A. Latar Belakang
Sejarah pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses pendidikan
Islam sejatinya telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang sejalan dengan
perkembangan sosial budaya umat Islam itu sendiri. Melalui sejarah Islam pula, umat Islam bisa
meneladani model-model pendidikan Islam di masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW,
sahabat dan ulama-ulama sesudahnya. Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah
dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah
berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah masjid.
Pada masa Nabi SAW, masjid bukan hanya sebagai sarana ibadah, tapi juga sebagai
tempat menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa, disamping sebagai
tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat menerima duta-duta asing.Bahkan di
masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya
dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan
dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu.Sebelum
al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang dipakai sebagai tempat
belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu.
Islam mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti
Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan menulis dan dapat
memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa ini murid-murid di tingkat dasar
mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas, jelas dan mudah dipahami tentang beberapa
masalah.Pendidikan di tingkat dasar ini diselenggarakan di masjid, dimana al-Quran merupakan
buku teks wajib.Pada tingkat pendidikan menengah diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih
mendalam dan rinci terhadap materi yang sudah diajarkan pada tingkat pendidikan
dasar.Selanjutnya pada tingkat universitas sudah diberikan spesialisasi, pendalaman dan analisa.
Periode Dinasti Abbasiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam didunia,
Selama pemerintahan Dinasti Abbasiyah banya bidang pendidikan Agama maupun bidang
pendidikan Umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan
pendidikan tersebut.
Pendidikan Islam yang sangat berkembang pada periode Dinasti Abbasiyah yaitu pada
pemerintahan Harun Ar-Rasyid, Pada masa itu pendidikan Islam sangat berkembang pesat
sehingga banyak ilmu-ilmu baru yang sampai saat ini terus dikembangkan, misalnya dalam ilmu
umum diantaranya biadang Filsafat, astronomi, kedokteran, matematika, dan lain-lain. Juga dalma
ilmu agama diantaranya Tafsir, Ilmu Kalam , Tasawuf, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan
membahas Pola Perndidikan Islam Pada periode Dinasti Abbasiyah serta kemajuan-kemajuan
yang dicapai pada periode itu.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Makalah ini disusun dalam rangka merefleksi kembali sejarah islam yang telah lalu, sebagai
cermin pertimbangan untuk masa mendatang. Sekaligus juga untuk memenuhi tugas kelompok
mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam.
2. Tujuan Khusus
a. Memahami sejarah perkembangan pendidikan Islam pada periode Dinasti Abbasiyah
b. Memahami9 Periodesasi Pada masa Dinasti Abbasiyah
c. Mengetahui tujuan pendidikan pada periode dinasti Abbasyiyah
d. Mengetahui tokoh-tokoh Pendidikan Islam yang berpengaruh pada periode Dinasti Abbasiyah
e. Mengetahui jenjang pendidikan yang ada pada periode Dinasti Abbasiyah
f. Mengetahui lembaga-lembaga yang ada pada periode dinasti Abbasiyah
g. Mengetahui metoda yang diterapkan dan materi yang digunakan dalam pendidikan periode Dinasti
Abbasiyah
h. Mengetahui kurikulum Pendidikan yang diterapkan pada Dinasti Abbasiyah
i. Mengetahui Tradisi Ilmiah dan atmosfir Akademik pada Dinasti Abbasyiyah
j. Mengetahui Sarana Prasarana serta Pembiayaan Pada periode Dinasti Abbasyiyah
k. Mengetahui Manajeman Pendidikan dan para pelajar pada periode Dinasti Abbasiyah
D. Manfaat
1. Memperkuat pemahaman terhadap pola pendidikan pada periode Dinasti Abbasiyah
2. Memahami pola pendidikan periode Dinasti Abbasiyah yang selanjutnya dapat
diimplementasikan pada lembaga pendidikan masa kini agar tercapai dan melahirkan generasi
keemasan sebagaimana pada periode Dinasti Abbasiyah
E. Metode Penulisan
Metode Penulisan pada makalah ini menggunakan pendekatan metode kepustakaan(methods of
literature)
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah isi makalah, penulis merumuskan sistematia penulisan makalah, bab
I pendahuluan terdiri dari latar belakang, Rumusan Masalah, tujuan meliputi tujuan umum dan
khusus, manfaat, metode penulisan, sistematika penulisan, bab II meliputi landasan teoretis, bab
III pembahasan, bab IV simpulan dan rekomendasi terdiri dari simpulan umum dan khusus dan
ditutup dengan daptar pustaka.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
Periode Abbasiyah merupakan era baru dan identik dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Dari segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban,
dan kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam, akan tetapi era ini
mengukur dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia. Semasa Dinasti Umayyah
kegiatan dan aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu berkembang pesat yang mencapai
puncak pada Periode Dinasti Abbasiyah.[1][1] Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan dunia
Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada Dinasti
Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke
dalam ma’had.[2][2]
Kepribadian beberapa Khalifah, terutama pada masa awal Abbasiyah seperti Mansur,
Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga
berpengaruh dalam kebijaksanaannya yang banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu
pengetahuan. Selain itu, karena permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam semakin kompleks
dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang,
khususnya ilmu-ilmu naqli seperti Ilmu Agama, Bahasa, dan Adab. Adapun ilmu aqli seperti
Kedokteran, Manthiq, Olahraga, Ilmu Angkasa Luar dan ilmu-ilmu yang lain telah dimulai oleh
Umat Islam dengan metode yang teratur. Kegiatan ilmiah di kalangan Umat Islam, semasa
Abbasiyah yang menandakan Islam memperoleh kemajuan disegala bidang.[3][3]
5. Perpustakaan
Para ulama’ dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku
dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para
penuntut ilmu. Bahkan para ulama’ dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para
penuntut ilmu untuk belajar diperpustakaan pribadi mereka.
Baitul hikmah di Baghdad yang didirikan khalifah Al-Rasyid adalah merupakan salah satu
contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa arab,
bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu.[8]
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas karena disamping terdapat
kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.[9]
6. Masjid
Semenjak berdirinya dizaman nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan
dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin.Ia, menjadi tempat bermusyawarah,
tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi lainnya dan
tempat menyelenggarakan pendidikan.
Pada masa Bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang
didirikan oleh para pengusaha pada umumnya di perlengkapi dengan berbagai macam sarana dan
fasilitas untuk pendidikan.[10]
7. Madrasah
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah
dianggap krusial. Pendirian lembaga pendidikan tinggi islam ini terjadi di bawah patronase wazir
Nizam Al-Mulk (1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang
termasyhur dalam suatu mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah
mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’i dan telah
dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Berdirinya madrasah, pada satu sisi, merupakan sumbangan islam bagi peradaban
sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah
hegomoni negara terlalu kuat terhadap madrasah ini. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi
hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. ”pemakruhan” penggunaan nalar setelah runtuhnya
Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah, mereka
yang punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa belajar sendiri-sendiri. Karenanya ilmu-
ilmu profan banyak berkembang di lembaga nonformal
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Daulah Abbasiyah
Berdirinya daulah Abbasiyah diawali dengan dua strategi, yaitu:
1. System mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal ini berlangsung sejak akhir abad
pertama hijriah yang bermarkas di Syam dan tempatnya di Alhamimah. System ini berakhir
dengan bergabungnya Abu muslim al- Khurasani pada jum’iyah yang sepakat atas terbentuk
Daulah Abbasiyah
2. Strategi kedua dilanjutkan dengan terang-terangan dan himbauan-himbauan di forum-forum resmi
untuk mendirikan daulah abbasiyah berlanjut dengan peperangan melawan daulah umawiyah.
Berbagai teknis diterapkan oleh pengikut Muhammad Al-‘Abbasy, seperti sambil berdagang
dan melaksanakan haji. Di balik itu terpogram bahwa mereka menyebarkan ide dan mencari
pendukung terbentuknya daulah.
Faktor-faktor pendorong berdirinya daulah Abbasiyah dan penyebab suksesnya, yaitu sebagai
berikut :
a. Banyak terjadi perselsihan antara intern bani Umawiyah pada dekade akhir pemerintahannya hal
ini diantara penyebabnya memperebutkan kursi kekhalifahan dan harta
b. Pendeknya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan bani umawiyah, seperti khalifah
Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan
c. Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang dikerjakan oleh Marwan bin
Muhammad yang menjadikan anaknya Abdullah dan Ubaidillah sebagai putra mahkota
d. Bergabungnya sebagian afrad keluarga umawi kepada madzhab-madzhab agama yang tidak
benar menurut syariah, seperti Al Qadariyah
e. Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan bani umawiyah
f. Kesombongan pembesar-pembesar bani Umawiyah pada akhir pemerintahannya
g. Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non-arab)[11]
B. Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasyiyah
Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid
(786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Harun Al-Rasyid adalah figur khalifah
shaleh ahli ibadah, senang bershadaqah, sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para
‘ulama, senang dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa
pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani dengan
menggaji para penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga
banyak mendirikan sekolah, yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah,
sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat
kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Harun Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan
sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga
dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi.[12]
C. Periodesasi Masa Abbasiyah
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah
‘’The Golden Age’’[3]. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam
bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu
pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke
bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang
menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Daulah Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas paman Rasulullah, yaitu : Abdullah al-
Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah al-Abbas[13]. Kekuasaan daulah abbasiyah dibagi
dalam lima periode, yaitu[14]:
1. Periode I (132 H/750 M-232 H/847 M ), masa pengaruh Persia pertama
2. Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama
3. Periode Iii (334 H/945 M-447 h/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh Persia
kedua
4. Periode IV (447 H/1055 M-590 h/1194 M), masa Bani Saljuk, pengaruh Turki kedua
5. Periode V (590 H/1104 M-656 h/1250 M), masa kebebasan dari pengaruh Dinasti lain.
Daulah Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya pada periode I. Para khalifah pada
masa periode I dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik, dan agama sekaligus.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-
809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah harun al-rasyid
dan puteranya Al-Ma’mun digunakan untuk kepentingan sosial seperti, lembaga pendidikan,
kesehatan, rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada
pada zaman keemasan. Al-Ma’mun khalifah yang cinta kepada ilmu, dan banyak mendirikan
sekolah.
Tidak hanya mencakup kepentingan sosial saja, masa ini juga masa kejayaan umat islam sebagai
pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek
kehidupan, seperti :
a. Administratif pemerintahan dengan biro-bironya;
b. Sistem organisasi militer;
c. Administrasi wilayah pemerintahan;
d. Pertanian, perdagangan, dan industri;
e. Islamisasi pemerintahan;
f. Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi, historiografi, filsafat islam,
teologi, hukum (fiqh), dan etika islam, sastra, seni, dan penerjemahan;
g. Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab), menengah, dan perguruan
tinggi; perpustakaan dan toko buku, media tulis, seni rupa, seni musik, dan arsitek[15].
2. Tujuan Kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan
memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi masyarakat yang
bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju masyarakat yang maju dan
makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Madrasah bukan saja
ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan
masyarakat.
4. Tujuan Kebendaan
Pada masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak dan
pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia
ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.[16]
a) Ilmu Umum
1. Ilmu Filsafat
a. Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
b. Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
c. Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
d. Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
e. Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat,
Qoman, Saddiya dan lain-lain
f. Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-
Dlalal,Tahafutul Falasifah, Mizanul Amal, Ihya Ulumuddin dan lain-lain
g. Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain
2. Bidang Kedokteran
a. Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
b. Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai
penterjemah bahasa asing.
c. Thabib bin Qurra (836-901 M)
d. Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang
diterjemahkan dalam bahasa latin.
3. Bidang Matematika
a. Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
b. Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
4. Bidang Astronomi
Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam
perbintangan ini seperti :
a. Al Farazi : pencipta Astro lobe
b. Al Gattani/Al Betagnius
c. Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
d. Al Farghoni atau Al Fragenius
5. Bidang Seni Ukir
Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari,
seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
b) Ilmu Naqli
1. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy
(wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain
2. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H), Imam
Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-
lain
3. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan ilmu kalam,
diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan
Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
4. Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H) karangannya:
ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H) karangannya: Awariful Ma’arif, Imam
Ghazali : karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
5. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat
tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya dalam
zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan
Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278).[17]
F. Tingkat-Tingkat Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
1. Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping
Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir pasar.
Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok
ajaran islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau
prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[18]
2. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai
sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa
Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu
alam, kedokteran, dan juga musik.
3. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di
masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:
a. Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya ilmu
itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits,
Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
b. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang
diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu
ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga kedokteran.[19]
G. Lembaga-Lembaga Pendidikan
Sebagaimana banyak dicatat dalam berbagai sumber sejarah, bahwa zaman dinasti
Abbasiyah adalah zaman keemasan Islam (golden age) yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang
ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban yang mengagumkan, yang dapat dibuktikan
keberadaannya, baik melalui berbagai sumber informasi dalam buku-buku sejarah maupun melalui
pengamatan empiris di berbagai wilayah di belahan dunia yang pernah dikuasai Islam, seperti Irak,
Spanyol, Mesir dan sebagian dari Afrika Utara.
Berbagai kemajuan yang dicapai dunia Islam tersebut tidak mungkin terjadi tanpa
didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan, karena pendidikanlah yang menyiapkan
sumber daya insane yang menggerakkan kemajuan tersebut. adapun gambaran keadaan pendidikan
di zaman Bani Abbasiyah sebagai berikut.
1. Keadaan Lembaga Pendidikan
Selain masjid, kuttab,al-badiah, istana, perpustakaan dan al-bimaristan, pada zaman
Dinasti Abbasiyah ini telah berkembang pula lembaga pendidikan, berupa toko buku, rumah para
ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
a. Toko Buku (al-Hawanit al-Warraqien)
Kemajuan dalam ilmu pengetahuan tersebut mendorong lahirnya indistri perbukuan, dan
industry perbukuan mendorong lahirnya took-toko buku. Di beberapa kota atau negara yang di
dalamnya terdapat took-toko buku, menggambarkan bahwa kota atau negara tersebut telah
mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan.
b. Rumah-rumah Para Ulama (Manazil al-Ulama)
Di antara rumah yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-Rais Ibn Sina.
Dalam hubungan ini al-Jauzajani berkata kepada sahabatnya, bahwa pada setiap malam ia
berkumpul di rumah Ibn Sina untuk menimba ilmu, dan membaca kitab al-Syifa’ dan sebagian lain
ada yang membaca kitab al-Qanun. Abu Sulaiman al-Sijistani juga menggunakan rumahnya untuk
kegiatan orang-orang yang mau menimba ilmu, dan mia menggunakan rumahnya untuk para ulama
senior untuk memvalidasi bacaan-bacaannya.
Selanjutnya rumah yang sering digunakan sebagai majelis ilmu yang didatangi para pelajar
dan para guru untuk mematangkan ilmunya adalah rumah Imam al-Ghazali (504 H) yang
menerima para siswa di rumahnya, setelah ia berhenti sebagai guru di Madrasah al-Nidzamiyah di
Nisafur, serta menuntaskan pejalanan spiritualnya, yaitu mengerjakan ibadah haji, beriktikaf di
masjid al-Amawiy di Damaskus serta menulis kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-
Din. Demikian pula rumah Ya’kub bin Kalas wazir al-Aziz billah al-Fathimy, rumah al-Sulfiy
Ahmad bin Muhammad Abu Thahir di Iskandariyah digunakan sebagai tempat untuk kegiatan
ilmiah.
3. Metode Menghafal
Metode menghafal Merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini.Murid-murid harus
membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak
mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi, seorang murid harus membaca suatu
pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya murid akan
mengeluarkan kembali dan mengkonstektualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam
diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu
yang baru.
4. Metode Tulisan
Metode tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini.Metode tulisan adalah
pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkajian buku-buku terjadi proses intelektualisasi
hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Metode ini disamping berguna bagi
proses penguasaan ilmu pengetahuan juga sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku
teks, karena pada masa ini belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku kebutuhan
terhadap teks buku sedikit teratasi.[21]
M. PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Sumber pembiayaan pendidikan ini berasal dari anggaran belanja pemerintah serta dari dan
wakaf yang berhasil dihimpun. Dana tersebut digunakan untuk biaya hidup para guru, para pelajar,
pembangunan gedung sekolah, serta pengadaan saran dan prasarana serta peralatan pendidikan
lainnya. Biaya pendidikan ini dikeluarkan karena pada umumnya lembaga pendidikan yang
diselenggarakan bersifat gratis, yakni dibiayai oleh pemerintah. Menurut catatan para ahli sejarah,
bahwa pada setiap tahunnya, pemerintah Abbasiyah mengeluarkan dan tidak kurang dari 600.000
dinar atau setra dengan 6 miliat rupiah untuk ukuran waktu itu, atau sebanyak 6 triliun untuk
ukuran waktu sekarang.[25]
BAB IV
SIMPULAN
Dinasti Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses perebutan kekuasaan dari Bani Umayyah.
Banyak sekali faktor pendorong yang memicu dalam terbentuknya dinasti bani abbasiyah. Dinasti
Abbasiyah tergolong yang paling lama berkuasa, yaitu mulai dari Abu al-Abbas Assafah di tahun
750 M sampai dengn Al-Mu’tashim di tahun 1258 M. Dalam waktu selama lebih dari lima abad
tersebut kepemimpinan dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 khalifah.
Masa pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam
di dunia. Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid
(786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M).
Pada masa Nabi, masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu
keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun
pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat
pada masa itu.
Selama pemerintahan bani Abbasiyah, banyak bidang pendidikan Agama maupun bidang
pendidikan umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan
pendidikan tersebut. Seperti Al-Razi, Al-Battani, Al Ya’qubi, Al Buzjani, Ibn Sina, dan masih
banyak yang lainnya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil
menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan,
antara lain ilmu umum dan ilmu naqli.
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu tingkat sekolah
rendah, Tingkat sekolah menengah, dan Tingkat perguruan tinggi. Mengenai lembaga pendidikan
pada masa Abbasiyah juga mengalami banyak kemajuan dalam lembaga pendidikannya seperti,
toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan
madrasah.
Pada masa Dinasti abbasiyah dalam pengajarannya, metode pendidikan/pengajaran yang
digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan. Sedangkan
materi Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya,
disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang
bersifat pillihan (ikhtiari).
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya telah mengalami
perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari
segi susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai di masa sekarang. Kurikulum
pendidikan ini terlihat dalam pembagian ilmu yang dikemukakan para tokoh sebagai berikut.
DAFTAR PUSTAKA
zainlatief17
Dinasti Abbasiyah
1. Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Dinasti ini didirikan oleh Abu Abbas As Saffah (As Saffah berarti penumpah
darah, Ia diberi gelar ini karena ia memiliki kemauan yang keras dan tidak segan-
segan untuk menumpahkan darah guna mewujudkan keinginannya).
Muhammad Al-Abbas
Ibrahim Al Imam
Abu Muslim Al-Khurasani
Dari ketiga tokoh propaganda tesebut Abu Muslim Al Khurasani merupakan
propagandis yang paling sukses dan terkenal.
a) Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Arab dan Persia pertama.
b) Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh
Turki pertama.
c) Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti
Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa
pengaruh Persia kedua.
d) Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti
Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga
dengan masa pengaruh Turki kedua.
e) Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Bagdad.Pada priode pertama bani abbas mencapai masa keemasan nya
Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi.[4]
3. Tokoh-tokoh pendiri Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama kurang lebih enam abad ( 132 – 656 H/
750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-
Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-
gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah
sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani
Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer
Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat
melancarkan serangannya secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan
dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya
protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai
kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan
momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga
Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana.”
Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang
selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat
dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah
dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M,
Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di
Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah
mulai berdiri.”[5]
A. The Golden Age
a. Ekspansi wilayah kekuasaan dan pengaruh Islam, dari Baghdad sebagai pusat
pemerintahan bergerak ke wilayah Timur Asia Tengah, dari perbatasan India
hingga Cina. Ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mahdi (158-169
H/775-785 M).
Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula
diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya
berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah
Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari
keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih
dari empat ratus tahun.[9]
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah
seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki
dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat,
merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan
tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang
jabatan Khalifah.
1. Faktor internal
a. Lemahnya semangat patriotisme negara, menyebabkan jiwa jihad yang di
ajarkan islam tidak berdaya lagi menahan segala amukan yang datang,
baik dati dalam maupun dari luar.
b. Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang di buat, sehingga
kerusakan moral dan kerandahan budi menghancurkan sifat-sifat baik
yang mendukung negara selama ini.
c. Tidak percaya pada kekutan sendiri. Dalam mengatasi berbagai
pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing. Akibatnya
kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah tersebut.
d. Fanatik madzhab persaingan dan perebutan yang tidak ada hentinya
antara abbasiyah dan alawiyah menyebabkan kekuatan umat islam
menjadi lemah, bahkan hancur berkeping-keping.
Perang ideologi antara Syi’ah dari Fatimiah melawan Ahlu Sunnah dari
Abbasiyah, banyak menimbulkan korban. Aliran Qoramithah yang sangat extrem
dalam tidakan-tindakannya yang dapat menimbulkan bentrok di masyarakat.
Kelompok Hashshashian yang di pimpin oleh Hasan bin Shabah yang berasal dari
Thus di Persi merupakan aliran Ismailuyah, salah satu sekte Syi’ah adalah
kelompok yang sangat di kenal kekejamannya, yang sering melakukan
pembunuhan terhadap penguasa bani Abbasiyah yang beraliran Sunni.
Pada saat terakhir hayatnya Abbasiyah, tentara tartar yang datang dari luar di
bantu dari dalam dan di bukakan jalannya oleh golongan Awaliyah yang di
pimpin oleh Al-Qomiy.
Seluruh isi istana dan perbendaharaan negara mereka rampas seluruhnya. Istana
dan gedung-gedung yang indah permai, madrasah, masjid-masjid yang
mengagumkan mereka rusak. Kitab-kitab ilmu pengetahuan yang tidak ternilai
harganya mereka lempar ke sungai Tigris sampai menghitamkan aliran sungai
dialiri lunturnya tinta. Di sana-sini terjadi pembakaran, sehingga api membakar
seluruh kota. Peristiwa kelabu yang menyedihkan ini terjadi selama 40 hari
lamanya. Di atas kota Bagdad tak ada lagi yang kelihatan kecuali tumpukan bekas
reruntuhan dan kebakaran.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
[1] http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-
abbasiyyah.pdf(diunduh 20/06/2012, 20:22)
[2] Muradi. MA. Sejarah Kebudayaan Islam,(semarang: toha putra, 1997), hlm. 87
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
hlm. 80
[4] http://carimalaran.blogspot.com/2011/08/abbasyiah_18.html (
20/06/2012, 20:22)
[5] http://podoluhur.blogspot.com/2011/03/makalah-dinasti-abbasiyah-
dan.html ( di unduh 20/06/2012, 19:22)
[6] http://muhammad1985busyro.wordpress.com/2009/10/03/daulah-
abbasiyah/ ( di unduh 20/06/2012, 20:00)
[7] Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, PT Pustaka Book
Publusher Yogyakarta 2007
[8]http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-
masa-daulah-bani-abbasiyah/
[9] Ibid….
[10] Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2008. Hlm.128.
[11] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah,(Jakarta: Bulan Bintang, tth),cet I,
hlm. 23
[12] Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2008. Hlm.129.
Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsary
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Arab dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki
pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani
Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah. Periode ini disebut juga masa
pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah
Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah; biasanya disebut juga
dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya
(salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad
dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbâsiyyah mencapai masa
keemasan. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah
periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang
politik, meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbâs, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari
tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Manshûr (754-775
M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah,
Khawarij dan juga Syi’ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar
yang mungkin menjadi saingannya disingkirkan satu persatu. Abdullah bin Ali
dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai
gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak
bersedia membaiatnya. al-Manshûr memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani
melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada
tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hâsyimiyah, dekat Kufah. Namun,
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-
Manshûr memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya,
Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan
demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbâs berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshûr melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga
eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru
dengan mengangkat wazîr (Perdana Menteri) sebagai koordinator dari
kementrian yang ada. Wazîr pertama yang diangkat adalah Khâlid bin Barmak,
berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan
bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada
lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti
Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu
hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshûr, jawatan pos
ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga
administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos
bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
DIAMBANG KERUNTUHAN
Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbâsiyyah menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap
dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan
keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan
kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini
sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya.
Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbâsiyah berbeda dengan yang
terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi,
terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti
terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya,
tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang
ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan
khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan
tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-
apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan
keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki
pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), Daulah Abbâsiyah
berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi’ah.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara
bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak
sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
5. Penyakit wahan (cinta dunia dan takut mati) yang menguasai para penguasa
dan jajarannya.
KEMEROSOTAN EKONOMI
Khilafah Abbâsiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani
Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari
yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang
besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun
sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara
itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi
kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar
upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh
kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin
beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil
menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi
yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbâsiyah kedua, faktor ini
saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Konflik antara ahlus Sunnah dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk
yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin
dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik
ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim)
dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang
dikenal sebagai aliran yang berlawanan dengan paham Ahlussunnah.
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan
banyak korban.
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah
disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah
Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga
membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah
kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya
Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan
diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan
tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulaghu Khan, panglima tentara Mongol,
sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha
dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang
Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab.
Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut
memperbaiki Yerusalem.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan
saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbâsiyah di sana, tetapi juga
merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena
Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya
dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Ini terjadi pada tanggal 12 Muharram 656 H. Hulaghu Khan, cucu Jengghis Khan
mengepung Baghdad dengan seluruh bala tentaranya yang berjumlah lebih
kurang 200.000 personil. Mereka mengepung istana Khalifah dan
menghujaninya dengan anak panah dari segala penjuru, hingga menewaskan
seorang budak wanita yang sedang menari di hadapan Khalifah untuk
menghiburnya. Budak wanita itu adalah seorang selir yang bernama Arafah.
Sebilah anak panah datang dari arah jendela menembus tubuhnya pada saat ia
menari di hadapan Khalifah. Hal itu membuat cemas Khalifah dan ia amat
terkejut. Pada anak panah yang menewaskan selirnya itu mereka dapati tulisan,
“Jika Tuhan hendak melaksanakan ketentuan-Nya maka Dia akan melenyapkan
akal waras orang yang berakal.” Setelah kejadian itu Khalifah memerintahkan
agar memperketat keamanan.
Kemudian setelah itu, barulah ia mengirim surat rahasia kepada bangsa Mongol
dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Dalam surat tersebut dia
beberkan kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbâsiyah. Ini merupakan
salah satu sebab begitu mudahnya pasukan Mongol menguasai Baghdad.
Maka berangkatlah Khalifah bersama para qadhi, ahli fiqh, kaum sufi, tokoh-
tokoh negara, masyarakat dan petinggi-petinggi negara dengan 700 kendaraan.
Tatkala mereka hampir mendekati markas Hulaghu mereka ditahan oleh
pasukan Mongol dan tidak diizinkan bertemu Hulaghu kecuali Khalifah bersama
17 orang saja.
ف أ َ ْم ِري
َ َار َعلَى َم ْن خَال َّ ُج ِع َل الذُّ ُّل َو ال
ُ َصغ
Akan ditimpakan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyalahi
perintahku [1]
Apa yang terjadi dahulu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.
Umat manusia sekarang ini, berada dalam jurang yang sangat terjal dan dalam.
Belenggu-belenggu kebinasaan siap menghancurleburkan mereka. Realita ini
merupakan akibat buruk yang dipetik oleh umat manusia karena telah menjauh
dari al-haq. Mereka menjadi bulan-bulanan panah kebatilan. Kenyataan yang
ada cukup menjadi bukti dan petunjuk yang jelas. Tanda-tanda kehancuran itu
terpampang jelas di hadapan setiap orang yang masih punya pikiran waras dan
punya pengetahuan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan
kepada umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka akan terpecah
belah dan terpuruk, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
Islam pada awalnya asing kemudian akan kembali asing maka beruntunglah
orang-orang yang dianggap asing (ghurabaa’)[2]
Hadits ghuraba’ di atas merupakan gambaran global dari suatu perkara yang
detail. Hadits di atas menegaskan bahwa Islam akan kembali asing di tengah
kehidupan manusia. Keadaan itu berarti manusia secara keseluruhan telah
keluar dari jalur Islam. Mereka menempuh jalur yang terjal dan curam lagi berat.
Berbagai bentuk kehinaan dan keterpurukan terus menimpa mereka. Dan pada
akhirnya mereka harus gigit jari seraya menyesali nasib diri,
namun…….penyelasan tiada berguna![3]
Seiring rusaknya kehidupan politik yang semakin terpuruk, pada akhirnya juga
merusak kehidupan sosial hingga jatuh ke derajat yang paling hina dan rendah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa aspek-aspek kehidupan manusia saling terkait
satu sama lainnya.
Karakter yang paling tepat bagi zaman kita sekarang ini adalah firman Allah:
Ini merupakan kondisi umum manusia sekarang. Manusia telah menjadi hamba
nafsu syahwatnya bagaikan seekor anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.
Mereka tega menjual kehormatan dan amanat dengan harga yang murah di
pasar murahan dan hina. Mereka rela mempersembahkan diri sebagai tumbal
syahwat. Mereka ini tidak mengingkari kemungkaran dan tidak mengenal perkara
kebajikan (kecuali segelintir orang yang dirahmati Allâh dan itupun jumlahnya
sangat sedikit). Bahkan sebaliknya, mereka menyuruh kepada perkara mungkar
dan melarang dari perkara yang ma’ruf dengan meneriakkan slogan-slogan yang
gemerlap lagi menipu, dengan kata-kata yang penuh hiasan dan kiasan, lewat
mulut-mulut penuh dusta dan lisan-lisan para kaum munafik.
Sehingga demi meraih kebahagian hidup yang diiming-imingi oleh iblis dan bala
tentaranya, maka merekapun menghalalkan segala cara.
َصا ِب ِرين
َّ َّللا َم َع ال َ شلُوا َوت َ ْذه
ْ َب ِري ُح ُك ْم ۖ َوا
َ َّ ص ِب ُروا ۚ ِإ َّن َ عوا فَت َ ْف
ُ َسولَهُ َو ََل تَنَاز َ َّ َوأ َ ِطيعُوا
ُ َّللا َو َر
Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-
bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang sabar. [al-
Anfâl/8:46]
Kita harus belajar dari sejarah, mengambil ibrah dari apa yang telah dialami oleh
para pendahulu kita. Merupakan karakter umat ini adalah tidak jatuh dalam satu
lobang dua kali, apalagi berkali-kali. Keruntuhan khilafah Abbâsiyah bukanlah
terjadi begitu saja, tetapi ada sebab-sebab yang memicunya. Bila kita tidak
belajar dari sejarah umat terdahulu maka bukan tidak mungkin kita akan
mengalami apa yang sudah mereka alami.