Anda di halaman 1dari 14

Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada

keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas alSaffah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah. Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakan Masalah Sejarah tak ubahnya kacamata masa lalu yang menjadi pijakan dan langkah setiap insan di masa mendatang. Hal ini berlaku pula bagi kita para mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya untuk tidak hanya sekedar paham sains tapi juga paham akan sejarah peradaban islam di masa lalu untuk menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah terjadi. Seperti yang kita ketahui setelah tumbangnya kepemimpinan masa khulafaurrasyidin maka berganti pula sistem pemerintahan Islam pada masa itu menjadi masa daulah, dan dalam makalah ini akan disajikan sedikit tentang masa daulah Abbasiyah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kemunculan daulah Abbasiyah? 2. Bagaimana sistem kekhalifahannya? 3. Bagaimana masa kejayaaan daulah Abbasiyah? 4. Bagaimana runtuhnya daulah Abbasiyah? C. Tujuan Penulisan

Makalah ini disusun dalam rangka merefleksi kembali sejarah islam yang telah lalu, sebagai cermin pertimbangan untuk masa mendatang. Sekaligus juga untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. BAB II PEMBAHASAN Dengan tumbangnya daulah Bani Umayyah maka keberadaan Daulah Bani Abbasiyah mendapatkan tempat penerangan dalam masa kekhalifahan Islam saat itu, dimana daulah Abbasiyah in sebelumnya telah menyusun dan menata kekuatan yang begitu rapi dan terencana. Dan dalam makalah ini akan diurakan sedikit mengenai berdirinya masa kekhalifahan Abbasiyah, sistem sosial politiknya, masa kejayaan dan prestasi apa saja yang pernah diraih serta apa saja penyebab runtuhnya daulah Abbasiyah. A. Kelahiran Daulah Abbasiyah Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah The Golden Age. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam, termasuk salah satunya pengucilan yang dilakukan Bani Umaiyah terhadap kaum mawali yang menyebabkan ketidak puasan dalam diri mereka dan akhirnya terjadi banyak kerusuhan . Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah. Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah. Di bawah pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak dalam dua fase, yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran. Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim ke seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan-golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari golongan-golongan yang pada mulanya mendukung Daulah Umayah. Setelah Imam Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, pada masanya inilah bergabung seorang pemuda berdarah Persia yang gagah berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani. Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran, dan akhirnya dengan dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abu Abbas pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah dalam mengobarkan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas kemudian memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu sampai Abu Abbas menyebut dirinya sang pengalir darah atau As-Saffah. Maka bertepatan pada bulan Zulhijjah 132 H (750 M) dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah berdiri Daulah Abbasiyah.

Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris takhta kekhalifahan Umayah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayah di seberang lautan, yaitu di keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia. Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah. Dalam beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Daulah Umayah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya, para bangsawan Daulah Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka gemar memelihara budak belian serta istri peliharaan (hareem). Kehidupan lebih cenderung pada kehidupan duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam . Namun tidak dapat disangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama. B. Sistem Politik, Pemerintahan dan Sosial 1. Sistem Politik dan Pemerintahan Khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abdul Abbas yang sekaligus dianggap sebagai pendiri Bani Abbas, menyebut dirinya dengan julukan Al-Saffah yang berarti Sang Penumpah Darah. Sedangkan Khalifah Abbasiyah kedua mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai system politik. Dinasti ini muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap bani Umayyah di dalam masalah sosial ddan pilitik diskriminas. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang memakai gelar Imam, pemimpin masyarakat muslim bertujuan untuk menekankan arti keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di dalam mengumumkan lebih dari satu putra mahkota raja. Al-Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan. Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya diambil dari kaum mawalli. b. Kota Bagdad dijadikan sebagai ibu kota negara, ang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja, termasuk bangsa dan penganut agama lain. c. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang harus dikembangkan. d. Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia. 2. Sistem Sosial Pada masa ini, sistem sosial adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa Dinasti Umaiyah). Akan tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang sangat mencolok, yaitu a. Tampilnya kelompok mawali dalam pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan sosial b. Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri dari beberapa bangsa ang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab dll.) c. Perkawina campur yang melahirkan darah campuran d. Terjadinya pertukaran pendapat, sehingga muncul kebudayaan baru .

C. Kejayaan Daulah Abbasiyah Masa Abbasiyah menjadi tonggak puncak peradaban Islam. Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah secara terbuka mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan dengan mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat peradaban sebelumnya untuk kemudian diterjemahkan, diadaptasi dan diterapkan di dunai Islam. Para ulama muslim yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan baik agama maupun non agama juga muncul pada masa ini. Pesatnya perkembangan peradaban juga didukung oleh kemajua ekonomi imperium yang menjadi penghubung dunua timur dan barat. Stabilitas politik yang relatif baik terutama pada masa Abbasiyah awal ini juga menjadi pemicu kemajuan peradaban Islam 1. Gerakan penerjemahan Meski kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak Daulah Umayyah, upaya untuk menerjemahkan dan menskrinsip berbahasa asing terutama bahasa yunani dan Persia ke dalam bahasa arab mengalami masa keemasan pada masa DaulahAbbasiyah. Para ilmuandiutus ke daeah Bizantium untuk mencari naskahnaskah yunanidalam berbagai ilmu terutama filasafat dan kedokteran. Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan daulah Abbasiyah adalah Khalifah Al-Mansyur yang juga membangun Ibu kota Baghdad. Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan, karya yang banyak diterjemahkan tentang ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerpen dan sejarah jarang diterjemakan karena bidang ini dianggap kurang bermanfaat dan dalam hal bahasa, arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat maju. Pada masa ini, ada yang namanya Baitul hikmah yaitu perpustakaan yangberfungsi sebagai pusat pengembagan ilmu pengetahuan. Pada masa harun ar-rasyid diganti nama menjadi Khizanahal-Hikmah (Khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Pada masa almamun ia dikembangkan dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah, yang dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagaitempatpenyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan dari Ethiopia danIndia. Direktur perpustakaannya seorang nasionalis Persia, Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan Al-Mamun, lembaga ini sebagai perpustakaan juga sebagai pusat kegiatan study dan riset astronomi dan matematika. 2. Dalam bidang filasafat Pada masa ini pemikiran filasafat mencakup bidang keilmuan yang sangat luas seperti logika, geometri, astronomi, dan juga teologia. Beberapa tokoh yang lahir pada masa itu, termasuk diantaranya adalah AlKindi, Al-farobi, Ibnu Sina dan juga Al-Ghazali yang kita kenal dengan julukan Hujjatul Islam. 3. Perkembangan Ekonomi Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Sudah terdapat berbagai macam industri sepertikain linen di Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarkand, serta berbagai produk pertanian sepertigandum dari mesir dan kurma dari iraq. Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyahdan Negara lain. Karena industralisasi yang muncul di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan Barat melambungkan perekonomian Abbasiyah. Perdagangan dengan wilayah-wilayah lain merupakan hal yang sangat penting. Secara bersamaan dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina juga mengalami masa puncak kejayaan sehingga hubungan erdagangan antara keduanya menambah semaraknya kegiatan perdagangan dunia. 4. Dalam bidang Keagamaan Di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah, ilmu-ilmu keagamaan mulai dikembangkan. Dalam masa inilah ilmu metode tafsir juga mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, aitu tafsir bir rai dan tafsir

bil matsur . Dalam bidang hadits, pada masa ini hanya merupakan penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada masa ini pula dimulainya pengklasifikasian hadits, sehingga muncul yang namanya hadits dhaif, maudlu, shahih serta yang lainnya. Sedangkan dalam bidang hukum Islam karya pertama yang diketahui adalah Majmu al Fiqh karya Zaid bin Ali (w.122 H/740 M)yang berisi tentang fiqh Syiah Zaidiyah. Hakimagung yang pertama adalah Abu Hanifah (w.150/767).meskidiangap sebagai pendiri madzhab hanafi,karya-karyanya sendiri tidakada yang terselamatkan. Dua bukunya yang berjudul Fiqh alAkbar (terutama berisi artikel tentang keyakinan) dan Wasiyah Abi Hanifah berisi pemikiran-pemikirannya terselamatkankarena ditulis oleh para muridnya. D. Runtuhnya Daulah Abbasiyah Tak ada gading ang tak retak. Mungkin pepatah inilah ang sangat pas untuk dijadikan cermin atas kejayaan ang digapai bani Abbasiah. Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai kaku dan akhirnya runtuh. Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhan daulah Abbasyiah, yaitu A. Faktor Internal Mayoritas kholifah Abbasyiah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap negara. Luasnya wilayah kekuasaan kerajaan Abbasyiah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukuan. Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki, mengakibatkan kelompok Arab dan Persia menaruh kecemburuan atas posisi mereka. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi. Permusuhan antar kelompok suku dan kelompok agama. Merajalelanya korupsi dikalangan pejabat kerajaan. B. Faktor Eksternal Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban. Penyerbuan Tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan yang menghancrkan Baghdad. Jatuhnya Baghdad oleh Hukagu Khan menanndai berakhirnya kerajaan Abbasyiah dan muncul: Kerajaan Syafawiah di Iran, Kerajaan Usmani di Turki, dan Kerajaan Mughal di India.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dinamakan khilafah bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasanya adalah keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Berdirinya Dinasti ini tidak terlepas dari keamburadulan Dinasti sebelumny, dinasti Umaiyah. Pada mulanya ibu kota negera adalah al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga setabilitas Negara al-Mansyur memindahkan ibu kota Negara ke Bagdad. Dengan demikian pusat pemerintahan dinasti Abasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia. Al-Mansyur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.

Puncak perkembangan dinasti Abbasiyah tidak seluruhnya berawal dari kreatifitas penguasa Bani Abbasiyah sendiri. Sebagian diantaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan misalnya di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Namun lembagalembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abas dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Pada beberapa dekade terakhir, daulah Abbasiyah mulai mengalami kemunduran, terutama dalam bidang politiknya, dan akhirnya membawanya pada perpecahan yang menjadi akhir sejarah daulah abbasiyah. B. Saran Dari penjelasan di atas kita sebagai umat Islam dapat mengambil pelajaran. Sebuah sistem yang teratur akan menghasilkan pencapaian tujuan yang maksimal, seperti kisah pendirian dinasti Abbasiyah. Mereka bisa mendirikan dinasti di dalam sebuah negara yang dikuasai suatu dinasti yang menomorduakan mereka. Selain itu dari sejarah kekuasaan dinasti Abbasiyah ini kita juga bisa mengambil manfaat yang bisa kita rasakan sampai saat ini, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan. Seharusnya kita yang hidup pada zaman modern bisa meneruskan perjuangan para ilmuwan zaman daulah Abbasiyah dahulu. Sebaliknya, kita juga dapat belajar dari kekurangan-kekurangan yang ada pada dinasti besar ini agar tidak sampai terjadi pada diri kita dan anak cucu kita. Mereka telah dibutakan oleh kekuasaan, sehingga mereka tega membantai hampir seluruh keluarga dinasti Umayyah yang notabene adalah sesama umat Islam. Selain itu kecerobohan yang terjadi pada masa dinasti Umayyah terulang lagi pada masa dinasti Abbasiyah yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan dinasti Abbasiyah. Kebiasaan penguasa berfoyafoya menyebabkan runtuhnya kekuasaan yang telah susah payah mereka dirikan. DAFTAR PUSTAKA Armstrong, Karen. 2002. Islam : Sejarah Singkat. Yogyakarta : Penerbit Jendela Hassan, Hassan Ibrahim.1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta. Hasimy, A. 1993. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Sunanto, Musyifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta : Kencana Syalabi, A. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2. Jakarta: Pustaka Alhusna. Watt, W. Mongtomery.1990. Kejayaan Islam. Yogyakarta : Tiara Wacana

Peradaban Emas Dinasti Abbasiyah: Kajian Ringkas


Oleh: Muhamad Sahrul Murajjab

PENDAHULUAN Meski terdapat sejumlah perbedaan, para ahli sejarah banyak yang membagi periodisasi sejarah peradaban Dinasti Abbasiyah yang berumur sekitar lima ratus tahun (750-1258 M / 132-656 H) ke dalam dua periode utama. Periode pertama, berlangsung antara tahun 750-945M/132-334H, dimana pada masa itu Dinasti Abbasiyah memiliki otoritas politik yang sangat kuat dan kemudian mampu melahirkan sebuah kemajuan peradaban yang disebut-sebut sebagai Era Keemasan (the Golden Age). Akan tetapi periode ini juga sekaligus mencatat munculnya benih-benih kemunduran dan kelemahan politik yang terjadi di paruh akhir masa ini

. Sedangkan periode kedua (945-1258M) adalah rentang waktu dimana Dinasti Abbasiyah secara faktual mengalami kemunduran politik dan para khalifah kehilangan otoritas kekuasaanya terhadap sejumlah wilayah dibarengi dengan lahirnya negara-negara kecil (duwaylt) yang memerdekakan diri. Karakteristik lain dari periode ini adalah masih terlihatnya sisa-sisa pengaruh kemajuan peradaban Islam era keemasan yang terwujud dalam perkembangan berbagai disiplin keilmuan (`ulm), pembangunan (`umrn), tercapainya kesejahteraan, hingga pada level berikutnya yang bersifat negatif yakni menggejalanya gaya hidup bermewahan ( taraf). Periode Dinasti Abbasiyah ini berakhir pada tahun 1258 M ketika Baghdad jatuh ke tangan bangsa Mongol di bawah komando Hulagu Khan. Pembagian sejarah Abbasiyah sebagaimana model di atas, meski diakui oleh beberapa kalangan -seperti Eric Hanne sendiri- kurang tepat, ternyata mampu mempengaruhi nature atau gaya studi modern terhadap Dinasti Abbasiyah, dimana mayoritas fokus kajiannya lebih banyak dititikberatkan pada periode pertama. Makalah ini, dengan mengenyampingkan periodisasi seperti diatas, secara spesifik akan membahas dan memilah era kemajuan ilmu dan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah, sekaligus menelisik proses kejatuhannya dilengkapi dengan ulasan sejumlah faktor yang menyebabkannya.

LATAR BELAKANG KEMAJUAN PERADABAN Selama beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan khalifah kedua, Ab Ja`far ibn `Abdullh ibn Muhamad Al-Mansr (137-158H/754-775M), menjadi titik yang cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya. Yaitu; Pertama, menyingkirkan para musuh maupun bakal calon musuh (potential and actual rivals) serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa wilayah kedaulatan Abbasiyah; Kedua, meninggalkan Al-Anbr dan membangun Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi lokus aktivitas ekonomi, budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu. Langkah-langkah penting yang diambil Al-Mansr tersebut dan efek besar yang ditimbulkannya terhadap perkembangan Dinasti Abbasiyah pada masa-masa berikutnya menjadikan para sejarahwan kemudian menganggapnya sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah yang sebenarnya (al-muassis al-haqqi li al-dawlah al`Abbasiyah). Selain figur politiknya yang begitu kuat dan dominan, Al-Mansr juga dikenal memiliki perhatian cukup besar terhadap ilmu pengetahuan, bahkan sejak masa mudanya atau sebelum menjadi seorang khalifah. Gerakan penerjemahan yang kemudian menjadi salah satu ikon kemajuan peradaban Dinasti Abbasiyah juga tidak lepas dari peranan Al-Mansr sebagai khalifah pertama yang mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban pra-Islam. Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnf) dan kodifikasi (tadwn) ilmu tafsir, hadits, fiqh, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di era Al-Mansr pula. Konon, sebelum masa itu, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanji secara tegas menyebut Al-Mansur sebagai khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh para khalifah Bani Umayyah. Namun betapapun pentingnya peranan Al-Mansr, kemajuan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah pada hakekatnya tidak datang dari ruang hampa, melainkan pada titik yang paling penting merupakan buah dari pengaruh konsep-konsep dalam ajaran Islam itu sendiri. Hal ini diakui pula oleh beberapa penulis Barat semisal Vartan Gregorian dalam bukunya Islam: A Mosaic, Not a Monolith. Kesimpulan tersebut jika ditilik dari perspektif kajian sejarah peradaban berkesesuaian dengan teori yang menyatakan bahwa semangat yang dibawa oleh konsep keagamaan (al-fikrah al-dniyyah) merupakan lan vital dan menjadi unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban. Di samping itu, faktor lain yang secara lebih lanjut turut mempengaruhi kemajuan peradaban Dinasti Abbasiyah adalah interaksi masif kaum muslimin era Abbasiyah dengan komunitas-komunitas masyarakat di

beberapa wilayah yang sebelumnya telah menjadi pusat warisan pemikiran dan peradaban Yunani seperti Alexandria (Mesir), Suriah, serta wilayah Asia Barat, khususnya Persia. Singkat kata, tidak lama setelah berdirinya, Dinasti Abbasiyah dengan cepat telah mampu menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan peradaban yang menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam tiga sektor yaitu menggeliatnya gerakan penulisan buku (harakat al-tasnf), kodifikasi dan sistematisasi ilmu-ilmu keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan (harakat al-tarjamah) secara masif. Selain tiga hal di atas dapat ditambahkan pula perkembangan ilmu sains yang melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan legendaris yang diakui tidak saja di dunia Muslim tetapi juga oleh kalangan akademisi Barat.

GERAKAN PENERJEMAHAN DI ERA ABBASIYAH Berbicara mengenai gerakan penerjemahan yang terjadi di Era Abbasiyah sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari upaya-upaya penerjemahan yang pernah dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. Saat itu, usai penaklukan besar-besaran yang merambah wilayah-wilayah di tiga benua, serta pada saat keamanan politik dalam negeri relatif stabil, sebuah upaya penerjemahan telah dilakukan meski dalam skala kecil. Sebagaimana diceritakan oleh para sejarahwan, Khlid ibn Yazd ibn Muawiyah pernah memerintahkan dihadirkannya sejumlah filosof Yunani yang bermukim di Mesir dan menguasai bahasa Arab untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Mesir Kuno (Qibti), khususnya yang terkait dengan ilmu medis dan kimia, ke dalam bahasa Arab. Selain itu, pada masa `Abdul Mlik ibn Marwn dan Al-Wald ibn `Abdul Malik itu juga telah dilakukan penerjemahan dwn dari bahasa aslinya, baik bahasa Pahlavi-Persia, Yunani maupun Mesir Kuno ke dalam bahasa Arab. Berbeda dengan upaya penerjemahan di masa Dinasti Umayyah yang berskala kecil atau bahkan bersifat individual, gerakan penerjemahan di Era Abbasiyah, didukung oleh para khalifah yang rata-rata memiliki kecenderungan keilmuan dan ketertarikan terhadap pengetahuan dari Yunani maupun Persia. Para khalifah seperti Al-Mansr misalnya, selalu mendorong para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dengan tanpa membedakan agama maupun bangsa mereka, untuk menerjemahkan buku-buku sains, filsafat dan sastra dari bahasa asing ke dalam Bahasa Arab. Di era Al-Mansr ini muncul tokoh penerjemah di bidang sastra seperti `Abdullh Ibn Al-Muqaffa` (757 M), seorang Majusi yang kemudian memeluk Islam, yang menerjemahkan buku Kallah wa Dimnah, serta Hunayn Ibn Ishq yang menerjemahkan buku-buku medis karya Hippocrates dan Galen. Pada era Hrn al-Rashd (170-194 H) para cendekiawan dan ilmuwan semakin banyak yang berdiam di Baghdad. Sang Khalifah-pun mendirikan Bayt al-Hikmah, laiknya sebuah akademi ilmiah yang menjadi pusat aktivitas keilmuan mulai dari penelitian penerjemahan sekaligus perpustakaan. Lembaga ini kemudian dikembangkan oleh Al-Mamn dan mencapai puncaknya pada masa itu dibawah tanggungjawab Hunayn Ibn Ishq. Al-Ma'mun juga menambahkan bangunan khusus sebagai sebuah observatorium untuk penelitian astronomi ke Bayt al-Hikmah. Bayt al-Hikmah-pun menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual yang tidak tertandingi dimana penelitian ilmu-ilmu sosial maupun sains, meliputi metematika, astronomi, kedokteran, kimia, zoologi, geografi dan lain-lain dilakukan. Melalui lembaga ini pula berbagai buku penting (ummaht al-kutub) warisan peradaban pra-Islam (Persia, India dan Yunani) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti buku-buku Pythagoras, Plato, Aristoteles, Hippocrates, Euclid, Plotinus, Galen, Sushruta, Charaka, Aryabhata maupun Brahmagupta. Maka tidak heran jika Philip K. Hitti menyatakan bahwa Bayt al-Hikmah merupakan lembaga keilmuan paling penting yang pernah dibangun peradaban manusia setelah Perpustakaan Alexandria yang didirikan sekitar paruh pertama abad ketiga sebelum Masehi. Dengan gerakan penerjemahan ini Baghdad menjadi sebuah kota yang mengoleksi berbagai karya keilmuan yang sangat agung. Bersamaan dengan itu Baghdad juga menjadi kota besar paling kaya dan mempunyai populasi tertinggi mencapai satu juta jiwa. Popularitas Bayt al-Hikmah ini terus berlangsung sampai kepemimpinan Al-Mu`tasim (berkuasa 833842M) dan Al-Wtsiq (berkuasa 842-847M), tetapi mulai tenggelam dan mengalami kemunduran pada masa kekuasaan Al-Mutawakkil (847-861M). Satu hal yang menarik untuk dicatat bahwa mayoritas para penerjemah buku-buku kuno ke dalam bahasa Arab tersebut berasal dari warga non muslim (ahl al-dzimmah) seperti Yohana ibn Msawayh, Hunayn ibn Ishq, Ishq ibn Hunayn, Hubaysh ibn al-A`sam, Tsbit ibn Qarrah al-Sbii, Yahya ibn al-Bitrq, Iqldis ibn N`imah, Zarb ibn Mjwah al-Himsi, w ibn Ayyub, Qust ibn Lq, Astufun ibn Bsl, Salb Ayyb al-Rahwi, Dr` alRhib dan lain-lain masih banyak lagi.

Catatan menarik lainnya, bahwa gerakan penerjemahan ini ternyata tidak hanya menjadi perhatian pemerintah dan para khalifah sahaja, melainkan juga oleh para pribadi dari kalangan elit semisal Ban Shkir yang juga mengelola penerjemah-penerjemah handal yang bekerja siang malam untuk mereka. Keluarga elit lain diceritakan bahkan sangat getol mengeluarkan harta berlimpah untuk membayar para penerjemah mereka, seperti dilakukan oleh Ban Al-Munajjim yang berani membayar 500 dinar kepada para penerjemah tiap bulannya sebagai upah penerjemahan penuh waktu (li al-naql wa al-mulzamah).

KEMAJUAN ILMU-ILMU AGAMA Selain gerakan penerjemahan, kemajuan ilmu dan peradaban Era Abbasiyah juga ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman, ilmu sosial dan sains. Di bidang ilmu-ilmu agama, Era Abbasiyah mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan Fiqh. Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuknya yang sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir, Hadits maupun Fiqh. Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah Ibn Jurayj (w. 150 H) yang menulis kumpulan haditsnya di Mekah, Mlik ibn Anas (w. 171) yang menulis Al-Muwatta' nya di Madinah, Al-Awza`i di wilayah Syam, Ibn Abi `Urbah dan Hammd ibn Salmah di Basrah, Ma`mar di Yaman, Sufyn al-Tsauri di Kufah, Muhamad Ibn Ishq (w. 151H) yang menulis buku sejarah (Al-Maghzi), Al-Layts ibn Saad (w. 175H) serta Ab Hanfah. Pada masa ini ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu Hadits. Buku tafsir lengkap dari alFtihah sampai al-Ns juga mulai disusun. Menurut catatan Ibn al-Nadm yang pertama kali melakukan penyusunan tafsir lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyd al-Daylamy atau yang lebih dikenal dengan sebutan AlFarr. Tapi luput dari catatan Ibn al-Nadm bahwa `Abd al-Razzq ibn Hammam al-San`ni (w.211 H) yang hidup sezaman dengan Al-Far juga telah menyusun sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa. Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut sebagai empat imam mazdhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanfah (w.150 H), Mlik ibn Anas (w.179H), Al-Shfi`i (w.204) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 241H). Tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang dialami oleh ilmu Tafsir dan ilmu Fiqh, ilmu Hadits juga mengalami masa penting khususnya terkait dengan sejarah penulisan hadits-hadits Nabi yang memunculkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan diatas seperti Ibn Jurayj, Mlik ibn Anas, juga al-Rab` ibn Sabh (w.160) dan Ibn Al-Mubrak (w. 181 H). Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadits Nabi dalam bentuk musnad. Diantara tokoh yang menulis musnad antara lain Ahmad ibn Hanbal, `Ubaydullah ibn Msa al-`Absy alKfi, Musaddad ibn Musarhad al-Basri, Asad ibn Ms al-Amawi dan Nu`aym ibn Hammd al-Khuz`i. Perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu mulai pada pertengahan abad ketiga, muncul trend baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadits, yaitu munculnya kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan penelitian dan pemisahan hadits-hadits sahh dari yang dla`f sebagaimana dilakukan oleh Al-Bukhari (w.256), Muslim (w.261), Ibn Mjah (w.273), Abu Dwud (w.275), Al-Tirmidzi (w. 279), serta Al-Nasi (w.303). Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup signifikan pada era Abbasiyah adalah ilmu sejarah, yang awal penulisannya dilakukan oleh Ibn Ishq (w. 152) dan kemudian diringkas oleh Ibn Hisym (w. 218). Selanjutnya muncul pula Muhamad ibn `Umar al-Wqidi (w. 207) yang menulis buku berjudul Al-Trkh al-Kabr dan Al-Maghzi. Buku yang pertama dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarahwan AlTabari (838-923M). Sejarahwan lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad ibn Saad (w.230 H) dengan Al-Tabaqt al-Kubr-nya serta Ahmad Ibn Yahya al-Baldhuri (w.279) yang menulis Futh al-Buldn.

KEMAJUAN SAINS DAN TEKNOLOGI

Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan `ulm naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan kemajuan ilmu-ilmu sains dan teknologi (`ulm aqliyah). Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia Islam mendahului perkembangan ilmu filsafat yang juga berkembang pesat di era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari kecenderungan bangsa Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka (dzt al-atsar al-mddi f haytihim) dibanding buku-buku olah pikir (filsafat). Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan besar kepada peradaban manusia modern dan sejarah ilmu pengetahun masa kini. Dalam bidang matematika misalnya, ada Muhamad ibn Msa al-Khawrizmi sang pencetus ilmu algebra. Algoritma, salah satu cabang matematika bahkan juga diambil dari namanya. Astronomi juga merupakan ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslim era Abbasiyah dan didukung langsung oleh Khalifah Al-Mansr yang juga sering disebut sebagai seorang astronom. Penelitian di bidang astronomi oleh kaum muslimin dimulai pada era Al-Mansr ketika Muhamad ibn Ibrhm al-Fazri menerjemahkan buku "Siddhanta" (yang berarti Pengetahuan melalui Matahari) dari bahasa Sanskerta ke bahasa Arab. Pada era Hrn al-Rashd dan Al-Mamn sejumlah teori-teori astronomi kuno dari Yunani direvisi dan dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom muslim yang terkenal pada era Abbasiyah antara lain Al-Khawrizmi, Ibn Jbir Al-Battni (w. 929), Abu Rayhn al-Biruni (w.1048) serta Nsir al-Dn al-Tsi (w.1274). Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam atau yang dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen. Beliau pula yang memegembangkan teori-teori awal metodologi sains ilmiyah melalui eksperimen (ujicoba). Untuk itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics. Ibn al-Haytsam juga dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi dan gerhana. Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jbir ibn Hayyn (atau Geber di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain itu ada Abu Bakr Zakariya al-Rzi yang pertama kali mampu menjelaskan pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol. Dari para pakar kimia muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang memperkenalkan metode empiris ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar. Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi yang pertama kali mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi. Atau juga Al-Rzi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina dan lain-lain. Disebutkan pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era Abbasiyah, bahwa pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah (907932M/295-390H) terdapat sekitar 860 orang yang berprofesi debagai dokter. Di samping kemajuan beberapa disiplin ilmu sains sebagaimana yang telah dipaparkan di atas umat Islam Era Abbasiyah juga mengalami kemajuan ilmu dibidang ilmu lainnya seperti biologi, geografi, arsitektur dan lainnya yang tidak dapat dijeleaskan seluruhnya dalam makalah ini. Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan inovasi penting yang sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah pengembangan teknologi pembuatan kertas. Kertas yang pertama kali ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh bangsa China berhasil dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi pembuatannya dipelajari melalui para tawanan perang dari Cina yang berhasil ditangkap setelah meletusnya Perang Talas. Setelah itu kaum Muslim berhasil mengembangkan teknologi pembuatan kertas tersebut dan mendirikan pabrik kertas di Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M di Baghdad terdapat ratusan percetakan yang mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid untuk membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat itu mulai bermunculan, termasuk perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang sejarah. Dari Baghdad teknologi pembuatan kertas kemuddian menyebar hingga Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia pada abad 13M.

PENUTUP

Setelah pemaparan singkat mengenai sejarah Dinasti Abbasiyah, khususnya terkait kemajuan ilmu dan peradaban serta masa-masa kemunduran dan kehancurannya di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain bahwa sejarah peradaban Islam, melalui Dinasti Abbasiyah, telah berhasil menciptakan sebuah peradaban agung yang mampu menampilkan kemajuan-kemajuan baik di bidang ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu sains yang kemudian disumbangkan bagi peradaban manusia dan diwarisi oleh pemegang tampuk peradaban modern yaitu Barat. Unsur paling penting dari kemajuan peradaban yang dibangun oleh umat Muslim Era Abbasiyah tersebut adalah al-fikrah al-dniyah, yang dalam konteks ini adalah nilai-nilai dan konsep-konsep yang bermuara kepada sumber agama Islam itu sendiri yaitu wahyu. Unsur ini ditopang oleh unsur-unsur penunjang lainnya yaitu sumberdaya manusia yang direpresentasikan utamanya oleh para khalifah serta tokoh-tokoh ilmuan saat itu, serta ruang dan waktu yang mewujud dalam rentang sejarah yang berlaku. . [insya Allah to be completed] Alumnus Jurusan Dakwah dan Peradaban di The Faculty of Islamic Call, Tripoli, Libya (th. 2004). Saat ini masih menempuh pendidikan S2 (magister) di Universitas Ibn Khaldun, Bogor, Konsentrasi Pendidikan dan Pemikiran Islam. Dinasti sendiri berasal dari bahasa Inggris dynasty yang berarti a line of hereditary rulers. a succession of powerful or prominent people from the same family. Lihat : Software Concise Oxford Dictionary, Oxford University Press, Edisi 10. Bernard Lewis, Abbsid, dalam E. Van Donzel et. al. (Ed.), The Encyclopaedia of Islam, Leiden, E.J. Brill, 1997, Vol. I, h. 17; Eric Hanne, Abbasids, dalam Josef W. Meri (Ed.), Medieval Islamic Civilization: An Encyclopaedia, New York & London, Routledge, 2006, Vol. I, hlm. 1; Ahmad Ma`mr al-`Usayri, Mjaz al-Trikh al-Islmi, Damm, Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, Cet. 3, 2004, hlm. 166. Meski sepakat dengan pembagian dua periode sebagaimana dua sumber sebelumnya, namun al-`Usayri memberi tahun yang berbeda untuk masingmasing perode. Dalam pandangannya, periode pertama berlangsung antara tahun 749-861 M / 132-247 H, sedangkan periode kedua berlangsung antara tahun 861-1258 M/247-656 H. Eric Hanne, `Abbasids, hlm. 1 Diantara pemberontakan yang ditumpas oleh Al-Mansr adalah pemberontakan pamannya sendiri `Abdullah ibn `Ali yang mengklaim bahwa dirinya lebih berhak menjadi khalifah. Juga pemberontakan Ab Muslim Al -Khurasni, pemberontakan Muhamad ibn Ibrhm dan kelompok Khawrij. Lihat: Ahmad Ma`mr al-`Usayri, Mjaz al-Trikh al-Islmi, hlm. 170-171 Sebuah kota kecil di Irak, di tepi sungai Euphrat, berjarak sekitar 10 atau 13 farsakh sebelah barat Baghdad.. Nama yang sama juga dipakai untuk sebuah kota di Iran dekat Balkh, Jawzjn, Khursan. Lihat: Muhamad Ibn `Abd al-Mun`im al-Himyari, Al-Rawdl al-Mi`tr f Khabar al-Aqtr, Tahqiq: Ihsn `Abbs, Beirut, Muassasah Nsir li al-Tsaqfah, Cet.2, 1980, hlm. 36; Yqt al-Hamawi, Mujam al-Buldn, Vol. I, hlm.174 (dalam Software alMaktabah al-Shamilah Edisi 2.32). Ahmad Ma`mr al-`Usayri, Mjaz al-Trikh al-Islmi, hlm. 170; Karl Brockelman, Trikh al-Shub al-Islmiyah, diterjemahkan dari aslinya ke dalam bahasa Arab oleh Nah Amn Fris dan Munr al-Baalbaki, Beirut, Dr al-`Ilm li al-Malyn, Cet. 5, 1968, hlm.175 Lihat misalnya contoh cerita perhatian Al-Mansr terhadap ilmu dalam Jalluddn Al-Suyti, Trikh al-Khulaf, Tahqq: Ahmad Ibrhm Zahwah & Sa`d Ibn Ahmad al-`Aidrsi, Beirut, Dr al-Kitb al-`Arabi, 2006. hlm. 203 Dr. Muhamad al-Sdiq `Affi, Tatawwur al-Fikr al-'Ilmi`Inda al-Muslimn, Kairo, Maktabah al-Khnji, 1976-1977, hlm. 37; The Encyclopaedia of Islam, Vol.X, hlm. 226; Lihat juga: Hji Khalfah, Kashf al-Dzunn, bab. `Ilm AlHikmah, vol. I, hlm 676 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32), Ibn al-Nadm al-Baghddi, AlFihrist, hlm. 304 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32) Jalluddn Al-Suyti, Trikh al-Khulaf, hlm. 202 Siddq Ibn Hasan al-Qannji, Abjad al-`Ulm al-Washi al-Marqm f Bayn Ahwl al-`Ulm, Vol. I, hlm.179 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32)

Vartan Gregorian, Islam : A Mosaic, Not a Monolith, Brookings Institution Press, 2004, dapat juga dilihat di http://books.google.co.id/books?id=KccU9Kkt320C&pg=PA26&lpg=PA26&dq=&source=bl&ots=JHwM1crur3&sig=S ZVYrDDM-O2XmhtPO5m8ZF3NR3s#PPA29,M1, diakses terakhir tanggal 8 April 2009 Ibn Khaldn adalah ahli sejarah pertama yang mencetuskan teori ini, yang kemudian diikuti oleh pakar sejarah perdaban seperti Arnold Toynbee dan Mlik Ben Nabi. Lihat: Sulaymn al-Khatb, Usus Mafhm al-Hadlrah f alIslm, Kairo, Al-Zahr li al-I`lm al-`Arabi, Cet.I, 1986, hlm. 73-80 M.M. Sharf, Al-Fikr al-Islmi: Manbi`uhu wa tsruhu, diterjemahkan dan dikomentari serta diberi beberapa tambahan oleh oleh Dr. Ahmad Shalabi dari buku aslinya berjudul Islamic Thought: Its Origin and Achievements, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Cet. 8, 1986, hlm.37; Lihat juga: Hasan Ibrhm Hasan, Trikh al-Islm: al-Siysi wa al-Dni wa al-Tsaqfi wa al-Ijtima`i, Beirut-Kairo, Maktabah Al-Jl & Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Vol. II, Cet. 14, 1996, hlm. 282. Perlu digaris bawahi di sini bahwa Dinasti Abbasiyah memiliki satu karakteristik yang berbeda dengan Dinasti Bani Umayyah. Jika Dinasti Bani Umayyah selama sejarahnya cenderung memiliki warna yang relatif homogen, maka sebaliknya, Dinasti Abbasiyah sejak awal sejarah berdirinya lebih berwarna heterogen dengan banyak melibatkan orang-orang Persia yang memiliki tradisi dan warisan kebudayaan masa lalu mereka sendiri, disamping bangsa Arab dalam menjalankan roda kekuasaan. Ahmad Shalabi, Maws`ah al-Trikh al-Islmi wa al-Hadlrah al-Islmiyah, Kairo, Maktabah al-Nahdlah alMisriyah, Vol. III, Cet.8, 1985, hlm.229 Jika ingin dilihat lebih jauh sebenarnya benih-benih gerakan penerjemahan bisa dilacak pada zaman Rasulullah. Dengan perintah beliau, Zayd Ibn Tsbit adalah satu diantara sahabat Nabi yang dikenal pernah mempelajari bahasa asing khususnya bahasa Siryani (Syriac) dan Ibrani. Lihat : Muhamad Ibn Sad ibn Man`, Al-Tabaqt alKubr, Tahqiq: Ihsn Abbs, Beirut, Dr Sdir, Cet. 1, 1986, Vol. II, hlm. 358 -359. Catatan lain yang cukup menarik oleh Ahmad Amn perlu juga disampaikan disini bahwa kemajuan peradaban yang dicapai pada era Abbasiyah sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran Bani Umayyah sebelumnya. Bahkan Ahmad Amn berani menyatakan bahwa seandainya Bani Umayyah berkesempatan meneruskan dinastinya hingga masa kepemimpinan Bani Abbasiyah, niscaya mereka akan mampu menyamai keberhasilan yang diraih oleh Abbasiyah. Lihat: Ahmad Amn, Dluh al-Islm, Kairo, Maktabah Nahdlah Al-Misriyah, Vol. I, Cet. 7, hlm. 1-4. Ibn al-Nadm al-Baghddi, Al-Fihrist, hlm. 303 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32) Berasal dari bahasa Pahlavi (Persia) yang berarti daftar catatan administrasi negara. Biasanya digunakan untuk mencatat daftar nama-nama tentara, atau orang-orang yang berhak menerima santunan negara dll. Dalam bahasa kita barangkali maknanya dekat dengan istilah arsip negara. Hasan Ibrhm Hasan, Trikh al-Islm: al-Siysi wa al-Dni wa al-Tsaqfi wa al-Ijtima`i, hlm. 282. Buku Kallah wa Dimnah, diterjemahkan oleh Ibn Al-Muqaffa` dari bahasa Persia. Adapaun aslinya ditulis menggunakan bahasa Sanskerta. Buku yang berisi tentang pelajaran-pelajaran hidup melalui cerita hewan (fabel) ini, baik dalam bahasa aslinya maupunbahasa Persia telah hilang, meskipun sebagiannya masih termasktub dalam buku Panca Tantra dan Mahabharata. Melalui bahasa arablah buku ini diwariskan ke genarasi manusia berikutnya dan kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Lihat: M.M. Sharf, Al-Fikr al-Islmi, hlm.43; Ahmad Shalabi, Maws`ah al-Trikh al-Islmi wa al-Hadlrah al-Islmiyah, Kairo, Maktabah al-Nahdlah alMisriyah, Vol. III, Cet.8, 1985, hlm.241 Hippocrates (460-380 SM), seorang ahli ilmu kedokteran dari Yunani yang paling populer dan sering digelari sebagai Bapak Kedokteran. Terdapat 80 karya di bidang medis di perpustakaan Alexandria sejak 200 SM, yang tidak diketahui pengarangnya ditemukan kemudian dinisbatkan kepadanya. Lihat penjelasan tentang tokoh ini dalam Al-Maws`ah al-`Arabiyyah al-`lamiyah, entry ( Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32). Galen atau Galenos dalam bahasa Yunani (hidup sekitar 129-210 M), salah satu ahli medis yang sangat berpengrauh dalam sejarah ilmu kedokteran. Selain mengembangkan teori-teori kedokteran pertama yang disandarkan pada eksperimen, bukunya yang membahas tentang operasi pembedahan juga menjadi rujukan utama. Pikiran-pikirannya tetap menjadi oegangan hingga tahun 1800 M. Lihat penjelasan tentang tokoh ini dalam Al-Maws`ah al-`Arabiyyah al-`lamiyah, entry ( Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32). Yang menarik, meskipun Bayt al-Hikmah memiliki peran sentral dalam perkembangan peradaban Abbasiyah, akan tetapi informasi tentang lembaga ini belum terbilang lengkap dan masih diselimuti berbagai misteri. Lihat

pertanyaan Ahmad Amn tentang hal ini dalam Dluh al-Islm, Kairo, Maktabah Nahdlah Al-Misriyah, Vol. II, Cet. 7, hlm. 61 http://en.wikipedia.org/wiki/House_of_Wisdom, diakses terakhir pada tanggal 24 april 2009. Philip K. Hitti, History of Arabs, hlm. 310, sebagaimana dikutip oleh M.M. Sharf, Al-Fikr al-Islmi, hlm.44 George Modelski, World Cities: 3000 to 2000, Washington DC: FAROS 2000, 2003, sebagaimana dikutip dalam http://en.wikipedia.org/wiki/House_of_Wisdom, diakses terakhir tanggal 24 April 2009. Sebagaian analisis di Barat menjelaskan sebab kemunduran ini dikarenakan Al-Ma'mn, Al-Mu'tasim dan AlWtsiq beraliran teologi Mu'tazilah sedangkan Al-Mutawakkil menganut "Islam Ortodox". Pendapat ini barangkali masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Karena pada kenyataanya, gerakan penerjemahan itu sendiri telah dimulai sejak era al-Mansr dan Al-Rashid yang juga bukan penganut teologi Mu'tazila. Dapat dilihat di beberapa halaman dan bagian buku Ibn al-Nadm, al-Fihrist dan Ibn Abi Usaybi`ah, `Uyn alAnb fi Tabaqt al-Atibb, (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32). Lihat juga: The Encyclopaedia of Islam, Vol. X, h. 228. Ahmad Shalabi, Maws`ah al-Trikh al-Islmi wa al-Hadlrah al-Islmiyah, Vol. 3, hlm. 245 Ibn al-Nadm al-Baghddi, Al-Fihrist, hlm. 304 Jalluddn Al-Suyti, Trikh al-Khulaf, hlm. 202; Ahmad Amn, Dluh al-Islm, Vol. II, hlm. 11 dan 107. Ibn al-Nadm al-Baghddi, Al-Fihrist, hlm 73; Ahmad Shalabi, Maws`ah al-Trikh al-Islmi wa al-Hadlrah alIslmiyah, Vol. 3, hlm. 233 Lihat Al-Maws`ah al-`Arabiyyah al-`lamiyah, entry: Tafsr al-Qurn al-Karm. Ahmad Amn, Dluh al-Islm, Vol. II, hlm. 108-109 Ahmad Amn, Dluh al-Islm, Vol. II, hlm. 109-110 Ahmad Shalabi, Maws`ah al-Trikh al-Islmi wa al-Hadlrah al-Islmiyah, Vol. 3 hlm. 240 Muhamad al-Sdiq `Affi, Tatawwur al-Fikr al-'Ilmi`Inda al-Muslimn, hlm.40 Muhamad ibn Msa al-Khawrizmi, Abu Abdullah (w.232H/847M): matematikawan, astronom dan sejarawan. Sering dijuluki sebagai sang profesor (al-ustdz). Pernah ditugaskan oleh Al-Mamn untuk bertanggungjawab menjaga dan memelihara koleksi buku-bukunya. Pernah juga diperintahkan untuk mengumpulkan dan menerjemahkan sejumlah buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Hidup hingga zaman Al-Wtsiq Billah. Diantara karyanya adalah Al-Jabr wa al-Muqbala yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Inggris, al-Trikh, Srah al-Ardl min al-Mudun wa al-Jibl, Wasf Ifrqiyah, Rasm al-Mamr min al-Bild. Lihat: Khayr al-Dn Ibn Mahmd Al-Zirikl, Al-Alm, Beirut, Dr al-Ilm li al-Malyn, Cet. 15, Mei 2002, Vol. VII, hal. 116 Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, Indiana & Tripoli, American Trust Publication & Islamic Call Society, 1976, hlm. 15-16; Uraian lebih lengkap lihat: Muhamad al-Sdiq `Affi, Tatawwur al-Fikr al-'Ilmi`Inda alMuslimn, hlm.93-106 Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, hlm. 13 Muhamad al-Sdiq `Affi, Tatawwur al-Fikr al-'Ilmi`Inda al-Muslimn, hlm.80 M.M. Sharf, Al-Fikr al-Islmi: Manbi`uhu wa tsruhu, hlm. 70-73

Abu Ali Muhamad ibn al-Hasan ibn Al-Haytsam (354-430H/965-1038M), seorang ahli fisika yag lahir di Basrah. Dijuluki sebagai Ptolomeus Kedua, memeliki beberapa karya dalam bidang ilmu fisika. Lihat: Khayr al-Dn Ibn Mahmd Al-Zirikl, Al-Alm, Vol. VI, hal. 83; Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, hlm. 16-17; Lihat pula Al-Maws`ah al-`Arabiyyah al`lamiyah, entry: Abu Ms Jbir ibn Hayyn ibn `Abdullh al-Kfi (w.200 H/815M), seorang filosof sekaligus ahli kimia. Menulis lebih 232 buku, atau bahkan menurut sebagian riwayat mencapai 500 buku. Sebagian besar bukunya hilang dansebagiannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Lihat: Khayr al-Dn Ibn Mahmd Al-Zirikl, Al-Alm, Vol. II, hal. 104; Ab Bakr Muhamad ibn Zakariya al-Rzi (w.313H/925M), dikenal di Barat dengan sebutan Razes. Seorang dokter yang juga ahli ilmu jiwa dan kimia. Karya nya yang paling monumental adalah Al-Hwi. Lihat: Khayr al-Dn Ibn Mahmd Al-Zirikl, Al-Alm, Vol. VI, hal. 130; Al-Maws`ah al-`Arabiyyah al-`lamiyah, entry: Haidar Bammate, Muslim Contribution to Civilization, hlm. 18; Lihat www.en.wikipedia.org/wiki/abbasid , diakses terakhir April 2009. Abu Yusuf Yaqb ibn Ishq ibn al-Sabh al-Kindi (w.260/874M), Seorang ilmuwan yang terkenal dalam bisang Kedoteran, filsafat, astronomi, teknik dan musik. Karya-karyanya konon mencapai 300 buku. Lihat: Khayr al-Dn Ibn Mahmd Al-Zirikl, Al-Alm, Vol. VIII, hal. 195; Al-Maws`ah al-`Arabiyyah al-`lamiyah, entry: Felix Klein-Frank, Al-Kindi, dalam Oliver Leaman dan Hossein Nasr, History of Islamic Philosophy, London, Routledge, 2001, hlm. 172 sebagaimana dikutip dalam www.en.wikipedia.org/ wiki/islamic_golden_age, terakhir diakses 24 April 2009. Abu `Ali al-Husayn ibn `Abdullah ibn Sn (371-428H/981-1036M), seorang filosof dan ahli kedokteran. Salah satu buunya yang paling fenomenal al-Qnn f al-Tibb (the Canon of Medicine) selam enam abad menjadi rujukan utama ilmu kedokteran di Eropa. Khayr al-Dn Ibn Mahmd Al-Zirikl, Al-Alm, Vol. II, hal. 242 Qadri Hfidz Tawqn, Al-`Ulm `Inda al-`Arab, sebagaimana dikutip oleh `Abd al-Tawwb Ysuf, Al-Hadlrah alIslmiyah bi Aqlm Gharbiyyah wa `Arabiyyah, Kairo, Al-Dr al-Misriyah al-Lubnniyah, Cet.2, 1996, hlm. 68 Perang Talas adalah peperangan yang terjadi pada bulan Juli tahun 751 M antara pasukan Dinasti Abbasiyah dengan pasukan Dinasti Tang dari Cina untuk memperebutkan wilayah Syr Darya (termasuk wilayah Kazakhtan saat ini). Selengkapnya lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Talas, diakses terakhir tanggal 24 April 2009. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_golden_age; Baca juga artikel Holland Cotter di surat kabar New York Times berjudul The Story of Islam's Gift of Paper to the West, dapat diakses melalui http://web.utk.edu/~persian/paper.htm, terakhir kali diakses pada tanggal 24 April 2009. [1]

Catatan:

Anda mungkin juga menyukai