika Hanafiyah bisa saja
berbeda pendapat dengan Imam Hanafi, Malikiyah dengan Imam Malik;
Syafi'iyah dengan Imam Syafi'i dan Hanabilah dengan hanam Hanbali. Dalam
arah kita lihat cukup jelas contohnya. Bukankah Imam Syafi'i pernah berguru
kepada Imam Malik, dan Daud Zhahiri menganggap lmam Syafi'i sebagai
gurunya (walaupun tidak bertatap muka secara langsung), tetapi akhimya
mengambil jalan pikiran sendiri (mazhab sendiri). Dengan demikian, tidaklah
dipandang tabu, bila murid berbeda pendapat dengan gurunya. Selanjutnya
bidang bahasan dalam hukum fiqh ini, berkisar sekitar nash-nash yang
zhanniyatul dalalah dan masalah-masalah yang belum atau tidak ditemukan
hukumnya dalam nash(Al-Qur'an danSunnah). Sebagai contoh dapat kita lihat
mengenai bayi tabung, inseminasi buatan, bedah mayat,pencangkokan organ
tubuh, asuransidanmasihbanyakmasalah-masalah lain yang bermunculan dan
akan terus bermunculan. Masalah kontemporer semacam ini, biasanya dibahas
dalam bidang studi Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah.17
Diantara manfaat mempelajari perbandingan mazhab fiqh adalah sebagai
berikut :
1. Dapat mengetahui pendapat-pendapat para Imam mazhab (para Imam
mujtahid) dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai

17
M.Ali Hasan,Perbandingan Madzhab Fiqh,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2000).
dalil-dalil atau alasan-alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan
cara-cara istinbath hukum dari dalilnya oleh mereka.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan setiap
Imam Mazhab (Imam Mujtahid) dalam mengistinbath hukum dari dalil-
dalilnya, dimana setiap Imam Mujtahid tersebut tidak menyimpang dan
tidak keluar dari dalil-dalil al-Qur'an at’u as-Sunnah.
3. Dengan memperhatikan landasan berfikir para Imam Mazhab, orang yang
melakukan studi perbandingan mazhab dapat mengetahui, bahwa dasar-
dasar mereka pada hakikatnya tidak keluar dari Nushush al-Qur’an dan as-
Sunnah dengan perbedaan interprestasi, atau mereka mengambil Qiyas,
Mashalah Mursalah, Istihsab, atau prinsip-prinsip umum dalam nash-nash
syariat Islam dalam menyelesaikan semua persoalan yang hidup dala
masyarakat, baik ibadah maupun mu’amalah, yang dalil-dalil ijtihad
itupun digali dari nash-nash al-Qur’an dan Sunnah.
4. Dapat mengetahui hukum agama dengan sempurna dan beramal dengan
hukum yang didukung oleh dalil terkuat.
5. Dapat mengetahui berbagai pendapat, baik dalam satu mazhab, ataupun
mazhab-mazhab lain, baik pendapat itu disepakati atau diperselisihkan dan
dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan itu.
6. Dapat mengetahui metode istibath dan cara penalaran ulama terdahulu
dalam menggali hukum syara dari dalilnya yang terperinci
7. Dapat mengetahui sebab khilaf atau letak perbedaan pendapat yang
diperselisihkan
8. dapat memperoleh pandangan yang luas tentang pendapat para imam dan
dapat mentarjihkan mana yang terkuat.
9. Dapat mendekatkan berbagai mazhab sehingga perpecahan umat dapat
disatukan kembali, ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga
ukhuwah islamiyah lebih terjalin.
10. Dapat mengetahui betapa luasnya pembahsan ilmu fiqh
11. Dapat menghilangkan kepician dalam mengamalkan syari’at islam, yang
hanya terikat pada satu pendapat serta menyalahkan pendapat mazhab lain.
12. Dapat menghilangkan sifat taqlid buta.
E. Hambatan atau Kendala mempelajari Perbandingan Madzhab
1. Kurangnya referensi bacaan dalam mengerjakan tugas perbandingan
madzhab.
2. Dalam pemahaman sejarah sulit dimengerti. Karna sejarah merupakan
kejadian pada masa lampau.
3. Sulit dimengerti karna merupakan hal yang baru dalam mempelajari
perbandingan madzhab.

F. Penyebaran Mazhab Fiqh di Wilayah Islam.


Dewasa ini muslim tersebar di berbagai kawasan dan negara. Berdasarkan data
dari PBB pada tahun 1998 jumlah muslim sebanyak 1.164.622.000
orang(19,64%) yang tersebar di 208 negara. Sementara itu, penduduk dunia
sebanyak 5.929.839.000 orang, yang menghuni 238 negara. Sampai dengan tahun
1990 jumlah muslim bekas Uni Soviet. Ketika komunisme mengalami
kehancuran, muslim di bekas negara tersebut kembali mempraktikkan ajaran
islam.mereka adalah komunitas sunni 83%, komunitas syi’i 16% dan komunitas
lain 1%. Muslim menyebar di beberapa negara Asia dan Afrika. dalam kedua
benua itu dipilah menjadi sembilan kawasan:18
a. Asia Tenggara: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philiphina
Singapura, dan Muangthai.
b. Asia Selatan: Bangladesh,Butan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan dan
Srilanka.
c. Asia Tengah: Azerbaijan, chechnia, Dagestan, Ingushetia, Kabardino-
Balkania, kajakstan, kirgiztan, tajikistan, Turkmenistan, Usbekistan.
Disamping itu, masuk dalam kawasan ini Afganistan dan Turki.
d. Timur Tengah : Bahrain, Irak, Iran, Yordania,Kwait, Libanon, Oman,
Qatar, Saudi Arabia, Syiria, Uni Emirat Arab, dan Yaman.
e. Afrika Barat : Chad, Gambia, Guinea, Kamerun, Mali, Mauritania,
Nigeria, Niger Selatan, Senegal dan Syiera Leone.
f. Afrika Utara: Aljazair, Mesir, Libia, Maroko dan Tunisia.

18
Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, (Bogor:Kencana 2003),h.243-248.
g. Tanduk Afrika : Chad Timur, Djibauti, Eriteria, Somalia, Ethiophia, dan
Sudan.
h. Afrika Tengah dan Timur : Burundi, Kenya, Luanda, Tanzania, dan
Uganda.
i. Afrika Selatan : Malawi dan Afrika Selatan.19
Sebaran mazhab fiqh meliputi kawasan yang luas. Menurut Tahir Mahmod
(1987:10) di Afrika Utara: Aljair, Lybia, Mauritania, Maroko, Sahara, Tunisia,
dan sebagian Sundan didominasi mazhab Maliki. Pemerintahan Qatar dan Saudi
Arabia mengikuti mazhab Hambali. Afganistan dan Turki merupakan benteng
mazhab Hanafi. Mayoritas muslim di Bangladesh dan Pakistan menganut mazhab
Hanafi, penganut mazhab Syafi’i, ja’fari , dan Isma’ili merupakan minoritas. Di
Asia Tenggara: Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia menganut mazhab
Syafi’i. Di Iran didominasi mazhab Ja’fari. Mazhab Isma’ili berkembang di
Libanon. Sedangkan mazhab Zaidi dan Ibadi berkembang di Yaman dan Oman.
Perkembangan mazhab fiqh khususnya di beberapa negara di Asia dan Afrika,
menggambarkan salah satu wujud peradaban islam yang berkembang melalaui
tradisi besar. Tradisi tersebut memiliki enam ciri :
1. Berpangkal dari pandangan dunia yang kosmopolit. Dunia, dimensi ruang
dan waktu dengan segala isinya, dipandang sebagai suatu sistem, yakni
sistem global.
2. Berkembang melalaui tradisi membaca, berfikir dan berdialog dan menulis
secara terbuka dan toleran.
3. Gagasan yang dirumuskan oleh pemikir dalam hal ini imam mazhab di
sebarkan dari kawasan kota yang pluralistis.
4. Disebarluaskan dengan dukungan tradisi pengembaraan dan mobilitas
spesial oleh komunitas yang sentrifugal.
5. Diterima oleh komunitas dalam lingkaran kebudayaan yang adaptif
terhadap unsur baru dari luar.
6. Mendapat dukungan dari kekuasaan politik.
Atas perihal tersebut mazhab fiqh disebarluaskan secara kultural dengan
dukungan dari kekuasaan politik. Terjadi hubungan yang saling menguntungkan

19
Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, (Bogor:Kencana 2003),h.243-248.
antara fuqaha sebagai penganut dan transmiter mazhab dengan elite penguasa.
Fuqaha memperoleh dukungan politik dari elite penguasa. Sedangkan elite
penguasa memperoleh dukungan kultural dari fuqaha dan komunitas mazhab.20

20
Ibid.,h.248.
Daftar Pustaka

Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi (Empat Imam Mazhab), (Jakarta:


Amzah,2004).

Dedi Supriadi, Ushul Fiqh Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013).

Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,


(Jakarta : UI Press, 2002)

Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, (Bogor:Kencana 2003).

Imam mustafa,Fiqh Muamalah Kontemporer,(Jakarta:PT RajaGrafindo 2016).

Jalaludin Rahmad, zakat kajian berbagai madzhab,(Bandung:PT Remaja


Rosdakarya).

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,


1997).

M.Ali Hasan,Perbandingan Madzhab Fiqh,(Jakarta:PT Raja Grafindo


Persada,2000).

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999).

Anda mungkin juga menyukai