Anda di halaman 1dari 14

TARIKH TASHRI PADA MASA MUROJIUN BAB I PENDAHULUAN Sejarah merupakan salah satu cara untuk mengetahui peristiwa

yang telah lalu dengan mempelajari secara kronologis untuk mengetahui sejarah hukum Islam khususnya masalah periodesasi sejarah hukum Islam. Para ahli sejarah (muarrikhin) berbeda pendapat. Menurut al-Khudhari, Hukum Islam dalam sejarahnya melalui enam fase tasyri (legislasi) yang mempunyai ciri tersendiri sesuai dengan perkembangan yang dilalui oleh masyarakat Islam. 1. Fase kerasulan Nabi Muhammad dimana segala sesuatu tentang hukum dikembalikan kepada beliau.
2. Fase para sahabat Nabi yang senior (kibar ash-shahabah), mulai dari saat kewafatan Nabi

sampai akhir masa Khulafa Rasyidin. 3. Fase para permulaan nabi yang junior (shighar ash-shahabah), mulai dari permulaan masa Umawi sampai lebih kurang satu abad setelah Hijrah. 4. Fase fiqh menjadi ilmu tersendiri, mulai dari abad kedua hijrah sampai akhir abad ketiga. 5. Fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum di kalangan fuqaha, mulai dari awal abad keempat atas dunia Islam pada abad ketujuh Hijrah (1258 M).
6. Fase taqlid (mengikuti kepada pendapat imam-imam terdahulu), mulai dari kejatuhan

Dinasti Abbasiyah sampai sekarang1. Selain yang disimpulkan oleh al-Khudhari ini, sebenarnya sebuah fase baru sedang tumbuh dalam waktu ini. Bila kita memperhatikan perkembangan legislasi di dunia Islam dewasa ini, hukum Islam sebenarnya sedang memasuki fase ketujuh; yaitu fase kodifikasi/kompilasi di beberapa negara anggota OIC (Organization of Islamic Conference) dan ijtihad untuk masalahmasalah kontemporer, terutama melalui lembaga-lembaga resmi negara atau semi resmi, atau lembaga-lembaga internasional, atau murni swasta. Tujuannya adalah untuk memperkaya hukum positif nasional.
1

Rifyal Kabah, Hukum Islam Di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999, hal 51-52

Kodifikasi atau kompilasi paling terkenal di zaman modern dimulai di Turki Usmani melalui sebuah tim yang diketuai oleh Menteri Kehakiman yang bekerja mulai tahun 1285 H/1869 M sampai 1293 H/1876 M. Tim ini berhasil merumuskan 1851 pasal materi hukum berdasarkan pendapat yang terkuat dalam fiqih mazhab Hanafi dan diumumkan berlaku untuk seluruh wilayah Turki Usmani pada tanggal 26 Syaban 1293 dengan nama Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf, terbagi kepada empat periode:
1)

Periode Rasulullah Saw yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan yang

berlangsung selama kurang lebih 22 tahun beberapa bulan, sejak pelantikannya sebagai Rasul Allah pada tahun 610 M sampai wafatnya tahun 632 M.
2)

Periode sahabat yaitu periode penjelasan, pencerahan dan penyempurnaan yang

berlangsung sekitar 90 tahun, sejak wafatnya Rasul Saw tahun 11 H/632 M sampai akhir abad pertama 101 H atauh 720 M.
3)

Periode tadwin atau kodifikasi yaitu periode kodifikasi atau pembukuan atau

tampilnya para Imam Mujtahid. Periode ini dikenal sebagai masa puncak keemasannya yang berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, yakni dari tahun 101-350 H/720-971 M. 4) Periode taklid, yaitu periode statis dan kebekuan yang berlangsung sejak pertengahan

abad ke 4 H yakni sekitar tahun 351 H dan tidak seorang pun yang tahu masa berakhkirnya kecuali Allah. Sedangkan menurut Said Al-Khinn, ada 5 periode: a) b) c) d) e) Hukum Islam zaman Rasul Hukum Islam zaman sahabat Hukum Islam zaman tabiin Hukum Islam zaman taklid Hukum Islam zaman sekarang

Sedangkan menurut Subhi Mahmashani, dosen sistem hukum arab pada universitas Amerika, Beirut. ada 4 periodesasi: a) Hukum Islam zaman rasul
b) Hukum Islam zaman khulafaurrasyidin dan umawiyun c) Hukum Islam zaman kemunduran dan taklid

d) Hukum Islam zaman kebangkitan Sedangkan menurut Umar Sulaiman al-asyqar, ada 6 periodesasi: a) Hukum Islam zaman Rasul b) Hukum Islam zaman sahabat c) Hukum Islam zaman tabiin
d) Hukum Islam zaman pendiri mazhab

e) Hukum Islam zaman statis f) Hukum Islam zaman sekarang Sedangkan menurut Hasbi AS-Shiddiqy, ada 5 periodesasi:
a) Hukum Islam zaman pertumbuhan b) Hukum Islam zaman sahabat dan Tabiin c) Hukum Islam zaman kesempurnaan

d) Hukum Islam zaman kemunduran e) Hukum Islam zaman kebangkitan

BAB II
3

PEMBAHASAN SEJARAH HUKUM ISLAM PADA MASA MURAJIUN


A. Masa Keemasan Islam

Disamping periode Nabi Muhammad dan pada periode Khulafaur Rasyidin, terdapat pula periode pembinaan, pengembangan dan pembukuan hukum Islam. Periode ini dilakukan di masa pemerintahan Khalifah Umayyah (662-750 M) dan Khalifah Abbasiyah (750-1258 M). Hukum fiqh Islam sebagai salah satu aspek kebudayaan Islam mencapai puncak perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah selama lebih kurang 500 tahun. Di masa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fiqh Islam serta muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh umat Islam sampai sekarang. Pada periode pertama (132 H/750 M 232 H/847 M) pemerintahan Abbasiyah, telah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti Bani Abbasiyah ini sangat singkat yaitu dari tahun 750 M 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah Abu Jafar Al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syiah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk lebih menjaga kestabilan ibu kota negara yang baru berdiri yaitu al-Hasyimiyah, dekat Kufah, AlManshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangun yaitu kota Baghdad yang terletak di dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota ini al4

Manshur melakukan fonsolidasi dan penertiban pemeritahannnya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara dan kepolisian negara. Di samping membenahi angkatan bersenjata. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Selain itu pada periode ini gerakan ilmiah telah berkembang sangat pesat karena telah sampainya peradaban kuno pada para pemikir dari bangsa arab. Hal ini disebabkan oleh adanya dua unsur, diantaranya : a) Unsur maula Pada periode ini sejumlah besar dari bangsa persia, romawi dan mesir telah masuk islam. Sebagian dari mereka ada yang menjadi tawanan perang dikala masih kecil, kemudian dididik dibawah naungan tuan-tuan mereka, yaitu kaum muslimin, sehingga para maula itu mewarisi ilmu-ilmu agama islam dari tuan-tuan mereka dimana ilmu itu berasaskan al-quran dan al-sunah. Sebagian dari mereka ada yang menjadi qori qori besar, ahli-ahli hadist yang besar-besar disamping ulama yang berbangsa Arab. Dan sebagian dari maula itu ada yang masuk islam dikala sudah tua atau besar, sehingga menuru wataknya mereka ini mengawinkan pemikiran dan menyempurnakan akal. Periode ini dimulai dan para maula itu mempunyai peranan yang besar dalam politik kenegaraan, karena sesungguhnya daulat abbasiyah itu berdiri diatas kepala para maulanya dari penduduk khurasan dan irak. Dengan demikian mereka sekutu dalam daulat itu, dan sempurna pula persekutuan mereka dalam bidang ilmu dan politik2.

b)

Kitab-kitab persia dan romawi

Drs. Muh Zuhri, Terjemah Tarikh Al- Tasyri Al-Islami . Darul Ihya INDONESIA hal 333

Pada periode yang lampau telah dimulai adanya penterjemahan kitab-kitab Persia dan Rumawi kedalam bahasa Arab. Pada periode ini Abu Jafar Al-Mansur khalifah Abbasiyah yang kedua perhatian terhadap penerjemahan ini, dan hal itu selalu berkembang terus sampai masa khalifah Al-Mamun bin Ar- Rasyid pada awal abad ketiga hijriyah. Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah di letakkan dan dibangun oleh Abu alAbbas dan Abu Jafar al-Manshur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Al-Mahdi (775-785 M) Al-Hadi (775-786 M) Harun al-Rasyid (786-809 M) Al-Mamun (813-833 M) Al-Mutashim (833-842 M) Al-Wasiq (842-847 M) Al-Mutawakkil (847-861 M)

Pada masa khalifah-khalifah ini banyak kemajuan yang terjadi pada hukum Islam. Diantaranya digalakkannya penerjemahan buku-buku asing. Berdirinya sekolah dan salah satu karya terbesar yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Bani Abbasiyah ini merupakan lanjutan dari pemerintahan Bani Umayyah. Jika dibandingkan dengan Bani Umayyah, Bani Abbasiyah lebih maju. Dengan berpindahnya ibu kota ke kota Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi jauh dari pengaruh Arab sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat beorientasi kepada Arab. Kemudian dalam penyelenggaraan negara, pada Bani Abbas ada jabatan wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah. Demikian pula ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas sebelumnya tidak ada tentara khusus yang profesional.

Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Yakni dalam bidang tafsir. Dalam metode-metode tafsir sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam bidang teologi. Dalam periode pembinaan, pengembangan dan pembukuan ini banyak faktor yang mendorong orang untuk menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum yaitu:
1.

Wilayah Islam sudah sangat luas, terbentang dari perbatasan India sampai Tiongkok di

Timur sampai ke Spanyol (Eropa) di sebelah Barat.


2.

Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan

landasan untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqh Islam


3.

Telah tersedia pula para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah

hukum dan masyarakat Dalam periode ini timbul para mujtahid atau Imam tersebut diatas. Dulu jumlahnya banyak, tetapi kini yang masih mempunyai pengikut adalah 4 yakni:
1. 2. 3. 4.

Abu Hanifah (al-Nukman ibn Tsabit): 700-767 M Malik bin Anas: 713 -795 M Muhammad Idris as-Syafii: 767-820 M Ahmad bin Hambal (Hanbal): 781-855 M

Dan sebagaimana diketahui, sumber utama hukum Islam itu adalah al-Quran dan asSunnah Nabi Muhammad. Al-Quran sudah dicatat di masa Nabi Muhammad, di himpun dalam satu naskah di zaman khalifah Abu Bakar, dua tahun setelah Nabi Muhammad wafat dan disalin serta dibukukan dalam satu Mushaf al-Quran standar di zaman khalifah Usman. Demikian atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ke-3 H atau akhir abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 M tersusunlah kitab-kitab Hadist yang terkenal dengan nama al-Kutub asSittah (Enam buah kitab Hadist).
7

Selain dari itu, perlu di catat pula bahwa pada periode ini pulalah metode-metode tertentu pengambilan hukum dari Al-Quran dan Sunnah, penetapan dan penemuan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam dua sumber utama hukum Islam itu dikembangkan. Yang terpenting diantaranya adalah: Ijma, Qiyas, Masalih Al-Mursalah, Istihsan, Istishab, Al-urf.
B. Masa Kemunduran Islam

Sejak permulaan abad ke-4 H atau abad ke-10 11 M, ilmu hukum Islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir penghujung pemerintahan atau dinasti Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah dituangkan kedalam buku berbagai mazhab. Yang memnjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para Imamnya saja. Perkembangan masyarakat yang berjalan terus dan persoalan-persoalan hukum yang ditumbuhkannya pada masa ini tidak lagi diarahkan dengan hukum dan dipecahkan sebaik-baiknya seperti zaman-zaman sebelumnya. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran hukumnya berhenti. Diantara faktor-faktor atau keadaan yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan pemikiran Islam di masa itu adalah hal-hal sebagai berikut:
1)

Kesatuan wilayah Islam yang luas itu, telah retak dengan munculnya beberapa

negara baru, baik di Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di Kawasan Timur Tengah dan Asia.
2)

Ketidakstabilan politik yang mempengaruh kegiatan pemikiran hukum. Artinya orang

tidak bebas mengutarakan pendapatnya.


3)

Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan itu menyebabkan merosotnya

kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Dan bersamaan dengan itu muncul pula orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun
8

mengeluarkan berbagai garis hukum dalam bentuk fatwa yang membingungkan masyarakat.
4)

Timbullah gejala kelesuan berpikir di mana-mana karena kelesuan berpikir itu, para

ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab Periode taqlid adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu. Periode taqlid ini mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan alQuran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafii, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya yang umum.

1)

Sebab-sebab terhentinya gerakan ijtihad Ada 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya

kebiasaan bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:


9

a)

Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara

satu dengan yang lainnya saling bermusuhan, saling memfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan.
b)

Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa

golongan. Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan memperkuat mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.
c)

Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara di

sisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya.
d)

Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa

sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.
2)

Kesungguhan ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini.

Para ulama pada tiap-tiap mazhab bisa dibagi menjadi beberapa level atau tingkatan, yaitu:
a)

Level pertama; ahli ijtihad dalam mazhab

Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syariat secara ijtihad mutlak, mereka hanya berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar ijtihad yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab mereka. Diantara mereka adalah al-Hasan bin Ziyad (204 H/820 M) dari mazhab Hanafi, Ibn al-Qasim (191 H) dan Asyhab (204 H/820 M) dari mazhab Maliki dan al-Buwaithy (231 H) dan al-Muzanniy (264 H) dari mazhab Syafii

10

b)

Level kedua; ahli ijtihad mengenai beberapa masalah yang tidak ada riwayat

dari imam mazhabnya. Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang dan juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan. Mereka yang termasuk dalam level ini adalah al-Khashaf (261 H), al-Thahawiy (lahir 230 H) dan al-Karkhiy (340 H) dan penganut mazhab Hanafi. Al-Lakhamiy (498 H), Ibnu al-Arabiy (542 H) dan Ibnu Rusdy (1198 M) dan penganut mazhab Malikiyah. Abu Hamid al-Ghazaliy (505 H/1111 M) dan Abu Ishaq al-Isfirayiniy (418 H) dari penganut mazhab Syafiiyah.
c) d)

Level ketiga; ahli takhrij Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistimbatkan hukum mengenai berbagai

masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan mazhab yang dianutnya, maka merka tidak berusaha mengeluarkan illat-illat hukum dan prinsip-psrinsipnya. Yang termasuk dlam level ini ialah al-Jashshash (370 H) dan rekanrekannya dari penganut mazhab Hanafiyah.
e)

Level keempat; ahli tarjih

Mereka ini mampu membandingkan diantara beberapa riwayat yang bermacam-macam yang bersumber dari pada imam mazhab merekadan sekaligus mampu mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat dengan riwayat lainnya. Mereka yang termasuk dalam level ini ialah al-Qaduriy (428 H) dan pengarang kitab al-Hidayah dan rekan-rekannya sesama penganut mazhab Hanafi.
f)Level kelima; ahli taqlid

Mereka ini mampu membeda-bedakan riwayat-riwayat yang jarang dikenal dan riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membeda-bedakan antara dalil-dalil yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk dalam level ini antara lain adalah para pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan matabar dikalangan mazhab Abu Hanafiah, seperti pengarang kitab al-Kanz dan al-Wiqayah.
11

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya kesungguhan aktivitas para ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini adalah mencurahkan perhatiannya kepada pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang sudah dibentuk dan ditetapkan oleh para imam mazhab mereka.

BAB III KESIMPULAN

12

Islam mengalami massa keemasan/kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan hukum pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, tepatnya ketika pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah dipimpin oleh:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Abu Jafar Al-Mansur (754-775 M). Al-Mahdi (775-785 M) Al-Hadi (775-786 M) Harun al-Rasyid (786-809 M) Al-Mamun (813-833 M) Al-Mutashim (833-842 M) Al-Wasiq (842-847 M) Al-Mutawakkil (847-861 M)

Hal ini di sebabkan karena adanya gerakan ilmiah dan telah sampainya kebudayaan kuno ke tangan para pemikir islam. Hal ini terbukti dengan terbentuknya perundang-undangan hukum islam pada saat itu, dan juga adanya pengembangan berbagai kajian ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.ikhsanudin.co.cc/2009/09/sejarah-perkembangan-hukum Islam 13

2. Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri Al-Islami,(terj.), Indonesia: Darul Ihya 3. A. Hanafi M.A., Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Butan Bintang 4. H.M.K. Bakry, Sedjarah Hukum Dalam Islam, Djakarta: Widjaya 5. Drs. M. Noor-Matdawam, Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah Perkembangannya),

Yogyakarta: Bina Karier

14

Anda mungkin juga menyukai