Anda di halaman 1dari 69

1 BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG Daulah Abbasiyah adalah kekhalifahan Islam yang berkuasa


di Baghdad. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan
dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa
setelah Bani Umaiyah yang berhasil merebut dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin
Abdul Muththalib (566-652 M). Secara kronologis nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang dari al-
Abbas, Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan pertalian keluarga antara bani
Abbas dengan Nabi. Keluarga Abbas mengklaim bahwa setelah wafatnya Rasulullah merekalah yang
merupakan penerus dan penyambung keluarga Rasul.1 Propaganda Abbasiyah dimulai ketika Umar bin
Abdul Aziz menjadi khalifah Daulah Umaiyah (717-720), Umar memimpin dengan adil dan membuat
peraturan yaitu dengan memberi kesempatan kepada gerakan 1 Ajid Thohir, Perkembanagan Peradaban
Di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), 46. 2 Abbasiyah untuk menyusun dan
merencanakan gerakannya yang berpusat di Humayun yang dipimpin oleh Ali bin Abdullah bin Abbas
yang selanjunya digantikan oleh anaknya Muhammad bin Ali al-Abbas dan kemudian memperluas
gerakannya. Setelah Muhammad bin Ali wafat kemudian digantikan oleh anaknya Ibrahim al-Imam yang
kemudian memilih panglima perang yaitu Abu Muslim al-Khurasani yang berhasil merebut Khurasan dan
menyusul berbagai kemenangan, akan tetapi pada awal 132 H/749 M Ibrahim al-Imam ditangkap oleh
Pemerintah Daulah Umaiyah dan dipenjara sampai meninggal. Kemudian digantikan oleh saudaranya
Abu Abbas dan tidak lama stelah itu pasukan Umaiyah dan Abbasiyah bertempur. Dalam pertempuran
tersebut Abu Abbas dan bala tentaranya mendapat kemenangan. Dan pada tahun 132 H/750 M
dijadikan tahun awal berdirinya Daulah Abbasiyah dengan khalifah pertamanya Abu Abbas as-Saffah.
Ada sejumlah alasan mengapa gerakan yang dilakukan oleh keturunan Abbas ini berhasil dan mendapat
dukungan masa. Yaitu karena banyak kelompok umat yang tidak mendukung kekuasaan Bani Umaiyah
yang menurut mereka memihak pada sebagian kelompok. Kelompok Syi’ah pada awal berdirinya daulah
Umaiyah telah memberontak karena mereka merasa hak kekuasaannya dirampok oleh Muawiyah.
Kelompok Khwarij juga merasa 3 bahwa para khalifah Bani Umaiyah menjalankan kekuasaan secara
sekuler, kelompok lain yang juga membenci Daulah Umaiyah adalah Mawali yaitu orang-orang non Arab
yang baru masuk Islam, mereka merasa tidak diperlakukan setara dengan orang-orang Arab karena
mendapat beban pajak yang tinggi. Kelompok-kelompok inilah yang mendukung Abbasiyah untuk
menggulingkan kekuasan Bani Umaiyah.2 Dinasti Abbasiyah secara turun temurun sekitar tiga puluh
tujuh khalifah pernah berkuasa, pada masa ini Islam mencapai puncak kejayaan dalam segala bidang.
Dinasti Abbasiyah merupakan Dinasti terpanjang dibanding dengan dinasti-dinasti dalam Islam lainnya
yaitu berkisar antara 750-1258 M sekitar kurang lebih lima ratus tahun. Pada periode pertama
pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh
yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir,
pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan
terus berkembang. 2 Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam:Dari Masa Klasik Hingga Modern
(Yogyakarta:LESFI, 2002), 98. 4 Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah
Harun ar-Rashid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak
dimanfaatkan Harun ar-Rashid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan
dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Kesejahteraan,
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tak tertandingi. Al-Ma'mun, pengganti Harun ar-Rashid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta
kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk
menerjemahkan bukubuku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan
penganut agama lain yang ahli, Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan BaitulHikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan
tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Para ilmuan pada masa Daulah Abbasiyah melakukan kajian-kajian
keilmuan dengan cara menerjemahksan kitab-kitab dari Yunani dan 5 mempelajarinya. Dengan cara
seperti itulah ilmu pengetahuan pada masa itu dapat berkembang pesat. Permulaan lahirnya ilmu
pengetahuan sebenarnya telah lahir pada masa-masa sebelum dinasti Abbasiyah yang lebih tepatnya
pada masa Yunani kuno, akan tetapi keilmuan-keilmuan ini berkembang pesat pada masa Daulah
Abbasiyah. Jika disusur sebenarnya ilmu telah ada pada permulaan manusia atau labih tepatnya pada
zaman manusia purba. Pada masa ini manusia telah mnemukan Besi, tembaga, dan perak untuk
berbagai peralatan. Baru setelah itu muncul keilmuan di Yunani.3 Dengan mempelajari kitab-kitab
Yunani Daulah Abbasiyah dapat membangun peradaban Islam yang agung dan membawa Islam
mencapai masa keemasan khususnya bidang keilmuan, akan tetapi imperium ini runtuh pada awal abad
ke-13 setelah terjadi perang antar saudara yang berlarut-larut, dan banyak pemberontakan yang terjadi.
Dilihat dari perjalanan sejarah antara bani Abbas dengan Bani Umaiyah ternyata Bani Abbas lebih
banyak melakukan perbuatan-perbuatan terutama dalam hal perubahan. Pergantian Daulah dari Daulah
Umaiyah ke Daulah Abbasiyah bukan hanya berganti dalam hal kepemimipinan akan tetapi juga
merubah dalam banyak hal, daulah Abbasiyah mampu menoreh 3 Surajio, Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2010), 80. 6 Dunia Islam dalam refleksi
kegiatan ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbas merupakan musim pengembangan
wawasan dan disiplin keilmuan. Pada permulaan Daulah Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran
berkembang pesat di seluruh negara islam sehingga lahirlah sekolah-sekolah yang tersebar di kota-kota
sampai desa. Peradaban islam megalami puncak kejayaan pada masa Daulah Abbasiyah. Perkembangan
ilmu pengetahuan sangat maju. Oleh sebab itu penulis di sini ingin melakukan penelitian dan menulis
tentang “Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Daulah Abbasiyah (Khalifah Harun ar-Rashid dan
al-Ma’mun tahun 786- 833 M)”. B. RUMUSAN MASALAH Adapun rumusan masalah yang sesuai dengan
lingkup pembahasan judul ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kebijakan Harun ar-Rashid dan al-
Ma’mun dalam pengembangan ilmu pengetahuan? 2. Bagaimana perkembangan Ilmu pengetahuan
pada masa Daulah Abbasiyah (Khalifah Harun ar-Rashid dan al-Ma’mun)? 3. Disiplin ilmu apa saja yang
berkembang pada masa Daulah Abbasiyah (Khalifah Harun ar-Rashid dan al-Ma’mun)? 7 C. TUJUAN
PENELITIAN Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kebijakan
Harun ar-Rashid dan al-Ma’mun dalam pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Mengetahui
perkembangan Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah (Khalifah Harun ar-Rashid dan al-
Ma’mun). 3. Dapat mengetahui disiplin ilmu apa saja yang berkembang pada masa Daulah Abbasiyah
(Khalifah Harun ar-Rashid dan al-Ma’mun). D. KEGUNAAN PENELITIAN Kegunaan penelitian yang
diharapkan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menambah khazanah pengetahuan
tentang perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada masa Daulah Abbasiyah. 2. Skripsi ini
diharapkan sebagai tambahan informasi dan memperkaya ilmu penetahuan khususnya tentang Sejarah
Islam. 3. Sebagai sarana untuk belajar bagi umat islam agar dapat berpikiran maju. E. PENDEKATAN DAN
KERANGKA TEORI 8 Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa
Daulah Abbasiyah (Khalifah Harun ar-Rashid dan alMa’mun tahun 786- 833 M)” ini penulis
menggunakan pendekatan historis yang dimaksudkan untuk mengetahui atau mendeskripsikan
peristiwa yang terjadi pada masa lampau yaitu sejarah Daulah Abbasiyah serta perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa itu. Teori yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah teori
perkembangan, yang mana perkembangan pada dasarnya merupakan perubahan sesuatu sehingga
membuahkan hasil atau manfaat bagi pihak lain. Dapat diartikan pula sebagai perubahan dari fungsi-
fungsi yang memungkinkan adanya perubahan tingkah laku.4 F. PENELITIAN TERDAHULU Dalam
penulisan skrispsi yang berjudul “PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA DAULAH
ABBASIYAH (Khalifah Harun ar-Rashid dan al-Ma’mun tahun 786- 833 M)” penulis melakukan tinjauan
dan memperhatikan penelitian terdahulu tentang Daulah Abbasiyah diantaranya pada skripsi yang
berjudul “Harun al-Rashid (Tela’ah tentang kekhalifahan pada masa Daulah Abbasiyah)” yang ditulis oleh
Faridatul Hasanah pada tahun 1994 yang pembahasannya lebih di fokuskan pada politik 4
Sunny,”Pengertian dan Prinsip Perkembangan”, dalam
http://ilmupsikologi.blogspot.com/2009/05/pengertian-dan-prinsip-perkembangan.html. 9 atau
kekhalifahannya, yang kedua adalah skripsi yang berjudul “Daulah Abbasiyah pada pemerintahan al-
Ma’mun 813-833 M” yang ditulis oleh Chusnul Hidayati pada tahun 1994 yang juga lebih memfokuskan
pembahasannya pada pemerintahan dan politiknya. Sementara itu penulis dalam skripsi ini membahas
pada kajian tentang perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah, yang
labih memfokuskan pada perkembangan ilmu pengetahuannya bukan pada politik kekhalifaannya.
Selain dari skripsi-skripsi tersebut di atas penulis juga menggunakan buku sebagai bahan dalam
penelitian penulisan skripsi ini seperti buku yang berjudul “Maluruskan Sejarah Umat Islam” karya Yusuf
al-Qardhawi tahun 2005 yang di dalamnya juga membehas tentang Bani Abbasiyah terutama tentang
kejayaannya. Selain buku tersebut juga buku yang berjudul “Kejayaan Islam: kajian Kritis dari tokoh
Orientalis” karya W.Montgomery Watt yang diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo tahun 1990 yang
membahas tentang kejayaan Islam terutama tentang keilmuannya. Serta buku yang berjudul “Sejarah
Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam” karya Prof. Dr .Hj. Musyrifah Sunanto tahun 2003,
yang menerangkan tentang perkembangan Ilmu pengetahuan pada masa klasik. 10 G. METODE
PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian sejarah yang terdiri
dari: a. Heuristik Merupakan pengumpulan data sumber yaitu proses yang dilakukan untuk
mengumpulkan sumber-sumber, data-data tentang hal yang akan dibahas oleh penulis. Dalam hal ini
penulis menggali sumber data-data dari sumber pustaka. b. Kritik Yaitu melakukan penelitian terhadap
sumber-sumber yang didapatkan agar memperoleh kejelasan terhadap sumber tersebut apakah sumber
yang didapatkan kredibel atau tidak, serta autentik atau tidak. Dalam metode sejarah kritik sumber
dibagi dua yaitu: Kritik Intern dan Kritik Ekstern. Kritik Intern adalah upaya yang dilakukan oleh penulis
untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup kredibel atau tidak. Sedangkan Kritik Ekstern adalah
upaya penulis untuk melihat apakah sumber yang didapatkkan autentik atau tidak. c. Interpretasi 11
Merupakan upaya yang dilakukan penulis untuk melihat kembali tentang sumber-sumber yang
didapatkan apakah sumber yang didapatkan dan telah diuji tersebut mempunyai hubungan satu sama
lain. d. Historiografi Yaitu menyusun fakta-fakta yang didapatkan penulis dari penafsiran para sejarawan
terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk tertulis. H. SISTEMATIKA BAHASAN Untuk menentukan
kerangka pembahasan yang jelas pada penulisan ini, penulis membagi sistematika bahasan menjadi lima
bab, yaitu sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan
Penelitian D. Kegunaan Penelitian E. Pendekatan Dan Kerangka Teori 12 F. Penelitian Terdahulu G.
Metode Penelitian H. Sistematika Bahasan I. Daftar Pustaka Sementara BAB II: PERKEMBANGAN
DAULAH ABBASIYAH A. Kemunduran Daulah Umaiyah B. Berdirinya Daulah Abbasiyah C. Masa
Keemasan Daulah Abbasiyah BAB III: KEBIJAKAN KHALIFAH HARUN AR-RASYID DAN ALMA’MUN A.
Kebijakan Khalifah Harun ar-Rashid 1. Gerakan Penerjemahan 2. Baitul Hikmah 3. Pendirian Rumah Sakit
4. Kuttab 5. Lembaga Kesusastraan 13 B. Kebijakan Khalifah al-Ma’mun 1. Gerakan Penerjemahan 2.
Baitul Hikmah 3. Majalis al-Munazharah 4. Menulis Buku 5. Rumah Para Ulama BAB IV: PERKEMBANGAN
ILMU PENEGETAHUAN PADA MASA DAULAH ABBASIYAH A. Kemajuan Ilmu pengetahuan pada Masa
Harun ar-Rashid 1. Ilmu Naqli 2. Ilmu Aqli B. Kemajuan ilmu Pengetahuan Pada masa al-Ma’mun 1. Ilmu
Naqli 2. Ilmu Aqli BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan 14 B. Saran-Saran C. Penutup BAB II PERKEMBANGAN
DAULAH ABBASIYAH 15 A. Kemunduran Daulah Umaiyah Perpecahan antar suku, etnis dan kelompok
politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang
menganggu stabilitas negara. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan
secara turun-temurun menimbulkan gangguan yang serius di tingkat negara. Mu’awiyah mengantisipasi
masalah itu dengan menunjuk putranya sebagai pengganti dirinya, tetapi prinsip kesukuan Arab klasik
dalam persoalan kepemimpinan menjadi ganjalan besar yang menghalangi ambisi seorang ayah yang
ingin memberi kadaulatan kepada anaknya. Selain perpecahan antar suku dan konflik di antara anggota
kerajaan, faktor lain yang menjadi sebab utama jatuhnya kekhalifahan Umaiyah adalah munculnya
berbagai kelompok yang memberontak dan merongrong kekuasaan mereka. Kelompok Syiah yang tidak
pernah menyetujui pemerintahan Dinasti Umaiyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka
terhadap Ali dan Husain, yang semakin aktif dibanding masa-masa sebelumnya. pengabdian dan
ketaatan mereka yang tulus terhadap keturunan Nabi berhasil menarik simpati publik.5 Selain itu
kekuatan yang lain adalah keluarga Abbas keturunan paman Nabi, al-Abbas ibn Abd Muthalib ibn
Hasyim, mulai menegaskan tuntunan mereka untuk menduduki pemerintahan. Dengan cerdik mereka
bergabung dengan para 5 Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006),
351. 16 pendukung Ali dengan menekankan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan kekecewaan
publik dan menampilkan diri sebagai pembela sejati agama Islam, para keturunan Abbas segera menjadi
pemimpin gerakan anti Umaiyah. Pemerintahan Umaiyah yang Arab-sentris memunculkan kekecewaan
dari beberapa kelompok masyarakat yang merasa dianak tirikan oleh penguasa. Orang Islam non Arab
khususnya orang persia, memiliki alasan kuat untuk merasa kecewa. Selain karena tidak memperoleh
kesetaraan ekonomi dan sosial yang sama dengan orang Islam Arab, mereka juga diposisikan sebagai
kalangan Mawali (mantan budak), dan tidak dibebaskan membayar pajak kepala yang biasa dikenakan
kepada non muslim. Hal lain yang semakin menegaskan kekecewaan mereka adalah kesadaran bahwa
mereka memiliki budaya yang lebih tinggi dan lebih tua, kenyataan yang bahkan diakui oleh orang Arab
sendiri. Di tengah-tengah masa kekecewaan itulah kelompok Syi’ah-Abbas menemukan lahan yang
subur untuk melakukan propaganda.6 Propaganda Abbasiyah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz
menjadi khalifah Daulah Umaiyah (717-720), Umar memimpin dengan adil dan membuat peraturan
yaitu dengan memberi kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan
gerakannya yang berpusat di Humayun yang 6 Ibid., 353. 17 dipimpin oleh Ali bin Abdullah bin Abbas
yang selanjunya digantikan oleh anaknya Muhammad bin Ali al-Abbas. Muhammad bin Ali al-Abbas
mulai melakukan gerakannya dengan langkah-langkah awal yaitu dengan cara menanamkan ide-ide baru
tentang hak kekhalifahan, serta ide tentang persamaan antara orang Arab dengan non Arab. Hal itu
berhasil membakar semangat api kebencian kepada pemerintahan Umaiyah. Langkah pertama
memperoleh sukses besar melalui propaganda yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasani.
Propaganda yang dikembangkan adalah bahwa Al-Abbas termasuk ahli bait, sehingga lebih berhak
menjadi khalifah. Setelah Muhammad bin Ali al-Abbas meninggal tahun 743 M, perjuangan dilanjutkan
oleh anaknya Ibrahim al-Imam, 7 Ibrahim al-Imam yang berkeinginan mendirikan kekuasaan itu
diketahui oleh Khalifah Umaiyah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya ditangkap pasukan
Umaiyah dan dipenjara di Harran sampi meninggal. Ibrahim al-Imam kemudian digantikan oleh adiknya
Abu al-Abbas. Abu al-Abbas menggerakkan revolusi ini menggunakan ideologi keagamaan untuk
meruntuhkan kekuasaan Bani Umaiyah. Untuk menyebarkan ideologi ini mereka menggunakan da’i yang
disebar ke pelosok-pelosok wilayah imperium Bani 7 Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan
Dunia Islam, 47. 18 Umaiyah. Menurut propaganda ini, menggulingkan kekuasaan Bani Umaiyah
diperintahkan oleh agama karena komitmen mereka dalam menegakkan syariat Islam sangat rendah,
Bani Abbas menyakinkan para pendukungnya bahwa Bani Umaiyah tidah memerintah umat berdasarkan
ajaran Rasulullah. Karena itu memberontak terhadap kekuasaan Bani Umaiyah tidak hanya hak bagi
setiap umat tetapi juga kewajiban. Abu Muslim al-Khurasani seorang jendral Persia yang menjadi salah
satu inti kekuatan gerakan revolusi Abbasiyah, serta dapat mempersatukan dan memimpin pasukan
yang terdiri dari orang Arab dan non Arab. Dialah yang memulai pemberontakan terbuka terhadap
pemerintahan Bani Umaiyah tahun 747 M. Wilayah imperium Umaiyah pertama yang dapat ditaklukkan
adalah wilayah Khurasan. Setelah ditaklukkan wilayah ini menjadi basis kekuatan untuk menaklukkan
wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Wilayah di sebelah timur Khurasan yang sudah terputus dari
pemerintah pusat selanjutnya menjadi sasaran penaklukan dengan mudah. Kemudian wilayah lain yang
dapat dikuasai dengan mudah yaitu Herat, Balkh, dan di Asia Tengah, Tukharistan, Tirmidh, Samarqand,
dan Bukhara. Selain itu wilayah Iran utara dan tengah juga mulai dikuasai.8 8 Dudung Abdurrahman,
Sejarah Peradaban Islam, 100. 19 B. Berdirinya Daulah Abbasiyah Bani Abbasiyah dirujuk kepada
keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul Muththalib (566-652
M).Secara kronologis nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang dari al-Abbas, Ali bin Abi Thalib dan
Nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan pertalian keluarga antara bani Abbas dengan Nabi. Keluarga
Abbas mengklaim bahwa setelah wafatnya Rasulullah merekalah yang merupakan penerus dan
penyambung keluarga Rasul. Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi
pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri
dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasan keluarga besar paman nabi SAW yaitu
Abdul Mutholib. Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota
kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung
keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang
penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-
terangan dengan golongan Bani Umaiyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya
mendukung Bani Hasyim. Setelah Ibrahim al-Imam meninggal Abu al-Abbas pindah ke Kufah diiringi oleh
para pembesar Abbasiyah lain, pimpinan Umaiyah di Kufah Yazid ibn 20 Hubairah ditaklukan oleh
Abbasiyah, sedangkan khalifah Umaiyah terakhir Marwan ibn Muhammad bersama pasukannya
melarikan diri ke Mesir.9 Setelah dapat menguasai wilayah-wilayah imperium Umaiyah akhirnya terjadi
pertempuran antara Bani Umaiyah dengan Abbasiyah di Sungai Zab, pasukan Abbasiyah menghancurkan
kekuatan khalifah Umaiyah terakhir, Marwan ibn Muhammad terbunuh di desa Busir pada tahun 750 M.
Dengan demikian maka berdirilah Daulah Bani Abbas yang dipimpin oleh khalifah pertamanya Abu al-
Abbas as-Saffah yang waktu itu berpusat di Kufah. Abul al-Abbas diumumkan sebagai khalifah pertama
Daulah Abbasiyah pada tahun 750 M, dalam khutbah pelantikannya yang disampaikan di Masjid Khufah,
ia menyebut dirinya dengan Al-Saffah (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. al-Saffah
dengan berbagai cara untuk membasmi keluarga Umaiyah, antara lain dengan kekuatan senjata ia
mengumpulkan tentaranya dan melantik pamannya sendiri sebagai pimpinanya. Targer utama mereka
adalah menyerang pusat kekuatan Dinasti Umaiyah di Damaskus. Usaha lain yang dilakukan al-Saffah
untuk memusnahkan keluarga Umaiyah adalah dengan cara mengundang kurang lebih 90 anggota
keluarga Umaiyah untuk menghadiri suatu upacara perjamuan, kemudian membunuh mereka dengan
cara yang kejam. Perlakuan kejam itu tidah hanya pada anggota keluarga yang 9 Ali Mufrodi, Islam Di
Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 88. 21 masih hidup, tetapi juga yang
suudah meninggal. Kuburan-kuburan mereka dibongkar dan jenazahnya dibakar, ada dua kuburan yang
selamat yaitu kuburan Muawiyah bin Abi Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz. Perlakuan-perlakuan kejam
tersebut jelas menimbulkan kemarahan para pendukung Dinasti Umaiyah di Damaskus, tetapi mereka
berhasil ditumpas oleh Abbasiyah. Abu Abbas al-Saffah meninggal tahun 754 M, pemerintahannya
singkat hanya dalam kurun waktu empat tahun, setelah itu ia digantikan oleh saudaranya Abu Jafar al-
Mansur, dialah yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah. Dia tetap melanjutkan kebijaksanaan
al-Saffah yakni menindak tegas setiap orang yang menentang kekuasaannya, termasuk juga dari
kalangan keluarganya sendiri.10 Abu Ja'far al-Manshur keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari
Bani Umaiyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang
mungkin menjadi saingan baginya satu persatu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali,
keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria
dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-
Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M,
karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya. 10 Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di
Kawasan Dunia Islam. 49. 22 Pada masa pemerintahan al-Mansur, ibu kota Daulah Abbasiyah dipindah
dari Kuffah ke Baghdad, sebuah kota indah yang terdapat di tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat. Ibu kota
Abbasiyah menjadi penting sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan pemukiman, pusat
pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Sementara itu perbaikan juga
dilakukan di bidang administrasi pemerintahan yang disusun secara baik dan pengawasan terhadap
berbagai kegiatan pemerintah diperketat. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi
dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan
yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai
koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal
dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman
sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani
Umaiyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar
surat. Pada masa alManshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-
daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas
melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah. 23 Untuk mengokohkan posisinya di mata
rakyat, al-Mansur menggunakan nama yang dilegitimasi oleh pandangan teologis, ia menyebut dirinya
dengan “Sulthan Allah fi al-Ardhi” (Kekuasaan Allah di muka bumi), dan al-Mansur sendiri juga
merupakan gelar tahta dari nama aslinya Abu Ja’far. Tradisi semacam ini kemudian dilanjutkan oleh
umumnya para khalifah Dinasti Bani Abbas selanjutnya.11 Pada masa al-Mansur terjadi pemberontakan
dari kelompok syi’ah akan tetapi pemberontakan tersebut dapat dikalahkan, setelah dapat mengalahkan
pemberontakan tersebut al-Mansur membawa pasukannya untuk meredam tiga ancaman utama
terhadap kekuasaannya yakni penduduk Syiria bekas kekuasaan Umaiyah, yang masih belum mau
menjadi bawahan pusat kekuasaan baru di Bagdad. al-Mansur meninggal dan kemudian
pemerintahannya dipegang oleh putranya al-Mahdi, khalifah yang bernama Abu Abdullah Muhammad
Abdullah ini sejak usia lima belas tahun telah ikut memimpin pasukan di medan peperangan. Di masa ini
perubahan penting terjadi, faksi politik Khurasan dan sekelompok militer mulai menjadi saingan. Selain
itu sekertariat kerajaan mulai menjadi kelompok penekan. 11 Mohammad Nur Hakim, Sejarah Dan
Peradaban Islam (Malang: Universitas Muhamadiyah Malang, 2004), 65. 24 Sebelum meninggal al-
Mahdi telah mempersiapkan dua anaknya al-Hadi dan Harun al-Rashid untuk bergiliran menggantikan
kekuasaannya. Alasan al-Mahdi mengangkat dua orang putranya adalah agar kekuasaan Abbasiyah tetap
di tangan keluarga keturunan al-Abbas. Namun, kebijakan tersebut menjadi sumber kericuhan dan
persaingan berebut kekuasaan. Setelah al-Mahdi meninggal putra pertama al-Hadi naik tahta kerajaan.
Al-Hadi mengendalikan kerajaan dengan keras, tidak seperti ayahnya, alHadi kurang menghargai orang-
orang non Arab (mawali) dan kelompok Syi’ah yang dahulu menjadi tulang punggung kekuatan revolusi
Abbasiyah. Ia melanggar keputusan ayahnya yang mengangkat saudaranya, Harun al-Rashid untuk
menggantikan tahtanya setelah meninggal dengan mengangkat anaknya sendiri Ja’far. Namun rencana
itu tidak sepenuhnya berjalan, ketika tiba-tiba dia meninggal, saudaranya Harun al-Rashid dibaiat oleh
pendukungnya. Setelah kuat Harun al-Rashid memaksa Ja’far untuk meninggalkan kekuasaannya. C.
Masa Keemasan Daulah Abbasiyah Dalam perkembangannya Daulah Abbasiyah dibagi menjadi lima
periode yakni, Periode Pertama (750 M - 847 M) dimana para khalifah Abbasiyah berkuasa penuh.
Periode Kedua (847 M - 945 M) disebut periode pengaruh Turki. Periode Ketiga (945 M - 1055 M) pada
masa ini daulah Abbasiyah dibawah kekuasaan Bani Buwaihi. Periode Keempat (1055 M - l194 M) dalam
25 periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Saljuk atas Daulah Abbasiyah. Periode Kelima (1194 M -
1258 M) periode ini khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu, mereka
merdeka berkuasa akan tetapi hannya di Bagdad dan sekitarnya.12 Pada periode pertama pemerintahan
Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai
tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Sebenarnya
zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur serta
pada masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M), akan tetapi popularitas Daulah Abbasiyah mencapai
puncaknya pada masa khalifah Harun al-Rashid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813- 833 M).
Kekayaan banyak dimanfaatkan Harun al-Rashid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Disamping itu, pemandian- 12 Departemen Agama Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam I
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 7-9. 26 pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak
tertandingi. Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah secara terbuka mempelopori perkembangan ilmu
pengetahuan dengan mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat peradaban sebelumnya
untuk kemudian diterjemahkan, diadaptasi dan diterapkan di Dunai Islam. Para ulama’ muslim yang ahli
dalam berbagai ilmu pengetahuan baik agama maupun non agama juga muncul pada masa ini. Pesatnya
perkembangan peradaban juga didukung oleh kemajua ekonomi imperium yang menjadi penghubung
Dunia Timur dan Barat. Stabilitas politik yang relatif baik terutama pada masa Abbasiyah awal ini juga
menjadi pemicu kemajuan peradaban Islam. Al-Ma'mun, pengganti Harun ar-Rashid, dikenal sebagai
khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku
asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari
golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli, Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu
karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa 27 al-Ma'mun inilah
Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Sebelum Harun al-Rashid memegang
kekuasaan, khalifah al-Mansur merupakan khalifah yang memperhatikan ilmu agama dan dunia secara
seimbang. Sangat tidak mengherankan jika al-Mansur sangat memperhatikan ilmu pengetahuan agama,
karena beliau adalah seorang yang sangat paham dengan ilmu agama. Adapun perhatian besar al-
Mansur terhadap ilmu duniawi terbukti pada dukungan penuh dan subsidi besar yang beliau berikan
untuk menerjemahkan berbagai buku mengenai ilmu pengetahuan dan filsafat dari bahasa Yunani dan
Persia kedalam bahasa Arab. Semangat dan kecintaan al-Mansur terhadap ilmu pengetahuan ini
dilanjutkan oleh anak dan cucunya yang menjadi khalifah setelah beliau, mereka sangat menghormati
para penerjemah, memberikan fasilitas yang cukup untuk mereka, sehingga gerakan penerjemahan
dapat berjalan dengan lancar. Saat itu buku-buku filsafat Yunani tidak hanya terbatas pada teori-teori
murni tentang rahasia pencipta, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur. Akan tetapi, juga mencakup
pembahasan tentang apa yang saat ini disebut sebagai 28 science, seperti fisika, ilmu falak, kimia,
biologi, kedokteran, matematika, dan ilmu lainnya.13 Berbagai buku bermutu diterjemahkan dari
peradaban India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan
Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga
diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari
Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Di masa-masa itu para Khalifah juga mengembangkan
berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Oleh
sebab itu, tidak heran jika dalam waktu yang sangat cepat Islam mampu mencapai kebangkitan ilmu
pengetahuan dalam berbagai cabangnya, baik fisika, kimia, falak, biologi, matematika, kedokteran, ilmu
bedah, maupun ilmu farmasi dan sebagainya. Harun al-Rashid dan putranya al-Ma’mun dapat
mendirikan sebuah akademi pertama yang dilengkapi peneropong bintang, perpustakaan terbesar, dan
dilengkapi pula lembaga untuk penerjemahan. Pada perkembangan selanjutnya mulai dibuka madrasah-
madrasah, Nizamul Muluk merupakan 13 Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Umat Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), 124. 29 pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada
sekarang ini dengan nama madrasah. Dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada
masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga
dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan
terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh
perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani
Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Pada masa ini Ilmu dan metode tafsir mulai
berkembang terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Dalam
bidang hadits mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis, sehingga kita kenal dengan
klasifikasi hadits Shahih, Dhaif, dan Maudhu. Selain itu berkembang juga ilmu pengetahuan agama lain
seperti ilmu AlQur’an, qira’at, fiqh, kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan
berkembang pada masa Abbasiyah ini Imam Abu Hanifah yang meninggal di Baqdad tahun 677 adalah
pendiri madzab Hanafi. Imam Malik bin Anas yang banyak menulis hadits dan pendiri Maliki itu wafat di
Madinah pada tahun 796. 30 Muhammad ibn Idris Asy-Shafi’i yang meninggal di Mesir tahun 819 adalah
pendiri madzab Shafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal pendiri madzab Hanbali meninggal dunia tahun 855 M.14
Pada masa itu berkumpul para seniman di Bagdad seperti Abu Nuwas, salah seorang penyair yang
terkenal, dan menghasilkan banyak karya seni sastra yang indah seperti Alf Laila wa Lailah (Seribu Satu
malam) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Arabian Nigth. Bagdad sebagai ibu kota
kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh khalifah al-Mansur mencapai puncak kejayaan di masa al-
Rashid walau kota itu belum lima puluh tahun dibangun. Kemegahan dan kemakmuran tercermin dari
istana khalifah, kemewahan istana muncul terutama dalam upacara-upacara penobatan khalifah,
perkawinan, keberangkatan berhaji, dan jamuan untuk para duta negara asing.15 Bani Abbasiyah lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Inilah
perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umaiyah. Oleh sebab itu daulah Abbasiyah mampu
menoreh Dunia Islam dalam refleksi kegiatan ilmiah serta dapat membangun peradaban Islam yang
agung. Perkembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbas merupakan musim pengembangan wawasan
dan disiplin keilmuan. 14 Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, 102. 15 ibid, 104 31 Berkat
hubungan dengan dunia luar khususnya dengan Persia, Daulah Abbasiyah lebih memiliki perhatian
dalam bidang sains dan kebudayaan,. Sehingga sains dan kebudayaan dapat mengalami puncak
kejayaannya bila dibandingkan dengan masa sebelum dan sesudahnya. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor, yaitu pertama khalifah al-Ma’mun sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga kebijakan di
bidang ilmu pengetahuan dan gairah intelektual sangat menonjol, seperti mendirikan Baitul Hikmah
yang berfungsi sebagai perpustakaan dan sebagainya. Kedua, khalifah memasukkan beberapa ahli dari
orang-orang Persia, seperti keluarga Khalid bin Barmak yang selanjutnya mengembangkan ilmu
pengetahuan di lingkungan istana. Ketiga, berkat keberhasilan penyebaran Islam ke berbagai wilayah
yang baru, umat Islam bertemu dengan berbagai kebudayaan lain, seperti Yunani dan Persia, sehingga
menjadikan mereka tertarik untuk mengkaji filsafat dan khazanah pengetahuan yang baru. Selain itu
dorongan agama juga mempengaruhi ilmuan muslim untuk mengkaji berbagai ilmu pengetahuan
khususnya ilmu pengetahuan di bidang akal (ilmu aqli). Usaha penerjemahan mencapai puncaknya pada
masa al-Ma’mun dengan didirikannya sekolah tinggi terjemah di Bagdad. Pada masa Harun ar-Rashid
kekuasaannya terkenal hingga keseluruh penjuru dunia, akan tetapi di dunia Barat juga terdapat raja
yang tekenal yaitu raja Charlemagne, namun Harun lebih berkuasa dan menampilkan budaya yang 32
lebih tinggi. Keduanya menjalin persahabatan yang kemungkinan didorong oleh kepentingan pribadi.
Charlemagne menjadikan Harun sebagai sekutu potensial untuk menghadapi Bizantium yang tidak
bersahabat, dan Harun memanfaatkan Charlemagne untuk menghadapi pesain dan lawan
berbahayanya, yaitu Dinasti Umaiyah di Spanyol. Hubungan persahabatan tersebut diwujudkan dengan
pertukaran para duta dan hadiah. Persentuhan dengan budaya Yunani bermula ketika orang Arab
bergerak menaklukan daerah Bulan Sabit Subur. Berbagai serangan ke tanah Romawi terutama pada
masa Harun, ternyata menjadi jalan masuknya manuskripmanuskrip Yunani, selain harta rampasan
terutama yang berasal dari Amorium dan Ankara. Al-Ma’mun dikenal sebagai khalifah yang mengirim
utusan hingga ke Konstatinopel, langsung kepada Raja Leo dari Armenia untuk mencari karyakarya
Yunani. Bahkan al-Mansyur diriwayatkan berhasil memperoleh balasan dari Raja Bizantium berupa
sejumlah buku. Karena orang Arab tidak memahami bahasa Yunani maka pada awalnya harus bersandar
pada terjemahan yang dibuat oleh orang yang ditaklukan, baik orang Yahudi maupun orang kristen
Nestor. Orang Suriah Nestir yang pertama-tama menerjemahkan kebahasa Suriah dan kemudian ke
bahasa Arab. Titik tertinggi pengaruh Yunani terjadi pada masa al-Ma’mun, kecenderungan rasionalistik
khalifah dan para pendukungnya dari kelompok Mu’tazilah, yang menyatakan bahwa teks-teks agama
harus sesuai dengan nalar 33 manusia, hal ini mendorong untuk mencari kebenaran itu dalam karya-
karya filsafat Yunani.16 Dari penerjemahan yang dilakukan tersebut orang Arab pada masa itu dapat
memiliki kemajuaun yang pesat dala bidang keilmuan. Diantaranya mereka dapat mengalami kemajuan
dalam bidang industri, seperti memanfaatkan tambang sulfat, tembaga, air rakasa, besi dan emas. Selain
dalam bidang industri berkembang juga ilmu kedokteran, falak, matematika, dan kimia.17 16 Philip. K
Hitti, History Of The Arabs.386. 17 Yususf Qardhawi. Meluruskan Sejarah Umat Islam, 140. 34 BAB III
KEBIJAKAN KHALIFAH HARUN AR-RASYID DAN AL-MA’MUN Pada masa dinasti Abbasiyah, pendidikan
berkembang secara pesat dan hebat, sehingga muncul lembaga-lembaga pendidikan yang secara tidak
langsung berperan mempengaruhi perkembangan pendidikan pada masa tersebut. Popularitas puncak
kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun al-Rashid (786-809 M) dan puteranya al-
Ma’mum (813-833 M). Pada masa kejayaan tersebut, telah banyak berdiri bangunan untuk keperluan
sosial dan lembaga pendidikan. Berdirinya lembaga-lembaga ilmiah pada masa Dinasti Abbasiyah
berkaitan dengan khalifah yang memimpin dinasti tersebut, karena sedikit banyaknya khalifah-khalifah
tersebut ikut andil atau berperan dalam lembaga ilmiah tersebut. Dalam kepemimpinannya para
khalifah tentu memiliki kebijakan-kebijakan masing-masing, seperti halnya khalifah Harun ar-Rashid dan
putranya al-Ma’mun. Dalam hal ini akan dibahas kebijakan-kebijakan khalifah Harun dan al-Ma’mun. A.
Kebijakan Khalifah Harun ar-Rashid 35 Khalifah Harun al-Rashid adalah khalifah kelima Daulah
Abbasiyah, beliau menggantikan saudaranya al-Hadi pada tahun 786 M, dalam usia 25 tahun, masa
pemerintahannya 23 tahun yaitu tahun 786-809 M, yang merupakan zaman keemasan Daulah
Abbasiyah.18 Khalifah Harun ar-Rashid dilahirkan di Raiyi pada tahun 145 H ibunya ialah Khaizuran,
bekas seorang hamba yang juga ibunda al-Hadi. Ayah beliau alMahdi memberi tanggung jawab dengan
melantik Harun sebagai Amir di Saifah pada tahun 163 H, kemudian pada tahun 164 H beliau dilantik
untuk memerintah seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di Afrika Utara. Pada tahun 166 H alMahdi
melantik Harun sebagai putra mahkota untuk menggantikan al-Hadi apabila al-Hadi mangkat, dan Harun
ar-Rashid pun dengan resmi menjadi khalifah pada tahun 170 H/786 M. Pribadi dan akhlak Harun ar-
Rashid merupakan salah seorang khalifah yang sangat dihormati, suka bercengkrama, alim dan sangat
dimuliakan sepanjang menjadi khalifah. Beliau menyukai syair dan para penyair serta tokohtokoh sastra
dan ilmu fiqh, beliau juga sangat mengghormati dan merendah diri kepada alim ulama.19 Khalifah Harun
ar-Rashid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuwan dan budayawan. Ia mengumpulkan
mereka dan melibatkannya 18 Joesef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah I (Jakarta: Bulan Bintang. 1977).
102. 19 A.Syalabi, Sejarah dan Kabudayaan Islam 3 (Jakarta: Al Husna Zikra, 1997). 107. 36 dalam setiap
kebijakan yang akan diambil pemerintah. Perdana menterinya adalah seorang ulama besar di zamannya,
Yahya al-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun ar-Rashid, sehingga banyak nasihat dan anjuran
kebaikan mengalir dari Yahya. Hal ini semua membentengi Khalifah Harun ar-Rashid dari perbuatan-
perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Pada masa Khalifah Harun ar-Rashid, hidup juga
seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan pada Khalifah, yaitu Abu
Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun ar-Rashid. Pada masanya hidup ahli-ahli bahasa terkenal
yang mempelopori penyusunan tata bahasa, seni bahasa dab nada sajak, yaitu Khalaf al-Ahmar (wafat
180 H), al-Khalil Ahmad al-Farahidi (wafat 180 H ), Akhfasy al-Akbar (wafat 176 H), Akhfasy al-Awsath
(wafat 215 H), Sibawaihi (wafat 180 H), dan al-Kisai (wafat 189 H). Selain itu hidup juga para tokoh-tokoh
sufi pertama yaitu Ibrahim Ibn Idham (wafat 166 H) seorang pangeran dari kota Balkh yang
meninggalkan kebangsawanannya dan kekayaannya dan mengembara sebagai seorang Faqir, hidup dari
hasil kerajinan tangannya sendiri dan wafat dalam pertempuran lautan sewaktu armada Islam
menghadai armada Bizantium. Dan Rabiatul Adawiyah (wafat 185 H), seorang sufi wanita dari Basrah
yang amat terkenal dengan sajak- 37 sajak mistik. Serta abu Ali Syaqiq al-Balkh (wafat 194 H), seorang
tokoh mistik yang menjadi tokoh legendaris pada masa belakangan di dalam aliran-aliran mistik
(Thariqat-thariqat) dalam sejarah Islam.20 Seperti sebelumnya dikatakan, bahwa puncak kejayaan
dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun ar-Rashid. Salah satu puncak kejayaanya pada saat
itu adalah mengenai ilmu pengetahuan, yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada kemajuan
pendidikan. Pada masa pemerintahannya, memang Harun lebih membawa perhatian kepada ilmu
pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa lembaga ilmiah atau lembaga pendidikan
yang sangat berpengaruh pada kemajuan pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah. Kamajuan-kemajuan
yang diraih Daulah Abbasiyah pada masa itu khususnya dalam hal keilmuan dan pendidikan tidak luput
dari kabijakankebijakan yang dilakukan khalifah Harun ar-Rashid pada masanya diantaranya adalah
adanya gerakan penerjemahan manuskrip-manuskrip dan kitab-kitab Yunani, mendirikan Baitul Hikmah,
, Rumah sakit, Kuttab serta didirikannya lembaga Sastra. 1. Gerakan Penerjemahan Kegiatan
penerjemahan sebenarnya sudah dimulai sejak Daulah Umaiyah, namun upaya untuk menerjemahkan
manuskrip-manuskrip 20 Joesoef Syou’yb. Sejarah Daulah Abbasiyah I, 130. 38 berbahasa asing
terutama bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa arab mengalami masa keemasan pada masa
Daulah Abbasiyah. Pusat tempat penerjemahan adalah Yunde Sahpur, yang merupakan kota ilmu
pengetahuan pertama dalam Islam. Para ilmuan diutus ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-
naskah Yunani dalam berbagai ilmu terutama filasafat dan kedokteran Pemburuan manuskrip tidak
hanya sebatas di Bizantium saja akan tetapi juga di Daerah Timur seperti Persia, terutama naskah dalam
bidang tata negara dan sastra. Para penerjemah tidak hanya dari kalangan Islam tetapi juga dari
pemeluk Nasrani dari Syiria dan Majusi dari Persia. Biasanya naskah berbahasa Yunani diterjemahkan
dahulu kedalam bahasa Syiria kuno sebelum ke bahasa Arab. Hal ini dikarenakan penerjemah adalah
para pendeta Kristen Syiria yang hanya memahami bahasa Yunani dan bahasa mereka sendiri. Kemudian
para ilmuan yang memahami bahasa syiria dan Arab menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa
Arab. Khalifah Harun ar-Rashid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke
dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian
informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama
Yuhana bin Musawyh. 39 Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab
dipelopori oleh Yuhanna ibn Masawayh (777-857 M) dan Hunayn ibn Ishak (wafat 873 M), ia adalah
seorang penganut dan dokter Nasrani dari Syiria. Yang memperkenalkan metode penerjemahan baru
yang menterjemahkan kalimat, bukan menterjemahkan kata per kata, metode ini lebih memahami isi
naskah karena struktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan struktur kalimat bahasa Arab.
Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan
kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. 2. Baitul
Hikmah Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan, institusi ini merupakan kelanjutan dari institusi serupa di masa imperium Sasania Persia
yang bernama Jundishapur Academy. Namun pada masa Sasania hanya menyimpan puisi-puisi dan
ceritacerita untuk raja. Pada masa Harun ar-Rashid, Institusi ini bernama Khizanah al-Hikmah (Hazanah
Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Dalam perpustakaan
tersebut, terdapat bermacam-macam buku ilmu pengetahuan yang berkembang padas masa itu, baik
yang berbahasa 40 Arab maupun bahasa lain, seperti Yunani, India, dan sebagainya. Pada masa itu Baitul
Hikmah juga berperan sebagai pusat terjemahan.21 3. Pendirian Rumah Sakit Sebelumnya telah
dikatakan bahwa pada masa khalifah Harun arRashid telah berdiri bangunan-bangunan sosial, salah
satunya adalah rumah sakit. Bangunan ini tak hanya berperan sebagai lembaga sosial sebagai tempat
merawat dan mengobati orang-orang sakit, namun di tempat ini juga mendidik tenaga-tenaga yang
berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Rumah sakit Bagdad merupakan rumah sakit Islam
pertama yang dibangun oleh khalifah Harun ar-Rashid pada awal abad ke-9, mengikuti model Persia,
yang di sebut dengan Bimaristan, yang dalam bahasa Persia Bimar berarti sakit sedangkan stan artinya
tempat.22 Rumah-rumah sakit Islam memiliki ruang khusus untuk perempuan, dan dilengkapi dengan
gudang obat-obatan. Beberapa diantaranya dilengkapi perpustakaan kedokteran dan menawarkan
khusus pengobatan. Selain itu, rumah sakit ini juga berfungsi sebagai tempat praktikum bagi para
mahasiswa dari sekolah kedokteran yang mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang
obat-obatan, bahkan tidak jarang sekolah-sekolah kedokteran itu didirikan dekat dengan rumah sakit.
Pada masa itu sudah terdapat paling tidak 800 orang dokter. 21 Dudung Abdurrahman, Sejarah
Peradaban Islam, 105 22 Philip. K Hitti, History of The Arabs, 456. 41 Sejumlah dokter dan ahli bedah
ditetapkan untuk memberikan kuliah kepada mahasiswa kedokteran dan memberikan ijazah bagi
mereka yang dianggap mampu melakukan praktik. 4. Kuttab Kuttab atau bisa juga disabut maktab
berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis, maka Kuttab adalah tempat belajar dan menulis.
Lembaga ini adalah lembaga pendidikan terrendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan,
menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama.23 Menurut Ibnu Djubaer
pendidikan ini berlangsung di luar masjid. Kurikulum pendidikan di Kuttab ini berorientasi kepada Al-
qur’an sebagai suatu tex book, hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal
bahasa arab, sejarah Nabi SAW. Belajar di Kuttab tidak ditentukan lamanya, murid yang telah menguasai
materi, maka lebih cepat selesai dan berpindah pada ilmu yang lain. Setelah tepat waktunya, dan sudah
mulai memahami materi dasar, barulah mempelajari pelajaran yang lebih tinggi tingkatannya dari
sebelumnya. 23 Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, 50. 42 Belajar di kuttab
dilakukan pada waktu pagi hari sampai waktu shalat ashar, dari hari Sabtu sampai hari Kamis. Setiap
tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idul Adha merupakan hari libur.24 5. Lembaga
Kesusasteraan Lembaga kesusasteraan merupakan majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk
membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahannya, lembaga pendidikan ini
mengalami kemajuan yang pesat, bahkan pada saat itu, beliau juga aktif dalam majlis ini. Dalam sejarah
dikatakan, bahwa khalifah Harun ar-Rashid merupakan ahli ilmu pengetahuan dan sangat cerdas, maka
wajarlah jika beliau pun ikut terjun dalam lembaga pendidikan ini. Lembaga kesusasteraan ternyata
telah ada pada masa sebelumnya yaitu pada masa daulah Umaiyah, yang funngsinya sama yaitu untuk
mencerdaskan manusia. Keberadaan lembaga kesusastraan pada masa daulah Abbasiyah maju dan
bahkan bertahan hingga akhir kekhalifahan Abbasiyah.25 Pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-
Rashid bermunculan penyair terkenal, seperti Abu Nawas (145-198 H) nama aslinya adalah Hasan bin
Hani, dan Abu Tamam (wafat 232 H) nama aslinya adalah Habib bin 24 “Lembaga-lembaga ilmiyah
dinasti abasiyyah”dalam http://suka-suka barkah.blogspot.com/lembaga-lembaga-ilmiyah-
dinasti.html(03 Januari 2012) 25 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 119.
43 Auwas atb-Tba’i. Pada masa itu terkenal sebuah buku yang berjudul Seribu Satu Malam (Alf Laylah wa
Laylah) yang telah menduduki tempat paling atas dibidang kesastraan dunia. Buku tersebut telah
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa dunia. Khalifah Harun ar-Rashid wafat pada tahun 193 H, ketika
berusia kurang lebih 44 tahun. Sebelum meninggal beliau pergi ke Khurasan untuk menumpas
pemberontakan yang dilancarkan oleh Rafi’ bin Laith. Beliau telah melantik al-Amin sebagai
penggantinya di Bagdad, dalam perjalanan tersebut beliau ditemani putranya al-Ma’mun. Tetapi di
tengah perjalanan beliau ditimpa penyakit dan terpaksa berhenti bersama rombongannya di suatu
tempat bernama Tus. Ketika merasa keadaannya bertambah berat beliau meminta anaknya al-Ma’mun
untuk memimpin pasukan tentara meneruskan perjalanan ke Khurasan. Beliau bersama dengan
menterinya al-Fadhl bin ar-Rabi’ dan pasukan tentara yang kecil beserta sejumlah harta benda tetap
berada di Tus. Tak lama setelah itu khalifah Harun ar-Rashid pun menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Menjelang wafat beliau telah meninggalkan wasiat bahwa putranya al-Amin menggantikannya
dan kemudian putranya al-Ma’mun.26 B. Kebijakan Khalifah al-Ma’mun Abdullah Abul Abbas al-Ma’mun
dilahirkan pada tahun 170 H, di dalam kemangkatan pamannya khalifah al-Hadi, al-Ma’mun dilahirkan
enam 26A Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 3, 125. 44 bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya
al-Amin. Ibunya adalah bekas hamba sahaya bernama Marajil. Khalifah Harun ar-Rashid telah
melantiknya sebagai putra mahkota yang kedua sesudah al-Amin, serta menyerahkan kepadanya
wilayah Khurasan sampai Hamdan. Al-Ma’mun memerintah dinasti Abbasiyah dari tahun 198H-218 H.
Beliau merupakan salah seorang tokoh khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka, intelektual dan
kecintaan al-Ma’mun kepada ilmu pengetahuan serta jasa-jasanya dibidang tersebut telah meletakkan
dirinya di puncak daftar khalifah-khalifah Abbasiyah. Sama seperti ayahnya, ia juga dikenal sebagai figur
pemimpin yang cemerlang dan menguasai beragam ilmu pengetahuan. Pemaaf adalah salah satu sifat
al-Ma’mun yang paling nyata. Beliau memaafkan al-Fadhi bin ar-Rabi’ yang telah menghasut komplotan
penjahat menentang beliau serta memulangkan kembali ke rumahnya. Beliau memaafkan Ibrahim bin
al-Mahdi yang telah melantik dirinya sebagai khalifah di Bagdad sewaktu al-Ma’mun berada di kota
Marwu. Al-Ma’mun juga amat kurang berminat terhadap hiburan dan bermain-main. Selama dua puluh
bulan tinggal di Bagdad, beliau tidak mau mendengar sembarang nyanyian, walaupun mendengar itu
pun dari belakang tabir. Sebab utama beliau meninggalkan hiburan dan majelis-majelis minuman ialah
karena terpusatnya pikirannya pada ilmu pengetahuan dan kecintaannya kepada buku-buku, serta
usaha mengembalikan kembali keutuhan kerajaan yang hampir akan tumbang dan runtuh. 45 Pada
masa al-Ma’mun para ulama berlomba dalam menuliskan bukubuku ilmu pengetahuan, baik ilmu umum
maupun agama, sehingga dalam situasi tersebut muncul tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu di
kalangan kaum muslimin. Al-Ma’mun Khalifah Penyokong Ilmu Pengetahuan dan menempatkan para
intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Di era kepemimpinannya, Ke khalifahan
Abbasiyah menjelma sebagai adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah kekuasaan dunia Islam
terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di Barat hingga Tembok Besar Cina di Timur. Dalam dua
dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia Islam sebagai penguasa ilmu
pengetahuan dan peradaban di jagad raya. Seperti ayahnya khalifah al-Ma’mun dalam
kepemimpinannya juga memiliki kebijakan-kebijakan pada masanya sehingga daulah Abbasiyah dapat
mencapai masa yang gemilang khususnya dalam bidang keilmuan diantaranya adalah dengan melakukan
penerjemahan-penerjemahan terhadap manuskrip-manuskrip dan naskah-naskah khususnya tentang
ilmu pengetahuan, mengembangkan Baitul Hikmah yang telah didirikan oleh ayahnya, mendirikan
Majalis al-Munazharah, serta menulis buku. 1. Gerakan Penerjemahan 46 Seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa gerakan penerjemahan telah dilakukan pada masa Dinasti Umaiyah, selanjutnya
gerakan penerjemahan ini dilakukan pada masa Daulah Abbasiyah dan lebih pesat pada masa khalifah
al-Manshur dan Harun al-Rashid. Pada zaman al-Ma’mun kemauan usaha penerjemahan mencapai
puncaknya dengan didirikannya Sekolah Tinggi Terjemah di Bagdad. Di sinilah orang dapat mengenal
Hunain bin Ishaq (809-877 M), penerjemah buku kedoteran Yunani, termasuk buku iilmu kedokteran
yang sekarang terdapat di berbagai toko buku dengan nama Materia Medika. Hunain juga
menerjemahkan buku Galen dalam lapangan ilmu pengobatan dan filsafat sebanyak 100 buah ke dalam
bahasa Syiria, 39 buah kedalam bahasa Arab.27 Selain naskah berbahasa Yunani, naskah terjemahan
dalam bahasa Syiria kuno juga dipakai sebagai bahan perbandingan dalam menerjemahkan naskah.
Gerakan penerjemahan sangat didukung oleh khalifah al-Ma’mun yang membayar mahal hasil
penerjemahan. Bahkan beliau pernah membayar hasil terjemahan setara bobot emas. Karena
keinginanya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai super power dunia ketika itu, al-Ma’mun
membentuk tim penerjemahan yang terdiri dari Hunain bin Ishaq yang dibantu anaknya, Ishaq dan
keponakannya, 27 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam
(Jakarta: Kencana, 2003). 79. 47 Hubaish serta ilmuan lain seperti Qusta ibn Luqa, seorang beragama
Kristen Jacobite, Abu Bisr Matta ibn Yunus, seorang kristen Nestorian, Ibn ‘Adi, Yahya ibn Bitriq dan lain-
lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskahnaskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat
diperlukan terutama kedokteran.28 Dengan inisiatif dan gaji yang sangat tinggi, para ilmuwan itu dilecut
semangatnya untuk menerjemahkan beragam teks ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa seperti
Yunani, Suriah, dan Sansekerta. Demi perkembangan ilmu pengetahuan, al-Ma’mun mengirim seorang
utusan khusus ke Bizantium untuk mengumpulkan beragam munuskrip termasyhur yang ada di kerajaan
itu untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ketika Kerajaan Bizantium bertekuk lutut terhadap
pemerintahan Islam yang dipimpinnya, sang khalifah memilih untuk menempuh jalur damai. Tak ada
penjarahan terhadap kekayaan intelektual Bizantium, seperti yang dilakukan peradaban Barat ketika
menguasai dunia Islam. Khalifah alMa’mun secara baik-baik meminta sebuah kopian dari Almagest atau
alkitabu-l-mijisti (sebuah risalah tentang matematika dan astronomi yang ditulis Ptolemeus pada abad
kedua) kepada raja Bizantium. 28 Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, 104. 48 Hunain bin
Ishaq mendapat kehormatan dari al-Ma’mun untuk menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles. al-
Ma’mun juga pernah mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-
karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Keberhasilan
penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam menyerap bahasa asing dan kekayaan
kosa kata bahasa Arab. Dalam masa keemasan, karya yang diterjemahkan kebanyakan tentang ilmuilmu
pragmatis seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan. 2. Baitul Hikmah
Baitul Hikmah yang pada masa khalifah Harun ar-Rashid diberi nama Khizanah al-Hikmah, pada masa
khalifah al-Ma’mun diganti dengan Bait alHikmah atau Baitul Hikmah sejak 815 M. Pada masa ini, Baitul
Hikmah dipergunakan secara lebih maju, yaitu sebagai tempat penyimpanan bukubuku kuno yang
didapat dari Persia, Bizantium dan bahkan Etiopia dan India. Baitul Hikmah disulapnya menjadi sebuah
universitas virtual yang mampu menghasilkan sederet ilmuwan Muslim yang melegenda, selain itu
lembaga ini juga dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah
observatotium. 49 Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para ilmuwan
dari beragam agama untuk datang ke Bait al-Hikmah. AlMa’mun menempatkan para intelektual dalam
posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, matematikus,
astronom, ahli hukum, serta sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat
tinggi. Di institusi ini al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad ibn Musa alKhawarizmi yang ahli dalam
bidang aljabar, astronomi serta penemu logaritma. Orang-orang Persia juga masih dipekerjakan di Baitul
Hikmah, direktur perpustakaan Baitul Hikmah sendiri adalah seorang nasionalis Persia dan ahli pahlewi,
Sahl ibn Harun. Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, lahir pada tahun 780 M, dan dibawa ke istana al-
Ma’mun oleh ayahnya Musa ibn Syakir, yang merupakan pegawai tinggi kerajaan. Al-Khawarizmi bekerja
pada khalifah dan dalam waktu singkat menjadi kesayangan khalifah. Ia menjadi ahli bahasa Sansekerta
dan atas pesanan khalifah menerjemahkan buku astronomi Hindu Shidhanta dan menambahkan
beberapa catatan di dalamnya.29 Di Baitul Hikmah telah ditemukan konsep dasar pendidikan
multicultural. Dalam institusi ini tidak ditemukan diskriminasi , melainkan 29 M. Atiqul Haque, Wajah
Peradaban (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998). 57. 50 konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu
kental dalam kegiatan pendidikan di institusi ini. 3. Majalis al-Munazharah Majalis al-Munazharah
merupaka lembaga yang digunakan sebagai lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di
rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda kekuatan penuh
kebangkitan Timur, di mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak
keemasan Islam. Lembaga ini juga digunakan untuk melakukan kegiatan transmisi keilmuan dari
berbagai desiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Selain Majalis al-Munazharah ternyata ada
majelis lain yang serupa, ada 6 macam majelis lagi, yaitu: majelis al-Hadits, al-Tadris, al-Muzakarah,
alSyu’ara, al-Adab, al-Fatwa.30 4. Menulis Buku Aktivitas pelajar pada masa al-Ma’mun yang tak kalah
menarik adalah menulis buku sebagai karya yang menjadi bukti penguasaan ilmu yang telah 30 Fahrul
rozi,”Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Al-Ma’mun”,dalam
http://abdulrozi26yahoocoid.blogspot.com/2012/03/sejarah-pendidikan-islam-pada-masaal.html
(maret 2012) 51 diperolehnya. Ketika belajar, mereka juga melakukan kegiatan menulis. Pada awalnya
tulisan mereka hanya berbentuk manuskrip saja, namun kemudian akan dibukukan, sehingga memiliki
bobot kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada masa dahulu bahan yang digunakan untuk
menulis adalah kain perca dan papirus. Dokumen-dokumen resmi yang ditulis di atas kain perca
disimpan ketika terjadi perang sipil antara al-Amin dan al-Ma’mun. Pada masa al-Ma’mun kertas telah
menggantikan perca dan papirus di wilayah umat Islam. 5. Rumah Para Ulama Lembaga pendidikan ini
digunakan untuk melakukan kegiatan ilmiah , baik mengenai agama ataupun umum. Pada umumnya
materi yang diberikan adalah Al-Quran, ilmu-ilmu pasti, bahasa Arab dan kesusastraannya, mantik, fiqih,
falaq, tafsir, tarikh, hadist, ilmu-ilmu alam, nahwu dan shorof, kedokteran, dan musik. Banyak pelajar
yang berminat untuk mempelajari ilmu dari para ulama. Mereka berdatangan pergi ke rumah para ahli
ilmu karena para ahli yang bersangkutan tidak memberikan pelajaran di masjid.31 31 Zuhairini, Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992). 95. 52 BAB IV PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
PADA MASA DAULAH ABBASIYAH Telah diterangkan di atas bahwa pada masa Daulah Abbasiyah ilmu
pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat, banyak ilmu pengetahuan yang muncul dan
berkembang baik ilmu naqli (ilmu akal atau agama) maupun ilmu aqli (rasio). Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan sehingga 53 bermunculan lembaga-lembaga ilmiah sebagai tempat
untuk mempelajari ilmu pada masa itu. Puncak kejayaan Abbasiyah adalah pada masa kekhalifahan
Harun ar-Rashid dan putranya al-Ma’mun, begitu juga dengan ilmu pengetahuan yang mengalami
kemajuan pesat pada masa ini, meskipun masa-masa setelahnnya ilmu-ilmu pengetahuan masih tetap
mengalami kemajuan dan penyempurnaan. A. Kemajuan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Harun ar-Rashid
Khalifah Harun ar-Rasyid merupakan khalifah yang cinta akan ilmu serta mempunyai perhatian yang
sangat baik terhadap ilmuwan dan budayawan. Sehingga pada masa ini kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan mengalami keemasannya. Pada masa ini berkembang
berbagai disiplin ilmu baik ilmu Naqli maupun ilmu Aqli, dari gerakan penerjemahan yang dilakukan
pada saat itu sehingga ilmu pengetahuan dapat berkembang. Banyak para ilmuan yang hidup pada masa
pemerintahan Harun ar-Rashid, antara lain adalah Qadi abu Yusuf, keluarga Barmaki, Abu Atahiyah,
seorang penyair, Ishak Almausuli, penyanyi dan Al-Asma’i.32 Diantara ilmu yang berkembang pada masa
kekhalifahan Harun arRashid yaitu ilmu Naqli yang meliputi ilmu Hadits, ilmu Tasawuf, ilmu 32 Ali
Mufrodi, Islam Di Kawasan Kabudayan Arab, 93. 54 Bahasa, ilmu Fiqh dan ilmu Etika (Akhlak). Serta ilmu
Aqli yang meliputi ilmu Kedokteran, Ilmu Astronomi, dan ilmu Kimia. 1. Ilmu Naqli Ilmu naqli adalah ilmu
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam.
Sebenarnya ilmu-ilmu ini telah disusun semenjak masa Nabi akan tetapi pada masa ini lebih
disempurnakan lagi. a. Ilmu Tafsir Al-Qur’an adalah sumber utama dalam agama Islam, oleh karena itu
prilaku umat Islam harus berdasarkan kepadanya, hanya saja tidak semuat bangsa Arab memahami arti
yang terkandung di dalamnya. Maka dari itu pada masa sahabat berusaha untuk menafsirkan, para
sahabat yang menafsirkan antara lain, Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka’ab. Cara sahabat
menafsirkan ialah dengan cara menafsirkan ayat dengan hadits atau atsar atau kejadian yang mereka
saksikan ketika ayat itu turun. Setelah itu muncul penafsiran para Tabi’in yang mengambil tafsir dari
para sahabat. Tafsir pada masa ini ditambah dengan cerita Israiliyat, tokohnya antara lain Mujahid ibn
Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn 55 Jabir.
Kemudian muncul Mufasir dengan cara menyebut satu ayat kemudian menerangkan tafsirnya yang
diambil dari sahabat dan tabi’in. Kemudian ketika kebangkitan ilmu kebangkitan pada masa Daulah
Abbasiyah ini juga mempengaruhi penafsiran Al-Qur’an. Pada masa ini penafsiran Al-Qur’an terbagi ke
dalam dua cara yakni tafsir bi al-ma’tsur yaitu metode penafsiran Al-Qur’an dengan hadits Nabi, dan
tafsir bi al-ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan akal pikiran sebagai pendekatan
utama. Ulama tafsir yang muncul pada masa ini yaitu Ibnu Jarir atThabary dengan tafsirnya Jami’ al-
Bayan fi Tafsir Al-Qur’an sebanyak 30 juz yang menggunakan metode tafsir bl al-ma’tsur.33 b. Ilmu
Hadits Hadits (sunnah), yaitu perilaku, ucapan, dan persetujuan (taqrir) Nabi, yang menjadi sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits awalnya hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut,
kemudian direkam ke dalam bentuk tulisan pada abad kedua Hijriyah. Pada abad kedua ini para ulama
berloma-lomba membukukan hadits dengan cara keseluruahan tanpa penyaringan yang baik yang 33
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, 59. 56 datang dari Nabi dan sahabat atau Tabi’in sehingga
dalam kitab-kitab susunan ulama pada abad ini terdapat hadits-hadits yang marfu’, yang mauquf dan
maqtu’. Di antara kitab yang mashur abad ini adalah kitab al-Muwatta imam malik (w 179 H) yang
mengandung 1726 hadits.34 c. Ilmu Tasawuf Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang berisi
lahiriyah atau jasadiaah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat
batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Ilmu tasawuf merupakan salah satu ilmu yang tumbuh dan
matang pada masa Daulah Abbasiyah. Ilmu tasawuf adalah ilmu syariat yang inti ajarannya yaitu tekun
beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan
perhiasan dunia serta bersunyi diri dalam beribadah. Dalam sejarah sebelum muncul aliran Tasawuf
terlebih dahulu muncul aliran Zuhud. Aliran zuhud ini muncul pada akhir abad pertama hijriyah sebagai
reaksi terhadap hidup mewah dari khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar negara sebagai
akibat dari kekayaan yang diperoleh. 34 Ibid, 63. 57 Tokoh sufi yang pertama yaitu Ibrahim Ibn Idham
(wafat 166 H) seorang pangeran dari kota Balk yang meninggalkan kebangsawanan dan kekayaanya,
hidup dari hasil kerajinan tangannya sendiri. Rabi’ah al-Adawiyah (wafat 185 H), seorang sufi wanita dari
Basrah yang amat terkenal dengan sajak-sajak mistik. Muncul pula Abu Ali syaqiq al-Balkh (wafat 194
H).35 d. Ilmu Bahasa dan Sastra Masa Abbasiyah ilmu bahasa tumbuh dan berkembang dengan subur
karena bahasa Arab yang menjadi bahasa internasional. Yang dimaksud ilmu bahasa (ulum al-lughah)
adalah nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, bad’i, arudh, qamus, dan insya. Kota Basrah dan Kufah merupakan
pusat pertumbuhan dan kegiatan ilmu Lughah, keduanya berlomba-lomba dalam bidang tersebut
sehingga terkenal sebutan aliran Basrah dan aliran Kufah. Aliran Basrah lebih banyak terpengaruh
dengan Mantiq (logika) dibandingkan aliran Kufah sehingga mereka disebut sebagai ahli Mantiq. Pada
zaman ini diciptakan kitab-kitab yang bernilai dalam ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan, Ma’ani, dan Arudh.
Kemudian muncul ilmu Qamus dan ilmu al-Muqamat (kumpulan khutbah, ‘idhah dan riwayat). 35 Joesef
Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah I. 130. 58 Diantara ulama-ulama yang termashur pada masa ini yaitu,
Sibawaihi (wafat 183 H), kitab karangannya terdiri dari dua jilid dengan tebal 1000 halaman, Mu’az al-
Harra (wafat 187 H), orang yang mula-mula membuat tasrif, al-Kisai (wafat 198 H), banyak mengarang
kitab-kitab tentang bahasa.36 Dalam bidang sastra, karya-karya syair pra-Islam tentang kepahlawanan
jahiliah menjadi acuan bagi para penulis puisi pada masa Dinasti Abbasiyah, yang karya-karya tiruannya
terhadap orde klasik jahiliah dipandang sebagai karya klasik oleh para penyair Abbasiyah. Tokoh yang
terkenal dalam bidang ini adalah Abu Nuwas (wafat 810 M) seorang keturunan Persia, merupakan
penyair yang mampu menyusun lagu terbaik tentang cinta dan arak. Hingga saat ini, di dunia Arab nama
Abu Nuwas identik dengan badut. Ia merupaka penyair liris terbesar dunia Islam.37 e. Ilmu Fiqh Dalam
rangka memperluas ruang lingkup dan cakrawala pandangan hukum Islam, maka para pemikir Muslim
berusaha 36 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam Dalam Lintasan Sejarah (Malang: UIN Malang Press,
2008),167. 37 Philip. K Hitti, History Of The Arabs, 509. 59 mengembangkan pemikiran tentang hukum
Islam, yang meliputi seluruh perintah Allah sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an dan diuraikan dalam
hadits. Para Fuqaha yang lahir pada masa Abbasiyah dapat digolongkan dalam dua aliran, yaitu ahli
Hadits dan ahli Ra’yi. Ahli hadits mendasarkan pemikiran-pemikirannya pada hadits Rasulullah, mereka
disebut sebagai aliran Madinah. Ahli Ra’yi disebut juga aliran Kufah atau Irak, mereka mendasarkan
pemikiran-pemikiran hukumnya pada kemampuan akal pikiran dan pengalamannya. Tokoh aliran ini
ialah Abu Hanifah, ia seorang Persia yang dibesarkan di Kufah dan Bagdad (wafat 767 M/ 150 H). Abu
Hanifah tidak meninggalkan karya dibidang hukum, tetapi ajaran-ajarannya diabadikan oleh murid-
muridnya terutama Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani, yang kemudian mereka
mengembangkan dan melengkapi ajaran Abu Hanifah mereka juga menganggapnya sebagai pendiri
madhab mereka yang kemudian disebut Hanafi. Abu Yusuf adalah seorang Arab murni yang lahir sekitar
731 M dan dibesarkan di Kufah, di sini dia belajar pada imam Abu Hanifah. Karena kecakapan
intelaktualnya dan pendapat-pendapatnya yang masuk akal dia mendapat perhatian khalifah dan
ditunjuk sebagai 60 qadi di Bagdad. Dia adalah orang pertama yang disebut hakim agung (qadil qudat),
gelar yang diberikan khalifah Harun ar-Rashid.38 Sedangkan peletak dasar aliran Madinah (ahl al-
haadits) adalah Malik Ibn Anas (wafat 795 M/179 H), menulis “al-Muwattha”, kitab yang memuat sekitar
1700 hadits dan sekaligus kitab fiqh madzhab Maliki. Mayoritas penganut madzhab ini terdapat di Afrika
Utara. Timbul pertentangan antara kedua aliran ini mengenai sumber tempat pengambilan hukum.
Pertentangan itu antara lain dalam hal berikut: 1) Apakah as-Sunnah salah satuu sumber tasyri’ Islam
sebagai penyempuurna Al-qur’an? Kalau memang ya, bagaimana cara melaksanakannya? 2) Apabila
tidak mendapatkan nash dalam al-Qu’ran dan Hadits, apakah boleh memakai logika? 3) Ijma’ apakah
termasuk salah satu sumber tasyri’? 4) Tentang taklif yang dibina atas dua asas “amar” dan “nahi”,
apakah keduanya wajib sehingga mempunyai pengertian yang 38 Mantgomery Watt, Kejayaan Islam:
Kajian Kritis dari tokoh orientalis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990). 126. 61 amar itu berarti fardhu dan
yang nahi itu berarti haram? Kalau artinya tidak demikian, itu memerlukan dalil. Karena adanya
pertentangan itu para ulama sibuk membuat apa yang mereka namakan Ushul Fiqh, yaitu kaidah-kaidah
yang harus diikuti oleh para mujtahid dalam mengambil hukum. Maka lahirlah istilah-istilah seperti,
wajib, sunnah, mandub dan mustahil.39 f. Ilmu Etika (Akhlak) Ilmu hukum (fiqh) berhubungan erat
dengan ilmu ini karena ilmu hukum didiskusikan untuk mengatur seorang muslim untuk bertindak dalam
berbagai aspek kehidupan keagamaan, politik, dan sosial. Karena itu semua tatanan etika atau moral
menjadikan hukumhukum agama sebagai sumber penetapan berbagai sangksi moral. Karya-karya etika
islam didaasarkan pada Al-qur’an dan hadits. Karya ilmiah yang dihasilkan dalam bidang ini ada tiga
corak penulisan. Yang pertama pelajaran akhlak yang berupa anekdot, pribahasa, dan kata-kata hikmah
Indo-Persia, seperti al-Durrah alYatimah oleh Ibnu al-Muqaffa (wafat 757 M). Kedua pelajaran akhlak
semacam cerita-cerita, filsafat populer tentang moral yang diperoleh 39 Musrifa Sunanto, Sejarah Islam
Klasik, 74. 62 pada fabel (dongeng tentang binatang yang dapat bicara). Ketiga pelajaran akhlak yang
berupa buku-buku yang bercorak filsafat akhlak. 2. Ilmu Aqli Ilmu aqli adalah ilmu yang didasarkan pada
pemikiran (rasio). Ilmu yang tergolong ilmu ini kebanyakan dikenal umat Islam berasal dari terjemahan
asing, dari Yunani, Persia, atau India. Umat Islam mengenal ilmu setelah mempelajari dari luar meskipun
sebenarnya dalam Al-Qur’an ada dasar-dasar ilmu ini. Pada masa khalifah Harun ar-Rashid ilmu aqli yang
berkembang meliputi ilmu kedokteran, ilmu asrtonomi, dan ilmu kimia. a. Ilmu Kedokteran Pada zaman
dahulu, sebagian besar kebudayaan dalam masyarakat awal menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal
dan hewan untuk tindakan pengobatan. Ini sesuai dengan kepercayaan magis mereka yakni animisme,
sihir, dan dewa-dewi. Masyarakat animisme percaya bahwa benda mati pun memiliki roh atau
mempunyai hubungan dengan roh leluhur. 63 Dalam peradaban Yunani, orang Yunani Kuno
mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, di Yunani telah muncul beberapa dokter
atau tabib terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu kedokteran
adalah Hippocrates (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani yang menulis dasardasar pengobatan. Pada zaman
Yunani kuno, terdapat seseorang yang dikenal sebagai dewa kedokteran yakni Aeculapius. Tongkatnya
yang dililit oleh ular menjadi simbol kedokteran sampai saat ini. Selain itu dikenal juga Hippocrates
sebagai bapak ilmu kedokteran. beliaulah yang banyak menulis tentang pengobatan penyakit dengan
metode ilmu modern, mengenyampingkan ramalan dan pengobatan mistik, serta melakukan penelitian
observasi dengan cermat yang sampai saat ini masih dianggap relevan. hasil penelitian terhadap pasien
tersebut sampai saat ini juga masih dapat dibaca oleh para dokter, beliau mengajarkan pentingnya
menuliskan catatan penemuan medis kepada murid-muridnya. Pada masa Romawi terdapat tokoh-
tokoh yang cukup berperan dalam perkembangan dunia kedokteran yaitu Galen dan St. Jerome 64 yang
memperkenalkan pertama kali istilah rumah sakit (Hospitalia) yang didirikannya pertama kali di Roma
italia pada tahun 390 M.40 Perkembangan ilmu kedokteran dalam Islam sejalan dengan perkembangan
ilmu filsafat. Ilmu ini mulai mendapat perhatian ketika Khalifah Al-Mansyur dari Bani Abbas menderita
sakit pada tahun 765 M, atas nasehat menterinya, Khalid bin Barmak (seorang Persi), kepala Rumah
SakitYunde Sahpur yang bernama Girgis bin Bachtisyu dipanggil ke Istana untuk mengobati. Semenjak
itu, keturunan Girgis tetap menjadi dokter dan pemerintah, dan ilmu kedokteran mendapat perhatian.
Minat orang Arab terhadap ilmu kedokteran diilhami oleh hadits Nabi yang membagi pengetahuan ke
dalam dua kelompok teologi dan kedokteran. Dengan demikian, seorang dokter sekaligus merupakan
seorang ahli metafisika, filosof, dan sufi. Dengan seluruh kemampuannya itu ia juga memperoleh gelar
hakim (orang bijak). Jibril bin Bakhtisyu (wafat 830 M) merupakan dokter khalifah Harun ar-Rashid.
Sebagai dokter pribadi al-Rashid, Jibril menerima 100 ribu 40 http://www.facebook.com/notes/belajar-
rekam-medis/sejarah-dan-perkembanganilmu-rekam-medis/230583046990811 65 dirham dari khalifah
yang mesti berbekam dua kali setahun, dia juga menerima jumlah yang sama karena jasanya
memberikan obat penghancur makanan di usus.41 Dalam hal pengguanaan obat-obatan untuk
penyembuhan, banyak kemajuan berarti yang dilakukan orang Arab pada masa itu. Merekalah yang
membangun apotek pertama, mendirikan sekolah farmasi pertama, dan menghasilkan buku daftar obat-
obatan. Mereka telah menulis beberapa risalah tentang obat-obatan, mulai dengan risalah karya Jabir
bin Hayyan yang hidup sekitar 776 M.42 b. Ilmu Astronomi Kajian ilmiah tentang perbintangan dalam
Islam mulai dilakukan seiring dengan masuknya pengaruh buku India Sidhanta (dalam bahasa Arab
Sindhind), yang dibawa ke Bagdad pada 771 H yang diterjemahkan oleh Muhammad ibn Ibrahim al-
Farazi. Dan digunakan sebagai acuan oleh para sarjana belakangan. Tabel berbahasa Pahlawi yang
dihimpun pada masa Dinasti Sasaniyah ikut dimasukkan dalam bentuk terjemahan. Al-Farazi adalah
astronom muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. 41
Philip.K Hitti, History Of the Arabs, 455. 42 Ibid. 456. 66 Kaum muslimin memiliki modal besar dalam
mengembangkan Ilmu perbintangan. Mereka telah berhasil menjadikan satu aliran-aliran bintang yang
dianut masyarakat Yunani, Hindu, Persia, Kaldan dan Arab Jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan
penting dalam menentukan garis politik para khalifah dan para amir, yang mendasarkan perhitungan
kerjanya pada peredaran bintang. c. Ilmu Farmasi dan Kimia Ilmuan Muslim memberikan kontribusi
besar dalam bidang kimia, dalam bidang kimia ilmuan Muslim telah memperkenalkan tradisi penelitian
obyektif, sebuah perbaikan penting terhadap tradisi pemikiran spekulatif orang Yunani. Ilmu Farmasi
dan Kimia sebenarnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan ilmu kedokteran terutama
dalam hal pembuatan obat-obatan. Kedua ilmu ini erat kaitannya dengan Botani (ilmu tumbuh-
tumbuhan), ilmu farmasi dan kimia yang berusaha dipahami dan dikembangkan di Eropa pada masa
renaisance, 67 sesungguhnya sudah diletakkan dasar-dasar yang kuat oleh sarjanasarjana Islam. Ahli-ahli
yang terkenal dalam kedua cabang ilmu ini adalah, Ibnu Baithar karyanya al-Mughni (tentang obat-
obatan), Jabir bin Hayyan hidup di Kuffah sekitar 776 M, ia telah menulis lebih dari 200 jilid buku,
delapan puluh diantaranya menyangkut ilmu kimia, antar lain, al-Khawas al-Kabir (buku besar tentang
sifat-sifat kimia), alAhjar (batu-batuan mineral), al-Sirr al-Maknun (rahasia elemenelemen), al-Asbag (zat
pewarna), dan lain-lain. Jabir juga berhasil membuat timbangan yang sangat teliti, yang mampu
menimbang benda-benda yang beratnya 6.480 kali lebih kecil dari satu kilo gram. Jabir merupakan
bapak kimia bangsa Arab.43 B. Kemajuan Ilmu Pengetahuan Pada Masa al-Ma’mun Seperti halnya juga
pada masa kekhalifahan ayahnya Harun ar-Rashid, pada masa al-Ma’mun ilmu pengetahuan juga
berkembang pesat bahkan pada masa ini ilmu penegtahuan lebih maju dan para ilmuan lebih banyak
yang bermunculan. Khalifah al-Ma’mun dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu, ia
mengundang para ilmuwan dari beragam agama untuk datang ke Bait al-Hikmah. Al-Ma’mun
menempatkan para intelektual dalam posisi 43Fadil, Pasang Surut Peradaban Islam, 182. 68 yang mulia
dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, matematikus, astronom, ahli hukum,
serta sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat tinggi. Kemajuan ilmu
pengetahuan yang pesat pada masa al-Ma’mun ini dikarenakan usaha penerjemahan pada masa ini
megelami puncak dengan didirikannya sekolah tinggi terjemah di Bagdad. Ilmu-ilmu yang berkembang
dan mengalamai kemajuan pada masa ini juga meliputi ilmu naqli dan ilmu aqli. 1. Ilmu Naqli Ilmu naqli
yang berkembang pada masa khalifah al-Ma’mun meliputi, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu
tasawuf, ilmu bahasa dan sastra, dan ilmu fiqh. a. Ilmu Tafsir Di atas telah diterangkan perkembangan
ilmu tafsir dari masa sahabat hingga awal daulah Abbasiyah, pada masa kekhalifahan al-Ma’mun ini 69
lebih banyak bermunculan ulama-ulama ahli tafsir seperti, Abu Bakar Asma, abu Muslim bin Nashr al-
isfahany yang kitab tafsirnya 14 jilid. Pada perkembangan ilmu tafsir mulai diadopsi metode-metode
baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang
digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-
Qur'an. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir
Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika. Pada perkembangannya muncul berbagai metode
penafsiran Alqur’an, metodologi Tafsir tersebut dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili,
metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i. b. Ilmu Hadits Pada masa ini dilakukan
penyaringan hadits dengan cara melakukan kritik terhadap sanad (jalur penyampaian hadits), maupun
matan (isi hadits). Masa ini muncullah ahli-ahli hadits ternama dengan kita-kitab haditsnya. Ahli-ahli
hadits itu diantaranya, al-Syafi’i (wafat 204 H) dengan kitabnya Musnad, serta Imam al-Razaq bin
Hammam (wafat 211 H) kitabnya berjudul al-Jami. 70 Selanjutnya, muncul kecenderungan baru
penulisan hadits Nabi dalam bentuk musnad, diantara tokoh yang menulis musnad antara lain, Hanbal
Ubaidillah ibn Musa al’Absy al Kufi, Musaddad ibn Musarhad al Basri, Asad ibn Musa al Amawi dan
Nu’aim ibn Hammad al Khuza’i. Selanjutnya muncul trend baru penulisan hadits, yaitu munculnya
kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan penelitian dan pemisahan hadits-hadits
sahih dari yang dha’if sebagaimana yang dilakukan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Abu Dawud, al-
Tirmidzi serta al-Nasa’i, yang karya-karya haditsnya terkenal dengan sebutan kutubul al-sittah. c. Ilmu
Kalam Ilmu kalam lahir karena dua faktor yang mendoorongnya, yakni membela Islam dengan
pemikiran-pemikiran filsafat dari serangan orangorang kristen dan Yahudi mempergunakan senjata
filsafat tersebut, dan untuk memecahkan persoalan-persoalan agama dengan kemampuan akal pikiran
dan ilmu pengetahuan. Kaum Mu’tazilah berjasa dalam menciptakan Ilmu Kalam karena mereka adalah
pembela gigih terhadap Islam dari serangan Yahudi, Nasrani, dan Watsani. Menurut riwayat, mereka
mengirim para juru dakwah kesegenap penjuru untuk menolak serangan musuh. Di antara 71 pelopor
dan ahli ilmu kalam terbesar yaitu Washil bin Atha’, Abu Huzail, al-Juba’i, al-Allaf, al-Nazzam, dan Abu
Hasan al-Asyary. d. Ilmu Tasawuf Dalam memperhatikan kemewahan hidup dan maksiat yang dilakukan
khalifah dan pembesar, orang yang zahid teringat terhadap ancaman yang terdapat dalam Al-Qur’an
terhadap orang yang tidak patuh pada Allah, tak peduli pada larangan dan tak menjalankan perintahnya.
Karena itu mereka melarikan diri dari masyarakat mewah dan tak patuh. Mereka ingat akan dosa
mereka, maka mereka bertaubat. Hiburan bagi mereka ialah mendekati Tuhan, sedang Allah tidak dapat
didekati sebelum bertaubat, karena taubat merupakan stasiun pertama bagi orang yang ingin menjadi
suci. Bersih dari dosa atau taubat tak dicapai tanpa meninggalkan dunia materi dan tanpa meninggalkan
kebutuhan jasmani (suatau istilah yang disebut zuhud). Muncul para ahli-ahli dan ulama-ulama ilmu
tasawuuf ini antara lain, al-Qusyairi denggan kitabnya yang terkenal adalah ar-Risalatul Qusy Airiyah,
dan Syahabuddari, yaitu Abu Hafas Umar ibn Muhammad Syahabuddari Sahrowardy, kitab karangannya
adalah Awwariffu Ma’arif. 44 44 Afiful Ikhwan,”Sejarah Pendidikan Islam masa Abbasiyah”,dalam 72 e.
Ilmu Bahasa dan Sastra Pada periode ini dalam ilmu bahasa dan sastra muncul para ilmuan seperti al-
Kasai (wafat 198 H) atau Ali bin Hamzah yang banyak mengarang tentang kitab-kitab tentang bahasa. Al-
Farra’ (wafat 208 H) atau Abu Zakaria Yahya bin Zaiyad al-Farra, kitab nahwu karangannya lebih dari
6000 halaman. f. Ilmu Fiqh Dalam bidang ilmu fiqh selain madzhab Irak oleh Abu Hanifah dan madzhab
Madinah oleh Malik bin Anas, muncul madzhab lain yang mengklaim telah membangun jalan tengah
yaitu menerima pemikiran spekulatif dengan catatan tertentu. Madzhab ini didirikan oleh Muhammad
Ibn Idris al-Syafi’i lahir di Gazza (766 M), seorang keturunan Quraisy, belajar kepada Malik di Madinah.
Al-Syafi’i benyak melakukan perantauan keberbagai tempat seperti Yaman, Makkah, Bagdad, sampai
akhirnya menetap di Mesir sampai wafat. Dari pengembaraannya tersebut muncul perubahan pendapat,
dari pendapat lama ke pendapat baru yang dikenal dengan istilah qaul qadim dan qaul jadid
http://afifulikhwan.blogspot.com/2011/11/sejarah-pendidikan-islam-masa-bani.html (23 november
2011) 73 Syafi’i. Pendapat yang dicetuskan di Bagdad dikenal dengan qaul qadim sedang pendapat yang
dicetuskan di Mesir dikenal dengan qaul jadid. Dalam penetapan hukum, Imam syafi’i berpedoman pada
Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Kitab Imam Syafi’i yang terkenal adalah al-Umm.45 Selain itu juga
muncul madzhab Hanbali yang mengambil nama dari pendirinya Ahmad bin Hanbal (wafat 855 M),
seorang murid al-Syafi’i dan pengusung ketaatan mutlak terhadap hadits. Kitab imam Hanbal yang
terkenal adalah kitab al-Kharaj.46 2. Ilmu Aqli Ilmu aqli yang berkembang pada masa kekhalifahan al-
Ma’mun yaitu meliputi ilmu kedokteran, ilmu filsafat, ilmu astronomi, ilmu hitung (matematika). a. Ilmu
Kedokteran Pada awal pemerintahan al-Ma’mun para ahli obat-obatan harus menjalani semacam ujian.
Seperti halnya ahli obat-obatan, para dokter juga harus mengikuti tes. Yuhanna ibn Musawayh (wafat
857 M) dan Hunayn ibn Ishaq (wafat 873 M) adalah seorang dokter kristen dan murid Jibril ibn
Bakhtisyu, yang tidak memperoleh tubuh manusia untuk praktek 45 Karen Amstrong, Islam; Sejarah
Singkat (Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2002), 86. 46 Fadil, Pasang Surut Peradaban Islam, 172. 74
pembedahan karena adanya larangan dalam agama Islam, dan akhirnya menggunakan tubuh monyet.
Pada masa-masa berikutnya muncul ilmuan dalam bidang ini antara lain Ali al-Thabari, al-Razi, Ali ibn
Abbas al-Majusi, dan Ibn Sina. Yang kemudian dikenal sebagai dokter Islam yaitu al-Razi dan Ibn Sina. b.
Ilmu Filsafat Bagi orang Arab, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang
sebenarnya, sejauh hal itu bisa dipahami oleh pikiran manusia. Nuansa filsafat mereka berakar pada
tradisis filsafat Yunani, yang dimodifikasi dengan pemikiran para penduduk di wilayah taklukan, serta
pengaruh timur lainnya, yang disesuaikan dengan nilainilai Islam dan diungkapkan dalam bahasa Arab.
Di kalangan kaum muslim, orang yang pertama memberikan pengertian filsafat dan lapangannya adalah
al-Kindi atau Abu Yusuf bin Ishaq dan terkenal dengan sebutan Filosuf Arab, ia merupakan keturunan
Arab asli. Berasal dari Kindah Yaman tetapi lahir di Kufah tahun 801 M, orang tuanya adalah gubernur
dari Basrah, setelah dewasa ia pergi ke Bagdad dan mendapat perlindungan dari khalifah al-Ma’mun. Al-
Kindi menganut aliran Mu’tazilah dan belajar filsafat. 75 Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari
khalifah alMa’mun. Dalam risalahnya, al-Kindi menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang terkemuka
serta terbaik. Ia membagi filsafat menjadi tiga bagian, ilmu Fisika (ilmu thibbiyat) sebagai tingkatan yang
paling bawah, ilmu matematika (al-ilmu al-riyadi) sebagai tingkatan tengah-tengah, dan ilmu ke-Tuhanan
(ilmu al-rububiyah) sebagai tingkatan yang paling tinggi. Al-Kindi banyak mengarang buku, sebagian dari
karangannya telah musnah. Isi karangannya meliputi filsafat, logika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa,
optik, musik, matematika, dan lain sebagainya. AlKindi meninggal tahun 873 M. c. Ilmu Astronomi Pada
awal abad 9 M al-Ma’mun membangun sebuah observaturium di Jundaysabur dengan supervisior
seorang Yahudi yang baru masuk Islam, Sind ibn Ali dan Yahya ibn Abi Manshur. Di observaturium itu
para astronom kerajaan tidak saja mengamati dengan seksama dan sistematis berbagai gerakan benda-
benda lagit. Tetapi juga meguji semua unsur penting dalam Almagest, yaitu garis gerak yang tidak
beraturan dan garis edar matahari, panjang tahun syamsiyah dan 76 sebagainya, serta menghasilkan
amatan yang sangat akurat. Al-ma’mun juga membangun observaturium dibukit Qosayun di luar kota
Damaskus. Alat perlengkapan observaturium pada waktu itu terdiri atas quadrant, astrolobe (alat
pengukur letak tinggi tempat yang digunakan pada masa pertengahan), dial (alat pengukur waktu,
kecepatan suhu), dan bola dunia. Seperti yang telah disebutkan di atas al-Fazari adalah orang pertama
yang membuat astrolobe, model astrolobe ini mungkin diambil dari Yunani, jika dilihat dari nama
Arabnya Asthurlab. Buku-buku yang ditulis mengenai astrolobe ini ialah yang ditulis oleh Ali bin Isa
alAsthurlabi, hidup di Bagdad sebelum tahun 830 M. Ahli-ahli astronomi al-Ma’mun melakukan salah
satu perhitungan paling rumit tentang luas permukaan bumi. Tujuan perhitungan itu adalah untuk
menentukan ukuran bumi dan kelilingnya dengan ansumsi bahwa bumi berbentuk bulat. Pengukuran itu
dilakukan di Sinjar sebelah utara Eufrat, juga di dekat Palmyra. Dari hasil perhitungan ini disimpulkan
bahwa jarak lingkaran bumi adalah 20.400 mil dan diameternya adalah 6500 mil. Tabel astronomi dari
Arab ini menggantikan semua tabel Yunani yang dikenal sebelumnya, dan bahkan telah digunakan di
Cina.47 d. Ilmu Hitung (Matematika) 47Philip. K Hitti, History of the Arab, 470. 77 Sumbangan
matematikawan Yunani memurnikan metode-metode (khususnya melalui pengenalan penalaran
deduktif dan kekakuan matematika di dalam pembuktian matematika) dan perluasan pokok bahasan
matematika. Kata "matematika" itu sendiri diturunkan dari kata Yunani kuno mathema, yang berarti
"mata pelajaran". Asal mula pemikiran matematika terletak di dalam konsep bilangan, besaran, dan
bangun. Pengkajian modern terhadap fosil binatang menunjukkan bahwa konsep ini tidak berlaku unik
bagi manusia. Konsep ini mungkin juga menjadi bagian sehari-hari di dalam kawanan pemburu. Bahwa
konsep bilangan berkembang tahap demi tahap seiring waktu adalah bukti di beberapa bahasa zaman
kini mengawetkan perbedaan antara "satu", "dua", dan "banyak", tetapi bilangan yang lebih dari dua
tidaklah demikian. Benda matematika tertua yang sudah diketahui adalah tulang Lebombo, ditemukan
di pegunungan Lebombo di Swaziland dan mungkin berasal dari tahun 35000 SM. Tulang ini berisi 29
torehan yang berbeda yang sengaja digoreskan pada tulang fibula baboon. Terdapat bukti bahwa kaum
perempuan biasa menghitung untuk mengingat siklus haid mereka; 28 sampai 30 goresan pada tulang
atau batu, diikuti dengan tanda yang berbeda. Juga artefak prasejarah ditemukan di Afrika dan Perancis,
dari 78 tahun 35.000 SM dan berumur 20.000 tahun, menunjukkan upaya dini untuk menghitung waktu.
Tulang Ishango, ditemukan di dekat batang air Sungai Nil (timur laut Kongo), berisi sederetan tanda lidi
yang digoreskan di tiga lajur memanjang pada tulang itu. Tafsiran umum adalah bahwa tulang Ishango
menunjukkan peragaan terkuno yang sudah diketahui tentang barisan bilangan prima atau kalender
lunar enam bulan. Periode Predinastik Mesir dari milenium ke-5 SM, secara grafis menampilkan
rancangan-rancangan geometris. Telah diakui bahwa bangunan megalit di Inggris dan Skotlandia, dari
milenium ke-3 SM, menggabungkan gagasan-gagasan geometri seperti lingkaran, elips, dan tripel
Pythagoras di dalam rancangan mereka. Matematika Yunani merujuk pada matematika yang ditulis di
dalam bahasa Yunani antara tahun 600 SM sampai 300 M. Matematikawan Yunani tinggal di kota-kota
sepanjang Mediterania bagian timur, dari Italia hingga ke Afrika Utara, tetapi mereka dibersatukan oleh
budaya dan bahasa yang sama. Matematikawan Yunani pada periode setelah Iskandar Agung kadang-
kadang disebut Matematika Helenistik. 79 Matematika Yunani lebih berbobot daripada matematika
yang dikembangkan oleh kebudayaan-kebudayaan pendahulunya. Semua naskah matematika pra-
Yunani yang masih terpelihara menunjukkan penggunaan penalaran induktif, yakni pengamatan yang
berulang-ulang yang digunakan untuk mendirikan aturan praktis. Sebaliknya, matematikawan Yunani
menggunakan penalaran deduktif. Bangsa Yunani menggunakan logika untuk menurunkan simpulan dari
definisi dan aksioma, dan menggunakan kekakuan matematika untuk membuktikannya. Matematika
Yunani diyakini dimulakan oleh Thales dari Miletus (kira-kira 624 sampai 546 SM) dan Pythagoras dari
Samos (kira-kira 582 sampai 507 SM). Meskipun perluasan pengaruh mereka dipersengketakan, mereka
mungkin diilhami oleh Matematika Mesir dan Babilonia. Menurut legenda, Pythagoras bersafari ke
Mesir untuk mempelajari matematika, geometri, dan astronomi dari pendeta Mesir. Thales
menggunakan geometri untuk menyelesaikan soal-soal perhitungan ketinggian piramida dan jarak
perahu dari garis pantai. Dia dihargai sebagai orang pertama yang menggunakan penalaran deduktif
untuk diterapkan pada geometri, dengan menurunkan empat akibat wajar dari teorema Thales.
Hasilnya, dia dianggap sebagai matematikawan 80 sejati pertama dan pribadi pertama yang
menghasilkan temuan matematika. Pythagoras mendirikan Mazhab Pythagoras, yang mendakwakan
bahwa matematikalah yang menguasai semesta dan semboyannya adalah "semua adalah bilangan".
Mazhab Pythagoraslah yang menggulirkan istilah "matematika", dan merekalah yang memulakan
pengkajian matematika. Mazhab Pythagoras dihargai sebagai penemu bukti pertama teorema
Pythagoras, meskipun diketahui bahwa teorema itu memiliki sejarah yang panjang, bahkan dengan bukti
kewujudan bilangan irasional.48 Ilmu matematika dalam dunia Islam diperkenalkan oleh seorang
bernama Sidharta dari India yang bekerja di majelis al-Mansur sebagai ahli astronomi, yang
memperkenalkan aritmatika Hindu dengan sistem angka, angka tersebut disebut raqam al-Hindi, terdiri
dari angka 1, 2, 3, 4, 5, kemudian oleh al-Khwarizmi diciptakan angka 6, 7, 8, 9, dan selanjutnya
diciptakan angka 0 (nol) yang dinamakan kosong. Dengan demikian ke sepuluh angka-angka itu
dikenalkan bersama-sama di Eropa oleh al-Khawarizmi. Pada masa ini di kenal pengetahuan tentang
negatif positif, pengetahaun tentang akar dan Aljabar yaitu suatu ilmu hitung yang 48
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_matematika 81 diciptakan oleh al-Khawarizmi yang kemudian
aritmatika, sehingga kaum muslim menyebutnya Bapak aljabar, nama aljabar didapat dari bukunya yang
berjudul Hisab al-Jabr. Al-Khawrizmi atau Muhammad bin Musa al-Khawarizmi lahir pada tahun 780 M,
ayahnya merupakan pegawai tinggi kerajaan yaitu Musa bin Syakir, ia dibawa ke kerajaan dan bekerja
pada khalifah al-Ma’mun. Al-Kawarizmi penemu Alqarisme (logaritme) dalam ilmu matematika, dia pula
yang menjembatani matematika klasik (Yunani, India) menjadi matematika modern. Dia mampu
menggunakan sistem matematika yang tinggi yaitu integrasi yang tinggi dan persamaan, dalam
matematika disebut intergral dan deferensial, yang dalam matematika modern kedua macam teori itu
bisa digabungkan dan dinamakan”kalkulus”. Pengambangan lebih jauh dari aljabar alKhawarizmi
membahas solusi pecahan tingkat dua dengan menggunakan geometri dan aljabar, dan pengelompokan
pecahan yang menakjubkan. Al-Khawarizmi juga dikenal sebagai ahli geografi, dan filosof, ia
menerjemahkan buku geografi Plotomeus pada tahun 830 M, dan menggambar sebuah peta besar
dunia. Dia juga menggambar pesanan alMa’mun, peta besar populasi dan geografi berjudul Surat al-Ard,
peta ini 82 diterima dan diikuti sebagai model ahli-ahli geografi Barat untuk menggambar peta dunia.49
Orang Arab pada masa Daulah Abbasiyah telah memberikan sumbangan yang besar pada pengetahuan
manusia, khususnya dalam hal ilmu pengetahuan baik ilmu Naqli maupun ilmu aqli. BAB V PENUTUP A.
KESIMPULAN Dalam bagian terakhir ini penulis akan mengambil kesimpulan dari bab-bab yang telah
dibahas di awal dalam penulisan skripsi ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 49 Atiqul Haque,
Wajah Peradaban, 58. 83 Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun
al-Rashid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kesejahteraan, sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya.
Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah secara terbuka mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan dengan
mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat peradaban sebelumnya untuk kemudian
diterjemahkan, diadaptasi dan diterapkan di Dunai Islam. Kabijakan-kebijakan yang dilakukan khalifah
Harun ar-Rashid pada masanya diantaranya adalah adanya gerakan penerjemahan manuskripmanuskrip
dan kitab-kitab Yunani, mendirikan Baitul Hikmah, Rumah sakit, Khuttab serta didirikannya lembaga
kesusasteraan. Sedangkan kebijakan khalifah al-Ma’mun diantaranya adalah dengan melakukan
penerjemahan-penerjemahan terhadap manuskrip-manuskrip dan naskahnaskah khususnya tentang
ilmu pengetahuan, mengembangkan Baitul Hikmah yang telah didirikan oleh ayahnya, mendirikan
Majalis alMunazharah, dan menulis buku serta adanya rumah para ulama. Pada masa kekhalifahan
Harun ar-Rashid dan putranya al-Ma’mun perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Banyak ilmu yang berkembang dan mengalami penyempurnaan pada masa 84 itu. Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu, maka banyak bermunculan pula para ilmuan
muslim dalam setiap bidangnya masing-masing. Ilmu yang berkembang pada masa dua kekhalifahan ini
yaitu ilmu Naqli dan ilmu Aqli. Ilmu Naqli yang berkembang meliputi ilmu tafsir, ilmu Hadits, ilmu kalam,
ilmu tasawuf, ilmu bahasa, dan ilmu fiqh. Sedangkan ilmu Aqli yang berkembang adalah ilmu
kedokteran, ilmu filsafat, ilmu astronomi, ilmu matematika dan ilmu kimia. B. Saran-saran Berdasarkan
dari data-data yang telah didapatkan, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi
seluruh umat Islam agar dapat belajar dari sejarah, khususnya sejarah klasik sebagai sarana agar dapat
berpikiran lebih maju sehingga Islam dapat berkembang maju seperti pada masa Daulah Abbasiyah. 2.
Berharap kepada semua orang khususnya mahasiswa dan pelajar agar mempelajari sejarah, karena
sejarah dapat memberikan pelajaran untuk masa depan. 85 3. Penulisan skripsi ini sebenarnya masih
banyak ditemukan beberapa kelemahan dan kesalahan, oleh sebab itu saran dari pembaca sangat
diharapkan agar penulisan dapat lebih sempurna. C. Penutup Dengan mengucapkan syukur
Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini. Sebagai
manusia biasa, penulis tidak terlepas dari berbagai kesulitan-kesulitan yang menghadang. Namun atas
izin Allah SWT akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Sudah dapat dipastikan penulisan skripsi ini jauh
dari sempurna, masih banyak kekurangan bahkan mungkin terdapat banyak kesalahan, penulis sangat
menyadari kekurangan dan kesalahan itu. Kepada pengarang buku yang bukunya telah dipergunakan
oleh penulis untuk menyusun skripsi ini, penulis menyampaikan banyak terima kasih dan semoga
mendapatkan balasan dari Allah SWT sesuai perbuatannya. 86 Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan petunjuk dan pertolonganNya kepada kita semua, serta memberikan ampunan-Nya atas
segala kesalahan yang telah kita perbuat. Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses pendidikan
Islam sejatinya telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang sejalan dengan
perkembangan sosial budaya umat Islam itu sendiri. Melalui sejarah Islam pula, umat Islam bisa
meneladani model-model pendidikan Islam di masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW,
sahabat dan ulama-ulama sesudahnya. Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah
dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah
berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah masjid.
Pada masa Nabi SAW, masjid bukan hanya sebagai sarana ibadah, tapi juga sebagai
tempat menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa, disamping sebagai
tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat menerima duta-duta asing.Bahkan di
masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya
dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan
dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu.Sebelum
al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang dipakai sebagai tempat
belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu.
Islam mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti
Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan menulis dan dapat
memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa ini murid-murid di tingkat dasar
mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas, jelas dan mudah dipahami tentang beberapa
masalah.Pendidikan di tingkat dasar ini diselenggarakan di masjid, dimana al-Quran merupakan
buku teks wajib.Pada tingkat pendidikan menengah diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih
mendalam dan rinci terhadap materi yang sudah diajarkan pada tingkat pendidikan
dasar.Selanjutnya pada tingkat universitas sudah diberikan spesialisasi, pendalaman dan analisa.
Periode Dinasti Abbasiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam didunia,
Selama pemerintahan Dinasti Abbasiyah banya bidang pendidikan Agama maupun bidang
pendidikan Umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan
pendidikan tersebut.
Pendidikan Islam yang sangat berkembang pada periode Dinasti Abbasiyah yaitu pada
pemerintahan Harun Ar-Rasyid, Pada masa itu pendidikan Islam sangat berkembang pesat
sehingga banyak ilmu-ilmu baru yang sampai saat ini terus dikembangkan, misalnya dalam ilmu
umum diantaranya biadang Filsafat, astronomi, kedokteran, matematika, dan lain-lain. Juga dalma
ilmu agama diantaranya Tafsir, Ilmu Kalam , Tasawuf, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan
membahas Pola Perndidikan Islam Pada periode Dinasti Abbasiyah serta kemajuan-kemajuan
yang dicapai pada periode itu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan pendidikan islam pada periode Dinasti


Abbasiyah?
2. Apa tujuan Pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah?
3. Siapa sajakah tokoh-tokoh pendidikan yang berpengaruh pada periode Dinasti
Abbasiyah
4. Apa saja jenjang Pendidikan yang ada pada periode Dinasti Abbasiyah?
5. Apa saja lembaga-lembaga yang ada pada periode dinasti Abbasiyah?
6. Apa saja metoda yang diterapkan dan materi yang digunakan dalam pendidikan
periode Dinasti Abbasiyah?
7. Bagaimana kurikulum Pendidikan yang diterapkan pada Dinasti Abbasiyah?
8. Bagaimana Tradisi Ilmiah dan atmosfir Akademik pada Dinasti Abbasiyah?
9. Bagaimana Sarana Prasarana serta Pembiayaan Pada periode Dinasti Abbasiyah?
10. Bagaimana Manajeman Pendidikan dan para pelajar pada periode Dinasti
Abbasiyah?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Makalah ini disusun dalam rangka merefleksi kembali sejarah islam yang telah lalu, sebagai
cermin pertimbangan untuk masa mendatang. Sekaligus juga untuk memenuhi tugas kelompok
mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam.
2. Tujuan Khusus
a. Memahami sejarah perkembangan pendidikan Islam pada periode Dinasti Abbasiyah
b. Memahami9 Periodesasi Pada masa Dinasti Abbasiyah
c. Mengetahui tujuan pendidikan pada periode dinasti Abbasyiyah
d. Mengetahui tokoh-tokoh Pendidikan Islam yang berpengaruh pada periode Dinasti Abbasiyah
e. Mengetahui jenjang pendidikan yang ada pada periode Dinasti Abbasiyah
f. Mengetahui lembaga-lembaga yang ada pada periode dinasti Abbasiyah
g. Mengetahui metoda yang diterapkan dan materi yang digunakan dalam pendidikan periode Dinasti
Abbasiyah
h. Mengetahui kurikulum Pendidikan yang diterapkan pada Dinasti Abbasiyah
i. Mengetahui Tradisi Ilmiah dan atmosfir Akademik pada Dinasti Abbasyiyah
j. Mengetahui Sarana Prasarana serta Pembiayaan Pada periode Dinasti Abbasyiyah
k. Mengetahui Manajeman Pendidikan dan para pelajar pada periode Dinasti Abbasiyah

D. Manfaat
1. Memperkuat pemahaman terhadap pola pendidikan pada periode Dinasti Abbasiyah
2. Memahami pola pendidikan periode Dinasti Abbasiyah yang selanjutnya dapat
diimplementasikan pada lembaga pendidikan masa kini agar tercapai dan melahirkan generasi
keemasan sebagaimana pada periode Dinasti Abbasiyah
E. Metode Penulisan
Metode Penulisan pada makalah ini menggunakan pendekatan metode kepustakaan(methods of
literature)
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah isi makalah, penulis merumuskan sistematia penulisan makalah, bab
I pendahuluan terdiri dari latar belakang, Rumusan Masalah, tujuan meliputi tujuan umum dan
khusus, manfaat, metode penulisan, sistematika penulisan, bab II meliputi landasan teoretis, bab
III pembahasan, bab IV simpulan dan rekomendasi terdiri dari simpulan umum dan khusus dan
ditutup dengan daptar pustaka.

BAB II
LANDASAN TEORETIS

a. Hakekat pase pendidkan periode Dinasti Abbasiyah

Periode Abbasiyah merupakan era baru dan identik dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Dari segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban,
dan kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam, akan tetapi era ini
mengukur dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia. Semasa Dinasti Umayyah
kegiatan dan aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu berkembang pesat yang mencapai
puncak pada Periode Dinasti Abbasiyah.[1][1] Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan dunia
Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada Dinasti
Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke
dalam ma’had.[2][2]
Kepribadian beberapa Khalifah, terutama pada masa awal Abbasiyah seperti Mansur,
Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga
berpengaruh dalam kebijaksanaannya yang banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu
pengetahuan. Selain itu, karena permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam semakin kompleks
dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang,
khususnya ilmu-ilmu naqli seperti Ilmu Agama, Bahasa, dan Adab. Adapun ilmu aqli seperti
Kedokteran, Manthiq, Olahraga, Ilmu Angkasa Luar dan ilmu-ilmu yang lain telah dimulai oleh
Umat Islam dengan metode yang teratur. Kegiatan ilmiah di kalangan Umat Islam, semasa
Abbasiyah yang menandakan Islam memperoleh kemajuan disegala bidang.[3][3]

b. Hakekat Pola Pendidikan Periode Dinasti Abbasiyah


Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga
pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang bersifat non fomal.Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan
dengannya tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin
luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang becorak non formal tersebut adalah :[4]

1. Kuttab Sebagai Lembaga Pendidikan Dasar


Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat
menulis.Jadi kataba adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam Kuttab telah ada di
negeri arab, walaupun belum banyak dikenal. Diantara penduduk makkah yang mula-mula belajar
menulis huruf arab di kuttab ialah Sufyan ibnu Umayyah ibnu Abdu Syams dan Abu Qais Ibnu
Abdi manaf ibnu Zuhroh ibnu Kilab.[5]

2. Pendidikan Rendah di Istana


Corak pendidikan anak-anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab-
kuttab, pada umumnya di istana para orang tua siswa (para pembesar istana) yang membuat
rencana pembelajaran selaras dengan anaknya dan tujuan yang ingin dicapai orang tuanya.
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama dengan pelajaran pada
kuttab-kuttab hanya sedikit ditambah dan dikurangi sesuai dengan kehendak orang tua mereka.[6]
Guru yang mengajar di Istana disebut Muaddib.Kata muaddib berasal dari kata adab yang
berarti budi pekerti atau meriwayatkan.guru pendidikan di istana disebutmuaddib karena berfungsi
mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan-pengetahuan orang-orang
terdahulu kepada anak-anak pejabat.[7]

3. Rumah-Rumah Para Ulama’ (Ahli Ilmu Pengetahuan)


Walaupun sebenarnya, rumah bukanlah merupakan tempat yang baik untuk tempat
memberikan pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam, banyak juga rumah-rumah para ulama’ dan ahli ilmu pengetahuan menjadi
tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena ulama’ dan ahli
yang bersangkutan yang tidak mungkin memberikan pelajaran di masjid, sedangkan pelajar
banyak yang berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan daripadanya.
Diantara rumah ulama’ terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-
Gazali, Ali ibnu Muhammad Al-Fasihi, Ya’kub Ibni Killis, Wazir khalifah Al-Aziz billah Al-
fatimy, dan lain-lainnya.

5. Perpustakaan
Para ulama’ dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku
dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para
penuntut ilmu. Bahkan para ulama’ dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para
penuntut ilmu untuk belajar diperpustakaan pribadi mereka.
Baitul hikmah di Baghdad yang didirikan khalifah Al-Rasyid adalah merupakan salah satu
contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa arab,
bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu.[8]
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas karena disamping terdapat
kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.[9]
6. Masjid
Semenjak berdirinya dizaman nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan
dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin.Ia, menjadi tempat bermusyawarah,
tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi lainnya dan
tempat menyelenggarakan pendidikan.
Pada masa Bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang
didirikan oleh para pengusaha pada umumnya di perlengkapi dengan berbagai macam sarana dan
fasilitas untuk pendidikan.[10]

7. Madrasah
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah
dianggap krusial. Pendirian lembaga pendidikan tinggi islam ini terjadi di bawah patronase wazir
Nizam Al-Mulk (1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang
termasyhur dalam suatu mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah
mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’i dan telah
dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Berdirinya madrasah, pada satu sisi, merupakan sumbangan islam bagi peradaban
sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah
hegomoni negara terlalu kuat terhadap madrasah ini. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi
hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. ”pemakruhan” penggunaan nalar setelah runtuhnya
Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah, mereka
yang punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa belajar sendiri-sendiri. Karenanya ilmu-
ilmu profan banyak berkembang di lembaga nonformal

BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Daulah Abbasiyah
Berdirinya daulah Abbasiyah diawali dengan dua strategi, yaitu:
1. System mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal ini berlangsung sejak akhir abad
pertama hijriah yang bermarkas di Syam dan tempatnya di Alhamimah. System ini berakhir
dengan bergabungnya Abu muslim al- Khurasani pada jum’iyah yang sepakat atas terbentuk
Daulah Abbasiyah
2. Strategi kedua dilanjutkan dengan terang-terangan dan himbauan-himbauan di forum-forum resmi
untuk mendirikan daulah abbasiyah berlanjut dengan peperangan melawan daulah umawiyah.
Berbagai teknis diterapkan oleh pengikut Muhammad Al-‘Abbasy, seperti sambil berdagang
dan melaksanakan haji. Di balik itu terpogram bahwa mereka menyebarkan ide dan mencari
pendukung terbentuknya daulah.
Faktor-faktor pendorong berdirinya daulah Abbasiyah dan penyebab suksesnya, yaitu sebagai
berikut :

a. Banyak terjadi perselsihan antara intern bani Umawiyah pada dekade akhir pemerintahannya hal
ini diantara penyebabnya memperebutkan kursi kekhalifahan dan harta
b. Pendeknya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan bani umawiyah, seperti khalifah
Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan
c. Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang dikerjakan oleh Marwan bin
Muhammad yang menjadikan anaknya Abdullah dan Ubaidillah sebagai putra mahkota
d. Bergabungnya sebagian afrad keluarga umawi kepada madzhab-madzhab agama yang tidak
benar menurut syariah, seperti Al Qadariyah
e. Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan bani umawiyah
f. Kesombongan pembesar-pembesar bani Umawiyah pada akhir pemerintahannya
g. Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non-arab)[11]
B. Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasyiyah
Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid
(786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Harun Al-Rasyid adalah figur khalifah
shaleh ahli ibadah, senang bershadaqah, sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para
‘ulama, senang dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa
pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani dengan
menggaji para penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga
banyak mendirikan sekolah, yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah,
sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat
kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Harun Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan
sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga
dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi.[12]
C. Periodesasi Masa Abbasiyah
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah
‘’The Golden Age’’[3]. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam
bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu
pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke
bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang
menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Daulah Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas paman Rasulullah, yaitu : Abdullah al-
Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah al-Abbas[13]. Kekuasaan daulah abbasiyah dibagi
dalam lima periode, yaitu[14]:
1. Periode I (132 H/750 M-232 H/847 M ), masa pengaruh Persia pertama
2. Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama
3. Periode Iii (334 H/945 M-447 h/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh Persia
kedua
4. Periode IV (447 H/1055 M-590 h/1194 M), masa Bani Saljuk, pengaruh Turki kedua
5. Periode V (590 H/1104 M-656 h/1250 M), masa kebebasan dari pengaruh Dinasti lain.
Daulah Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya pada periode I. Para khalifah pada
masa periode I dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik, dan agama sekaligus.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-
809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah harun al-rasyid
dan puteranya Al-Ma’mun digunakan untuk kepentingan sosial seperti, lembaga pendidikan,
kesehatan, rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada
pada zaman keemasan. Al-Ma’mun khalifah yang cinta kepada ilmu, dan banyak mendirikan
sekolah.
Tidak hanya mencakup kepentingan sosial saja, masa ini juga masa kejayaan umat islam sebagai
pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek
kehidupan, seperti :
a. Administratif pemerintahan dengan biro-bironya;
b. Sistem organisasi militer;
c. Administrasi wilayah pemerintahan;
d. Pertanian, perdagangan, dan industri;
e. Islamisasi pemerintahan;
f. Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi, historiografi, filsafat islam,
teologi, hukum (fiqh), dan etika islam, sastra, seni, dan penerjemahan;
g. Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab), menengah, dan perguruan
tinggi; perpustakaan dan toko buku, media tulis, seni rupa, seni musik, dan arsitek[15].

D. Tujuan Pendidikan Pada Masa Abbasiyah


Pada masa Nabi masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu
keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun
pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat
pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tujuan Keagamaan Dan Akhlak


Sebagaiman pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal
Al-Qur’an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama
dan berakhlak menurut agama.

2. Tujuan Kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan
memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi masyarakat yang
bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju masyarakat yang maju dan
makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Madrasah bukan saja
ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan
masyarakat.

3. Cinta Akan Ilmu Pengetahuan


Masyarakat pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam
ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam untuk menuntut ilmu tanpa
memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau
mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.

4. Tujuan Kebendaan
Pada masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak dan
pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia
ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.[16]

E. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Yang Berpengaruh Pada Masa Bani Abbasyiyah


Sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan dan tradisi serta
atmosfer akademik., maka pada zaman Abbasiyah ini di tandai pula dengan lahirnya para ilmuwan
yang sekaligus bertindak sebagai para guru. Mereka bukan hanya ahli dalam ilmu agam Islam
melainkan juga ahli dalam bidang ilmu pengetahuan umum, seni dan arsitektur. Di antara para
ilmuwan dan guru yang terkenal di zaman Abbasiyah adalah:
1. Al-Razi (guru Ibnu Sina)
Ia berkarya dibidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku, 140 buku tentang
pengobatan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling masyhur adalah Al-Hawi
Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya penyembuhannya). Buku-
bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad 17. Al-Razi
adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang
pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada
di tangan Ibnu Sina.
2. Al-Battani (Al-Batenius)
Seorang astronom. Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam
waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal adalah
Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerumet Motibus,
dimana terjemahan tertua dari karyanya masih ada di Vatikan.
3. Al Ya’qubi
Seorang ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu geografi
berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan judul Ibn Waddih qui
dicitur al-Ya’qubi historiae.

4. Al Buzjani (Abul Wafa)


Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan
trigonometri).
5. Ibn Sina
Ibn Sina adalah seorang mahaguru dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat. Dengan
karya-karyanya seperti al-Qanun fi al-Thibb (Ensiklopedi Kedokteran) sebanyak tiga jilid, al-
Syifa dan Al-Najah.
6. Ibn Miskawih
Ibn Miskawih adalah seorang guru dalam ilmu akhlak. Salah satu karyanya adalah Tahdzib
al-Tahdzib.
7. Ibn Jama’ah
Ibn Jama’ah adalah seoarang guru dalam bidang ilmu fikih dan akhlak,Tadzkirat al-Sa’mi lil
‘Alim wa al-Muta’allim.
8. Imam al-Juwaini
Imam al-Juwaini adalah seorang guru dalam bidamg teologi pada Madrasah Nidzamiyah
tempat Imam al-Ghazali menimba ilmu, karyanya berjudul al-Irsyad.
9. Imam al-Ghazali
Imam al Ghazali tel;ah tampil sebagai mahaguru di Madrasah Nidzamiah, istana, dan di
masyarakat pada umumnya. Melalui karyanya yaitu Ihya’ Ulum al-Din sebanyak tiga jilid, ia telah
tampil sebagai guru dalam bidang fikih dan tasawuf.
Pencapaian kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu pengetahuan tidak terlepas dari adanya
sikap terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap berbagai budaya dari bangsa-bangsa
sebelumnya seperti Yunani, Persia, India dan yang lainnya. Gerakan penterjemahan yang
dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M) hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia,
farmasi, biologi, fisika dan sejarah.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil
menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan,
antara lain :

a) Ilmu Umum
1. Ilmu Filsafat
a. Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
b. Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
c. Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
d. Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
e. Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat,
Qoman, Saddiya dan lain-lain
f. Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-
Dlalal,Tahafutul Falasifah, Mizanul Amal, Ihya Ulumuddin dan lain-lain
g. Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain

2. Bidang Kedokteran
a. Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
b. Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai
penterjemah bahasa asing.
c. Thabib bin Qurra (836-901 M)
d. Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang
diterjemahkan dalam bahasa latin.

3. Bidang Matematika
a. Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
b. Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).

4. Bidang Astronomi
Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam
perbintangan ini seperti :
a. Al Farazi : pencipta Astro lobe
b. Al Gattani/Al Betagnius
c. Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
d. Al Farghoni atau Al Fragenius
5. Bidang Seni Ukir
Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari,
seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.

b) Ilmu Naqli
1. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy
(wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain
2. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H), Imam
Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-
lain
3. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan ilmu kalam,
diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan
Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
4. Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H) karangannya:
ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H) karangannya: Awariful Ma’arif, Imam
Ghazali : karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
5. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat
tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya dalam
zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan
Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278).[17]

F. Tingkat-Tingkat Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
1. Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping
Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir pasar.
Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok
ajaran islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau
prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[18]
2. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai
sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa
Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu
alam, kedokteran, dan juga musik.
3. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di
masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:
a. Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya ilmu
itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits,
Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
b. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang
diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu
ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga kedokteran.[19]

G. Lembaga-Lembaga Pendidikan
Sebagaimana banyak dicatat dalam berbagai sumber sejarah, bahwa zaman dinasti
Abbasiyah adalah zaman keemasan Islam (golden age) yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang
ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban yang mengagumkan, yang dapat dibuktikan
keberadaannya, baik melalui berbagai sumber informasi dalam buku-buku sejarah maupun melalui
pengamatan empiris di berbagai wilayah di belahan dunia yang pernah dikuasai Islam, seperti Irak,
Spanyol, Mesir dan sebagian dari Afrika Utara.
Berbagai kemajuan yang dicapai dunia Islam tersebut tidak mungkin terjadi tanpa
didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan, karena pendidikanlah yang menyiapkan
sumber daya insane yang menggerakkan kemajuan tersebut. adapun gambaran keadaan pendidikan
di zaman Bani Abbasiyah sebagai berikut.
1. Keadaan Lembaga Pendidikan
Selain masjid, kuttab,al-badiah, istana, perpustakaan dan al-bimaristan, pada zaman
Dinasti Abbasiyah ini telah berkembang pula lembaga pendidikan, berupa toko buku, rumah para
ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
a. Toko Buku (al-Hawanit al-Warraqien)
Kemajuan dalam ilmu pengetahuan tersebut mendorong lahirnya indistri perbukuan, dan
industry perbukuan mendorong lahirnya took-toko buku. Di beberapa kota atau negara yang di
dalamnya terdapat took-toko buku, menggambarkan bahwa kota atau negara tersebut telah
mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan.
b. Rumah-rumah Para Ulama (Manazil al-Ulama)
Di antara rumah yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-Rais Ibn Sina.
Dalam hubungan ini al-Jauzajani berkata kepada sahabatnya, bahwa pada setiap malam ia
berkumpul di rumah Ibn Sina untuk menimba ilmu, dan membaca kitab al-Syifa’ dan sebagian lain
ada yang membaca kitab al-Qanun. Abu Sulaiman al-Sijistani juga menggunakan rumahnya untuk
kegiatan orang-orang yang mau menimba ilmu, dan mia menggunakan rumahnya untuk para ulama
senior untuk memvalidasi bacaan-bacaannya.
Selanjutnya rumah yang sering digunakan sebagai majelis ilmu yang didatangi para pelajar
dan para guru untuk mematangkan ilmunya adalah rumah Imam al-Ghazali (504 H) yang
menerima para siswa di rumahnya, setelah ia berhenti sebagai guru di Madrasah al-Nidzamiyah di
Nisafur, serta menuntaskan pejalanan spiritualnya, yaitu mengerjakan ibadah haji, beriktikaf di
masjid al-Amawiy di Damaskus serta menulis kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-
Din. Demikian pula rumah Ya’kub bin Kalas wazir al-Aziz billah al-Fathimy, rumah al-Sulfiy
Ahmad bin Muhammad Abu Thahir di Iskandariyah digunakan sebagai tempat untuk kegiatan
ilmiah.

c. Sanggar Sastra (al-Sholun al-Adabiyah)


Sanggar sastra ini mulai tumbuh sederhana pada masa Bani Umayyah kemudian
berkembang pesat pada zaman Abbasiyah, dan merupakan perkembangan lebih lanjut dari
perkumpulan yang ada pada zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Di sanggar sastra ini terdapat ketentuan
kode etik yang khusus. Dalam hubungan ini Ibn Abd Rabbih, al-Muqri dan al-Maqrizi berkata
berkata, bahwa sanggar sastra tidak bisa menerima setiap orang yang menginginkannya, melainkan
sanggar tersebut hanya dibolehkan untuk kelompok orang tertentu.
d. Madrasah
Dalam sejarah, madrasah ini mulai muncul di zaman khalifah Bani Abbas, sebagai
kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan tempat lainnya. Dalam kaitan ini,
Ahmad Tsalabi berpendapat, bahwa ketika minat masyarakat untuk mempelajari ilmu di Halaqah
yang ada di masjid makin menibgkat dari tahun ke tahun, dsan menimbulkan kegaduhan akibat
dari suara para pengajar dan siswa yang berdiskusi dan lainnya yang mengganggu kekhusukan
shalat. Selain itu, berdirinya madrasah ini juga karena ilmu pengetahuan dan berbagai
keterampilan semakin berkembang, dan untuk mengajarkannya diperlukan guru yamg banyak,
peralatan belajar mengajar yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi yang lebih tertib.
Selain itu, madrasah juga didirikan dengan tujuan untuk memasyarakatkan ajaran atau paham
keagamaan dan ideology tertentu.
e. Perpustakaan dan Observatorium
Tempat-tempat ini juga digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti luas, yaitu
belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang umumnya dipahami,
melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada aktivitas siswa(student centris), seperti belajar
dengan cara memecahkan masalah, eksperime, belajar sambil bekerja (learning be
doing), dan penemuan (inquiri). Kegiatan belajar yang demikian itu dilakukan bukan hanya di
kelas, melainkan di lembaga-lembaga pusat kajian ilmiah.
f. Al-Ribath
Secara harfiah al-ribath berarti ikatan yang mudah di buka. Sedangkan dalam arti yang
umum, al ribath adalah tempat untuk melakukan latihan, bimbingan, dan pengajran bagi calon sufi.
Di dalam al-ribath tersebut terdapat beberapa ketentuan atau komponen yang terkait dengan
pendidikan tasawuf, misalnya komponen guru yang terdiri dari syekh (guru besar), mursyid (guru
utama), mu’id (asisten guru), dan mufid (fasilitator). Murid pada al-ribath dibagi sesuai dengan
tingkatannya, mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah. Adapun bagi yang lulus diberikan
pengakuan berupa ijazah.[20]
H. Metode Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu
aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan
dari seorang guru kepada para muridnya. Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi
dan pemilikan pengetahuan oleh murid hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan baik
apa yang telah disampaikan gurunya.
Pada masa Dinasti abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan.
1. Metode Lisan
Metode lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah dan diskusi. Metode dikte (imla’)adalah
metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena denganimla’ ini murid
mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting,
karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.
2. Metode ceramah
Metode ceramah disebut juga metode as-sama’, sebab dalam metode ceramah, guru
menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid
mendengarkannya.Metodeqiro’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi
merupakan metode yang khas pada masa ini.

3. Metode Menghafal
Metode menghafal Merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini.Murid-murid harus
membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak
mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi, seorang murid harus membaca suatu
pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya murid akan
mengeluarkan kembali dan mengkonstektualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam
diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu
yang baru.

4. Metode Tulisan
Metode tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini.Metode tulisan adalah
pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkajian buku-buku terjadi proses intelektualisasi
hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Metode ini disamping berguna bagi
proses penguasaan ilmu pengetahuan juga sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku
teks, karena pada masa ini belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku kebutuhan
terhadap teks buku sedikit teratasi.[21]

I. Materi Pendidikan Pada Masa Abbasiyah


Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya,
disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang
bersifat pillihan (ikhtiari).Hal ini tampaknya sangat berbeda dengan materi pendidikan dasar pada
masa sekarang.Di saat sekarang ini materi pendidikan tingkat dasar dan menengah semuanya
adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan.Materi pilihan baru ada pada tingkat perguruan tinggi.
Menurut Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam”, yang dikutip oleh
Suwito menjelaskan tentang materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari)yakni, Al-Qur’an,
Shalat, Do’a, Sedikit ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya yang dipelajari baru pokok-pokok
dari ilmu nahwu dan bahasa arab belum secara tuntas dan detail), Membaca dan menulis
Sedangkan materi pelajaran ikhtiari (pilihan) ialah; Berhitung; Semua ilmu nahwu dan
bahasa arab (maksudnya nahwu yang berhubungan dengan ilmu nahwu dipelajari secara tuntans
dan detail); Syair-syair; Riwayat/ Tarikh Arab.[22]
J. KURIKULUM
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya telah mengalami
perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari
segi susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai di masa sekarang. Kurikulum pada masa
itu lebih merupakan susunan mata pelajaran yang harus diajarkan pada peserta didik sesuai dengan
sifat dan tingkatannya. Kurikulum pendidikan ini misalnya terlihat dalam pembagian ilmu yang
dikemukakan para tokoh sebagai berikut.

1. Kurikulum Menurut Al-Ghazali


Ia membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi sumbernya.
Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan Tuhan. Dan yang ketiga, pembagian
ilmu dari segi hukumnya.
Menurut al-Ghazali, bahwa dilihat dari segi sumbernya, ada ilmu yang bersumber dari syariat
(Al-Qur’an dan Al-Hadis), dan ilmu yang sumbernya bukan dari syariat. Selanjutnya dilihat dari
segi obyeknya:
1) ada ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak , baik sedikit maupun banyak, seperti
sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib. Ilmu ini tercela, karena tidak memiliki sifat
manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. 2) ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun
banyak. Seperti ilmu agama dan ilmu tentang peribadatan. 3) ilmu pengetahuan yang dalam kadar
tertentu, terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti filsafat naturalisme.
Selanjutnya dilihat dari segi hukum mempelajarinya dalam kaitannya dengan nilai gunanya,
ilmu pengetahuan dapat digolongkan: 1) ilmu fardhu ‘ain yang wajib dipelajari setiap individu,
seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya. 2) ilmu fardhu kifayah, ilmu ini tidak wajib dipelajari
oleh setiap muslim, melainkan cukup jika di antara kaum muslimin ada yang mempelajarinya. Dan
jika seorang pun di antara kaum muslim tidak ada yang mempelajarinya, maka mereka akan
berdosa. Di antara yang tergolong fardhu kifayah adalah ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian,
pertenunan, politik, pengobatan tradisional dan jahit menjahit.[23]

2. Kurikulum Menurut Ibn Khaldun


Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan peserta dididk, dengan tujuan
agar pesrta didik menyukainya dan bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi
ilmu menjadi 3 macam.
a) Kelompok ilmu lisan (bahasa), ilmu tentang bahasa (gramatika), sastra dan bahasa yang
tersusun secara puitis (syair).
b) Kelompok ilmu naqli, yaitu ilmu yang di ambil dari kitab suci dan sunnah Nabi.
c) Kelompok ilmu aqli, yaitu ilmu yang diperoleh melalui kemampuan berfikir. Proses
perolehan tersebut dilakukan melalui pancaindra dan akal.

K. TRADISI ILMIAH DAN ATMOSFER AKADEMIK


Tradisi ilmiah dapat diartikan sebagai kebiasaan yang berkaitan dengan pengembangan
ilmu yang sudah memasyarakat dan digunakan secara merata di kalangan ilmuwan. Tradisi ilmiah
ini selanjutnya membentuk sebuah keadaan yang khas yang selanjutnya disebut atmosfer
akademik.
Di antara tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada zaman Abbasiyah dan masa
sebelumnya adalah sebagai berikut.
1. Tukar Menukar Informasi ( Muzakarah )
Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dari berbagai daerah untuk saling bertukar pikiran,
pemahaman dan pengamalan sesuatu ajaran.
2. Berdebat
Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dan pakar dalam bidang tertentu untuk saling
menguji kedalaman ilmu, ketajaman analisis, dan kekuatan argumentasi yang dimiliki masing-
masing ulama. Tradisi ini memiliki pengaruh yang kuat kepada para ilmuwan untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas keilmuannya masing-masing.
3. Rihlah Ilmiah
Rihlah ilmiah berarti melakukan perjalanan atau pengembaraan dari suatu daerah ke daerah
lain dalam rangka menuntut ilmu atau melakukan penelitian terhadap sesuatu masalah. Tradisi ini
terjadi seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan tersebarnya para ilmuwan
pada berbagai wilayah tersebut.
4. Penerjemahan
Tradisi penerjemahan ini terjadi karena didorong oleh keingintahuan dan keperluan para
ilmuwan dalam menjelaskan tentang sesuatu masalah. Khalifah Bani Abbasiyah bernama Al-
Makmun sangat memberikan perhatian terhadap kegiatan penerjemahan. Ia mendirikan Bait al-
Hikmah (rumah kegiatan ilmu ) untuk melakukan kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani,
India, dan Cina dan menyewa penerjemah asing, seperti, Hunain Ibn Ishak.
5. Mengoleksi Buku dan Mendirikan Perpustakaan
Tradisi mengoleksi buku ini tumbuh sejalan dengan adanya tradisi penghormatan yang tinggi
kepada para ilmuwan serta tradisi penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi
membaca dan menulis buku. Kegiatan mengoleksi buku ini tidak hanya terjadi terjadi pada
perorangan, malainkan juga secara kelembagaan.
6. Membangun Lembaga Pendidikan
Yang dimaksud dengan lembaga pendidikan disini adalah tempat atau wadah yang
digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, pengajaran, bimbingan, dan pelatihan, baik
yang bersifat formal, non formal maupun informal. Lembaga pendidikan tersebut seperti, berupa
toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan
madrasah.
7. Melakukan Penelitian Ilmiah
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang secara garis besar diarahkan kepada dua hal.
Pertama, penelitian untuk mendapatkan temuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan atau teori.
Penelitian jenis pertama ini disebut sebagai penelitian ilmiah. Kedua, penelitian untuk menerapkan
teori atau kosep menjadi sebuah program atau kegiatan yang secara pragmatis mendatangkan
manfaat atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara lahir naupun batin. Penelitian
jenis kedua ini disebut sebagai penelitian terapan.
8. Menulis Buku
Sejalan dengan adanya tradisi meneliti yang demikian kuat dan bervariasi, maka pada zaman
Abbasiyah juga muncul tradisi menulis buku. Di antara penulis penulis tersebut adalah : 1) al-
Jahidz, ia di kenal sebagai seorang sastrawan terkenal yang hidup pada zaman al-Makmun dan
berani menulis tanpa terikat pada tradisi lama. 2) Imam Bukhari, ia dikenal sebagai peneliti dan
penulis Hadis yang mahsyur. 3) Ibn sa’id, ia mengarang buku tentang kemenangan umat islam
dalam peperangan dengan judulThabaqat al-Qubra sebanyak 8 jilid.
9. Memberikan Wakaf
Tradisi memberikan wakaf ini terjadi antara lain ketika seseorang yang memiliki banyak
harta, sedangkan tidak ada keturunan untuk merawat dan memanfaatkannya dengan baik, maka
harta tersebut diserahkan kepada sebuah lembaga untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum,
seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan dasar ikhlas karena Allah SWT. Selain itu,
wakaf juga muncul sebagai jalan untuk menjalin kesalihan sosial dan pendekatan diri kepada Allah
SWT, serta bekal pahala di akhirat.[24]

L. SARANA DAN PRASARANA


Sarana prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan penelitian dan
percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa sebelumnya. Hal ini sejalan dengan
terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang memerlukan peralatan khusus dalam
mengajarkannya. Gedung sekolah, perkantoran, alat-alat tulis, rumah tempat tinggal bagi para
guru, asrama bagi mahasiswa, ruang praktikum bagi para mahasiswa, dan berbagai sarana lainnya
yang dibutuhkan tersedia dengan memadai. Ketersediaan sarana prasarana dan peralatan belajar
mengajar terjadi berkat adanya perhatian yang besar dari pemerintah serta masyarakat pada
umumnya terhadap masalah pendidikan.

M. PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Sumber pembiayaan pendidikan ini berasal dari anggaran belanja pemerintah serta dari dan
wakaf yang berhasil dihimpun. Dana tersebut digunakan untuk biaya hidup para guru, para pelajar,
pembangunan gedung sekolah, serta pengadaan saran dan prasarana serta peralatan pendidikan
lainnya. Biaya pendidikan ini dikeluarkan karena pada umumnya lembaga pendidikan yang
diselenggarakan bersifat gratis, yakni dibiayai oleh pemerintah. Menurut catatan para ahli sejarah,
bahwa pada setiap tahunnya, pemerintah Abbasiyah mengeluarkan dan tidak kurang dari 600.000
dinar atau setra dengan 6 miliat rupiah untuk ukuran waktu itu, atau sebanyak 6 triliun untuk
ukuran waktu sekarang.[25]

N. MANAJEMEN PENDIDIKAN DAN PARA PELAJAR


Terjadinya kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adany manajemen
pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib. Gedung-gedung sekolah dibanmgun, diatur,
dipelihara, digunakan dan dikelola dengan tertib. Rumah-rumah bagi guru, dan asrama bagi para
pelajar dibangun sesuai dengan rapid an tertib. Demikian pula jadwal kegiatan belajar mengajar,
tugas-tugas bagi para guru dan lainnya diatur dengan baik. Hubungan antara lembaga pendidikan
yang berada di pusat pemerintahan dan yang ada di daerah diatur dan dikelola dengan baik.
Lembaga pendidikan tersebut dikelola oleh sebuah kementrian pendidikan.
Para pelajar yang menimba ilmu pada zaman Abbasiyah berasal dari daerah sekitarnya
serta mancanegara. Keadaan para pelajar yang demikian itu menyebabkan kota Baghdad menjadi
masyarakat multi etnis dan multikultural. Interaksi antara para pelajar yang berasal dari latar
belakang daerah yang berbeda-beda. Hal itu menyebabkan timbulnya atmosfer akademik dan
tradisi ilmiah yang luar biasa. Keadaan ini semakin menambah suasana kegiatan intelektual makin
meningkat dan mendorong proses pematang keilmuan seseorang.

BAB IV
SIMPULAN

Dinasti Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses perebutan kekuasaan dari Bani Umayyah.
Banyak sekali faktor pendorong yang memicu dalam terbentuknya dinasti bani abbasiyah. Dinasti
Abbasiyah tergolong yang paling lama berkuasa, yaitu mulai dari Abu al-Abbas Assafah di tahun
750 M sampai dengn Al-Mu’tashim di tahun 1258 M. Dalam waktu selama lebih dari lima abad
tersebut kepemimpinan dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 khalifah.
Masa pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam
di dunia. Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid
(786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M).
Pada masa Nabi, masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu
keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun
pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat
pada masa itu.
Selama pemerintahan bani Abbasiyah, banyak bidang pendidikan Agama maupun bidang
pendidikan umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan
pendidikan tersebut. Seperti Al-Razi, Al-Battani, Al Ya’qubi, Al Buzjani, Ibn Sina, dan masih
banyak yang lainnya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil
menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan,
antara lain ilmu umum dan ilmu naqli.
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu tingkat sekolah
rendah, Tingkat sekolah menengah, dan Tingkat perguruan tinggi. Mengenai lembaga pendidikan
pada masa Abbasiyah juga mengalami banyak kemajuan dalam lembaga pendidikannya seperti,
toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan
madrasah.
Pada masa Dinasti abbasiyah dalam pengajarannya, metode pendidikan/pengajaran yang
digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan. Sedangkan
materi Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya,
disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang
bersifat pillihan (ikhtiari).
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya telah mengalami
perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari
segi susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai di masa sekarang. Kurikulum
pendidikan ini terlihat dalam pembagian ilmu yang dikemukakan para tokoh sebagai berikut.

1. Kurikulum Menurut Al-Ghazali


Ia membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi sumbernya.
Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan Tuhan. Dan yang ketiga, pembagian
ilmu dari segi hukumnya.

2. Kurikulum Menurut Ibn Khaldun


Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan peserta dididk, dengan
tujuan agar pesrta didik menyukainya dan bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun
membagi ilmu menjadi 3 macam, yakni Kelompok ilmu lisan (bahasa), kelompok naqli dan
kelompok aqli.
Tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada zaman Abbasiyah dan masa
sebelumnya adalah sebagai berikut, Tukar Menukar Informasi ( Muzakarah ), Berdebat, Rihlah
Ilmiah, Penerjemahan, Mengoleksi Buku dan Mendirikan Perpustakaan, Membangun Lembaga
Pendidikan, Melakukan Penelitian Ilmiah, Menulis Buku, Memberikan Wakaf.
Sarana prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan penelitian
dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa sebelumnya. Hal ini sejalan dengan
terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang memerlukan peralatan khusus dalam
mengajarkannya.Terjadinya kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adanya
manajemen pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib.

DAFTAR PUSTAKA

1[1], M. abdul karim h. 172


2[2] Lihat, Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahḍoh al-Misyriyah, t.th.) h. 129.
3[3] Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 54.
[4] Zuhairi Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1995), 89
[5] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan …,12
[6] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan …, 13
[7] Zuhairi Muchtarom, Sejarah pendidikan …,, 92
[8] Zuhairi Muchtarom, Sejarah Pendidikan…, 98
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban …, 55
[10] Zuhairi Muchtarom, Sejarah pendidikan …, 99
[11]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 49
[12]Mahrus As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam, (Bandung: CV Amirco, 1994), h. 25-26
[13-25]Lihat : http:// zahfizahroturrofiah.blogspot.com/.../sejarah-pendidikan-islam-pada-masa dinasti
abbasiayah….[1,10,2013]

zainlatief17

Dinasti Abbasiyah
1. Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Dinasti ini didirikan oleh Abu Abbas As Saffah (As Saffah berarti penumpah
darah, Ia diberi gelar ini karena ia memiliki kemauan yang keras dan tidak segan-
segan untuk menumpahkan darah guna mewujudkan keinginannya).

a) Langkah-langkah Bani Abbas untuk mendirikan Daulat Abbasiyah :

Membentuk gerakan di bawah tanah dengan melakukan propaganda (menyusun


kekuatan secara diam-diam) dengan tokohnya antara lain :

 Muhammad Al-Abbas
 Ibrahim Al Imam
 Abu Muslim Al-Khurasani
Dari ketiga tokoh propaganda tesebut Abu Muslim Al Khurasani merupakan
propagandis yang paling sukses dan terkenal.

1. Menerapkan politik bersahabat, artinya keturunan Bani Abbas tidak


memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Bani Umayyah atau siapapun.
2. Menggunakan nama Bani Hasyim (Ahlul Bait). Hal ini dimaksudkan agar
mendapat simpati umat dan dukungan dari kelompok pendukung Ali (Syiah).
3. Menjadikan Khurasan sebagai pusat kegiatan gerakan Bani Abbas yang
dipimpin oleh Abu Muslim Al-Khurasani[1].
Strategi ini ternyata berhasil menghimpun kekuatan besar dan dahsyat yang
tidak bisa dibendung lagi oleh golongan manapun juga. Dalam perjuangannya
untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah, para tokoh pendiri Dinasti ini menerapkan
cara kepemimpinan yang bersifat kolektif (kolegial leadership),namun tertutup
dengan gerakan bawah tanah. Para tokoh pendiri Dinasti Abbasiyah menetapkan
tiga kota sebagai pusat kegiatan, yaitu : Humaymah sebagai pusat perencanaan
organisasi,Kufah sebagai kota penghubung dan Khurasan sebagai pusat gerakan
praktis.

2. Proses berdirinya Dinasti Abbasiyah

Proses berdirinya Dinasti Abbasiyah dimulai dari tahap persiapan dan


perencanaan yang dilakukan oleh Ali bin Abdulloh bin Abbas. Gerakan bawah
tanah dan propaganda untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah ini dimulai ketika
Dinasti Umayyah berada di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz (717-720
M). Pada waktu itu Umar bin Abdul Aziz memimpin dengan adil. Negara dalam
keadaan aman, tentram dan stabil. Ia juga menerapkan persamaan hak kepada
seluruh warga negara. Kondisi ini memberi peluang pada Bani Abbas untuk
menyusun kekuatan dengan melakukan gerakan bawah tanah dan propaganda di
kota Al Humaymah.[2]
Peluang emas yang dimiliki Bani Abbas untuk merebut kekuasaan Bani Umayyah
itu terjadi pada masa Kholifah Marwan Bin Muhammad (127 – 132 H/ 745 – 750
M) yakni kholifah Bani Umayyah terakhir, di mana waktu itu pemerintahan
Dinasti Umayyah mencapai puncak kekacauan yang sulit diatasi. Pemimpin
gerakan Bani Abbasiyah pada waktu itu adalah Muhammad bin Ali (wafat tahun
743 M) kemudian diteruskan anaknya Ibrahim Al Imam dengan mengangkat Abu
Muslim Al Khurasani sebagai panglima perang

Abu Muslim Al-Khurasani merupakan seorang pemuda yang pemberani, pada


usia 19 tahun ia diangkat sebagai panglima perang oleh Ibrahim Al Imam. Ia
banyak memperoleh dukungan di kota Khurasan. Pernah dalam sehari ia berhasil
menarik simpati penduduk dari sekitar 60 desa di sekitar Merv. Abu Muslim Al
Khurasani mengajak golongan Syiah, golongan Alawiyyin (Bani Ali) untuk
menentang Bani Umayyah yang telah menindas mereka.[3]
Sebelum Abu Muslim Al Khurasani diangkat sebagai panglima perang, gerakan
dakwah dan propaganda dilakukan secara diam-diam. Hal itu dilakukan karena
belum berani melawan Dinasti Umayyah secara terang-terangan. Pada tahun 747
M setelah Abu Muslim Al Khurasani diangkat menjadi panglima perang, Ibrahim
Al Imam menyuruhnya untuk merebut kota Khurasan dan menyingkirkan orang-
orang Arab yang mendukung Dinasti Umayyah. Namun rencana ini tercium oleh
khalifah Marwan II dan akhirnya Ibrahim Al Imam ditangkap dan dipenjara
hingga meninggal. Selanjutnya komando perlawanan diambil alih keponakan
Ibrahim Al Imam yang bernama Abdulloh bin Muhammad yang dikenal sebagai
Abu Abbas As Saffah. Ia tetap menunjuk Abu Muslim Al Khurasani untuk menjadi
panglima dan melakukan perlawanan di Khurasan.

Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan


biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:

a) Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Arab dan Persia pertama.
b) Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh
Turki pertama.

c) Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti
Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa
pengaruh Persia kedua.

d) Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti
Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga
dengan masa pengaruh Turki kedua.

e) Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Bagdad.Pada priode pertama bani abbas mencapai masa keemasan nya
Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi.[4]
3. Tokoh-tokoh pendiri Bani Abbasiyah

1. Muhammad bin Ali bin Abdullah,


2. Ibrahim al Imam,
3. Abu Muslim Al Khurasani,
4. Abul Abbas as-Shaffah
5. Abu Ja’far al Mansyur.
4. Faktor – Faktor Munculnya Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama kurang lebih enam abad ( 132 – 656 H/
750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-
Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-
gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah
sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani
Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer
Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat
melancarkan serangannya secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan
dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya
protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai
kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan
momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga
Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana.”
Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang
selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat
dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah
dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M,
Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di
Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah
mulai berdiri.”[5]
A. The Golden Age

Khalifah Abbasiyah ialah khalifah islam setelah khalifah Umayyah. Pemerintahan


dinasti Abbasiyah dikenal sebagai pemerintahan masa revolusi islam karena
keberhasilan dinasti Abbasiyah dalam memajukan peradaban islam. Masa Daulah
Bani Abbasiyah disebut-sebut sebagai masa keemasan islam, atau dikenal
dengan istilah ” The Golden Age”. Dikarenakan pada masa itu umat islam telah
mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan
kekuasaan. Dan juga berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan,
ditambah dengan banyaknya penerjemah buku-buku dari bahasa asing ke bahasa
Arab. Dengan mewarisi imperium besar bani Umayyah.

kemajuan dan perkembangan yang berhasil dicapai selama masa kekuasaan


Daulah Abbasiyah, antara lain :

a. Ekspansi wilayah kekuasaan dan pengaruh Islam, dari Baghdad sebagai pusat
pemerintahan bergerak ke wilayah Timur Asia Tengah, dari perbatasan India
hingga Cina. Ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mahdi (158-169
H/775-785 M).

b. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan syari’at.

c. Pembangunan tempat pendidikan dan tempat peribadatan.

d. Kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi.

e. Perkembangan politik, ekonomi dan administrasi.[6]


Selain itu, pada masa Daulah Abbasiyah bermunculan beberapa tokoh Ilmuan
Islam, seperti Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, Al
Khawarazimi, Rayhan Al Bairuni, Ibnu Mansur Al Falaky, At Tabrani, Imam
Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Jahm Ibnu Sofyan, Washil bin
Atha’, Sibawaih, dan lain-lain. Bahkan para ilmuan barat banyak belajar pada
mereka.[7]
Dari perjalanan dan rentang sejarah, ternyata Bani Abbas dalam sejarah lebih
banyak berbuat ketimbang bani Umayyah. Pergantian Dinasti Umayyah kepada
Dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu
telah mengubah, menoreh wajah dunia Islam dalam refleksi kegiatan ilmiah.
Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbas merupakan iklim
pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.

B. Keterlibatan bangsa Persia dan bangsa Turki

Al-Muktasim, Khalifah berikutnya yaitu periode pertama (833-842 M) memberi


peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan.
Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan
Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai
sebagai tentara pengawal.[8] Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti
Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang
Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani
Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk
hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini
ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan
roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.

Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula
diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya
berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah
Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari
keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih
dari empat ratus tahun.[9]
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah
seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki
dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat,
merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan
tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang
jabatan Khalifah.

5. Aspek-Aspek kemajuan Daulah Abbasiyah

1. Administrasi dengan biri-bironya


2. Sistem organisasi militer
3. Administrasi wilayah pemerintahan
4. Pertanian, perdagangan, dan industri.
5. Islamisasi pemerintahan
6. Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi,
historiografi, filsafat islam, teologi, hukum(fikih), dan etika islam, sastra, seni,
serta penerjemahan.
7. Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab),
menengah dan perguruan tiggi, perpustakaan dan toko buku, media tulis,
seni rupa, dan penerjemah.[10]
6. Perkembangan bani Abbasiyah Paska Masa Keemasan

Paska masa keemasan daulah bani Abbasiyah, perkembangan islam mengalami


kemunduran khususnya dibidang politik dan ekonomi. Dan juga dibidang
ukhuwah islamiyah Islam juga mengalami kemunduran karena pada masa
keemasan. Aliran-aliran dalam Islam semakin beragam. Kemunduran ini
bukanlah suatu kemerosotan yang sangat jauh dibidang tentara, kesehatan, ilmu
pengetahuan. Karena kerajaan-kerajaan yang memisahkan diri dari daulat
Abbasiyah berusaha untuk memperkokoh daulat masing-masing dengan cara
menerapkan kebijakan daulat yang bisa memajukan daulat mereka antara lain:

1. Dinasti Abbasiyah membangun armada yang tangguh, dan membangun dua


masjid besar yaitu masjid Zaitunah di Tunisia dan masjid Kairwan.

2. Dinasti Thuluniayah menjadikan Mesir sebagai pusat kebudayaan Islam,


mendirikan rumah sakit besar di Fustat, dan mendirikan masjid Ibn Thulun.

3. Dinasti Hamdaniyyah mengalami kemajuan dibidang sastra dan mampu


mempertahankan kekuasaan Islam dari serangan orang-orang Romawi.[11]
4. Proses Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Setelah berkuasa lebih kurang lima abad (750-1258 M), akhirnya Dinasti
Abbasiyah mengalami masa-masa suram. Masa suram ini terjadi ketika para
pengusaha setelah Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Mutawakkil, tidak lagi
memiliki kekuatan yang besar, sebab para khalifah sesudahnya lebih merupakan
boneka para amir dan para wajir dinasti Buwaihiyah dan Salajikah. Para khalifah
Abbasiyah pada periode terakhir lebih mementingkan kepentingan peribadi,
ketimbang kepentingan masyarakat umum. Mereka saling melalaikan tugas-
tugas sebagai pemimpin dan kepala negara, bahkan banyak di antara mereka
yang lebih memilih hidup bermewah-mewahan. Pada akhirnya mereka
kehilangan semangat juang untuk menegakan kekuasaan.

1. Faktor internal
a. Lemahnya semangat patriotisme negara, menyebabkan jiwa jihad yang di
ajarkan islam tidak berdaya lagi menahan segala amukan yang datang,
baik dati dalam maupun dari luar.
b. Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang di buat, sehingga
kerusakan moral dan kerandahan budi menghancurkan sifat-sifat baik
yang mendukung negara selama ini.
c. Tidak percaya pada kekutan sendiri. Dalam mengatasi berbagai
pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing. Akibatnya
kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah tersebut.
d. Fanatik madzhab persaingan dan perebutan yang tidak ada hentinya
antara abbasiyah dan alawiyah menyebabkan kekuatan umat islam
menjadi lemah, bahkan hancur berkeping-keping.
Perang ideologi antara Syi’ah dari Fatimiah melawan Ahlu Sunnah dari
Abbasiyah, banyak menimbulkan korban. Aliran Qoramithah yang sangat extrem
dalam tidakan-tindakannya yang dapat menimbulkan bentrok di masyarakat.
Kelompok Hashshashian yang di pimpin oleh Hasan bin Shabah yang berasal dari
Thus di Persi merupakan aliran Ismailuyah, salah satu sekte Syi’ah adalah
kelompok yang sangat di kenal kekejamannya, yang sering melakukan
pembunuhan terhadap penguasa bani Abbasiyah yang beraliran Sunni.

Pada saat terakhir hayatnya Abbasiyah, tentara tartar yang datang dari luar di
bantu dari dalam dan di bukakan jalannya oleh golongan Awaliyah yang di
pimpin oleh Al-Qomiy.

1. Kemerosotan ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang di gunakan


untuk anggaran tentara, kemudian banyaknya pemberontakan dan
kebiasaan para penguasa untuk berfoya-foya. Kehidupan para Khalifah dan
keluarganya serta pejabat-pejabat negara yang berkehidupan mewah, jennis
pengeluaran yang makin beragam, serta pejabat yang korupsi dan semakin
sempitnya kekuasaan wilayah Khalifah karena telah banyak provinsi yang
memisahkan diri.[12]
2. Faktor Eksternal
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak
korban. Penyerbuan Tentara Mongol dibawah panglima Holako yang
menghancrkan Baghdad. Kota Baghdad yang sebagai pusat pengetahuan dan
kemegahan Islam menyerah di tangan panglima Holako setelah dikepung selama
50 hari. Khalifah Al-Mu’tashim, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah, keluarga dan
para pembesar kota Baghdad dibunuh dengan liciknya oleh laskar Holako.
Sebagian besar dari penduduk kota itu disembelih bagaikan binatang. Dan
mereka juga melakukan perampasan dan perbuatan-perbuatan yang sangat
kejam dan ganas.

Seluruh isi istana dan perbendaharaan negara mereka rampas seluruhnya. Istana
dan gedung-gedung yang indah permai, madrasah, masjid-masjid yang
mengagumkan mereka rusak. Kitab-kitab ilmu pengetahuan yang tidak ternilai
harganya mereka lempar ke sungai Tigris sampai menghitamkan aliran sungai
dialiri lunturnya tinta. Di sana-sini terjadi pembakaran, sehingga api membakar
seluruh kota. Peristiwa kelabu yang menyedihkan ini terjadi selama 40 hari
lamanya. Di atas kota Bagdad tak ada lagi yang kelihatan kecuali tumpukan bekas
reruntuhan dan kebakaran.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, PT Pustaka Book


Publusher Yogyakarta 2007

A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: P.T. Jayamurti 1997),

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),

Muradi. MA. Sejarah Kebudayaan Islam,(semarang: toha putra, 1997),

Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah,(Jakarta: Bulan Bintang, tth),cet I,

[1] http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-
abbasiyyah.pdf(diunduh 20/06/2012, 20:22)
[2] Muradi. MA. Sejarah Kebudayaan Islam,(semarang: toha putra, 1997), hlm. 87
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
hlm. 80
[4] http://carimalaran.blogspot.com/2011/08/abbasyiah_18.html (
20/06/2012, 20:22)
[5] http://podoluhur.blogspot.com/2011/03/makalah-dinasti-abbasiyah-
dan.html ( di unduh 20/06/2012, 19:22)
[6] http://muhammad1985busyro.wordpress.com/2009/10/03/daulah-
abbasiyah/ ( di unduh 20/06/2012, 20:00)
[7] Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, PT Pustaka Book
Publusher Yogyakarta 2007
[8]http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-
masa-daulah-bani-abbasiyah/
[9] Ibid….
[10] Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2008. Hlm.128.
[11] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah,(Jakarta: Bulan Bintang, tth),cet I,
hlm. 23
[12] Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2008. Hlm.129.

PERISTIWA-PERISTIWA PENTING MENJELANG KERUNTUHAN KHALIFAH


BANI ABBASIYAH

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsary

Bani Abbâsiyah atau kekhalifahan Abbâsiyah adalah kekhalifahan Islam kedua


yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini
berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat ilmu
pengetahuan. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah
dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbâsiyah dirujuk
kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang termuda, yaitu Abbâs bin Abdul Muththalib (566 H – 652 H). Oleh karena itu
mereka juga termasuk Bani Hâsyim. Kekhilafahan ini berkuasa mulai tahun 750
M dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama
dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang
sebelumnya merupakan bagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk,
dan dikenal dengan sebutan Mamlûk. Selama 150 tahun berkuasa, kekhalifahan
dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang
sering disebut amîr atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani
Umayyah yang melarikan diri, Marocco dan Africa kepada Aghlabid dan
Fathimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 M disebabkan serangan
bangsa Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan yang menghancurkan Baghdad
dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan
Baghdad.

Bani Abbâsiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad,


mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu
pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940
M kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya
bangsa Turki (kemudian diikuti oleh Mamlûk di Mesir pada pertengahan abad ke-
13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.

Khilafah Abbâsiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani


Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullâh bin al-Abbâs rahimahullah. Pola pemerintahan
yang diterapkan oleh Daulah Abbâsiyah berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).

Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, ahli sejarah membagi


masa pemerintahan Daulah Abbâsiyah menjadi lima periode :

1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Arab dan Persia pertama.

2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki
pertama.

3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani
Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah. Periode ini disebut juga masa
pengaruh Persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah
Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah; biasanya disebut juga
dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya
(salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).

5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad
dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbâsiyyah mencapai masa
keemasan. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah
periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang
politik, meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang.

Masa pemerintahan Abu al-Abbâs, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari
tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Manshûr (754-775
M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah,
Khawarij dan juga Syi’ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar
yang mungkin menjadi saingannya disingkirkan satu persatu. Abdullah bin Ali
dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai
gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak
bersedia membaiatnya. al-Manshûr memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani
melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada
tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.

Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hâsyimiyah, dekat Kufah. Namun,
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-
Manshûr memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya,
Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan
demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbâs berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshûr melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga
eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru
dengan mengangkat wazîr (Perdana Menteri) sebagai koordinator dari
kementrian yang ada. Wazîr pertama yang diangkat adalah Khâlid bin Barmak,
berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan
bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada
lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti
Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu
hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshûr, jawatan pos
ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga
administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos
bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

Khalifah al-Manshûr berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang


sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan
keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah
merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia
pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus
dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar
Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Byzantium membayar
upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar
di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.

Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbâsiyah diletakkan dan dibangun


oleh Abul Abbâs as-Saffah dan al-Manshûr, maka puncak keemasan dari dinasti
ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi
(775- 786 M), Harun ar-Rasyîd (786-809 M), al-Ma’mûn (813-833 M), al-
Mu’tashim (833-842 M), al-Watsîq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).

Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di


sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti
perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan
Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang
penting.

Popularitas Daulah Abbâsiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun ar-


Rasyîd t (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mûn (813-833 M). Kekayaan negara
banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyîd untuk keperluan sosial, dan mendirikan
rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi. Pada masanya sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-
pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat dan tak tertandingi.

DIAMBANG KERUNTUHAN
Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbâsiyyah menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap
dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan
keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan
kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini
sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya.
Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbâsiyah berbeda dengan yang
terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi,
terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti
terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya,
tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang
ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan
khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan
tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-
apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan
keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki
pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), Daulah Abbâsiyah
berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi’ah.

Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbâsiyah


pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah :

1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat


dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di
kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.

2. Profesionalisasi angkatan bersenjata membuat ketergantungan khalifah


kepada mereka sangat tinggi.

3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara
bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak
sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

4. Posisi-posisi penting negara dipercayakan kepada ahli bid’ah, khususnya


jabatan wazîr (perdana menteri) dan penasihat yang diserahkan kepada Syi’ah.

5. Penyakit wahan (cinta dunia dan takut mati) yang menguasai para penguasa
dan jajarannya.

KEMEROSOTAN EKONOMI
Khilafah Abbâsiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani
Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari
yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang
besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun
sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara
itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi
kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar
upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh
kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin
beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil
menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi
yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbâsiyah kedua, faktor ini
saling berkaitan dan tak terpisahkan.

MUNCULNYA ALIRAN-ALIRAN SESAT DAN FANATISME KESUKUAN


Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena
cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong
sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan
Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini
menggoda rasa keimanan para khalifah. al-Manshûr berusaha keras
memberantasnya, bahkan al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus
untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan
tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan
mereka.

Konflik antara ahlus Sunnah dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk
yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin
dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik
ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim)
dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang
dikenal sebagai aliran yang berlawanan dengan paham Ahlussunnah.

ANCAMAN DARI LUAR


Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada
pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbâsiyah lemah dan
akhirnya hancur.

Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan
banyak korban.
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah
disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah
Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga
membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah
kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya
Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan
diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan
tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulaghu Khan, panglima tentara Mongol,
sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha
dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang
Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab.
Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut
memperbaiki Yerusalem.

SERANGAN BANGSA MONGOL DAN KERUNTUHAN BAGHDAD


Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000
orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah al-Musta’shim, penguasa
terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 – 1258), betul-betul tidak berdaya dan
tidak mampu membendung “topan” tentara Hulaghu Khan.

Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan
saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbâsiyah di sana, tetapi juga
merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena
Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya
dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.

Berikut ini detik-detik runtuhnya Khilafah Abbâsiyah dan jatuhnya Baghdad


seperti yang direkam oleh Ibnu Katsîr rahimahullah :

“Runtuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol (Tatar) tidak lepas dari


pengkhianatan yang dilakukan oleh wazîr (perdana menteri) Muhammad bin al-
Alqami, seorang penganut paham Syi’ah yang sangat dendam terhadap
Ahlussunnah. Ia menjabat wazîr (Perdana Menteri) bagi Khalifah al-Musta’shim
billah, khalifah terakhir Bani Abbas di Iraq,

Ini terjadi pada tanggal 12 Muharram 656 H. Hulaghu Khan, cucu Jengghis Khan
mengepung Baghdad dengan seluruh bala tentaranya yang berjumlah lebih
kurang 200.000 personil. Mereka mengepung istana Khalifah dan
menghujaninya dengan anak panah dari segala penjuru, hingga menewaskan
seorang budak wanita yang sedang menari di hadapan Khalifah untuk
menghiburnya. Budak wanita itu adalah seorang selir yang bernama Arafah.
Sebilah anak panah datang dari arah jendela menembus tubuhnya pada saat ia
menari di hadapan Khalifah. Hal itu membuat cemas Khalifah dan ia amat
terkejut. Pada anak panah yang menewaskan selirnya itu mereka dapati tulisan,
“Jika Tuhan hendak melaksanakan ketentuan-Nya maka Dia akan melenyapkan
akal waras orang yang berakal.” Setelah kejadian itu Khalifah memerintahkan
agar memperketat keamanan.

Pengkhianatan Ibnul al-Alqami yang begitu dendam terhadap Ahlussunnah ini


disebabkan pada tahun sebelumnya (655 H) pecah peperangan hebat antara
kaum Sunni dan Syi’ah yang berakhir dengan direbutnya kota al-Karkh yang
merupakan pusat kaum Syi’ah Rafidhah, beberapa rumah milik sanak famili Ibnu
al-Alqami sempat kena jarah.

Sebelum runtuhnya Baghdad, Ibnul al-Alqami secara diam-diam mengurangi


jumlah tentara, yaitu dengan memecat sebagian besar tentara dan mencoret
mereka dari dinas kemiliteran. Sebelumnya, jumlah tentara pada masa
kekhalifahan al-Mustanshir mencapai 100.000 personil. Jumlah ini terus
dikurangi oleh Ibnu al-Alqami hingga menjadi 10.000 personil saja.

Kemudian setelah itu, barulah ia mengirim surat rahasia kepada bangsa Mongol
dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Dalam surat tersebut dia
beberkan kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbâsiyah. Ini merupakan
salah satu sebab begitu mudahnya pasukan Mongol menguasai Baghdad.

Semua itu dilakukan oleh Ibnu al-Alqami untuk melampiaskan dendam


kesumatnya dan ambisinya untuk melenyapkan sunnah dan memunculkan
bid’ah syi’ah Rafidhah, wallahul musta’an.

Tatkala pasukan Mongol mengepung benteng kota Baghdad pada tanggal 12


Muharram 656 H, mulailah wazir Ibnu al-Alqami menunjukkan pengkhianatannya
yang kedua, yaitu dialah orang yang pertama kali menemui pasukan Mongol. Dia
keluar bersama keluarga, pembantu dan pengikutnya menemui Hulaghu Khan
untuk meminta perlindungan kepadanya. Kemudian dia kembali ke Baghdad lalu
membujuk Khalifah agar keluar bersamanya untuk menemui Hulaghu Khan
dengan alasan bahwa Hulaghu ingin berdamai dengannya dan mengawinkan
puterinya dengan putera Khalifah serta pembagian hasil devisa setengah untuk
Khalifah dan setengah untuk Hulaghu.

Maka berangkatlah Khalifah bersama para qadhi, ahli fiqh, kaum sufi, tokoh-
tokoh negara, masyarakat dan petinggi-petinggi negara dengan 700 kendaraan.
Tatkala mereka hampir mendekati markas Hulaghu mereka ditahan oleh
pasukan Mongol dan tidak diizinkan bertemu Hulaghu kecuali Khalifah bersama
17 orang saja.

Lalu Khalifah pun menemui Hulaghu Khan bersama 17 orang tersebut


sedangkan yang lain menunggu di atas tunggangan mereka. Sepeninggal
Khalifah, mereka dirampok dan dibunuh oleh pasukan Mongol. Selanjutnya,
Khalifah dibawa ke hadapan Hulaghu dan disandera bersama 17 orang yang ikut
dengannya. Mereka diteror, diancam dan diintimidasi serta dipaksa agar
menyetujui apa yang diinginkan oleh Hulaghu.

Kemudian Khalifah kembali ke Baghdad bersama Ibnu al-Alqami dan


Nashiruddin ath-Thusi yang semadzhab dengan Ibnul al-Alqami. Dan dibawah
rasa takut dan tekanan yang hebat Khalifah pun mengeluarkan emas, perak,
perhiasan, permata dan barang-barang berharga lainnya yang jumlahnya sangat
banyak untuk diserahkan kepada Hulaghu. Akan tetapi sebelumnya Ibnu al-
Alqami bersama Nashiruddin ath-Thusi sudah membisiki Hulaghu agar tidak
menerima tawaran perdamaian dari Khalifah. Mereka berhasil mempengaruhi
Hulaghu bahwa perdamaian itu hanya bertahan 1 atau 2 tahun saja. Mereka pun
mendorong Hulaghu agar menghabisi Khalifah.

Tatkala Khalifah kembali dengan membawa barang-barang yang banyak,


Hulaghu justeru menginstruksikan agar mengeksekusi Khalifah. Maka pada hari
Rabu tanggal 14 Shafar terbunuhlah Khalifah al-Musta’shim billahi. Dalang
dibalik terbunuhnya Khalifah adalah Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi.

Bersamaan dengan gugurnya Khalifah maka pasukan Mongol pun menyerbu


masuk ke Baghdad tanpa perlawanan yang berarti. Dengan demikian, jatuhlah
Baghdad di tangan pasukan Mongol. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas
kala itu adalah 2 juta jiwa.Tak ada yang selamat kecuali Yahudi dan Nasrani
serta orang-orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Mongol atau
berlindung di rumah Ibnu al-Alqami serta para konglomerat yang membagi-
bagikan harta mereka kepada pasukan Mongol dengan jaminan keamanan
pribadi…!

BELAJAR DARI SEJARAH


Ibnu Katsir dan Ibnul Atsir yang mengabadikan kisah pilu ini dalam kitab mereka
(al-Bidayah wan Nihayah, juz 18 halaman 213-224) mengatakan, “Kalau bukan
untuk memberikan pelajaran kepada generasi yang akan datang, kami malu
menyantumkan kisah tragis ini dalam buku kami.”
Demikianlah, mengangkat orang kafir dan ahli bid’ah sebagai pemangku jabatan
merupakan salah satu faktor penyebab kehancuran Daulah Bani Abbâsiyah.
Disamping itu, jauhnya umat dari Islam dan sikap mereka yang memusuhi
sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu sebab
yang mempercepat kehancuran suatu negeri. Ingatlah firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala :

‫ُصيبَ ُه ْم َعذَابٌ أ َ ِلي ٌم‬ ِ ُ ‫فَ ْليَحْ ذَ ِر الَّذِينَ يُخَا ِلفُونَ َع ْن أ َ ْم ِر ِه أ َ ْن ت‬


ِ ‫صيبَ ُه ْم فِتْنَةٌ أ َ ْو ي‬

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa


cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [an-Nûr/24:63]
.
Demikian pula, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

‫ف أ َ ْم ِري‬
َ َ‫ار َعلَى َم ْن خَال‬ َّ ‫ُج ِع َل الذُّ ُّل َو ال‬
ُ َ‫صغ‬

Akan ditimpakan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyalahi
perintahku [1]

Apa yang terjadi dahulu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.

Umat manusia sekarang ini, berada dalam jurang yang sangat terjal dan dalam.
Belenggu-belenggu kebinasaan siap menghancurleburkan mereka. Realita ini
merupakan akibat buruk yang dipetik oleh umat manusia karena telah menjauh
dari al-haq. Mereka menjadi bulan-bulanan panah kebatilan. Kenyataan yang
ada cukup menjadi bukti dan petunjuk yang jelas. Tanda-tanda kehancuran itu
terpampang jelas di hadapan setiap orang yang masih punya pikiran waras dan
punya pengetahuan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan
kepada umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka akan terpecah
belah dan terpuruk, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

ِ َ‫طوبَى ِل ْلغُ َرب‬


‫اء‬ ُ َ‫سيَعُو ُد َك َما بَ َدأ َ غ َِريبًا ف‬
َ ‫إِ َّن اْ ِإل ْسالَ ُم بَ َدأ َ غ َِريبًا َو‬

Islam pada awalnya asing kemudian akan kembali asing maka beruntunglah
orang-orang yang dianggap asing (ghurabaa’)[2]

Hadits ghuraba’ di atas merupakan gambaran global dari suatu perkara yang
detail. Hadits di atas menegaskan bahwa Islam akan kembali asing di tengah
kehidupan manusia. Keadaan itu berarti manusia secara keseluruhan telah
keluar dari jalur Islam. Mereka menempuh jalur yang terjal dan curam lagi berat.
Berbagai bentuk kehinaan dan keterpurukan terus menimpa mereka. Dan pada
akhirnya mereka harus gigit jari seraya menyesali nasib diri,
namun…….penyelasan tiada berguna![3]

Umat manusia berpaling dari Kitabullah, lalu menggantinya dengan undang-


undang buatan manusia dan menjadikannya sebagai pedoman dalam berbagai
bidang kehidupan.

Para penguasa menyedot kekayaan negara untuk dirinya sendiri dan


menetapkan hukum secara sewenang-wenang terhadap masyarakat menurut
selera mereka. Siapa saja yang menyanjung perbuatan mereka yang melanggar
syariat pasti akan dinaikkan pangkatnya. Dan siapa saja yang menyelisihi atau
mengingkari kemungkaran dan perbuatan buruk itu pasti akan dihancurkan
haknya dan akan direndahkan kedudukannya. Itulah yang diisyaratkan oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits :

َ ‫َّللا قَا َل أَدُّوا ِإ َل ْي ِه ْم َحقَّ ُه ْم َو‬


َ َّ ‫سلُوا‬
‫َّللا َحقَّ ُك ْم‬ ُ ‫ورا ت ُ ْن ِك ُرونَ َها قَالُوا فَ َما ت َأ ْ ُم ُرنَا َيا َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬ ً ‫ست ََر ْونَ َب ْعدِي أَث َ َرةً َوأ ُ ُم‬
َ ‫ِإنَّ ُك ْم‬

Sepeninggalku nanti kalian akan melihat atsarah (lebih mementingkan urusan


dunia-pent) dan perkara-perkara agama yang kalian ingkari.” Para sahabat
bertanya: “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasûlullâh ?” Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah hak-hak penguasa dan
mintalah kepada Allâh Azza wa Jalla hak-hak kalian.”[4]

Seiring rusaknya kehidupan politik yang semakin terpuruk, pada akhirnya juga
merusak kehidupan sosial hingga jatuh ke derajat yang paling hina dan rendah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa aspek-aspek kehidupan manusia saling terkait
satu sama lainnya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa akan muncul


nanti beberapa kaum yang tidak lagi menepati perjanjian dan melesat keluar dari
agama. Mereka melakukan apa yang tidak diperintahkan, memberikan
persaksian sedangkan mereka tidak diminta untuk bersaksi.

Karakter yang paling tepat bagi zaman kita sekarang ini adalah firman Allah:

‫ف يَ ْلقَ ْونَ َغيًّا‬


َ ‫ت ۖ فَ َس ْو‬ َّ ‫ص َالة َ َواتَّبَعُوا ال‬
ِ ‫ش َه َوا‬ َّ ‫عوا ال‬
ُ ‫ضا‬ ٌ ‫ف ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم خ َْل‬
َ َ‫ف أ‬ َ َ‫فَ َخل‬
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui
kesesatan. [Maryam/19:59]

Ini merupakan kondisi umum manusia sekarang. Manusia telah menjadi hamba
nafsu syahwatnya bagaikan seekor anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.
Mereka tega menjual kehormatan dan amanat dengan harga yang murah di
pasar murahan dan hina. Mereka rela mempersembahkan diri sebagai tumbal
syahwat. Mereka ini tidak mengingkari kemungkaran dan tidak mengenal perkara
kebajikan (kecuali segelintir orang yang dirahmati Allâh dan itupun jumlahnya
sangat sedikit). Bahkan sebaliknya, mereka menyuruh kepada perkara mungkar
dan melarang dari perkara yang ma’ruf dengan meneriakkan slogan-slogan yang
gemerlap lagi menipu, dengan kata-kata yang penuh hiasan dan kiasan, lewat
mulut-mulut penuh dusta dan lisan-lisan para kaum munafik.

Sebagai akibat langsung keterpurukan politik dan keganjilan sosial masyarakat


maka yang menjadi penentu segala sikap dan kebijakan adalah dinar dan dirham
(uang). Uang begitu mendominasi kehidupan manusia sehingga menjadi sangat
diagungkan dan didewakan. Manusia pun menyungkur sujud menyembah uang
di samping menyembah Allâh Azza wa Jalla . Sampai-sampai yang menjadi
semboyan manusia sekarang ini adalah, “Siapa yang tidak punya uang tidak
akan dipandang. Harga seorang manusia dilihat dari harta yang dimilikinya!”

Sehingga demi meraih kebahagian hidup yang diiming-imingi oleh iblis dan bala
tentaranya, maka merekapun menghalalkan segala cara.

Para penguasa yang berkuasa di negeri-negeri Islam menjauhkan generasi


Muslim dari nilai-nilai Islam yang merupakan keistimewaan dan menjadi
kebanggaan setiap muslim serta menjadi penggerak bagi jiwa menuju
kemuliaan. Lalu mereka menggantinya dengan budaya rendahan, sia-sia dan
penuh dusta. Maka lahirlah generasi yang minim pengetahuan, tidak memiliki
pengetahuan agama dan tidak pernah merasakan cita rasa ilmu. Lantas mereka
mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Apabila mereka dimintai fatwa
oleh masyarakat, mereka berfatwa tanpa ilmu, akibatnya mereka sesat lagi
menyesatkan.

Realita di atas menimbulkan dampak munculnya kelompok-kelompok dan


golongan-golongan yang saling bermusuhan dan bertentangan. Sehingga umat
Islam menjadi terpecah belah berkeping-keping tak karuan.
Fenomena kelompok tersebut memicu pertentangan dan menyebabkan tercerai
berainya barisan. Dan juga menebar benih perpecahan dan permusuhan di
tubuh umat yang satu. Sehingga dengan mudah musuh dapat
memporakporandakan negeri-negeri kaum Muslimin, menjajah dan menjarah
harta kekayaan mereka, wallâhul musta’ân.

َ‫صا ِب ِرين‬
َّ ‫َّللا َم َع ال‬ َ ‫شلُوا َوت َ ْذه‬
ْ ‫َب ِري ُح ُك ْم ۖ َوا‬
َ َّ ‫ص ِب ُروا ۚ ِإ َّن‬ َ ‫عوا فَت َ ْف‬
ُ َ‫سولَهُ َو ََل تَنَاز‬ َ َّ ‫َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫َّللا َو َر‬

Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-
bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang sabar. [al-
Anfâl/8:46]

Kita harus belajar dari sejarah, mengambil ibrah dari apa yang telah dialami oleh
para pendahulu kita. Merupakan karakter umat ini adalah tidak jatuh dalam satu
lobang dua kali, apalagi berkali-kali. Keruntuhan khilafah Abbâsiyah bukanlah
terjadi begitu saja, tetapi ada sebab-sebab yang memicunya. Bila kita tidak
belajar dari sejarah umat terdahulu maka bukan tidak mungkin kita akan
mengalami apa yang sudah mereka alami.

Anda mungkin juga menyukai