Anda di halaman 1dari 12

MENGENAL MAZHAB DALAM STUDI HUKUM

ISLAM
IMAM AHMAD BIN HANBAL

DOSEN PENGAMPU: Dr. H. Hasbullah, S.Th.I., ma

Disusun oleh :

Reno yulianda (301180056 )

Nur Aida Hamli (301180059 )

Kelas: IB IAT
BAB I

PENDAHULUAN

A . Latar Belakang
Islam pada masa Rasulullah SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham
terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, sehingga
bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat menggunakan
pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup.
Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur‟an, As Sunnah dan
kepada perkataan sahabat.
Seiring perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke
waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As Sunnah
maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas
(analogi) sebagai syara‟ (hukum Islam). Sehingga seiring perkembangan waktu pun banyak
terjadi perbedaan madzhab.
Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embriio dari perbedaan
madzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks),
walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur‟an dan As Sunnah. Namun
perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya dan faktor adaptasi
perkembangan jaman.
Madzhab dalam hukum islam pun semakin bermunculan. Sebagai contoh ada madzhab
sunni yang terdiri dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali. Sedangkan madzhab
syafi‟a terdiri dari madzhab Zaidi dan Imamiyah yang semua itu perlu untuk kita ketahui sebagai
pertimbangan dalam kita melaksanakan keislaman. Dalam makalah ini kami bermaksud
membahas tentang madzhab fiqh dan seluk beluknya.
BAB II

PEMBAHASAN

A . Madzhab Hambali
Mazhab ini dipelopori oleh Ahmad ibn Hambal. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Ahmad ibn Hambal ibn Hilal ibn Assad al – Syaibani yang lebih populer dengan nama Ahmad
ibn Hambal. Ia dilahirkan di Kota Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan wafat pada kota ini
pula pada tahun 241 H/855 M. Beliau sejak kecil sudah belajar serta menghafal Al – Qur‟an
disamping itu ia juga belajar fiqh kepada sejumlah ulama‟ di Baghdad, Imam Abu Yusuf murid
dari Imam Abu Hanifah.
Kecerdasan dan kesungguhannya sangat luar biasa, hal ini ditunjukan ketika ia menginjak
umur tujuh tahun mulai berkelana ke berbagai daerah antara lain Kufah, Basrah, Makkah,
Madinah, Syam dana Yaman. Beliau lebihh banyak menekuni hadits meskipun iepun juga
seorang ahli fiqh iapun juga menjadi seorang mujtahid mustaqil ( mujtahid yang tidak terkait
dengan mazhab pendahulunya ). Imam As-Suyuti dalam kitab ar-Radd ‘alaa Man Akhlada ‘ilaa
al-Ardhi, mengatakan bahwa para pengikut mazhab Hambali dengan kesekapakatan mereka
berpendapat bahwa suatu zaman tidak pernah kosong dari mujtahid, sesuai dengan sabda Nabi
saw.,
“Senantiasa ada segolongan dari umatku yang membela kebenaran, sampai datang keputusan
Allah.” (HR.Hakim dan Ibnu Majah).[1]
Akan tetapi meskipun ia mengembangkan mazhab tersendiri, jalan istinbat yang ditempuhnya
lebih dekat dengan gurunya yaitu Imam Syafi‟i.
Kedalaman dan keluasan ilmu Ahmad ibn Hambal terutama dalam bidang hadits sangat
luar biasa dan diakui oleh berbagai kalangan. Beliau telah berhasil menghimpun sejumlah hadits
selama masa belajarnya kuranng lebih sebanyak empat puluh ribu hadits, yang terkumpul dalam
kitab yang terkenal dengan Musnad Ahmad Ibn Hambal. Mengenai karya – karya nya di bidang

1
Yusuf Al-Qaradhawi, Memahami khazanah klasik, mazhab, dan ikhtilaf.( Jakarta; AKBAR MEDIA EKA
SARANA. 2003).156
fiqh tidak didapatkan penjelasan secara pasti, karena ia sendiri tidak mendiktikan kepada murid –
muridnya sehingga tidak bisa menemukan pandangan fiqhnya secara orisinil. Dalam hal ini Abu
Hasan At – Thalib dasar – dasar hukum yang dipakai oleh Ibn Hambal yaitu, pertama al –
Qur’an, kedua, as – Sunah, ketiga al – Ijam’, keempat, al – Qiyas, kelima al – istihsab, keenam,
al–Masalih al Mursalah dan ketujuh Saduz Zariah. Berkenaan dengan hadits beliau
menggunakan Hadits Mursal dan Hadits Dhaif daripada Qiyas. Darisinilah menunjukan
karakteristik corak pemikiran beliau yang lebih mengutamakan nash formalistik dan pendekatan
tekstual dalam istinbat hukum, dan jarang menggunakan ra‟yu.

B . Sejarah dan Perkembangannya


Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai
penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang
baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim
Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan
sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur‟an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra‟yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang
berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur
penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi‟in, muncullah
generasi Tabi‟it Tabi‟in. Ijtihad para Sahabat, dan mewajibkan ijtihad pada setiap orang, bahkan
sampai kepada kalangan awam sekalipun. Mereka yang mengatakan pendapat ini mengharuskan
setiap muslim untuk mengambil hukum-hukum syariat dari Al-kitab, as-Asunnah dan Tabi‟in
dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan
kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi‟it Tabi‟in. Di dalam
sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana
pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.[2]
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah
„‟The Golden Age‟‟. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam
bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang
ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing
ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang
menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi
imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih
banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode
ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, di mana
lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang
berjasa mengintegrasikan fiqh Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi
landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.
Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran
di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli ra‟yu merupakan penyebab timbulnya
mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran
operasional.Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-
mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam
masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi
menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan.
Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟i, Ahmad bin
Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah
ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-
kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya
bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan
al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.

2
Yusuf Al-Qaradhawi, Memahami khazanah klasik, mazhab, dan ikhtilaf.( Jakarta; AKBAR MEDIA EKA
SARANA. 2003).90.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut
terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi
doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan
melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan
yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan
oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut
merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan
kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola
kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan
ushul fiqh.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut
Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-
mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya
mazhab-mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja
yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih
bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii,
Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut:
1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah
a. ahl al-Ra‟yi, kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi
b. ahl al-Hadis terdiri atas :
1). Mazhab Maliki
2). Mazhab Syafi‟I
3). Mazhab Hambali
2. Syi‟ah
a. Syi‟ah Zaidiyah
b. Syi‟ah Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah
a. Mazhab al-Auza‟i
b. Mazhab al-Zhahiry
c. Mazhab al-Thabary
d. Mazhab al-Laitsi.
Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-„Ulwani beliau
menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi‟in berjumlah 13
aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Ibnu Taimiyyah ketika
menerangkan keyakinan Ahlu sunnah mengenai para sahabat berkata, ”Di antara hal yang
menjadi prinsip Ahlu sunnah wa jama‟ah adalah terpeliharanya hati dan mulut mereka dari apa
yang terjadi antara para sahabat Rasulullah saw,. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui
dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah
sebagai berikut :[3]
1. Abu Sa‟id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
2. Abu Hanifah al-Nu‟man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)
3. Al-Auza‟i Abu „Amr „Abd Rahman ibn „Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)
4. Sufyan ibn Sa‟id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
5. Al-Laits ibn Sa‟ad (w. 175 H.)
6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i (w. 204 H.)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
10. Daud ibn „Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
13. Ibnu Jarir at-Thabari

C.Dasar-Dasar Mazhab Hambali dan perbedaannya dengan mazhab lain dalam penentuan
hukum

3
Yusuf Al-Qaradhawi, Memahami khazanah klasik, mazhab, dan ikhtilaf.( Jakarta; AKBAR MEDIA EKA
SARANA. 2003).430.
Imam Hambali, menurut Ibnu Al Qayyim menggunakan lima landasan pokok yang
dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa-fatwanya, yaitu:
1. Al Quran dan Sunnah, jika ada nashnya dalam Al Quran dan hadis maka tidak berpaling pada
sumber lainnya.
2. Fatwa Sahabat yang terkenal dan tak ada yang menentangnya.
3. Jika para sahabat berbeda pendapat, maka beliau akan memilih pendapat yang dinilainya lebih
sesuai dan mendekati Al Quran dan Sunnah, namun jika perbedaan pendapat tersebut tidak ada
kesesuaiannya dengan Al Quran maupun Sunnah maka beliau mengambil sikap diam atau
meriwayatkan kedua duanya.
4. Mengambil hadis Mursal (sanadnya tidak disebutkan perawinya) dan hadis Dhaif (lemah),
dalam hal ini hadis dhaif lebih didahulukan dari pada Qiyas.
5. Qiyas, digunakan bila tidak ditemukan dasar hukumnya dari keempat sumber di atas.
Mazhab Hambali berdasarkan atas nash, yaitu Al-Qur‟an dan Hadist yang shahih, fatwa sahabat,
pendapat sahabat paling dekat dengan Al Qur‟an dan hadits, hadits dha‟if yang tidak terlalu
lemah dan hadits mursal, dan yang terakhir, jika terpaksa, juga qiyas. Karena itu mazhab ini
digolongkan sebagai aliran ahlu „l-hadits yang mendahulukan hadits walaupun dhaif daripada
ra‟ya. Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan mazhab Hambali antara lain Abu „l-Qasim al-
Karkhi (wafat tahun 881 M), Abdu „l-Aziz Ja‟far (wafat tahun 910 M), Ibnu Qudamah (wafat
tahun 1164 M), Ibnu Taymiah (wafat 20 Syawal tahun 749 H [15] / 1273 M) dan Ibnu Qayyim
(wafat tahun 1296 M). Penganut mazhab ini terutama terdapat di Arab Saudi.

Mazhab Hanbali adalah satu daripada empat mazhab fiqih terkenal dalam aliran ahli
sunnah wal jamaah Mazhab ini juga mendapat pengikut dari aliran Wahabi dan Salafi tetapi
posisi ini tidak diakui oleh sarjana Islam. Aliran Salafi merujuk mazhab Hambali sebagai
mazhab Athari. Mazhab Hambali ini kebanyakan diamalkan oleh masyarakat Islam di
Semenanjung Arab.

Mazhab ini banyak dianut penduduk Arabia Tengah, di Saudi Arabia (terutama kaum
Wahabi dan tokoh lainnya adalah Ibnu Taymiiah yang kemudian dijadikan sumber doktrin dalam
memberantas tradisi pengagungan (ziarah) kubur para Wali dan orang muslim), juga
dipedalaman Oman dan beberapa tempat disepanjang Teluk Parsi dan beberapa kota Asia
Tengah. Kini mulai berkembang di Malaysia dan Asia tenggara.
Abu Zahrah mengatakan bahwa pada tahap ini, Imam Ahmad bin Hanbal berbeda dengan
Imam Syafi‟i. Bagi Imam Syafi‟i, ketika mendapatkan perbedaan fatwa sahabat, maka
memilihnya dengan cara tarjih, yakni memilih pendapat yang lebih kuat meskipun harus
menempuh dengan metode qiyas (analogi). Maka, pendapat sahabat yang lebih kuat dan cocok
dengan qiyas tersebut akan dipilihnya.

Cara tersebut berbeda dengan Imam Ahmad yang memilih pendapat sahabat yang tidak
bertentangan dengan nash Alquran dan hadis. Dia tidak menggunakan metode qiyas layaknya
Imam Syafi‟i, karena baginya posisi qiyas berada di bawah fatwa para sahabat. Sedangkan
sumber keempat adalah Hadis Mursal, yaitu hadis yang dalam rentetan perawinya tidak
disebutkan nama sahabat, atau Hadis Dlaif (lemah) yang tingkat kelemahan tak separah Hadis
Maudlu’ (palsu). Dari sini pula Imam Ahmad terlihat lebih mendahulukan sumber ini ketimbang
qiyas.

Sumber terakhir adalah metode qiyas. Sumber ini merupakan cara terakhir dalam
menjawab permasalahan umat jika memang jawabannya tidak ditemukan di dalam nash, fatwa
sahabat, pendapat tabi’in, atau riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi yang
keabsahaannya masih dipersoalkan. Bagi Imam Ahmad, mengamalkan Hadis Dlaif dalam
cakupan fadlailul a’mal (keutamaan perbuatan) sah-sah saja selama kelemahan hadis tersebut
tidak parah. Berbeda jika berkaitan dengan penetapan hukum syari‟at, maka Hadis yang
dijadikan dasar harus Hadis Shahih.Pengambilan lima sumber hukum dalam Mazhab Hanbali ini
bersifat hirarkis. Artinya harus berurutan secara tertib dari sumber pertama sampai terakhir. Dari
sini bisa terlihat, porsi akal dalam penetapan fatwa bagi Mazhab Hanbali sangat sedikit, dan
lebih banyak memberikan porsi nash dan riwayat-riwayat perkataan sahabat dan tabi’in.Ibnu
Khaldun dalam bukunya Muqaddimah menyatakan, mazhab Hanbali memperketat dan
meminimalisir ruang ijtihad (penafsiran). Karena bagi mereka, selama masih ada nash atau
riwayat para sahabat dan tabi’in yang dapat dijadikan pijakan dalam mengeluarkan fatwa ruang
ijtihad makin sempit. Mereka (pengikut mazhab Hambali) mengatakan, “Karena ijtihad adalah
fardhu kifayah, maka ketiadaannya akan menimbulkan suatu dampak, yaitu orang-orang muslim
sepakat dalam kebatilan dan ini mustahil. Karena umat ini dijaga dalam kebatilan.”[4]

Mazhab Hanbali mencukupkan diri dengan memahami teks-teks tersebut berdasarkan


riwayat yang dihafalkan dan diwariskan dari masa ke masa. Makanya kemudian mereka
mengklaim sebagai mazhab berhaluan (manhaj) salaf, di mana mereka (orang-orang salaf) begitu
memprioritaskan nash dan fatwa sahabat dalam menyelesaikan persoalan keagamaan.Mazhab
Hanbali begitu menekankan nash dan riwayat-riwayat tersebut untuk dijadikan solusi dalam
menjawab fenomena keagamaan seiring perkembangan zaman.

4
Raudhah an-Nazhr, Ibnu Qudamah, hlm.317, 374, dan Mukhtashar fii Ushuul al-Fiqh, Ibnu al-Liham, hlm.
176.
BAB III

KESIMPULAN

Madzhab fiqih besar yang menempati urutan keempat berdasarkan periodisasi


kemunculannya adalah Madzhab Hambali, yang didirikan oleh muhaddits besar Imam Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal. Madzhab ini muncul di kota kelahiran pendirinya. Baghdad, pada
akhir abad ketiga dan awal abad kedua, yang bertepatan dengan masa pemerintahan Daulah Bani
Abbasiyah.
Sumber-sumber yang di ambil oleh imam anbali adalah Al-Qur‟an. As-sunnah, fatwa
sahabat, qiyas, istiskhab, dan syad adz-dzara‟i.
Metode yang dikembangkan oleh ahmad bin hambal adalah metode Dialektika. Awal
perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang
sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan
Raja Abdul Aziz As Su‟udi. Mazhab ini dianut kebanyakan penduduk Hejaz, di
pedalaman Oman dan beberapa tempat sepanjang Teluk Persia dan di beberapa kota Asia
Tengah. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan
mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lain, perkembangan pengikut Madzhab
Hambali bisa dibilang yang paling tersendat. Menurut sejarawan muslim, hal ini disebabkan rata-
rata ulama Madzhab Hambali enggan duduk dalam pemerintahan., seperti menjadi qadhi (hakim)
atau mufti. Karena menolak menjadi pejahat pemerintah, otomatis madzhabnya pun tidak pernah
menjadi madzhab resmi negara. Padahal dengan menjadi madzhab resmi negara, bisa dipastikan
suatu madzhab akan berkembang pesat diwilayah kekuasaan pemerintah tersebut.Madzhab
Hambali terkenal sangat ketat dan teguh dalam menggunakan dasar sunnah. Tak mengherankan
dalam berbagai literatur, madzhab ini juga sering disebut dengan nama fiqh assunnah
DAFTAR PUSTAKA

Yanggo, Huzaemah Tahido. 2003. Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos.

Asy-syurbasi Ahmad. 1993. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Radar jaya
Offset.

Yusuf Al-Qaradhawi, Memahami khazanah klasik, mazhab, dan ikhtilaf.( Jakarta; AKBAR MEDIA EKA
SARANA. 2003).156

Anda mungkin juga menyukai