Anda di halaman 1dari 9

FASE-FASE KEKUASAAN DINASTI ABBASIYAH

MAKALAH SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

Disusun Oleh:

Kelompok :7

Nama Anggota : 1. Amanatul Khasanah

2. Devi Nur Khorifah

3. Khaniati

Kelas : XI IPA 3

Guru Mapel : Imron Hamzah MSI

MADRASAH ALIYAH NEGERI PURBALINGGA

Tahun Pelajaran 2018/2019

2019
 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam peradaban umat Islam Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah
peradaban umat Islam yang terjadi Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan umat
Islam yang memperoleh masa kejayaan yang gemilang Pada masa ini banyak kesuksesan
yang diperoleh Bani Abbasiyah baik itu di bidang ekonomi politik dan ilmu pengetahuan Hal
inilah yang perlu untuk kita ketahui sebagai acuan Semangat bagi generasi umat Islam pala
peradaban umat Islam itu pernah memperoleh masa keemasannya melampaui kesuksesan
negara-negara Eropa dengan kita mengetahui bahwa dahulu peradaban Islam itu diakui oleh
seluruh dunia maka akan memotivasi sekaligus menjadi ilmu pengetahuan kita mengenai
sejarah peradaban umat Islam sehingga kita akan mencoba untuk mengurangi masa keemasan
itu kembali nantinya untuk generasi umat Islam saat ini.
Peradaban islam mengalami puncak kejayaan pada masa Daulah Abbasiyah.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju diawali dengan penerjemahan naskah asing
terutama yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Penddirian pusat perkembangan
ilmu, dan perpustakaan dan terbentuknya madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai
buah dari kebebasan berfikir.
Dinasti Abbasiyah merupamakan dinasti islam yag paling berhasil dalam
pengembangan peradaban islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para para
pakar pada amsa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan
peradaban islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fase-fase dalam bani Abbasiyah?
2. Siapa sajakah khalifah yang banyak membawa perubahan dan kebijakan di
bani   Abbasiyah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahuan apa sajakah fase-fase dalam bani Abbasiyah
2. Untuk mengetahui siapa sajakah khalifah yang paling berjasa dalam perkembangan
bani Abbasiyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Masa kekuasaan Bani Abbasiyah.


Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan itu, para
sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
1.      Periode I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai
meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
2.      Periode II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya
Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
3.      Periode III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya
kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M.
4.      Periode IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya
Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H / 1258
M
1.      Fase I ( 132 H/750 M-232 H/847 M ).
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan berlangsung selama satu abad
hingga meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan
Bani Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan.
Wilayah kekuasaannya membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut
Kaspia hingga ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup
berprestasi dalam penyebaran Islam mereka adalah khalifah Abul Abbas ash-shaffah(750-754
M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-
Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Ibrahim (817 M), Al-
Mu’tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).
2.      Fase II ( 232 H/847 M-334 H/946 M).
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga
Buwaihiyah bangkit memerintah. Sepeninggal Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi
khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang berasal dari Turki berhasil
mengontrol pemerintahan. Ada empat khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol
pemerintahan dari pada pemerintahan yang efektif, keempat pemerintahan itu adalah Al-
Muntasir (861-862 M ), Al-Musta’in (862-866 M), Al-Mu’taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi
(869-870 M). Masa pemerintahan ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar
keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari wilayah Bani Abbas
dan menjadi wilayah merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
3.      Fase III (334 H/946 M -447 H/1055 M).
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah, yaitu Pada masa ini
jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M).
Kekuasaaan Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia timur,
Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah kekuasaan Dinasti Samaniah beralih
kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki. Untuk
keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup
kuat dan berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia
islam dan menjadi kediaman Khalifah.
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga
tidak memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah
menjadi dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di Khurasan (874-
965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (924-1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-
1030 M), dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di Afganistan (962-
1187 M).
4.    Masa Abbasiyah IV (447H/1055M-656M/1258M)
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil alih
pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika
tentara mongol menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh dunia islam
bagian timur. [4]

B. Khalifah-khalifah Abbasiyah
Kekuasaan Abbasiyah yang didirikan oleh keturunan Abbas ibnu al Muthalib yaitu
Abdullah saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas atau lebih dikenal dengan
sebutan Abu al Abbas al Safah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang sekali,
dari tahun 132H-656H (750-1258M). Sebelum Abul Abbas Ash-Shaffah (pendiri) 132-136H
meninggal, ia sudah mewasiatkan penggantinya. Dia adalah saudaranya sendiri yang bernama
Abu Ja’far. Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh
Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Mansur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada
pada khalifah sesudahnya, yaitu:
1.        Kebijakan Al-Mahdi (775-785M)
Al-Mahdi dikenal sebagai sosok dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat serta banyak
memberikan hadiah-hadiah. Selain itu beliau mengembaliakn harta-harta rampasan yang
tidak jelas atau tidak benar. Beliau lahir pada 129H. Pada masa ini, perekonomian mulai
meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambanagan seperti perak, emas, tembaga dan besi.[5]
Di antara kebijakan Al – Mahdi adalah
a.         Menurunkan pajak bagi golongan kafir dzimmi, juga memerintahkan pegawai –
pegawainya untuk tidak bersikap kasar ketika memungut pajak, karena sebelumnya mereka
diintimidasi dengan berbagai cara agar membayar pajak.
b.         Penaklukan dimasa kholifah Al – Mahdi meliputi daerah Hindustan (India) dan
penaklukan besar – besaran terjadi diwilayah Romawi. Selain itu Al – Mahdi juga bersikap
keras terhadap orang – orang yang menyimpang dari ajaran islam, yaitu mereka yang
menganut ajaran Manawiyah Paganistik atau penyembah cahaya dan kegelapan atau lebih
dikenal dengan sebutan Zindiq.
c.         Pembangunan yang dilakukan dimasa itu meliputi peremajaan bangunan ka’bah dan
Masjid Nabawi, pembangunan fasilitas umum, pembangunan jaringan pos yang
menghubungkan kota Baghdad dengan kota – kota besar islam lainnya.
2.        Kebijakan Khalifah Harun ar-Rashid
Khalifah Harun al- Rashid adalah khalifah kelima daulah Abbasiyah, beliau mengantikan
saudaranya al-Hadi pada tahun 786-809M, yang merupakan masa keemasan daulah
Abbasiyah. Beliau dilahirkan di Raiyi pada tahun 145H ibunya ialah Khaizuran, bekas
seorang hamba yang juga ibunda al-Hadi. Ayah beliau al-Mahdi memberi tanggung jawab
dengan melantik Harun sebagai Amir di Saifah pada tahun 163H, kemudian pada tahun 164
H beliau dilantik untuk memerintah seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di Afrika utara.
Khalifah Harun ar Rashid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuan dan
budayawan. Ia mengangkat perdana menteri juga dari seorang ulama besar di zamanya,
Yahya as-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun ar-Rashid, sehingga banyak nasehat
dan anjuran kebaikan mengalir di Yahya. Hal ini semua membentengi Khalifah Harun dari
pebuatan yang menyimpang dari ajaran islam. Pada masa hidupnya ahli-ahli bahasa terkenal
yang mempelopori penyusunan tata bahasa, seni bahasa salah satunya yaitu Khalaf al-
Ahmar(wafat 180H), al-Khalil Ahmad al-farahidi(wafat180H).
Kekayaan yang banyak dimanfaat Harun Al – Rasyid untuk keperluan sosial seperti
rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter disamping itu pemandian – pemandian umum
juga di bangun. Tingkat kemakmuran yang paling tertinggi terwujud pada zaman khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusteran berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.[6]
Kemajuan-kemajuan yang diraih Dulah Abbasiyah pada masa itu khusunya dalam hal
keilmuan dan pendidikan tidak luput dari kebijakan yang dilakukan Harun ar-Rashid pada
masanya diantaranya adalah adanya gerakan penerjemah manuskrib-manuskrip dan kitab
Yunani, mendirikan Baitul Hikmah, Rumah sakit, Kuttab serta didirikannya lembaga Sastra.
a.    Gerakan Penerjemah
Kegiatan penerjemah sebenarnya sudah dimulai sejak Dulah Umayyah, namun pada
masa Daulah Abbasiyah mengalami masa keemasan. Pusat tempat penerjemahan adalah
Yunde Sahpur, yang merupakan kota ilmu pengetahuan pertama dalam Islam. Para
penerjemah bukan hanya dari kalangan beragama Islam tapi dari pemeluk Nasrani dan
Majusi.
Biasanya naskah berbahasa Yunani diterjemahkan dahulu kedalam bahasa syiria kuno
sebelum ke bahasa Arab. Hal ini dikarenakan penerjemah adalah para pendeta Kristen Syiria
yang hanya memahami bahasa Yunani dan bahasa mereka sendiri. Setelah itu baru Arab
menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Penerjemah dipelopori oleh Yuhanna ibn Musawayh
(777-857M) dan Hunayn ibn Ishak (wafat 873M)
b.    Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakkan perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembangan
ilmu pengetahuan, institusi ini merupakan kelanjutan dari institusi serupa dimasa imperium
Sasania Persia yang bernama Jundishapur Academy. Namun pada masa itu hanya menyimpan
puisi-puisi dan cerita untuk raja. Sedangkan pada masa Harun instuisi tersebut
bernama Khizanah al-Hikmah. Yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Terdapat macam-macam buku ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, baik yang
berbahasa Arab maupun bahasa lain seperti Yunani, India, dan sebagainya. Pada masa ini
Baitul Hikmah juga berperan sebagai pusat penerjemah.
c.    Pendirian Rumah Sakit
Sebelumnya telah dikatakan bahwa pada masa kahlifah Harun ar-Rashid telah didirikan
beberapa bangunan sosial diantaranya adalah rumah sakit. Rumah sakit bagdad merupakan
rumah sakit islam pertama yang dibangun oleh kahlifah Harun ar-Rashid pada awal abad ke-
9. Rumah sakit ini menyediakan ruangan khusus untuk perempuan dan dilengkapi dengan
gedung obat-obatan. Beberapa diantaranya dilengkapi dengan perpustakaan kedokteran dan
menawarkan khusus pengobatan.
Selain itu rumah sakit ini juga dilakukan untuk praktikum para mahasiswa dari sekolah
kedokteran yang mengadakan penelitian dan percobaan dalan bidang kesehatan. Pada masa
itu sudah terdapat paling tidak 800 orang dokter. Sejumlah dokter bedah mengijazahi kepada
mahasiswa kedokteran yang dianggap mampu melakukan praktik.
d.    Mendirikan Apotik
Pada masa ini beliau membangun apotik pertama, selain itu beliau juga mendirikan
sekolah farmasi pertama dan menghasilkan buku daftar obat-obatan. Mereka menulis
beberapa risalah tentang obat-obatan.[7]
e.    Kuttab
Kittab atau bisa juga disebut maktab berasal dari dasar katabayang berarti menulis,
maka kuttab adalah tempat belajar dan menulis. Lembaga ini adalah lembaga pendidikan
terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitungkan dan menulis serta
anak remaja belajar dasar ilmu agama.
Menurut ibnu Djubaer pendidikan ini berlangsung di luar masjid. Kurukulum
pendidikan di kuttab berorientasi kepada Al-Qur’an sebagai suatu tex book, hal ini
mencangkup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab, sejarah
Nabi SAW. Belajar di Kuttab dilakukan pada pagi hari sampain waktu shalat ashar untuk
membahas berbagai macam ilmu pegetahuan.
f.     Lembaga Kesusteran
Pada masa pemerintahannya lembaga ini mengalami kemajuan yang pesat, bahkan
pada saat itu beliau juga aktif dalam majelis ini. Dalam sejarah dikatakan, bahwa khalifah
Harun ar-Rashid merupakan ahli ilmu pengetahuan dan sangat cerdas, maka wajarlah beliau
pun ikut terjun dalam lembaga pendidikan ini.
3.    Kebijakan Khalifah al-Ma’mun
Abdullah Abul Abbas al-Ma’mun dilahirkan pada tahun 170 H, Al-Ma’mun
memerintah dinasti Abbasiyah dari tahun 198H-218H. Beliau merupakan salah satu khalifah
Abbasiyah yang paling terkemuka, intelektual dan kecintaan Al-ma’mun kepada ilmu
pengetahuan serta jasa-jasanya dibidang tersebut meletakan dirinya dipuncak daftar khalifah-
khalifah Abbasiyah.
Pemaaf adalah salah satu sifat Al-Ma’mun yang paling nyata. Beliau memaafkan al-
Fadhi bin ar-Rabi’ yang telah menghasut komplotan penjahat menentang beliau serta
memulangkan kembali ke rumahnya, beliau memaafkan ibrahim bin al-Mahdi yang elah
melantik dirinya sebagai khalifah di Bagdad sewaktu al-Ma’mun berada di Marwu. Beliau
pun tidak sembarangan mendengarkan nyaniyan dan tidak tertarik dengan hiburan dan
bermain-main. Selama dua puluh tahun tinggal di bagdad beliau meninggalkan hiburan dan
majelis-majelis minuman. Sebab beliau pusat pikirannya hanyalah ilmu pengetahuan dan
kecintaannya terhadap buku-buku.
Al-ma’mun penyokong ilmu pengetahuan dan menempatkan para intelektual dalam
posisi yang mulia dan sangat terhormat. Di era kepemimpinannya, ke khalifah abbasiyah
menjelma sebagai adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah kekuasaanya dunia islam
terbentang luas mulai dari pantai Atlantik di Barat hingga Tembok Besar Cina di Timur.
Dalam dua dasawarsa kekuasaanya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia islam
sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya.
Seperti ayahnya al-Ma’mun dalam kepemimpinannya juga memiliki kebijakan-
kebijakan pada masanya sehingga daulah Abbasiyah dapat mencapai masa gemilangnya
khususnya dalam bidang keilmuan, seperti:
a.    Gerakan Penerjemah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan penerjemah telah dilakukan pada
masa dinasti Umayah, selanjutnya gerakan penerjemah ini dilakukan pada masa Abbasiyah
dan lebih memusat pada Khalifah al-mashur dan Harun al-Rasid. Pada zaman ini kemauan
usaha penerjamah mencapai puncak dengan didirikannya sekolah tinggi terjemah di Bagdad.
Disinilah orang dapat mengenal Hunain bin Ishaq (809-877M) penerjemah kedokteran
Yunani. Penerjemah Materi Medika, Galen adalah ilmu pengobatan, dan buku-buku filsafat.
[8] Karena keinginannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai super power
dunia ketika itu, al- Ma’mun membentuk tim penerjemah yang terdiri dari Hunain bin Ishaq
yang dibantu anaknya, Ishaq dan keponakannya Hubaish serta ilmuan lain seperti Qusta ibn
Luqa, seorang beragama kristen Jocobite, Abu Basr Matta ibn Yunus, seorang kristen
Nestorian, ibn ‘adi, yahya ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-
naskah Yunani terutama berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan terutama kedokteran.[9]
b.      Baitul Hikmah
Merupakan perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada masa khalifah al-Ma’mun diberi nama al-Hikmah atau Baitul  Hikmah. Berfungsi
sebagai tempat penyimpanan buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium dan bahkan
Etiopia dan India. Khalifah sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para
ilmuan dari berbagai agama datang ke Bait al-Hikmah, beliau menempatkan para intelektual
dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, serta sarjana yang
menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat tinggi.
c.    Majelis al-Munazharah
Majelis ini merupakan lembaga yang digunakan sebagai lembaga pengkaji keagamaan
yang diselenggarakan dirumah-rumah, masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini juga
digunakan untuk melakukan kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu,
sehingga majelis banyak ragamnya. Selain majelis ini ada 6 majelis lainnya, yaitu majelis al-
Hadist, al-Muzakarah, al- Syu’ara, al-Adab, dan al-Fatwa.
d.    Menulis buku
Aktifitas pelajar pada masa al-ma’mun yang tak kalah menarik adalah menulis buku
sbagai karya yang menjadi bukti penguasaan ilmu yang telah diperolehnya. Ketika belajar,
mereka juga melakukan kegiatan menulis. Pada awalnya tulisan mereka berbentuk manuskrip
saja, namun kemudian akan dibukukan, sehingga memiliki bobot kualitas yang dapat
dipertanggung jawabkan. Pada masa dahulu bahan untuk meulis adalah kain perca dan
papirus, tetapi pada masa al-Ma’mun kertas telah menggantikan kain dan piparus diwilayah
umat islam.[10]
e.    Rumah Para Ulama
Lembaga pendidikan ini digunakan untuk melakukan kegiatan ilmiah, baik mengenai agama
ataupun umum. Pada umumnya materi yang diberikan adalah Al-Qur’an, ilmu-ilmu pasti,
bahasa Arab, dan kesastraan, mantik, fiqh, falaq, tafsir, dan lain lain.  Banyak pelajar yang
berminat untuk mempelajari ilmu dari para ulama. Mereka berdatangan pergi kerumah para
ahli ilmu karena para ahli yang bersangkutan tidak memberikan pelajaran di masjid.[11]
BAB 3
PENUTUP

Para sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
1.        Periode I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai
meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
2.        Periode II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya
Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
3.        Periode III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai
masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M.
4.        Periode IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya
Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258
M
Masa Kejayaan dan masa keemasan pada Dinasti Abbasiyah pada masa Khalifah Harun
al- Rashid dan khalifah Al-Ma’mun. Dalam masa kedua khalifah ini banya peningkatan-
peningkatan yang dilakukan. Kebijakan-kebijakan beliau juga sangat banyak dalam bidang
keilmuan.
Karakteristik pemerintah Dinasti Abbasiyah tidak banyak berbeda dengan Dinasti
Umayyah. Kekuasaan Dinasti Umayyah lebih bersifat Arab-sentris, sedangkan kekuasaan
dinasti abbasiyah mendistribusikan kekuasaan secara lebih luas, tidak terbatas pada kalangan
orang Arab saja, tetapi juga mengikut sertakan muslim non arab lainnya, terutama orang
Persia dan Turki. Ini tidak berarti bahwa solidaritas dan pengelompokan masyarakat atas
dasar suku dan ras menjadi terhapus.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung, Sejarah Peradaban Islam.


Amin , Samsul Munir, 2010, Sejarah peradaban Islam, Jakarta, Amzah, Ajid
Hitti, Philip K, 2015History of The Arabs, Jakarta:Serambi Ilmu Semesta.
Natta, Abudin, 2010 Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah.
Sunanto , Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, 2003 Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam ,
Jakarta, Kencana.
 Thohir, 2004 Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam,  Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Wahid, N. Abbas dan Suratno, 2009, Khazanah Sejarah Kebudayyan Islam Solo, Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri.
Yatim, Badri, 2016, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Depok Raja Garindo
Persada.
Zuhairini, 1992, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Askara.

[1] Abudin Natta, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hlm 102.

[2] Samsul Munir Amin, Sejarah peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2010). Hlm  138-140.


[3] Ajid  Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, ( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm 48.
[4] N. Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayyan Islam (Solo : PT. Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2009)

[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Depok:Raja Garindo


Persada, 2016)52
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II(Jakarta: Rajagrafindo
Persada , 2015) hal.52
[7] Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta:Serambi Ilmu Semesta, 2015), 456.
[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Islam (Jakarta,: Kencana, 2003)79
[9] Dudung Abdurahman, Sejarah Peradaban Islam, 104
[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta:Serambi Ilmu Semesta, 2015),522.
[11] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam(Jakarta:Bumi Askara, 1992)95

Anda mungkin juga menyukai