Anda di halaman 1dari 5

A.

Masa Kejayaan dan Keemasan Hukum Islam


Masa kejayaan Hukum Islam berlangsung kurang lebih selama 250 tahun, dimulai
dari sekitar abad II H/VII M sampai dengan abad IV H/X . awal masa ini ditandai dengan
tumbangnya Daulah atau pemerintahan Umayyah yang digantikan dengan pemerintahan
Abbasiyah.
Sintesis umum yang berkembang dikalangan sejarawan bahwa kemajuan dan
kejayaan hokum Islam tersebut merupakan hasil kerja keras pemerintahan Abbasiyah,
namun menurut penulis keberhasilan mencapai kemajuan dalam hokum Islam tidak
terlepas dari usaha Pemerintahan Umayyah dimana perluasan wilayah pemerintahan
Islam saat itu sudah sampai ke penjuru daratan timur dan barat karena beberapa ekspansi
yang dilakukan oleh Daulah Muawiyah.
Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah,
Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut
kekuasaan diluar jazirah Arab, antara lain upayanya untuk terus merebut kota
Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabkan Muawiyah terus berusaha merebut
Byzantium. Pertama, karena kota tersebut merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks,
yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua, orang-orang
Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah Islam. Ketiga, Byzantium
termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah.
Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentangke berbagai
Negara yang berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah juga terus memperluas
peta kekuasaannya ke daerah Afrika Utara pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik,
dengan mengutus panglimanya Musa bin Nushair yang kemudian ia diangkat sebagai
gubernurnya. Musa juga mengutus Thariq bin Ziyad untuk merebut daerah Andalusia.
Keberhasilan Thariq memasuki Andalusia, membuat peta perjalanan baru bagi
kekuasaan Islam. Sebab satu persatu wilayah yang dilewati Thariq dapat dengan mudah
ditaklukan sehingga Islam dapat tersebar dan menjadi agama panutan bagi penduduknya,
serta Islam mampu menjadi sebuah agama yang mampu memberikan motivasi bagi para
pemeluknya untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang kehidupan social, politik,
ekonomi, budaya dan sebagainya.
Dengan luasnya wilayah territorial pemerintahan Islam, laju pertumbuhan umat
Islam semakin pesat dari segi kuantitas yang nantinya berujung pada peningkatan
kualitas. Dinamika dimensi sosio-kultural dalam setiap daerah juga mempengaruhi
interpretasi umat Islam terhadap ajaran agamanya. Meskipun pemerintahan pada waktu
itu tidak memberikan perhatian secara intensif terhadap ilmu pengetahuan, namun secara
tidak langsung telah dapat memotivasi umat Islam untuk mengadakan pergerakan
pemikiran walaupun belum Nampak nyata dan signifikan. Pergerakan pemikiran yang
Nampak jelas pada masa itu adalah masalah teologi atau ilmu kalam.1
1
Ahmad Wahidi, M.H.I., Manipulasi Hukum Islam,(Malang: UIN-Malang Press,2009)hlm.23
Dari perdebatan pemikiran teologi tersebut sebenarnya kemudian mengarah pada
pergerakan pemikiran Hukum Islam atau Fiqh, dimana pematangan mengenai teologi
sudah tercapai pada masa pemerintahan Umayyah maka kemudian kajian ilmu
pengetahuan merambah kepada bidang Hukum Islam atau Fiqh pada fase atau
pemerintahan berikutnya yakni Daulah Bani Abbasiyah. Hal tersebut akan Nampak jelas
ketika kita lihat adanya pergumulan dua pandangan Fiqh yang berbeda pada masa Daulah
Umayyah yakni madhhab atau aliran Irak yang mengedepankan rasionalitas yang
dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid al-Nakha’I (w. 95 H) dan madhhab atau aliran Hijaz
yang mempertahankan tradisi yang salah satu tokohnya adalah Ibn Shihab al-Zuhri (50-
124 H).
Tumbangnya Daulah Umayyah sekitar abad II H/VII M yang digantikan dengan
pemerintahan yang baru, Daulah Abbasiyah mampu memberikan suasana baru yang
kondusif dalam perkembangan Hukum Islam saat itu. Hal tersebut Karena adanya
perhatian dari pemerintahan Abbasiyah yang sangat besar terhadap perkembangan
Hukum Islam serta adanya penghargaan cukup besar terhadap para pakar dan ahli hokum
Islam. Dengan demikian mereka merasa terdorong untuk melakukan kajian dan penelitian
yang mendalam tentang Hukum Islam atau Fiqh yang pada akhirnya menghantarkannya
ke puncak kejayaan dalam sejarah perkembangannya. Masa tersebut telah berhasil
melahirkan tokoh-tokoh dalam dunia Hukum Islam yang pengaruhnya sangat besar dari
masa ke masa hingga sampai saat ini, yang dikenal dengan A’immat al-madhahib al-
Arba’ah.
Pada periode sebelumnya Hukum Islam hanya berkutat pada masalah-masalah
pengambilan keputusan Hukum atau fatwa fuqaha sahabat, pada periode ini Hukum Islam
berkembang menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri dan mulainya dirintis penulisan Ushul
al-Fiqh secara sistematis untuk pertama kalinya dalam sejarah Muhammad ibn Idris al-
Shafi’I (150 H-204 H), yang kemudian dikenal dengan Imam Madhhab Shafi’i. Karya
ilmiahnya tersebut kemudian diberi judul al-Risalah. Kemudian Khabar al-Wahid yang
ditulis oleh Isa ibn Aban ibn Sadaqah (w. 220 H) dari kalangan Hanafiyah, al-Nasikh wa
al-Mansukh karya Ahmad ibn Hanbal (164 H-241 H) Imam madhhab Hanbali, Ibtal al-
Qiyas dikarang oleh Dawud al-Zahiry (200 H-270 H) dan lain sebagainya.2
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahl al-hadith dan ahl al-ra’y
sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Hal
ini mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Shafi’I
dan Hanbali. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan
para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan
merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hokum
yang dihadapi baik dalam memecahkan berbagai persoalan hokum yang dihadapi baik
dalam memahami nash al-Qur’an dan al-Hadits maupun kasus-kasus hokum yang tidak
ditemukan jawabannya dalam nash. Upaya ijtihad ini juga membahas persoalan-persoalan
yang mungkin akan erjadi yang dikenal denngan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotesis),

2
Ibid.26
pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahl al-ra’yi
berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat
digunakan untuk meng-istinbath-kan hokum. Imam Muhammad bin Hasan al-Shyabani,
murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hijaz untuk mempelajari kitab al-
Muwatta yang merupakan salah satu kitab ahl al-hadits. Sementara itu, Imam al-Shafi’I
mendatangi Imam al-Shyabani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya
mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahl al-ra’y.
Atas dasar ini, banyak ditemukan literature fiqh kedua aliran yang didasarkan atas
hadits dan ra’yu. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan
kitab fiqh dan ushul fiqh.
Berdasarkan analisis sejarah, ada beberapa faktor pendorong terhadap
perkembangan pesat Hukum Islam pada saat itu sehingga mencapai puncaknya,
diantaranya adalah:
1. Perhatian yang besar dari pemerintahan Abbasiyah terhadap Hukum Islam dan para
pakar atau ahlinya.
Hal tersebut dapat dilihat dari sikap para khalifah yang mau mendekati para
Fuqaha dan memposisikannya ditempat yang terhormat.
2. Luasnya wilayah kekuasaan pemerintahan Islam
Pada pemerintahan Abbasiyah perluasan wilayah sudah mencapai Spanyol
sampai dengan Cina. Sebagaimana diketahui bahwa setiap daerah mempunyai corak
kultur dan kehidupan social yang berbeda-beda.
3. Kebebasan berpendapat.
Setiap Ulama bebas mengeluarkan pendapat dan pandangannya terhadap satu
persoalan hokum sehingga dalam satu kasus ada banyak pendapat dan pandangan.
4. Dinamika sosio-kultural yang terjadi di masyarakat.
Kondisi masyarakat atau kehidupan sosialnya pun ikut berperan dalam
memberikan pengaruh terhadap statemen atau pendapat yang dikeluarkan oleh para
Ulama.
5. Terbukanya forum diskusi secara luas.
Terbukanya forum diskusi secara luas ini merupakan implementasi dari
beberapa faktor diatas. Iklim social-politik yang kondusif serta persoalan sosio-
kultural yang terus berkembang dan semakin kompleks membuka peluang yang luas
untuk mengadakan diskusi dan tukar pendapat diantara para Ulama.
6. Sikap terbuka dikalangan Ulama.
Walaupun diantara Ulama banyak muncul perbedaan pendapat, namun
mereka selalu bersikap terbuka, terbuka dalam mempublikasikan atau menjelaskan
pendapatnya ataupun terbuka dalam menerima masukan diantara mereka, yang pada
akhirnya melahirkan sikap saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain.3

3
Ibid.33
Masa pembinaan, pengembangan, dan pembukuan hokum Islam (abad ke-7-
10M), disebut juga masa keemasan hokum Islam. Masa ini ditandai dengan
meninggalnya atau berakhirnya periode Khulafaur Rasyidin yang kemudian muncul
periode khalifah Umayyah (662-750 M) dan Khalifah Abbasiyah (750-1258 M).
kedua periode kekhalifahan tersebut berkembang fiqh Islam sehingga dalam literatur
hokum Islam disebut hokum fikih Islam itu tumbuh subur perkembangannya di
zaman kekhalifahan Umayyah dan berbuah di zaman kekhalifahan Abbasiyah. Di
zaman itulah lahir pula perawi-perawi hadits seperti Imam Bukhari (w. 875 M), Imam
Muslim (w. 875 M), Ibn Majah (w. 877 M), Abu Daud (w. 889 M), At-Tirmidzi (w.
892 M) dan An-Nasa’I (w.915 M).
Pada masa tersebut Hukum islam berkembang sehingga hampir tidak ada
permasalahan yang tidak mempunyai penyelesaian hokum. Faktor penyebabnya
adalah khalifah yang silih berganti itu mendukung dalam pengertian system yang
kondusif lahirnya pemikir hokum melalui berbagai penalaran istinbath, diantaranya
qiyas, ijtihad, istihsan, maslahat mursalah, dan sejenisnya.
Sejak abad ke-10 dan 11 Masehi, ilmu hokum Islam mulai berhenti
berkembang di penghujung pemerintahan Bani Abbas yang ditandai dengan
munculnya paham bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Artinya, hampir semua
persoalan hokum sudah mempunyai jawaban yang dikaji dari kitab fikih. Dari zaman
ini pula munculnya paham taklid kepada ulama pendahulu sehingga disebut zaman
kelesuan pemikiran hokum Islam. Selain itu, muncul ketidakstabilan politik sebagai
akibat luasnya wilayah kekuasaan pemerintahan kekhalifahan dalam Islam.4
Pada fase ini perkembangan hokum Islam ditandai dengan munculnya aliran-
aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hokum. Walaupun
panasnya suasana politik yang dipengaruhi oleh golongan-golongan pemberontak
(golongan Khawarij dan Syiah), tetapi fase ini disebut juga masa keemasan umat
Islam karena keilmuan di berbagai bidang berkembang pesat. Berikut ini faktor-faktor
yang memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan:
1. Faktor politik.
2. Faktor perluasan wilayah
3. Faktor perbedaan penggunaan Ra’yu
4. Faktor perkembangan ilmu pengetahuan
5. Faktor lahirnya para tokoh mujtahid
6. Faktor terbukukannya sumber Tasyri’5
Dalam periode-periode ini pula, barulah dibuat aturan-aturan ijtihad disusun
Ushul Fiqh dan barulah hasil ijtihad itu dibukukan. Dalam periode ini pula mereka
para mujtahidin mulai memperluas hokum dan membuat macam-macam masalah
yang di reka-reka. Dalam periode yang telah lalu hokum-hukum itu diberikan dan
dicari, jika telah ada kejadian yang menghajatinya. Dalam periode ini pula muncul
berbagai mazhab dan berjangkit perselisihan dengan hebat dan luas.
4
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.,Hukum Islam,(Jakarta: Sinar Grafika,2006)hlm.71
5
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag.,Ikhtisar Tarikh Tasyri’,(Jakarta: Amzah,2013)hlm.87
Dalam periode ini timbul pertentangan pendapat tentang:
1. Menggunakan hadits untuk menjadi dasar syara’ (hokum); karena telah bertebaran
hadits palsu yang dibuat oleh para pendusta (perusak agama).
2. Memakai ijma’ sebagai dasar tasyri’. Sebagai mana mereka berselisih tentang hal
istihsan, demikian pula pertengkaran faham antar ahli qiyas dengan ali hadits
dalam hal mempergunakan qiyas, makin menghebat.6

6
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Pengantar Hukum Islam,(Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra,1997)hlm.62

Anda mungkin juga menyukai