Anda di halaman 1dari 36

BAB I PEMIKIRAN IMAM MAZHAB

A. PENDAHULUAN
Pada masa dinasti Abbasiyah tahun 750 1258 M muncul mazhab mazhab fiqh yang
diantaranya empat imam mazhab yang terkenal yaitu imam Hanafi dari kufah, imam maliki
dari madinah, imam Syafii dari gaza, dan Imam Hanbali dari baghdad.
Mereka merupakan ulama fiqh yang paling agung dan tiada tandingannya di dunia dengan
kitab- kitab yang terkenal yang sangat memberi andil dalam pengembangan ilmu fiqh yaitu
al-fiqhul Akbar karangan imam Abu hanifah, kitab Al-Muwattha karangan Imam Maliki,
kitab al-umm karangan Imam Syafii Dan Kitab Al- kharraj karangan Imam Hanbali. Pada
Masa Ini Ulama juga Telah Menyusun Ilmu ushul Fiqh yaitu ilmu tentang kaidah kaidah
dalam pengambilan hukum Islam. Ar- Risalah Karangan Imam Syafii Adalah merupakan
Kitab Ushul Fiqh yang paling pertama.
B. SEJARAH KEMUNCULAN MAZHAB
1. Pengertian mazhab
Menurut Bahasa mazhab berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan
(kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fiil madhi dzahaba yang berarti
pergi. Sementara menurut Huzaemah T. Yanggo bisa juga berarti al-rayu yang artinya
pendapat.
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah T. Yanggo, adalah
pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah,
atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang
pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid
tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Quran dan hadits.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa yang diambil dari al-Quran dan hadits.
2. Sejarah Singkat Munculnya Mazhab Fiqh
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan
pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka,
selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena
perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana
diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak
sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut.
Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan
sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz
Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada
tiga yakni : 1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Quran 2. Perbedaan
para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena
rayu.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabiin, muncullah generasi
Tabiit Tabiin. Ijtihad para Sahabat dan Tabiin dijadikan suri tauladan oleh generasi
penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu.

Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabiit Tabiin. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa
ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh
Daulah Abbasiyyah.
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah
The Golden Age. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam
bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai
cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari
bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawancendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah.
Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah
dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam
juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih
yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih
Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama
fiqih sampai sekarang.
Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran
di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli rayu merupakan penyebab
timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan
pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era
kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah
melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam
melakukan istinbat hukum.
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi
menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan.
Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Ahmad bin
Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidahkaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan
kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya
hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran
dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus
berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi
doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan
melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat
perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya
menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut
merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja
dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan
pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut
dengan ushul fiqh.
Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam

masalah furuiyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami
nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara
pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang
memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir
nash, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.
Menurut penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat
mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena
pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan
mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing
mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan
pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka
terhadap kedudukan al-Quran dan al-Sunnah.
C. DASAR-DASAR PEMIKIRAN MAZHAB EMPAT DAN SEBAB TIMBULNYA
PERBEDAAN
1. Dasar-dasar Pemikiran Mazhab Empat
Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisinalisme telah melahirkan madzhabmadzhab fiqih islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqih
tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai laposan masyarakat. Dalam sejarah
pengkajian hukum islam dikenal beberapa madzhab fiqih yang secara umum terbagi dua,
yaitu madzhab sunni dan madzhab syii. Di kalangan Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu
hanafi, maliki, syafii dan hambali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua madzhab fiqih,
yaitu Zaidiyah dan Jafariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab
Jafariah dan Syiah Imamiyah.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasinya pada mazhab-mazhab fiqh dari golongan
sunni. Berikut ini kami sebutkan riwayat fuqoha-fuqoha yang mazhabnya dibukukan dan
mereka mempunyai pengikut diberbagai negara-negara besar.
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah Numan ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di Kufah,
pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zaman kekuasaan Abdul malik ibn Marwan.
Dikala muda ia mempelajari fiqh dari Hammad bin Abu Sulaiman, beliau juga banyak belajar
pada ulama-ulama tabiin seperti Atha bin Abu Rabah dan Nafi Maula Ibnu Umar. Pada
awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi
pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (rayu). Imam Abu
Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru
yang belum terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas
(analogi) dalam menentukan hukum.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah
pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi
perpindahan kekuasaan dari khalifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang
tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat
luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat
gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan
gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.

Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami al-Fushulai, Dlarar alHukkam, kitab al-Fiqh dan qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar Madzhab Hanafi
adalah :
a. Al-Quranul Karim
b. Sunnah Rosu dan atsar yang shahih lagi masyhur
c. Fatwa sahabat
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Adat dan uruf masyarakat
Akhirnya Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rejab 150H/767M ketika di dalam
penjara disebabkan termakan makanan yang diracuni orang. Dalam riwayat lain disebutkan
bahawa beliau dipukul dalam penjara sehingga mati. Kematian tokoh ilmuan Islam ini dirasai
oleh dunia Islam. Solat jenazahnya dilangsungkan 6 kali, setiapnya didirikan oleh hampir
50,000 orang jamaah. Abu Hanifah mempunyai beberapa orang murid yang ketokohan
mereka membolehkan ajarannya diteruskan kepada masyarakat. Antara anak-anak murid Abu
Hanifah yang ulung ialah Zufar (158H/775M), Abu Yusuf (182H/798M) dan Muhammad bin
Hasan al-Syaibani (189H/805M)
b. Imam Malik (93-179 H)
Beliau adalah Maliki bin Annas bin Abu Amir. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Ia
menuntut ilmu pada ulama Madinah. Orang pertama yang menjadi tempat belajar adalah
Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga pada belajar pada Nafi maula Ibnu Umar dan Ibnu
Syihab az-Zuhri. Adapun gurunya dalam fiqh adalah Rabiah bin Abdur Rahman.
Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta, sebuah kitab hadits bergaya fiqh. Inilah
kitab tertua hadits dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia seorang Imam dalam ilmu
hadits dan fiqih sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan kepemimpinannya dalam
dua ilmu ini.
Dalam fatwa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi
beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadits ahad, dalam ini disebabkan
karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat. Setelah asSunnah, Malik kembali ke Qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalanpersoalan dibina atas dasar mashlahah mursalah.
Dasar madzhab Maliki dalam menentukan hukum adalah :
1. Al-quran
2. Sunnah
3. Ijma ahli madinah
4. Qiyas
5. Istishab / al-Mashalih al-Mursalah
Malik pernah dihukum oleh gabenor Madinah pada tahun 147H/764M kerana telah
mengeluarkan fatwa bahawa hukum talak yang cuba dilaksanakan oleh kerajaan Abbasid
sebagai tidak sah. Kerajaan Abbasid ketika itu telah membuat fatwa sendiri bahawa semua
penduduk perlu taat kepada pemimpin dan barangsiapa yang enggan akan terjatuh talak ke
atas isterinya ! Memandangkan rakyat yang lebih taatkan ulama daripada pemimpin,
pemerintah Abbasid telah memaksa Malik untuk mengesahkan fatwa mereka. Malik enggan
malah mengeluarkan fatwa menyatakan bahawa talak sedemikian tidak sah (tidak jatuh

talaknya). Malik ditangkap dan dipukul oleh gabenor Madinah sehingga bahunya patah dan
terkeluar daripada kedudukan asalnya. Kecederaan ini amatlah berat sehinggakan beliau tidak
lagi dapat bersolat dengan memegang kedua tangannya di dada, lalu dibiarkan sahaja di tepi
badannya.
Malik kemudiannya dibebaskan dan beliau kembali mengajar di Madinah sehinggalah beliau
meninggal dunia pada 11 Rabiul-Awal tahun 179H/796M. Di antara anak-anak murid beliau
yang masyhur ialah Abd al-Rahman bin al-Qasim al-Tasyri (191H/807M), Ibn Wahhab Abu
Muhammad al-Masri (199H/815M) dan Yahya bin Yahya al-Masmudi (234H/849M).
c. Imam As-Syafii (150-204 H)
Beliau adalah Imam Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi as-Syafii alMuthalibi. Ia dilahirkan di Ghazzah tahun 150 H di daerah Asqalan.beliau hafal Quran pada
usia kanak-kanak. Kemudian ia pergi ke Hudzail untuk menghafal syair-syair dan belajar
kesusastraan. Selanjutnya ia belajar pada Muslim bin Khalid az-Zanji seorang syeikh dan
Mufti tanah Haram, setelah selesai belajar kepadanya ia minta untuk dibuatkan surat
pengantar kepada Malik bin Anas imam tanah Hijrah (Madinah), maka ia dibuatkan surat itu
untuk Malik yang ahli Hadits.
Syafii pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari
dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang
dalam ilmu fiqih. As-Syafii mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa
fiqih bahkan menyusun metodologi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi
tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran Madinah maupun Kuffah. Dalam kontek
fiqihnya Syafii mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Quran
dan al-Sunnah serta Ijma dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang
jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan
qiyas dan istishab.
Madzhab fiqih as-Syafii merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki.
Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di Irak dan qaul jadid di Mesir.
Madzhab Syafii terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum.
Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafii, yaitu :
- Ar-Risalah : merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
- Al-Umm : isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran
yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.
d. Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Beliau adalah Ahmad bin Hanbal bin Hilal adz-Dzahili asy-Syaibani al-Maruzi al-Baghdadi,
dilahirkan pada tahun 164 H di Baghdad. Ia mendengar pembesar-pembesar hadis dai
Hasyim, Al-Bukhari, Muslim, dan orang yang setingkat, meriwayatkan hadis dari padanya. Ia
memperbanyak pencarian hadis dan menghafalkannya sehingga menjadi ahli hadis pada
masanya. Asy-Syafii berkata: Saya keluar dari Baghdad dan disana saya tidak meninggalkan
orang yang lebih utama, lebih pandai dan lebih ahli fiqih dari pada Ahmad bin Hambal. Ia
belajar fiqih pada Asy-Syafii ketika ia datang di Baghdad, daan dia adalah muridnya yang
tersohor dari orang-orang Baghdad, kemudian dia ijtihad untuk dirinya sendiri. Ia termasuk
mujtahid ahli hadis yang mengamalkan hadis ahad tanpa syarat selama sanadnya shahih
seperti jalan Asy-Syafii dan ia mendahulukan pendapat-pendapat sahabat dari pada Qiyas.
Memasukkan Ahmad dalam rijalul hadis adalah lebih kuat dari pada memasukkannya dalam

fuqaha. Ia menyusun musnad yang memuat 40.000 hadis lebih. Anaknya yang bernama
Abdullah meriwayatkan dari padanya. Dalam bidang ushul ia mempunyai kitab Thaatur
Rasul, kitab Nasikh dan Mansukh, dan kitab Ilal.
Sebagian orang yang terkenal meriwayatkan madzhabnya ialah Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad bin Hani yang terkenal dengan Atsram yang mengarang kitab As-Sunnan fil fiqh
ala madzhabi Ahmad (Sunnah-sunnah tentang fiqih menurut madzhab Ahmad) da ia
mempunyai kesaksian dari hadis, Ahmad bin Muhammad bin Hajaj Al-Marwazi mengarang
kitab As-Sunnan bi Syawahidil hadis (Sunnah-sunnah dengan saksi hadis). Dan Ishak bin
Ibrahim yang terkenal denga Ibnu Rahawaih Al-Marwazi dan termasuk teman-teman besar
bagi Ahmad mengarang juga As-Sunnan fil fiqh (Sunnah-sunnah tentang fiqih).
Ahmad bin Hambal adalah orang yang tertimpa ujian yang terkenal yaitu perihal
kemakhlukkan al-Quran. Banyak ahli hadis yang mengabulkan ajakan Al-Mamun untuk
mengatakan al-Quran itu makhluk. Adapun dia (Ahmad) berdiri dengan teguh, kokoh dan
tidak goyah sedikitpun sejak tahun 218 H yaitu tahun permulaan ajakan Al-Mamun sampai
tahun 233 H yaitu pembatalan Al-Mutawakil terhadap ajakan itu, yang membiarkan manusia
untuk merdeka dalam hal yang dipilih dan dipercayainya. Keteguhan ini tanpa dibicarakan
benar atau salahnya menjadikan Ahmad bin Hambal itu mulia serta berada dalam derajat
yang tinggi dihadapan para ulama karena menanggung hal-hal yang menyakitkan demi
menjaga kepercayaannya yang mana hal itu adalah seindah-indah hiasan dari kemuliaan yang
dikenakan manusia. Imam Ahmad bin Hambal wafat di Baghdad pada tanggal 12 Rabiul
Awwal 241 H. Sepeninggalan beliau, madzhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah
satu madzhab yang banyak pengikutnya.
2. Sebab-Sebab Wujudnya Perbezaan Pendapat Antara Para Imam Mazhab
Satu soalan yang agak mengherankan: Kenapakah wujud perbedaan pendapat antara sesama
para imam mazhab ? Kita semua sudah mengetahui bahawa ke semua para imam mazhab
mendasarkan pendapat mereka kepada dalil al-Quran dan al-Sunnah, justru mengapa wujud
perbedaan ?
Sebenarnya perbedaan pendapat antara para imam mazhab bukanlah sesuatu yang besar
sebagaimana yang kita sangkakan. Perbezaan mereka tidak lain hanyalah pada perkaraperkara kecil dan cabang bukannya asas dan usul sepertimana yang diterangkan oleh Abd alRahman I.
Jika seseorang itu betul-betul memerhatikan ajaran fiqh keempat-empat mazhab Islam itu, dia
tidak akan menemui sebarang perbezaan pendapat atau perbezaan ajaran dalam konteks
prinsip-prinsip asas ajaran Islam sesama mereka. Perbezaan yang wujud hanyalah berkisar
pada perkara-perkara furu (cabang) dan bukannya perkara-perkara usul (asas) keislaman.
Perbezaan furu dan bukan usul sebagaimana yang dinyatakan di atas diumpamakan oleh Abu
Fath al-Bayanuni sebagai:
Satu jenis buah-buahan yang berasal dari sebatang pohon pokok; bukannya berjenis-jenis
buah yang berasal dari berlainan pohon pokok. Batang pohon yang satu adalah kitab Allah
dan Sunnah sementara ranting-rantingnya adalah dalil-dalil syara dan cara berfikir yang
berjenis-jenis; manakala hasil buahnya pula adalah hukum fiqh yang sekian banyak dan
bermacam-macam itu.
Secara umumnya perbezaan ini timbul kerana dua sebab iaitu:
a. Faktor kemanusiaan. Manusia dicipta dengan kebolehan yang berbeda-beda, sama ada

secara fizikal atau mental. Perbedaan mental lebih tepat diertikan sebagai perbedaan
seseorang itu menafsir sesuatu dalil al-Quran dan al-Sunnah untuk mengeluarkan sebuah
hukum. Ini hanya berlaku terhadap dalil yang bersifat umum sehingga memungkinkan
pemahaman yang berbeza.
b. Faktor sejarah. Pada zaman para imam mazhab, tidak terdapat suasana yang memudahkan
mereka untuk memperolehi hadis-hadis atau duduk bersama membicarakan sesuatu hal
agama. Para imam mazhab terpaksa berhijrah ke sana sini di seluruh dunia Islam untuk
mencari hadis-hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Suasana ini ada hubung-kaitnya
dengan hukum yang dikeluarkan oleh seseorang imam mazhab itu di mana setiap daripada
mereka akan mengeluarkan pendapat berdasarkan hadis-hadis yang sempat mereka terima
saja.

Sistem
Istinbath
Hukum
Empat
Imam
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Muq. Mazahib fil Ushul

Mazhab

Dosen pembimbing: Ahmad Miftah Fauzi


Disusun
JAKARTA
2012 M/ 1434 H

oleh:

Siswadi

Sistem Istinbath Hukum Empat Imam Mazhab


PENDAHULUAN
Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syariat Islam. Para sahabat
sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam
dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak
berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan
yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya
terakomodasi dalam al-Quran dan sunnah, maka jauh-jauh hari Rasulullah telah memberikan
contoh melalui pembicaraannya dengan Muaz bin Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat
itu berpedoman kepada al-Quran atau sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka
diselesaikan melalui ijtihad yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber
utama
tersebut.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabiin kemudian berijtihad disaat
mereka tidak menemukan dalil dari al-Quran atau sunnah yang secara tegas mengatur suatu
persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabiin inilah kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan
kuantitas hadits oleh kalangan tabiin, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan
standar kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga ditunjang oleh
kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya beberapa
mazhab dalam fiqih. Di dalam makalah ini penulis mencoba memberikan penjelasan
mengenai sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath masing-masing imam
mazhab yang empat, yaitu imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafii dan imam Ahmad
ibn Hanbal. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
PEMBAHASAN
Sebelum membahas sistem istinbath imam-imam mazhab, akan lebih utama jika memahami
dahulu apa itu istinbath dan apa itu sumber hukum Islam. Dibawah ini akan sedikit dijelaskan
mengenai sumber hukum Islam dan Istinbath. Semoga dengan pemahaman kita itu dapat
mempermudah untuk memahami sistem istinbath empat Imam Mazhab.
1.
Pengertian
Sumber
Hukum
Islam
Kata Sumber Hukum Islam terdiri dari tiga kata yaitu sumber, hukum, dan Islam. Adapun
kata sumber yang dalam bahasa arabnya - yang berasal dari akar kata -
berarti tempat terbit sesuatu atau asal sesuatu. Yang dimaksud dengan sumber disini
ialah apa-apa yang dijadikan bahan rujukan bagi ulama dalam merumuskan pendapatpendapat
hukumnya
(fiqih).
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan kata Islam. Kedua kata itu
secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa arab dan banyak terdapat
dalam Al-Quran dan juga dalam bahasa Indonesia baku. Hukum Islam sebagai suatu
rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan
merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam Al-Quran, juga
tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan menemukan

artinya
secara
definitif.
Untuk memahami pengertian Hukum Islam perlu terlebih dahulu diketahui kata hukum
dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata Islam.
Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata hukum, karena setiap definisi akan
mengandung titik lemah. Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian hukum,
berikut ini akan diketengahkan definisi hukum dalam arti yang sederhana, yaitu: seperangkat
peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun oleh
orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh
anggotanya. Definisi tersebut tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat
memberikan
pengertian
yang
mudah
dipahami.
Bila kata hukum dalam pengertian diatas dihubungkan dengan kata Islam atau syara',
maka hukum Islam akan berarti: seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT
dan atau sunnah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam. Kata seperangkat peraturan
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan-peraturan yang
dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Kata yang
berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW menjelaskan bahwa perangkat
peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah
SAW, atau yang populer dengan sebutan syariah. Kata tentang tingkah laku manusia
mukallaf mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia
yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orangorang yang meyakini kebenaran wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW itu, yang
dimaksud
dalam
hal
ini
adalah
umat
Islam.
Sementara itu, kata hukum Islam juga berhubungan dengan kata syariah. Secara leksikal
syariah berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang harus diikuti, atau tempat lalu
air di sungai. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata
syariah. Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syariah itu
dengan Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang
mengenai akhlak. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang
bersifat amaliah. Di antara ulama ada yang mengkhususkan lagi penggunaan kata syariah itu
dengan apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah
dan tidak mencakup kepada halal dan haram. Seorang ulama bernama Qatadah menurut
yang diriwayatkan oleh al-Thabari, ahli tafsir dan sejarah, sebagaimana yang dikutip oleh
Amir Syarifuddin, menggunakan kata syariah kepada hal yang menyangkut kewajiban, hak,
perintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah, hikmah dan ibarat yang tercakup
dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan syariah dengan hukum-hukum dan aturanaturan yang ditetapkan Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah
dan hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Dr. Farouk Abu Zeid
menjelaskan bahwa syariah ialah apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabinya.
Allah adalah pembuat syariah yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia.
2.
Pengertian
Istinbath
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu - - yang berarti
mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah - - -
( )berarti air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath
disini adalah suatu upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang
terperinci untuk mencari hukum syara yang bersifat zhanni.
3.
Pengertian
Mazhab
Menurut bahasa, mazhab ( )berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim
makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fiil madhy dzahaba ( )yang

berarti pergi. Bisa juga berarti al-rayu ( )yang artinya pendapat.


Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid
dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Quran dan hadits.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa
yang
diambil
dari
Al-Quran
dan
hadits.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab dan
mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara
istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah
hukum Islam.
A.
Sistematika
Sumber
Hukum
Islam
Keempat Imam mazhab sepakat mengatakan bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Quran
dan sunnah Rasulullah SAW. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum
Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah SWT.
Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Quran dan sunnah seperti Qiyas, Istihsan, Istishlah, dan
lainnya, tetapi dalil ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu
untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Quran dan sunnah Rasulullah
SAW. Karena hanya sebagai alat bantu untuk memahami Al-Quran dan sunnah, sebagian
ulama menyebutnya sebagai metode istinbath. Oleh karena yang disebut sebagai dalil-dalil
pendukung di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode istinbath, para ulama Imam
mazhab tidak sependapat dalam mempergunakannya sebagai sumber hukum Islam.
Sistem Istinbath Imam Abu Hanifah
Biografi imam Hanafi
a; Awal kehidupan
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang paling dahulu
lahir juga wafatnya, ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat dalam
masyarakat yang menghimpun factor-faktor positif dan factor-faktor negative,
sehingga tidak heran ia di juluki Imam Azham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal
sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ray (Imam Aliran Rasional)
Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli
Numam bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa persi ( Kabul
Afganistan) yang menetap di Kuffah, tsabit bapak dari abu hanifah lahir sebagai
seorang muslim dan diriwayatkan dia berasal dari bangsa anbar. Adapula ia mukim di
tirtmidz, ada lagi yang mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia bermukim di
tiap-tiap kota itu sementara waktu. Ia adaalah seorang pedagang yang kaya dan taat
beragama, sebagai mana ia pernah berttemu dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang imam
mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan keberkahan.
b; Pendidikan Imam abu Hanifah
pada masa abu hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik,
Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Saad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabatsahabta yang paling akhir wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru kepada mereka.
Mengapa tidak berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah
wafat sedang abu hanifah masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal
pada tahun 87 hijriyah sehinggga umur abu hanifah pada waktu itu baru 7 tahun, dan
seperti abu Sahl bin Saad yang wafat tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur Imam
Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau

92 atau 95 hijriyah dank ala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai
mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.
Sampai akhir hayatnya, Imam Abu Hanifah belum mengkodifikasikan metode
penetapan hukum yang digunakannya, meskipun secara praktis dan aplikatif telah
diterapkannya dalam menyelesaikan beberapa persoalan hukum. Thaha Jabir Fayadl
al-Ulwani, sebagaimana yang dikutip oleh Jaih Mubarok, membagi cara ijtihad Imam
Abu Hanifah menjadi dua cara: cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang
merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat dipahami dari ucapan beliau
sendiri, yaitu:
.

) (
sesungguhnya aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatkannya;
apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW dan atsar
yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan
dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat
ikhtilaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan
pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat
Ibrahim, Al-Syabi dan ibnu Al-Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagai mana
mereka berijtihad.
Sahal ibn Muzahim, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, menerangkan
bahwa dasar-dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqih adalah:
Abu Hanifah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari
keburukan serta memperhatikan muamalat manusia dan adat serta uruf mereka itu. Beliau
memegang Qiyas. Kalau tidak baik dalam satu-satu masalah didasarkan kepada Qiyas, beliau
memegangi istihsan selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak, beliau berpegang
kepada adat dan uruf. Ringkasnya, dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah, ialah:
a. Al-Quran
b. Sunnah Rasulullah SAW (hadits) dan atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur di antara
para ulama.
c. Fatwa-fatwa para sahabat
d. Qiyas.
e. Istihsan.
f. Adat dan uruf masyarakat.
Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan, Inilah
pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka
pendapatnya itulah yang lebih benar. Pernah ada orang yang berkata kepadanya, Apakah
yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?. Ia menjawab, Demi Allah, boleh
jadi
ia
adalah
fatwa
yang
salah
yang
tidak
diragukan
lagi.
Dari keterangan di atas, tampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan
hukum syara yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qathiy dari Al-Quran atau dari hadits
yang diragukan keshahihannya, ia selalu menggunakan rayu. Ia sangat selektif dalam
menerima hadits. Imam Abu Hanifah memperhatikan muamalat manusia, adat istiadat serta
urf mereka. Beliau berpegang kepada Qiyas dam apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan
Qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka
beliau berpegang kepada adat dan urf. Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi

oleh perkembangan hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat
tinggal Rasulullah SAW yang banyak mengetahui hadits. Di Kufah kurang perbendaharaan
hadits. Di samping itu, kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persia, kondisi
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak
muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema
itu belum pernah terjadi di zaman Nabi, atau zaman sahabat dan tabiin, maka untuk
menghadapinya memerlukan ijtihad atau rayu. Di Kufah, sunnah hanya sedikit yang
diketahui di samping banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif
dalam menerima hadits, dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual,
beliau banyak menggunakan rayu. Sedangkan cara ijtihad Imam Abu Hanifah yang bersifat
tambahan
adalah:
a. Bahwa dilalah lafaz umum (am) adalah qathiy, seperti lafaz khash
b. Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat
khusus
c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
d. Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat
e. Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah
perbuatannya,
bukan
riwayatnya
f.
Mendahulukan
Qiyas
Jali
atas
khabar
ahad
yang
dipertentangkan
g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Malik
Biografi Imam Malik
a.
Awal
kehidupan
Nama lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-asybahi
al-araby al-Yamaniyah, lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M). Ayahnya berasal dari
kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan ibunya bernama Aliyah binti syuraik dari
kabilah Azdi. Kakek imam Malik datang berhijrah ke negeri Madinah setelah Rasulullah
wafat, beliau merupakan seorang pembesar tabiin, banyak meriwayatkan hadis dari sahabat,
seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah. Imam
malik tidak pernah meninggalkan kota Madinah, kecuali untuk menunaikan ibadah haji
sampai beliau wafat pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun 179 H dalam usia 87 tahun.
b. Guru-guru Imam Malik
Imam malik mendapatkan ilmu fiqh dan sunnah dari para gurunya, diantaranya Abdurrahman
bin Hurzum, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-zuhry, Abu Az-zanad, Abdullah bin
Dzakwan, Yahya bin Said, dan Rabiah bin Abdirrahman.
c. Murid-murid Imam Malik
Banyak murid Imam Malik yang menjadi ulama terkenal pada masa sesudahnya. Berikut ini
adalah
murid-muridnya
yang
menjadi
fuqaha
dan
ahli
hadits:
Yang berasal dari Mesir antara lain: Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim AlQuraisyi, Abu Abdillah bin Qosim Al-Ataqi, Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qoisy Al-Amiry Aljady, Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin Ayun bin Al-Laits, Ashbah bin
Alfaraj Al-Amawi, Muhammad bin Abdul Hakam, Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad AlIskandari
Al-Maruf
bin
ibni
Mawaz.

Yang berasal dari afrika dan Andalusia (spanyol) antara lain: Abu Abdillah Ziyad bin
Abdurrahman Al-Qurthubi Al-Maruf bisyabtun, Isa bin Dinar Al-Andalusi, Yahya bin Yahya
bin Katsir Al-Laitsi, Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As-Salami.
Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:
a; Al-Quran
Dalam memegang Al-Quran ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir
nash Al-Quran atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum alAula dengan memperhatikan illatnya.
b; Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara
yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Quran. Apabila dalil syariy
menghendaki adanya pentawilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti tawil
tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-Quran dengan makna
yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Quran.
Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma ahl
Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari
pada zahir Al-Quran (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau
masyhurah).
c. Ijma Ahl al-Madinah
Ijma ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma ahl al-Madinah yang asalnya dari
al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl alMadinah. Ijma semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo, yang
dimaksud dengan ijma ahl al-Madinah tersebut ialah ijma ahl al-Madinah pada masa
lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan
kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan
hujjah. Ijma ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan
seluruh
kaum
muslimin
sebagai
hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar
ahad, sebab ijma ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jamaah, sedang
khabar
ahad
hanya
merupakan
pemberitaan
perseorangan.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka
terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud
dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan.
Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa, kecuali atas
dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau
mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadits
marfu yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan
dari
pada
Qiyas.
e. Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari
Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh
masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad

tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qathiy. Dalam menggunakan khabar ahad
ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari
pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan
masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad
tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar
ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan
mashlahah.
f. Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: Menurut hukum dengan mengambil
maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh)
dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab
menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan
perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat
syara secara keseluruhan. Dari tarif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih
mementingkan maslahah juziyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil
kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering dikatakan bahwa
istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat
dari tujuan syariat diturunkan. Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas
semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan
menghilangkan suatu mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan
qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa
kepada akibat negatif. Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan
hukum. Jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan.
Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan mashlahat atau menghindarkan
madharat.
g. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara
tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka
maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syariat diturunkan. Tujuan
syariat diturunkan dapat diketahui melalui Al-Quran, sunnah atau ijma.
Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum,
menetapkan
beberapa
syarat
untuk
dipenuhi
sebagai
berikut:
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang
seksama,
bukan
sekedar
diperkirakan
secara
sepintas
saja.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan
sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak
bertentangan
dengan
ketentuan
nash
atau
ijma.
h. Sadd Al-Zarai
Imam Malik menggunakan sadd al-Zarai sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau
terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju
kepada
yang
halal,
halal
pula
hukumnya.
i. Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum.

Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan
datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi
sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya
sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama,
yaitu
tetap
ada.
Begitu
pula
sebaliknya.
j. Syaru Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaedah
syaru man qablana syarun lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid
Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang
menyatakan demikian. Menurut Abd. Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Quran dan
sunnah shahihah mengisahkan suatu hukum yang pernah diberlakukan buat umat
sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum
tersebut dinyatakan pula di dalam Al-Quran dan sunnah shahihah, maka hukumhukum tersebut berlaku pula buat kita.
c; Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Syafii
d;
Biografi
Imam
Syafii
a.
Awal
Kehidupan
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin
Syafii, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul
Manaf.Imam Syafii lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H. di Gaza, tidak lama
kelahiran beliau, ayah beliau wafat. Ibu beliau bernama Fatimal al-Azdiyah, salah satu
kabilah di Yaman. Imam Syafii kecil memiliki kecerdasan yang mengagumkan serta
kecepatan hapalan yang luar biasa. Beliau pernah berkata: Saat aku di kuttab, aku
mendengar guruku mengajar ayat-ayat Alquran, maka aku langsung menghapalkan,
apabila dia mendiktekan sesuatu. Belum selesai guruku membacakannya kepada
kami, aku telah menghafal seluruh apa yang didiktekannya. Maka dia berkata
kepadaku suatu hari: Demi allah, aku tidak pantas mengambil bayaran dari kamu
sesen pun. Imam Syafii amat gemar mengembara, khususnya bertujuan menuntut
ilmu. Beliau pindah ke Madinah untuk belajar fikih kepada Imam Malik, pada usia
dua puluh tahun sampai Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. pada tahun 184 H,
Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafii didatangkan ke Baghdad
bersama sembilan orang lainnya atas tuduhan menggulingkan pemerintahan. Namun
beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-Hasan AlSyaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari menjadi guru beliau.
Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafii kembali ke Mekkah al-Mukarramah,
dengan membawa ilmu ahl rayu, yang dia peroleh dari Muhammad bin al-Hasan alSyaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh dari Imam Malik.
Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad yang bertujuan untuk berdiskusi
tentang fikih. Tidak lama di Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan
tiba di Mesir pada bulan Syawal tahun 199 H. tak lama setelah tinggal di Mesir,
tepatnya tahun 2004 204 H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Konon beliau
sebelum wafat menderita penyakit wasir yang parah, hingga terkadang jika naik kuda,
darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaos kakinya.
Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir. Selain itu, beliau
terus mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.
b.
Guru-Guru
Imam
Syafii
Imam Syafii merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl rayu dan ahl hadis

(Kufah dan Madinah), di Kufah Imam Syafii menimba ilmu kepada Muhammad Ibn
al-Hasan al Syaibani yang merupakan murid sekaligus sahabat dari Imam Hanafi.
Sedangkan di Madinah, beliau belajar kepada Imam Malik, beliau (Imam Malik)
dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu, beliau juga berguru kepada ulama-ulama
di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun ulama Yaman yang menjadi guru Imam
Syafii
yaitu
:
1)
Mutharaf
Ibn
Mazim
2)
Hisyam
Ibn
Yusuf
3)
Umar
Ibn
Abi
Salamah
4)
Yahya
Ibn
Hasan
Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafii belajar kepada beberapa ulama
antara
lain:
1)
Sufyan
Ibn
Uyainah
2)
Muslim
Ibn
Khalid
al-Zauji
3)
Said
Ibn
Salim
al-Kaddah
4)
Daud
Ibn
Abdurrahman
al-Aththar
5)
Abdul
Hamid
Abdul
aziz
Ibn
Muhammad
ad-Dahrawardi
6)
Ibrahim
Ibn
Abi
Said
Ibn
Abi
Fudaik
7)
Abdullah
Ibn
Nafi.
Selain dua fikih di atas (aliran rayu dan hadis), Imam Syafii juga belajar fikih aliran
al-Auzai dari Umar Ibn Abi Salamah dan fikih al-Laits dari Yahya Ibn Hasan.
c.
Murid-Murid
Imam
Syafii
Imam Syafii mempunyai banyak murid alam meneruskan kajian fikih dalam
alirannya. Yang paling berperan dalam pengembangan aliran fikih Imam Syafii ini
antara
lain
:
1.
Al-Muzani
Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri yang lahir pada
tahun 185 H serta menjadi besar dalam menuntut ilmu dan periwayatan hadis. Saat
Imam Syafii datang ke Mesir pada tahun 1994, al-Muzani menemuinya dan belajar
fikih kepadanya. Al-Muzani dianggap orang yang paling pandai, serdas serta yang
paling banyak menyusun kitab untuk mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264
H. adapun kitab karangan beliau antara lain al-Jami al-Kabr, al-Jami a-agir, serta
yang
terkenal
al-Mukhtaar
a-agir.
2.
Al-Buwaiti
Nama beliau adalah Abu Yaqub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti, yang berasal dari Bani
Buwait kampung di Tanah Tinggi Mesir. Beliau adalah murid sekaligus sahabat Imam
Syafii yang tertua bekebangsaan Mesir dan pengganti atau penerus Imam Syafii,
sepeninggalnya.beliau belajar fikih dari Imam Syafii dan mengambil hadis darinya
pula serta dari Abdullah bin Wahab dan dari yang lainnya. Imam Syafii merupakan
sandarannya dalam berfatwa serta pengaduannya apabila diberikan satu masalah
padanya. Beliau selalu menghidupkan malam dengan membaca Alquran dan shalat
serta selalu menggerakkan kedua bibirnya dengan berdzikir kepada Allah. Beliau
wafat pada tahun 231 H. di dalam penjara Baghdad, karena tidak menyetujui paham
Mutajilah yang merupakan paham resmi negara saat itu, tentang kemakhlukan
Alquran. Beliau menghimpun kitab al-fiqh, al-Mukhtaar al-Kabr, al-Mukhtaar aagir
dan
al-Faraid
dalam
aliran
Imam
Syafii
menjadi
satu.
Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafii yang lain, yaitu ar-Rabi Ibn
Sulaiman al-Marawi, Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul
ala as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Obn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya
Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn Ali al-Karabisi, Abu Saur

Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn Muhammad asSahab
az-Zafarani.
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafii dalam Istinb
hukum, antara lain :
1; Alquran dan sunnah
2; Ijmak
3; Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.
Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafii, seperti yang
dikutip DR. Jaih Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-Islam, yaitu
sebagai berikut : rujukan pokok adalah Alquran dan sunnah. Apabila suatu
persoalan tidak diatur dalam Alquran dan sunnah, hukumnya ditentukan dengan
qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak diutamakan atas khabar
mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zahir. Apabila suatu lafaz
ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir lebih diutamakan.hadis
munqati ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab. As-Asltidak boleh diqiyaskan
kepada al-asl. Kata mengapa dan bagaimana tidak boleh dipertanyakan
kepada Alquran dan sunnah, keduanya dipertanyakan hanya kepada al-Furu
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafii
menggunakan
lima
sumber,
yaitu:
1. Nash-nash
baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan
selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau
berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau sunnah.
2. Ijmak
merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafii menempati
urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai
kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syari
dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijmak pertama yang digunakan oleh imam
Syafii adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijmak diakhirkan
dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang sudah
disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak adahujjah
padanya.
3. Pendapat para sahabat.
Imam Syafii membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu
yang sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian
hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah
hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua,
pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu masalah, baik
setuju atau menolak, maka imam Syafii tetap mengambilnya. Ketiga, masalah
yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam Syafii akan memilih
salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijmak, atau
mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat
pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4. Qiyas.
Imam Syafii menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat
Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada nash

pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum
dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam
masalah
yang
sedang
digali
oleh
seorang
mujtahid.
5. Istidlal.
Imam Syafii memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak
menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumberistidlal
yang diakui oleh imam Syafii adalah adat istiadat (urf) dan undang-undang
agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun begitu, kedua sumber
ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafii sebagai dasar
istinbath
hukum
yang
digunakan
oleh
imam
Syafii.[12]
6. Kaul Qadim dan Kaul Jadid.
Ulama membagi pendapat imam Syafii menjadi dua, yaitu Kaul Qadim dan Kaul
Jadid. Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafii yang dikemukakan dan ditulis di
Irak. Sedangkan Kaul Jadid adalah pendapat imam Syafii yang dikemukakan dan
ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil
pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ray. Di antara ulama Irak yang banyak
mengambil pendapat imam Syafii dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin
Hanbal, al-Karabisi, al-Zafarani, dan Abu Tsaur. Setelah tinggal di Irak, imam
Syafii melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir, dia
bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat
imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl
al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam Syafii mengubah beberapa
pendapatnya yang kemudian disebut Kaul Jadid. Dengan demikian, Kaul Qadim
adalah pendapat imam Syafii yang bercorak rayu, sedangkan Kaul Jadid adalah
pendapatnya
yang
bercorak
sunnah.
Beberapa contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:
a.
Air
yang
terkena
najis.
Kaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran
yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis selama air itu tidak
berubah.
Kaul Jadid: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran
yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis apakah air itu berubah
atau
tidak.
b.
Zakat
buah-buahan.
Kaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan, walaupun yang tidak tahan
lama.
Kaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat buah-buahan yang tidak tahan lama.
c.
Membaca
talbiyah
dalam
thawaf.
Kaul Qadim: sunat hukumnya membaca talbiyah dalam melakukan thawaf. Kaul
Jadid: tidak sunat membaca talbiyah dalam melakukan thawaf.
Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal
Biografi imam Hanbali
a. Awal kehidupan
Ibnu hanbal lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad setelah ibunya membawanya pindah
keyika ia masih dalam kandungan dari kota marwa tempat tinngal ayahnya kekota bagdad. Ia
adalah Abu aabdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban Al-

Marwazi lalu Al-Baghdadi, nasab ibnu hanbal sampai kepada rasulullah saw, pada Nizar bin
Maad bin Adnan. Penisbatan Inbu Hanbal yang terkenal adalah kepada kakeknya Hanbal,
maka orang-orang mengatakan Ibnu Hanbal.
b. Pendidikan Ibnu Hanbal
Ibnu Hanbal hafal Al-Quranul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar membaca dan
menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal pertama kali belajar kepada Abu
yusuf Yakub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid abu hanifah kepadanya ia belajar hadist dan fiqih,
karenanya Abu Yusuf dikenal sebagai guru pertama Ibnu Hanbal. Namun pengaruh Abu
Yusuf tidak begitu kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang berpendapat
bahwaa Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya adalah Hasyim bin
Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalahguru yang palin kuat pengaruhnya kepada Inbu
Hanbal, Ibnu Hnbal berguru kepadanya selama empat tahun.
Disela-sela berguru kepada Hasyim, Ibnu Hanbal juga berguru kepada Umair bin Abdullah
bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abu bakar bin Iyasy. Imam SyafiI adalah salah
satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang mneganggap bahwa SyafiI merupakan guru
kedua dari ibnu hanbal setelah Hasyim. Muhammad bin ishaq bi Khuzaimah mangatakan
Ahmad bin Hanbal tidak lain hanyalah merupakan salah satu pelayan SyafiI. ia juga
berguru kepada Ibrahim bin Saad, Yahya Al-Qathan, Waki juga berguru kepada Sufyan bin
Uyainah (pengganti Imam Malik).
Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan
hukum adalah:
1. Nash dari Al-Quran dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Quran dan dari Sunnah Rasul yang
shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.
2. Fatwa para sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Quran maupun dari hadits
shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan
di kalangan mereka. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa para sahabat, maka Imam
Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Quran dan Sunnah.
3. Hadits Mursal dan Hadits Dhaif
Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan
hadits mursal dan hadits dhaif. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya
dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dhaif.
4. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits
dhaif, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan
dalam keadaan dharurat (terpaksa)
5. sadd al-dzarai
yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.
KESIMPULAN
a. Imam Hanafi

Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta dengan beliau
(tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama beliau
menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahakan
beliau pernah berkata Tidak Halal bagi seorang yang berfatwa dengan perkataanku, selam ia
belum mengerti dari mana perkataanku.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila tifdak
ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat
kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil
pendapat mana yang sesuai dengan jala pikiran dan ditiggal mana yang tidak sesuai.
b. Imam Malik
Imam Malik pernah berkata: saya seorang manusia, dan saya terkadang salah terkadang
benar. Oleh sebab itu lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya, jika sesuai dengan alquran dan sunnah maka ambilah dia dan jika tidak sesuai maka tingglkanlah. Artinya
bahwa jika beliau menjatuhkan hukumnan dalam masalah keagamaan, dan pada waktu
menetapkan buah pikirannya itu bukan dari nash al-quran dan sunnah, maka masing-masing
kita disuruh untuk melihat dan memperhatikannya kembali dengan baik tentang buah
fikirannya, terlebih dahulu harus dicocokknya dengan nash yaitu al-quran dan sunnah.
Pada suatu waktu beliau juga pernah megatakan bahwa tidaklah semua perkataan itu lalu
diturut sekalipun ia orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan. Kita tidak mesti mengikuti
perkataan orang itu jelas berlawanan atau menyalahi hukum-hukum rasul, maka kita
diperbolehkan untuk mengikutinya. Dengan demikian jelaslah, bahwa kita dilarang bertaqlid
kepada pendapat-pendapat dan perkataan yang memang nyata tidak sesuai dengan petunjuk
yang ada dalam al-quran dan sunnah. Demikianlah nasihat Imam Malik menganai taqlid.
c. Imam Syafii
Beliuselalu member peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja menerima
apa-apa yang disampaikan oleh beliau samapikan dalam masalah agama, yang tidak ada
nashnya dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Diantara nasihat beliau tentang taklid buta, beliau pernah berkata kepada muridnya yaitu
Imam Ar-Rabi : Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaklid kepadaku, dalam tiap-tiap yang
apa aku lakukan, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena ia adalah urusan
agama.Dari pernyataan tersebut di atas kiranya cukup jelas pendapat imam SyafiI tentang
taklid buta sungguh beliau melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya
dalam urusan hokum-hukum agama.
d. Imam Hanbali
Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras
terhadap penggunaan rayu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap taqlid
buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat
dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya seperti
Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal Berkata janganlah engkau
bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam SyafiI, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi
ambillah olehmu darimana mereka Itu mengambil. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap
beliau melarang keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang mengambil
segala sesuatu dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam). Imam Ibnu Hanbal
merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan
rayu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap taqlid buta dan orang yang
bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat dibuktikan dengan

ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud
pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal Berkata janganlah engkau bertaqlid kepada
saya, Imam Malik, Imam SyafiI, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu
darimana mereka Itu mengambil. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau melarang
keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang mengambil segala sesuatu
dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam)
DAFTAR PUSTAKA
Yanggo, Huzaemah Tahido, Dr. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, MA. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas
Pergulatan
Pemikiran
Ulama
Fiqih.
Pekanbaru:
Alaf
Riau.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl
Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Dasar hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunah, dan ijmak. Dalil Alquran adalah surah anNisa' ayat 83, surah asy-Syu'ara' ayat 38, surah al-Hasyr ayat 2, dan surah al-Baqarah ayat 59
Dasar ijtihad dalam sunah ialah sabda Nabi SAW yang artinya: "Apabila seorang hakim
berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya
satu pahala" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka
membenarkan perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia
dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain ialah hadis yang
menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada
intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu'az, dengan apa ia akan memutuskan hukum. Lalu
Mu'az menjawab bahwa jika ia tidak menemukan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah
Rasulullah SAW, ia akan memutuskan hukum dengan jalan ijtihad.
Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah
sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah
SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam
masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan
terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur'an dan
sunah.
Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk menjawab persoalan dalam masyarakat yang bersifat
dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman.
Ijtihad banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang-orang
yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya
ijtihad yang pakai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama-ulama
fikih, yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fikih.

PE N DAH U LUAN
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia
mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber
ajaran islam adalah Al-Quran dan Sunnah yang sangat lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Quran adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat
pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi
oleh Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang
sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan,
mengenai pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan
massa sahabat. Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar dan
mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur.
Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi atau
kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud
atau zhanni ad-dalalah.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan berperan sebagai penyalur
kretifitas pribadi.
A. LATAR BELAKANG
Mengingat pentingnya dalam syariat Islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan
Assunah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang
sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalanpersoalan yang tidak ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi
sangat penting. Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya pada waktu sujud
bersungguh-sungguh dalam berdoa.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para pendapat ulama
mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Quran dan
Assunah.

Maka dari itu karena banyak persoalan di atas, kita sebagai umat Islam dituntut untuk
keluar dari kemelut itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.

BAB II
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Syariah islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Sunnah secara komprehensif,
memerlukan

penelaahan

dan

pengkajian

ilmiah

yang

sungguh-sungguh

serta

berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafadz yang am-khash, mutlaq-muqayyad,


nasikh mansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang memerlukan penjelasan.
Sementara itu, nash Al-Quran dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus
berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (Al-wahyu qad
intaha wal Al-Waqa ila yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara
sungguh-sungguh atas ijtihad menjadi sangat penting.
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ja-ha-da. Kata inipun berarti kesanggupan (AlWus), kekuatan (Al-Thaqah), dan berat (Al-Masyaqqah). Ahmad bin Ahmad bin Ali AlMuqri Al-Fayumi.
Kata ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi (t.th: 112)
menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:

pengesahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian
sesuatu, supaya sampai pada ujung yang ditujunya.
Menurut Asy-Syaukani (t.th:250). Arti etimologi ijtihad adalah:

Pembicaraan mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja secara
bahasa, arti ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Quran surat An-Nahl
(16) ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.
Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusyi wa
al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).

Dalam sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya:
pada waktu sujud dan hadist lain yang artinya rosul Allah SAW para ulama
bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, pengertian ijtihad secara istilah
muncul belakangan, yaitu pada masa tasyi dan masa sahabat.
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad adalah:

Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum
amalaiah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili (1978-480) Ijtihad adalah:

Pengerahan segala kemampuan untuk menentukakn sesuatu yang zhoni dari hukumhukum syara .
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada
bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal. Bukan bidang pemikiran. Ijtihad
berkenaan dengan dalil zhoni berbeda dengan Husen, Harun Nasution menjelaskan bahwa
pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad daslam pengertian sempit.
Dalam arti luas menurutnya ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah,
tasyawuf dan filsafat.
Harun Nasution, Ibrahim Abbas Al-Dzarwi ( 1983 : 9 ) mendefinisikan ijtihad.
Menurut Fakhruddin ijtihad adalah pengarahan kemampuan untuk memikirkan apa saja
yang tidak mendatangkan celaan.
Sebagian ulama ada yang memmpersamakan ijtihad dengan Qiyas, ada pula yang
mepersamakan dengan ray. Dari definisi ijtihad seperti digambarkan diatas terlihat
beberapa persamaan dan perbedaan.
Perbedaanya adalah pertama terletak pada penggunaan bahasa. Kedua, terletak pada
subjek ijtihad dinisbatkan kepada kata mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad
itu tidak hanya bidang fiqh. Ketiga, terletak pada metode ijtihad.
Metode mangkuli (dari Al-Quran dan Sunnah) yaitu metode yang mengikuti (Ittiba)
sebagian lagi menggunakan metode makuli (berdasarkan Ray dan akal). Metode ini
berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah SAW.

Adapun persamaannya adalah pertama, hukum yang dihasilkan bersifat Zhanni.


Kedua, objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi yasitu hukum dengan amaliah ibadah.
B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Quran dan Sunnah. Diantara ayat Al-Quran yang
menmmjadi dasar ijtihad: adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya Hadits
Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad yang
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka
ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu
salah maka ia mendapatkan satu pahala . (HR. Muslim, 11,t.th :62).
C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu
melakukan ijtihad melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum
syariat dan tathbiqh / penerapan hukum)
Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu menurut hukum ijtihad, yaitu
sebagai berikut:
1. Al-Waqi yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak
diterangkan oleh nas
2. Mujtahid yaitu orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan intuk
berijtihad dengan syarat-syarat tertentu
3. Mujtahid fih ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taqlifi).
4. Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Nadiah Syafari al-umari
t.tth:199-200)
Menurut fakkhr ad-din, Muhammad bin Umar bin Al Husin Ar Razi (1988:496-7)
syarat-syarat adalah sebagai berikut:
1. Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penerapan hukum.
2. Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
3. Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau
larangan.

4. Mengetahui keadaan lafadz, apakah memiliki Qorinah atau tidak.


Berbeda dengan syarat-syarata terdahulu, Muhammad bin Ali bin Muhammad As
Syaukani (t.th: 250-252) menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
1. Mengetahui Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum.
Jumlah ayat-ayat hukum didalam Al-Quran sekitar 500 ayat.
2. Mengetahui ijma sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma
ulama.
3. Mengetahui bahasa arab karena Al-Quran dan Sunnah disusun dalam bahasa arab.
4. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan
dengan ijtihad.
5. Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa berdasarkan dalil yang sudah
mansukh.
Adapun syarat-syrat mujtahid yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah (t.th:
250-2) adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa arab karena Al-Qur;an diturunkan dalam bahasa arab, As Sunnah,
sebagai penjelasn Al-Quran juga ditulis dalam bahasa arab.
2. Mengetahui nasikh-mansukh dalam Al-Quran.
3. Mengetahui Sunnah, baik perbuatan, perkataan maupun penetapan.
4. Menegtahui ijma dan iktilaf.
5. Menegetahui kiyas .
6. Mengetahui maqoshid As Syariah.
7. Memilki pemahaman yang tepat (Syihah Al Fahm) yang karenanya mujtahid dapat
memahami ilmu Mantiq.
8. Memilki niat.
Syarat-syarat yang diajukan oleh Abu Zahrah, Wahbah Al Juhaili (1977 : 487-492)
mengajukan syarat-syasrat mujtahid sebasgai berikut:
1. Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat didalam Al-Quran baik secara
bahasa maupun secara istilah.
2. Mengetahui makna hadits-hadits hukum secara bahasa maupun istilah.

3. Mengetahui nasikh-mansukh baik dari Al-Quran maupun Sunnah.


4. Mengetahui ijma sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma
terdahulu.
5. Mengetahui kiyas dan syarat-syarat yang disepakati karenas kiyas merupakan salah satu
metode ijtihad, rincian hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut.
6. Mengetahui ilmu bahasa arab, seperti nahwu, sharaf, maani, dan bayan, karena AlQuran dan Sunnah disusun dalam bahasa arab.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh karena didalamnya dibahas dasar-dasar dan rukun-rukun
ijtihad.
8. Mengetahui maqoshid As Syariati dalam penerapan hukum, karena mujtahid wajib
menetahui rahasia-rahasia hukum disamping dilalat Al-Alfazh (penunjukan maknamakna lafadz).
Menurut Muhaimin dkk (1994: 198-199) mujtahid terbagi menjadi beberapa
tingkatan:
Mujtahid Mutlaq dan Mujtahid Mazhab
Mujtahid mutlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari
sumbernya
Mujtahid mutlaq terbagi menjadi beberapa tingkatan, tingkatan itu ialah mujtahid mutlaq
mustaqil dan mujtahid madzhab.
Mujtahid mutlaq mustaqil yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode
dan dasar yang ia susun sendiri.
Empat tokoh madzhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii
dan Imam Hambali. Kedua mujtahid mutlaq muntasib yaitu mujtahid yang telah mencapai
derajat mutlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri, ia menggunakan
keterangan imammnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya.
Contoh, Al- Muzami dari madzhab Syafii dan Al-Hasan bin Ziad dari madzhab Hanafi
mujtahid fi al madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama
yang tidak atau belum di keluakan oleh madzhabnya itu. Contohnya, Abu Jafar al tahtawi
dalam madzhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua:
1. Mujtahid tahkrij, dan

2. Mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.


Tampaknya untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi, oleh kaena itu ijtihad tidak
hanya dapat di lakukan oleh perorangan (ijtihad faridah), tetapi juga dapat dilakukan secara
kelompok (ijtihad jamai). Artinya sekelompok ulama dengan disiplin ilmu yang berbeda
secara bersama-sama melakukan ijtihad.
D. LAPANGAN IJTIHAD (MAJAL AL-IJTIHAD)
Wilayah ijtihad atau majal al ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan
hukumnya dengan cara ijtihad itu.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dharudoh dan bidah (pasti benar
berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qothi al subut wal dalalah tidaklah termasuk
lapangan ijtihad, persoalan-persoalan yang tergolong maulima min ad din bi al dhoruroh
diantaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan.
Secara lebih jelas, Wahbah az zuhaili (1978:497) menjelaskan bahwa lapangan ijtihat
itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan samasekali oleh Allah dan Nabi dalam
Al-Quran dan Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua, sesuatu yang ditetapkan
berdasarkan dalil zhanni Ats-Tsubut wa Al-Adalah atau salah satunya (Zhanni Ats Tsubut
atau Zhanni Al Adalah).
E. HUKUM IJTIHAD
Ulama berendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau
ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Syara, maka hukum ijtihad
bagi orang itu bisa wajib ain, wajib kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas
orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akasn hilang begitu
saja tanpa kepastian hukumnya maka hukum ijtihad menjadi wajib ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mutahid yang dimintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya,
jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya
berdosa. Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut
maka yang lainnya tidak berdosa.

Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika dilakuakn atas persoalan atau kejadian
yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yasng sudah jelas
hukumnya secara qathi, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa
yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan
Muhaimin dkk, 1994:189).
F. IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW
Pembicaraan mengenai ijtihad Rasululloh SAW di kalangan para ulama ternyata
sangat pelik dan berbelit-belit. Secara umummereka menyepakati dalam urusan
keduniawiyaan (al mashalih ad dunyawiyati) pengaturan taktik dan keputusan yang
berhubungan dengan persengketaan (al aqdiah wa al kushumah). Akan tetapi perbedaan
pendapat mereka mengenai ijtihaj Rasulullah SAW dalam hukum agama (wahbah al zuhaili
1978:499, asy syaukani, t.th:234).
Dalam menanggapi ijtihad dalam hukum agama ulama berbeda pendapat.
Pertama, ahli ushul fiqh membolehkan karena ini pernah di lakukan oleh Rasulullah
SAW.
Kedua, pengikut Hanifah berpendapat Rasulullah SAW diperintah untuk berijtihad
setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan peristiwa yang terjadi, beliau
khawatir peristiwa itu lenyap begitu saja.
Ketiga, kebanyakan pengikut As Syariah, ahli kalam, kebasnyakan pengikut uktazilah
tidak setuju ijtihad Rasulullah daslam urusan hukum agama.
Berikut dalil-dalil yang dikemukakan kelompok pertama, sesungguhnya pada yang dmikian
itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati (QS. Al-Imran {3}: 13).
Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pejaran bagi orang-orang yang
mempunyai pandangan (QS. Al-Hayr{59}: 2).
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal (QS. Yusuf {12}: 111).
Kata-kata ulul Al-Abshar ulu al albab, ibram pada ayat terdahulu tidak hanya berlaku
bagi khitab ketika ayat itu diturunkan tetapi berlaku bagi khitab ketika ayat itu diturunkan
tetapi berlasku juga bagi Rasulullah SAW karena sesungguhnya beliaulah yang lebih tepast
disebut ulul abshar dan ulul al basb. Kata kata tersebut menggambarkan suatu perintah

memprediksi masa depan cara perbandingan dengan cara istilah ushul adalah Qiyas adalah
bagian dari kegiatan ijtihad.
Dalam surat Al-Imrasn {3}: 159, Allah SWT berfirman:
Maka disebabkan rahmat dari Allah SWT kamu belaku lemah lembut terhadap mereka
sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu, karenas itu maafkanlah mereka , mohon ampun bagi merekas dan
bermusyawarahlah dengasn mereka daslam urusan itu, kemudian aspabila kamu telah
membulatkan tekasd, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepadanya.
Menurut kelompok ini ayat diatas mengisyaratkan adanya ijtihad karena musyawarah
hanya berlaku menyelesaikan urusan yang hukumnya tidak ditunjuk secara jelas jelas oleh
Nas. Ulama yangmenolak adanya ijtihad Rasulullah SAW juga menjadikan Al-Quran
sebagai dalil :
Dan tidaklah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapkanlah itu
tiadas hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya) (QS An-Najm {53}: 3 - 4).
Katakanlah, tiada patut bagiku menggantkannya dari pihak diriku sendiri aku tidak
mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS. Yunus {10}: 15).
G. IJTIHAD: SUMBER DINAMIKA
Dewasa ini umat islam dihadapkasn dengan sejumlah peristiwa yang menyangkut
aspek kehidupan. Di balik itu kata Roter Garaudy, yang di kutip oleh Jalaluddin Rahmat
(1983:39) tantangan umat sekarang ada dua macam, taqlid kepada barat dan taqlid kepada
masa lalu.
Melihat persoalan-persoalan diatas, uamt islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu
dengan cara melakukan ijtihad. Ijtihad itu penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh
setiap orang. Kepentingannya disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Jarak entara kita antara kita dengan masa tasyiri semakin jauh. Jarak yang jauh ini
memungkinkan terlupakan beberapa nass, khsusunya dalam as-sunnah yaitu
masuknya hadist-hadist palsu dan perubahan pemahaman terhadap nass. Oleh karena
itu pera mujtahid dituntut secara bersungguh-sungguh menggali ajaran agama islam
yang sebenarnya melalui kerja ijtihad.

2. Syariat disampaikan dalam Al-Quran dan sunnah secara komprehensif: memerlukan


penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Didalamnya terdapat yang am
dan khas, mutlaq da muqayyad, hakim dan mahkum, nasikh dan mansukh, serta yang
lainya yang memerlukan penjelasan rapa mujtahid.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad berperan sebagai penyalur kreatifitas pribadi atau
kelompok dalam merespon peristiwa yang di hadapi sesuai dengan pengalaman mereka.
Dalil-dalil Qully dan maqasyid as-syariat yang merupakan aturan-aturan pengarah dalam
hidup.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh islam yang dinamis menerobos
kejumudan dan kebekuan memperoleh manfaat yang besar dari ajaran islam mencari
pemecahan islami dari masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga adalah saksi bagi
kehidapan islam atas agama-agama lainnya (yalu wala yula alaih)
H. IJTIHAD
Islam sebagai agama yang adil dan berlaku untuk seluruh umat manusia. Sumber
ajaran islam adalah Al-Quran dan sunnah yang sangat lengkap. Pertanyaan timbul
mengapa ijtihad dijadikan sebagai sumber hukum atas sumber ajaran agama islam, padahal
Al-Quran dan sunnah sudah cukup lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Quran adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat
pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi
oleh sunnah, karena perkembanganya zaman banyak masalah yang tidak terdapat dalam AlQuran dan as-sunnah.
Sebagai contoh akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul
masalah bayi tabung, pemindahan kornea mata. Semua itu memerlukan jawaban apakah
dibolehkan atau tidak, bagaimana sebenarnya menurut konsep ajaran agama islam.
Jawabanya bagaimana dan sejauh mana islam secara tegas menetapkan dan menyelesaikan
persoalan. Demikian ijtihad dibutuhkan sebagai metode menerangkan suatu persoalan yang
tidak ada atau secara jelas tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah.
I. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad menurut bahasa ialah percurahan segenap kesanggupan untuk mendatangkan
sesuatu dari berbagai urusan atau perbuatan. Berasal dari kata ja-ha-da yang artinya
berusaha keras atau berusaha sekuat tenaga: ijtihad secara harfiah mengndung arti yang
sama.

Menurut Muhammad Syaltut, ijtihad artinya sama dengan ar-rayu yang perinciannya
berarti:
a. Pemikiran arti yang mengandung oleh Al-Quran dan sunnah.
b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak diajukan oleh nass dengan suatu
masalah yang hukumnya ditetapkan oleh nass.
c. Pencerahan seganap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara amali tentang
masalah yang tidak ditunjukan hukunya oleh suatu nass secara langsung.
J. LANDASAN IJTIHAD
Dalam islam akal sangat dihargai. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menagtaka
suruhan untuk mempergunakan akal, sebagaimana dapat dilihat dari terjemaahan ayat-ayat
ini:
Sesungguhnya pencptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (Q.S 8:22)
Sesungguhnya bunatang (makhluk) yang seburuk-buruknya disisi Allah ialah orang
yang peka dan tuli yang mengerti apapun (Q.S 8:22)
Untuk memberikan bukti bahea ijtihad pernah dilakukan para sahabat, pada massa
nabi sekalipun hadist yang di riwayatkan oleh Al-Baghawi dari Muadz bin Jabal yang
artinya sebagai berikut:
: : : :
: :
Pada waktu Rosulullah SAW mengutusnya (Muadz bin Jabal) ke Yaman, Nabi
Mahammad SAW berkata: bagaimana jika engkau diserahi urusan peradilan?,
jawabnya: saya menetapkan perkara berdasarkan Al-Quran, nabi berkata:
bagaimana kalau kau tidak mendapati dalam Al-Quran?, jawabnya: dengan sunnah
nabi, selanjutnya nabi berkata: bila dalam sunnah pun tidak kau dapati?, jawabnya:
saya akan mengerahkan kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiran
saya, akhirnya nabi Muhammad SAW menepuk dada dengan mengucapkan segala puji
bagi Allah yang telah memberikan taufiq (kecocokan) pada utusan Rosulullah (Muadz)
Sebagai bukti bahwa ijtihad yang dilakukan para sahabat adalah ketika Abu Bakar
menjadi khalifah, waktu itu terdapat sekelompok yang tidak mambayar zakat fitrah. Abu
Bakar bertindak memerangi mereka. Tidakan Abu Bakar tidak disetujui oleh Umar bin
Khatab dengan alasan menggunakan sabda Nabi SAW yang artinya:

Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak (yang mengganggu islam) sehingga
mereka mau mengucapkan syahadat. Kalau mereka telah mengucapkannnya, terjagalah
darah dan harta mereka, kecuali dengan cara yang benar
Dalam peristiwa itu Abu Bakar berargumen berdasarkan sabda nabi SAW, ILLAHI
HAQQIKA. Dalam kata-kata itu menunaikan zakat adalah sebagaimana mengerjakan shalat
termasuk haq.
Dalam hal itu Umar berpendirian bahwa merupakan suatu kebaikan bagi kepentingan
umat islam dan umat mukmin.
K. MACAM-MACAM IJTIHAD
Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan
ijtihad jami. Ijtihad perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid
dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad jami atau ijtihad kelompok adalah ijtihad
yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam menganalisa suatu masalah untuk
menentukan suatu hukum.
Dilihat dari lapangannya ijtihad dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ijtihad pada masalah-masalah yang ada nassnya tapi bersifat zhanni.
b. Ijtihad untuk mencapai suatu hukum syara dengan penetapan kaidah kulliyah yang bisa
diterapkan tanpa adanya suatu nass.
c. Ijtihad bi ar-rai yaitu ijtihda yang berpegang pada tanda-tanda dan wasilah yang telah
ditetapkan syara untuk menunjuk pada suatu hukum.
L. KEDUDUKAN IJTIHAD
a. Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena
mengingat hasil ijtihad merupakan analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari akal
manusia sendiri yang relatif, maka hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa
berlaku dan pada saatnya yang lain bisa tidak berlaku.
b. Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam
ketentuan ini generasi terhadap suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam
bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai situasi dan kondisi alamiah yang berbeda.
Lungkungan sosial dan budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah
belum tentu berlaku di daearah lain.

c. Proses ijtihad harus mempertimbangkan motifasi, akibat dan permasalahan umum


(umat)
d. Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah
tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Quran dan sunnah. Dengan demikian
kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah bahwa ijtihad tersebut tidak
boleh bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah.
M. METODE IJTIHAD
a. QIYAS. Qiyas artinya reasoning by analogy. Makna aslinya adalah mengukur atau
membandingkan atau menimbang dengan menimbangkan sesuatu. Contoh: pada masa
nabi ada belum ada permasalahan padi. Dengan demikian diperlukan ijtihad dengan
jalan qiyas dalam menentukan zakat.
b. Ijma atau konsensus. Kata ijma berasal dari kata jamun yang artinya menghimpun
atau mengumpulkan. Ijma mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur
sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan
suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan
pendapat berdasarkan dengan hasil ijma ini contohnya bagaimana masalah kelurga
berencana.
c. ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna aslinya ialah menganggap baik suatu
barang atau menyukai barang itu menurut terminlogi para ahli hukum, berarti
didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan, sebagai cotoh adalah
peristiwa Ummar bin hatab yang tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada
seorang pencuri pada masa peceklik.
d. MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan yang berdasarkan guna dan manfaat
sesuai dengan tujuan hukum syara. Kepentingan umum yang menjadi dasar
pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa. Contoh metode ini adalah tentang
khamar dan judi. Dala ketentuan nash bahwa khamar dan judi itu manfaat bagi
manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Dari sebuah nash dapat
dilihat bahwa suatu masalah yang mengandung masalahat dan manfaat, di dahulukan
menolak mafsadat. Untuk ini terdapat kaidah,
menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan
apabila berlawanan antara mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak
mafsadat.

Disamping itu masih terdapat metode ijtihad yang lain, seperti istidlal, Al-Urf dan Istishab.

B A B III
K E S I M PU LAN
Ijtihad merupakan suatu proses pengadilan hukum islam yaqng berkaitan erat dengan
bidang fiqih, bidang hukum yasng berkenaan dengan amal atau perbuatan. oleh karena itu,
menurut ulama fiqih, ijtihad tidak terdapat dalam ilmu kalam dan tasawuf, karena ijtihad
hanyas berkenaan dengasn dalil-dalil zhanni, sedangka ilmu kalam menggunakan dalil
yasng qhati, baik dalam Al-Quran mapun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada beberapa persamaan dan perbedaan dan adapun yang
menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Quran dan Sunnah.
Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ain, wajib kifayat, Sunat atau haram,
bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa keinginan yang
menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Melihat persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu.
Karena itu ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidask bisa dilakukan oleh setiap orang.

Anda mungkin juga menyukai