Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan puncak
perkembangan pendidikan islam di dunia. Selama pemerintahan Bani
Abbasiyah banyak bidang pendidikan agama maupun bidang umum yang
muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan
pendidikan tersebut.
Pendidikan islam yang sangat berkembang pada masa Bani
Abbasiyah yaitu ada pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Pada masa
pemerintahan Harun Ar-Rasyid, pendidikan islam sangat berkembang
pesat sehingga banyak ilmu-ilmu baru yang sampai saat ini terus
berkembang, misalnya dalam ilmu umum diantaranya filsafat, astronomi,
kedokteran, matematika, dan lain-lain. Juga dalam ilmu agama diantaranya
tafsir, kalam, tasawuf, dan lain-lain.
Namun demikian, Daulah Abbasiyah juga mengalami kemunduran
dan kehancuran, disaat datangnya penyenrangan bangsa Mongol yang
dipimpin oleh Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Mereka tidak saja
menghancurkan kota Bagdad tapi juga menhancurkan peradaban islam
yang telah maju dengan pesatnya. Dengan begitu berakhirlah kekuasaan
Daulah Abbasiyah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiamana sejarah peradaban islam masa Daulah Abbasiyah?
2. Bagaimana sejarah pendidikan islam masa Daulah Abbasiyah?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah


1. Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah,
dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman
Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin
Ali bin Abdullah bin Al-Abbas.1 Dengan dasar bahwa kekuasaan
harus berasal dari keturunan yang berhubungan dengan Nabi
Muhammad SAW, maka Abu Al-Abbas Al Saffah yang didukung oleh
seorang panglima yang gagah perkasa, Abu Muslim Al-Khurasani
serta berbagai kelompok pemberontak seperti kaum syi’ah, oposisi
pimpinan al-mukhtar, dan lainnya berhasil mengalahkan khalifah Bani
Umayyah terakhir yaitu Khalifah Marwan II pada tahun 750 M/132 H.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. 2
Berdirinya daulah abbasiyah diawali dengan dua strategi, yaitu:
1. Sistem mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal
ini berlangsung sejak akhir abad pertama hijrah yang bermarkas di
Syam dan tempatnya di Alhamimah. Sistem ini berakhir dengan
bergabungnya Abu Muslim Al-Khurasani pada jum’iyah yang
sepakat atas terbentuk Daulah Abbasiyah.
2. Strategi kedua dilanjutkan dengan terang-terangan dan himbauan-
himbauan di forum-forum resmi untuk mendirikan daulah
abbasiyah berlanjut dengan peperangan melawan daulah
muawiyah.

1
Suwito, dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan, 2005),
Hlm. 11
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),
Hlm. 49

2
Berbagai teknis diterapkan oleh pengikut Muhammad Al-
Abbasy, seperti sambil berdagang dan melaksanakan haji. Dibalik
itu terprogram bahwa mereka menyebarkan ide dan mencari
pendukung terbentuknya daulah.
Faktor – faktor yang mendorong berdirinya daulah Abbasiyah
dan penyebab suksesnya, yaitu sebagai berikut :
a. Banyak terjadi perselisihan antara intern bani Umawiyah pada
dekade akhir pemerintahannya. Hal ini diantara penyebabnya
memperebutkan kursi kekhalifahan dan harta.
b. Pendeknya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan
bani umawiyah seperti khalifah Yazid bin Al-Walid lebih
kurang memerintah sekitar 6 bulan.
c. Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang, seperti
yang dikerjakan oleh Marwan bin Muhammad yang menjadikan
anaknya Abdullah bin Ubaidillah sebagai putra mahkota.
d. Bergabungnya sebagian afrad keluarga umawi kepada
madzhab-madzhab agama yang tidak benar menurut syariah,
seperti Al- Qadariyah.
e. Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan bani
Umawiyah.
f. Kesombongan pembesar-pembesar bani Umawiyah pada akhir
pemerintahannya.
g. Timbulnya dukungan dari Al-Mawali ( non arab).3
Dari berbagai penyebab-penyebab diatas dan dengan
ketidaksenangan Mawali pada dinasti Umayyah mengakibatkan
runtuhnya dinasti dan berdirinya dinasti Abbasiyah hal ini dapat
dilihat dengan bantuan para Mawali dari Khurasan dan Persi.
Misalnya bergabung Abu Muslim Al-Khurasani, ia berhasil

3
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana Predana Media Grup,
2011), Hal. 65-66

3
menjadi pemimpin di Khurasan yang pada awalnya di bawah
kekuasaan Ummayah.4
2. Situasi Politik, Sosial, dan Keagamaan
Dibandingkan dengan dinasti islam lainnya, Dinasti Abbasiyah
tergolong yang paling lama berkuasa, yaitu mulai dari Abu Al-Abbas
As-Safah di tahun 750 M sampai dengan Al-Mu’tashim di tahun 1258
M. Dari kurun waktu selama lebih dari lima abad tersebut,
kepemimpinan dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 orang
khalifah, atau masing-masing berkuasa selama 14 tahun. Namun dari
37 orang khalifah Bani Abbas tersebut ada lima khalifahnya yang
paling terkenal, yaitu Abu Al-Abbas Al-Saffah, Abu Ja’far Al-Mansur,
Al-Mahdi, Harun Ar-Rasyid, dan Ma’mun.5
Pada masa khalifah Abu Al-Abbas Al-Saffah yang hanya berkuasa
lebih kurang selama lima tahun (750-754 M), sebagian besar waktu
digunakan untuk melakukan konsolidasi internal. Hal ini dilakukan,
karena pada masanya itu banyak terjadi konflik, huru-hara, dan
pemberontakan. Berbagai lawan politik atau pemberontak tersebut
harus diatasi oleh Abu Al-Abbas dengan banyak melakukan
pembunuhan, dan dengan sebab ini, ia dijuluki Al-Saffah yang berarti
si haus darah alias gemar membunuh. Berkaitan dengan keadaan ini,
maka Al-Saffah belum sempat memikirkan masalah lain, selain
mempertahankan kekuasaan dinastinya yang masih baru berdiri itu.
Pada masanya ia menetapkan putra mahkota yang kelak akan
menggantikan kedudukan khalifah setelah wafatnya. Putra mahkota
yang ditunjuk khalifah Al-Saffah adalah saudaranya bernama Abu
Ja’far Al-Mansur.
Abu Ja’far Al-Mansur berkuasa selama lebih kurang 20 tahun,
yaitu mulai dari tahun 754 M/136 H dan berakhir tahun 775 M/158 H.
Sejarah mencatat, bahwa Abu Ja’far Al-Mansur dianggap sebagai
4
Ibid., Hal 67
5
Nata Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenata Media Grup,
2011), Hal. 147-148.

4
tokoh Abbasiyah yang terkenal hebat, berani, tegas, berfikir cerdas,
dan gagah perkasa. Masa kekuasaannya yang relatif lama itu,
digunakan untuk meperhatikan masalah sosial. Sejarah mencatat
bahwa pada masa kekhalifahnya ini digunakan untuk menyusun
peraturan, membuat undang-undang, dan menciptakan inovasi dalam
pemerintahan.
Selanjutnya Al-Mansur digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang
nama lengkapnya Abu Abduallah Muhammad bin Al-Mansur yang
lahir di Idzaj (daerah antara Khuzistan dan Isfahan) pada tahun 126 H.
Masa pemerintahannya selain digunakan untuk menciptakan stabilitas
politik dalam negeri dan menyejahterakan masyarakat, juga untuk
memurnikan agama dari praktik bid’ah. Dalam kaitan ini, ia misalnya
membebaskan semua orang dari penjara, mengembalikan harta para
keturunan Nabi dan mengizinkan mereka kembali untuk menerima
suplai dari Mesir, membagikan harta sebanyak 30 juta dirham sebagai
derma bagi rakyat Hejaz, membangun kembali masjid Nabi,
memberikan tunjangan hidup bagi orang yang terkena penyakit kusta
dan orang-orang yang miskin, membuat penginapan dan sumur di
jalan-jalan yang dilalui jamaah haji, serta memberikan pengawalan
kepada para turis dan jamaah haji. Namun demikian, ia tidak
memberikan peluang bagi tumbuhnya bid’ah. Ia misalnya pernah
menumpas gerakan Zoroastrianisme yang dipimpin oleh Ibnu Abdul
Al-Quddus. Selain itu, ia juga membangun benteng-benteng yang
memberikan pengamanan terhadap pusat-pusat kota. Berkat usaha
kerasnya ini, maka Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional.
Musik, syair, filsafat, dan kesustraan mulai menarik perhatian banyak
orang.
Selanjunya di zaman Harun Al-Rasyid, dunia islam mengalami
kemajuan yang semakin pesat. Para ahli sejarah menganggap Harun
Al-Rasyid sebagai khalifah yang paling besar dan cemerlang yang
membawa dinasti abbasiyah ke zaman keemasan, melalui

5
pemerintahannya yang berlangsung kurang lebih selama 23 tahun ia
telah berhasil membuat dinasti ini mencapai kemajuan dan kejayaan di
bidang politik, ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan, dan
peradaban islam.6
Kemudian, di zaman Al-Ma’mun keadaan peradaban dan
kebudayaan islam semakin mencapai puncak keemasannya. Al-
ma’mun adalah tokoh bani Abbas yang paling utama keilmuannya,
keberanian, kehebatan, kesabaran, dan kecerdasannya. Khalifah ini
dikenal karena keintelektualian dan kecintaanya terhadap ilmu
pengetahuan. Dia banyak mengkoleksi buku-buku untuk disimpan di
perpustakaan Bait Al-Hikmah. Untuk itu ia mengundang para pakar
bahasa untuk menterjemahkan buku-buku sains dan filsafat yunani ke
dalam bahasa arab dengan imbalan gaji yang besar dan memuaskan.
Kegemaran Al-Ma’mun dalam keilmuannya mendorong dirinya untuk
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat, kebudayaan, dan
peradaban.
3. Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Masa Bani Abbasiyah
Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran
berkembang dengan sangat hebat di seluruh negara islam, sehingga
lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar ke
kota-kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda berlomba-
lomba menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat-pusat
pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan
ilmu pengetahuan. 7
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya Al-Ma’mum. Harun Ar-
Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan
bagi keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan
farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar

6
Ibid., Hal.150-151
7
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Hal.67

6
800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga
dibangun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan serta kesustraan berada di zaman
keemasannya. Pasa masa inilah negara islam menempatkan dirinya
sebgai negara terkuat yang tak tertandingi.8
4. Periodesasi Masa Abbasiyah
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi
lima periode9:
1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut pengaruh
Turki pertama. 10
3. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan
Dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode
ini biasanya disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa
kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki
kedua.
5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khilafah
bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif
disekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama daulah Abbasiyah mencapai puncak
keemasan dan kejayaannya, para khalifah pada masa periode pertama
dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik, dan agama
sekaligus. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada

8
Suwendi, Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), Hal. 19-20.
9
Aen Nurul, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hal. 127.
10
Suwito Dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenata Media, 2005),
Hal. 11

7
masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-
Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah Harun Al-
Rasyid dan puteranya Al-Ma’mun digunakan untuk kepentingan sosial
seperti, lembaga pendidikan, kesehatan, rumah sakit, pendidikan ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman
keemasan. Al-Ma’mun khalifah yang cinta kepada ilmu, dan banyak
mendirikan sekolah.
Tidak hanya mencakup kepentingan sosial saja, masa ini juga masa
kejayaan umat islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek
peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan,
seperti :
a) Administratif pemerintahan dengan biro-bironya;
b) Sistem organisasi militer;
c) Administrasi wilayah pemerintahan;
d) Pertanian, perdagangan, dan industri;
e) Islamisasi pemerintahan;
f) Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematikageografi,
historiografi, filsafat islam, teologi, hukum (fiqh), dan etika islam,
sastra, seni, dan penerjemahan;
g) Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar
(kuttab), menengah, dan perguruan tinggi; perpustakaan dan toko
buku, media tulis, seni rupa, seni musik, dan arsitek.11

B. Sejarah Pendidikan Masa Daulah Abbasiyah


1. Tujuan Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Pada masa Nabi SAW, masa khalifah-khalifah rasyidin, dan
umayyah, tujuan pendidikan satu saja yaitu keagamaan semata-mata.
Mengajar dan belajar karena allah dan mengharapkan keridhaannya
lainnya tidak. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan iu telah

11
Ibid., hlm.130

8
bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan
itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Tujuan Keagamaan dan Akhlak
Sebagaimana pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar
membaca atau menghafal al-qur’an, ini merupakan suatu kewajiban
dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak
menurut agama.
b) Tujuan Kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya
mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari
masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi masyarakat yang
bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju
masyarakat yang maju. Untuk mencapai tujuan tersebut maka, ilmu-
ilmu yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa
Arab, bahkan juga diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk
kemajuan masyarakat.
c) Cinta akan Ilmu Pengetahuan
Masyarakat pada saat itu belajar tidak mengharapkan apa-apa
selain dari pada memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau
ke seluruh negeri islam untuk menuntut ilmu tanpa memperdulikan
susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan
berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain
untuk memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
d) Tujuan Kebendaan
Pada saat itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan kehidupan
yang layak dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan
mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, sebagaimana
tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.12

12
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990), Hal.
46

9
2. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Yang Berpengaruh Pada Masa
Bani Abbasiyah
Sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan, ilmu
pengetahuan dan tradisi serta atmosfer akademik, maka pada zaman
abbasiyah ini ditandai pula dengan lahirnya para ilmuwan yang
sekaligus bertindak sebagai para guru. Mereka bukan hanya ahli dalam
ilmu agama islam melainkan juga ahli dalam ilmu pengetahuan umum,
seni dan arsitektur. Di antara para ilmuwan dan guru yang terkenal di
zaman abbasiyah adalah:
1) Al-Razi (guru Ibnu Sina)
Ia berkarya dibidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224
judul buku, 140 buku tentang pengobatan, diterjemahkan ke dalam
bahasa latin. Bukunya yang paling masyhur adalah Al Hawi Fi’ilm
At Tadawi. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan
antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga menangani
kedokteran anak dengan menyusun buku pertama kalinya,
sesudahnya ilmu kedokterab berada di tangan Ibnu Sina.
2) Al-Battani (Al-Batenius)
Ia adalah Seorang astronom. Hasil perhitungannya tentang
bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46
menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal
adalah Kitab Al-Zij.
3) Al-Ya’qubi
Seorang ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua
dalam sejarah ilmu geografi berjudul al-buldan (891).
4) Al-Buzjani (Abul Wafa)
Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang
matematika geometri dan trionometri).
5) Ibnu Sina
Seorang mahaguru dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat.

10
6) Ibn Miskawih
Ibn Miskawih adalah seorang guru dalam ilmu akhlak. Salah
satu karyanya adalah Tahdzib al-Tahdzib.
7) Ibn Jama’ah
Ibn Jama’ah adalah seoarang guru dalam bidang ilmu fikih dan
akhlak,Tadzkirat al-Sa’mi lil ‘Alim wa al-Muta’allim.
8) Imam Al-Juwaini
Imam al-Juwaini adalah seorang guru dalam bidamg teologi
pada Madrasah Nidzamiyah tempat Imam al-Ghazali menimba
ilmu, karyanya berjudul al-Irsyad.
9) Imam Al-Ghazali
Imam al Ghazali tel;ah tampil sebagai mahaguru di Madrasah
Nidzamiah, istana, dan di masyarakat pada umumnya. Melalui
karyanya yaitu Ihya’ Ulum al-Din sebanyak tiga jilid, ia telah
tampil sebagai guru dalam bidang fikih dan tasawuf.
3. Perkembangan Ilmu Pada Masa Abbasiyah
Perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung pada zaman
Abbasiyah hampir belum ditemukan kesamaannya dalam
perkembangan peradaban dunia Islam sesudahnya. Peradaban yang
ditemukan dan dihasilkan dalam kurun zaman itu belum maksimal
menjadi rujukan berharga bagi peradaban umat Islam saat ini.
Masa antara tahun 750-935 M, merupakan puncak perkembangan
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang ditandai dipraktekkannya
kehidupan Islam yang demokratis sebagai ciri orang beradab. Tindakan
penguasa Abbasiyah pada masa-masa awal yang tak mengenal warga
kelas dua berimplikasi pada pemberian kesempatan sama dalam meraih
prestasi khususnya bekerja di pemerintahan dan Istana Khalifah al-
Mahdi (775-785M). 13

13
Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah ,(Jakarta: Al-Kautsar,2007),Hlm.9

11
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan,
para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa
penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain :
a. Ilmu Umum
1) Ilmu Filsafat
Bagi orang arab, filsafat merupakan pengetahuan tentang
kebenaran dalam arti sebenarnya, sejauh hal itu bisa difahami
oleh pikiran manusia. Secara khusus, nuansa filsafat mereka
berakar pada tradisi filsafat Yunani yang dimodifikasi dengan
pemikiran para penduduk di wilayah taklukan, serta pengaruh
timur lainnya yang disesuaikan dengan nilai-nilai islam dan
diungkapkan dalam bahasa arab.
2) Bidang Kedokteran
Ilmu kedokeran telah ada sejak pemerintahan daulah
Umayah, terbukti adanya sekolah tinggi kedokteran yudisapur dan
harran yang merupakan peninggalan orang Syiria.14
3) Bidang Matematika dan Fisika
Dalam bidang ilmuwan yang terkenal sampai sekarang
seperti al-khawarizmi dengan bukunya al-jabr.kemajuan ilmu
matematika dan fisika yang dicapai pada masa ini telah
menyumbangkan pemakaian angka-angka Arab dalam
matematika.
4) Bidang Astronomi
Pada masa ini dikemukakan teori tentang terjadinya
gerhana, dan tidak tampaknya matahari di daerah kutub. Teori ini
telah disempurnakan dengan alat pengukur dan kecepatan
perjalanan bintang atau astrologi.
5) Bidang ilmu sejarah dan geografi

14
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm. 84

12
a. Ilmu Naqli
1) Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary,
Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin
Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain
2) Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam
Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah
(wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-lain.
3) Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar
dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu
adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu
Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
4) Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy
(wafat 465 H) karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin
(wafat 632 H) karangannya: Awariful Ma’arif, Imam Ghazali :
karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
5) Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang
aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat
Islam. Yang mengembangkanfaham/mazhabnya dalam zaman ini
adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam
Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278
4. Tingkat-Tingkat Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa
tingkat, yaitu:

a. Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar


anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar dirumah,
di istana, di toko-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun
pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan
menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah orang-
orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa,
berhitung, dan pokok nahwu shorof ala kadarnya.

13
b. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan
ilmu pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun
pelajaran yang diajarkan meliputi: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih,
Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak,
Sejarah , Ilmu alam, kedokteran, dan juga musik.
c. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad Darul
Ilmu di Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini
umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:

1) Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa serta kesastraannya. Ibnu


Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang
diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Al- Qur’an, Hadits,
Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
2) Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya
dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini
meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti,
ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga
kedokteran.15

5. Lembaga-Lembaga Pendidikan
Sebagaimana banyak dicatat dalam berbagai sumber sejarah,
bahwa zaman dinasti Abbasiyah adalah zaman keemasan Islam
(golden age) yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban yang mengagumkan, yang
dapat dibuktikan keberadaannya, baik melalui berbagai sumber
informasi dalam buku-buku sejarah maupun melalui pengamatan
empiris diberbagai wilayah di belahan dunia yang pernah di kuasai
Islam, seperti Irak, Spanyol, Mesir dan sebagian dari Afrika Utara.
Berbagai kemajuan yang dicapai dunia Islam tersebut tidak
mungkin terjadi tanpa didukung oleh kemajuan dalam bidang
pendidikan, karena pendidikanlah yang menyiapkan sumber daya

15
Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), Hlm. 57

14
insan yang menggerakkan kemajuan tersebut. Adapun gambaran
keadaan pendidikan di zaman Bani Abbasiyah sebagai berikut.

1. Keadaan Lembaga Pendidikan

Selain masjid, kuttab, al-badiah, istana, perpustakaan dan al-


bimaristan, pada zaman Dinasti Abbasiyah ini telah berkembang pula
pendidikan, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu,
kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
a) Toko Buku (al- Hawanit al-Warraqien)
Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai
tenpat berjual beli kita-kitab yang telah ditulis dalam berbaga ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Mereka membeli
dari para penulisnya lalu mereka menjualnya kepada siapa yang
berminat untuk mempelajarinya. Dengan demikian toko-toko ini
telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat menjual
beli kitab tetapi sebaai tempat berkumpulnya para ulama untuk
berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah.
Jadi sekarang berfungsi sebagai lembaga pendidikan dalam
rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan
kebudayaan islam.16
b) Rumah-Rumah Para Ulama (Manazil Al-Ulama)
Beberapa ilmuwan menjadikan rumah mereka sebagai
lembaga pendidikan, antara lain rumah Al- Rais Ibn Sina, Abi
Muhammad Bin Hatim Al-Razi Al-Hafidz, Dan Abi Sulaiman Al-
Sajastani. Diadakannya rumah beberapa ilmuwan ini sebagai
lembaga pendidikan dilatarbelakangi kemungkinan pertimbangan
sebagai berikut:

1) Rumah ini dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal yang


bersifat khusus.

16
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, Hlm. 94-95

15
2) Situasi dan kondisi guru yang mengajar agak terbatas, misalnya
terlalu sibuk, lelah,dan lain-lain.
3) Adanya anggapan, bahwa mendatangi guru lebih baik dari pada
guru mendatangi murid.17

c) Sanggar Sastra (al- Sholun al- Adabiyah)


Sanggar sastra ini mulai tumbuh sederhana pada masa
Bani Umayyah kemudian berkembang pesat pada zaman
Abbasiyah, dan merupakan perkembangan lebih lanjut dari
perkumpulan yang ada pada zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Di
sanggar sastra ini terdapat ketentuan kode etik yang khusus.
Dalam hubungan ini Ibn Abd Rabbih, al-Muqri dan al- Maqrizi
berkata, bahwa sanggar sastra tidak bisa menerima setiap orang
yang menginginkannya, melainkan sanggar tersebut hanya
dibolehkan untuk kelompok orang tertentu.
d) Madrasah
Dalam sejarah, madrasah ini mulai muncul di zaman
khalifah Bani Abbas, sebagai kelanjutan dari pendidikan yang
dilaksanakan di masjid dan tempat lainnya. Dalam kaitan ini,
Ahmad Tsalabi berpendapat, bahwa ketika minat masyarakat
untuk mempelajari ilmu di Halaqah yang ada dimasjid semakin
meningkat dari tahun ke tahun, dan menimbulkan kegaduhan
akibat dari suara para pengajar dan siswa yang berdiskusi dan
lainnya yang mengganggu kekhusukan shalat. Selain itu,
berdirinya madrasah ini juga karena ilmu pengetahuan dan
berbagai keterampilan semakin berkembang, dan untuk
mengajarkannya diperlukan guru yang banyak, peralatan belajar
mengajar yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi yang
lebih tertib. Selain itu, madrasah juga didirikan dengan tujuan
untuk memasyarakatkan ajaran atau paham keagamaan dan
ideology tertentu.
17
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Hlm.81

16
e) Perpustakaan dan Observatorium
Tempat-tempat ini juga digunakan sebagai tempat belajar
mengajar dalam arti luas, yaitu belajar bukan dalam arti menerima
ilmu dari guru sebagaimana yang umumnya dipahami, melainkan
kegiatan belajar yang bertumpu pada aktivitas siswa (student
centris), seperti belajar dengan cara memecahkan masalah,
eksperimen, belajar sambil bekerja (learning be doing), dan
penemuan (inquiri). Kegiatan belajar yang demikian itu dilakukan
bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-lembaga pusat kajian
ilmiah.

f). Al-Ribath
Secara harfiah al-ribath berarti ikatan yang mudah di
buka. Sedangkan dalam arti yang umum, al-ribath adalah untuk
melakukan latihan, bimbingan dan pengajaran bagi calon sufi. Di
dalam al-ribath tersebut terdapat beberapa ketentuan atau
komponen yang terkait dengan pendidikan tasawuf, misalnya
komponen guru yang terdiri dari syekh(guru besar), mursyid (guru
utama), mu’id(asisten guru),dan mufid(fasilitator). Murid pada al-
ribath dibagi sesuai dengan tingkatannya, mulai dari ibtidaiyah,
tsanawiyah dan aliyah. Adapun bagi yang lulus diberikan
pengakuan berupa ijazah.18
6. Metode Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran
merupakan salah satu aspek pendidikan/pengajaran yang sangat
penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang
guru kepada para muridnya. Melalui metode pengajara terjadi proses
internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh murid hingga murid
dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah
disampaikan gurunya.

18
Nata Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam,....Hlm.162

17
Pada mas dinasti abbasiyah metode pendidikan/ pengajaran yang
digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan,
dan tulisan.

a. Metode Lisan

Metode lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi.


Metode dikte(imla’) adalah metode penyampaian pengetahuan
yang dianggap baik dan aman karena dengan imla’ ini murid
mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia iupa.
Metode ini dianggap penting, kaerena pada masa klasik buku-
buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.

b. Metode ceramah

Metode ceramah disebut juga metode as-sama’, sebab dalam


metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan,
sedangkan murid mendengarkannya,. Metode qiro’ah biasanya
digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan
metode yang khas pada masa ini.

c. Metode Menghafal

Metode menghafal merupakan ciri umum pendidikan pada


masa ini. Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang
pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak
mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi, seorang
murid haraus membaca suatu pelajaran berulang kalis sampai dia
menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya murid akan
mengeluarkan kembali dan mengkonstektualisasikan pelajaran
yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid
dapat merespon, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu
yang baru.

18
d. Metode Tulisan

Metode tulisan dianggap metode yang paling penting pada


masa ini. Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama.
Dalam pengkajia buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga
tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Metode ini
disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan
juga sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks,
karena pada masa ini belum ada mesin cetak, dengan pengkopian
buku-buku kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.19
7. Materi Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada
unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib
(ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bsrsifat pilihan
(ikhtiara). Hal ini tampaknya sangat berbeda dengan materi pendidikan
dasar pada masa sekarang. Di saat sekarang ini materi pendidikan
tingkat dasar dan menengah semuanya adalah materi wajib, tidak ada
materi pilihan. Materi pilihan baru ada pada tingkat perguruan tinggi.
Menurut Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan
Islam”, yang dikutip oleh Suwito menjelaskan tentang materi pelajaran
yang bersifat wajib (ijbari) yakni, Al-Qur’an, Shalat, Do’a, Sedikit
ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya yang dipelajari baru pokok-
pokok dari ilmu nahwu dan bahasa arab belum secara tuntas dan
detail), membaca dan menulis.

Sedangkan materi pelajaran ikhtiari (pilihan) ialah: Berhitung


semua ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya nahwu yang
berhubungan dengan ilmu nahwu dipelajari secara tuntas dan detail):
Syair-syair, Riwayat/Tarikh Arab.20

19
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan, ....Hlm.14
20
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan.....,Hlm.5

19
8. Kurikulum
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi
muatannya mengalami perkembangan, sebagai akibat dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari segi
susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai di masa
sekarang. Kurikulum pada masa itu lebih merupakan susunan mata
pelajaran yang harus diajarkan pada peserta didik sesuai dengan sifat
dan tingkatannya. Kurikulum pendidikan ini misalnya terlihat dalam
pembagian ilmu yang dikemukakan para tokoh sebagai berikut.
a. Kurikulum Menurut Al- Ghazali
Ia membagi ilmu dalam tiga pendekatan, yaitu:
1) Pembagian ilmu dari segi sumbernya.
2) Pembagian ilmu di lihat dari jauh dekatnya dengan Tuhan.
3) Pembagian ilmu dari segi hukumnya.
Menurut al-Ghazali, bahwa dilihat dari sumbernya, ada ilmu
yang bersumber dari syariat (Al-Qur’an dan Al-Hadist ), dan ilmu
yang sumbernya bukan dari syariat. Selanjutnya dilihat dari segi
objeknya :
a) Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit
maupun banyak , seperti sihir, azimat, nujum, dan ilmu tentang
ramalan nasib. Ilmu ini tercela, karena tidak memiliki sifat
manfaat, baik didunia maupun di akhirat.
b) Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak.
Seperti ilmu agama dan ilmu tentang peribadatan.
c) Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu, terpuji tetapi jika
mendalaminya tercela, seperti filsafat naturalisme.
Selanjutnya dilihat dari segi hukum mempelajarinya dalam
kaitannya dengan nilai gunanya, ilmu pengetahuan dapat
digolongkan:
1) Ilmu fardhu ‘ain yang wajib dipelajari setiap individu, seperti
ilmu agama dan cabang-cabangnya.

20
2) Ilmu fardhu kifayah, ilmu ini tidak wajib dipelajari oleh setiap
muslim, melainkan cukup jika diantara kaum muslimin ada yang
mempelajarinya. Dan jika seorang pun di antara kaum muslimin
tidak ada yang mempelajarinya, maka mereka akan berdosa.
Diantara yang tergolong fardhu kifayah adalah ilmu kedokteran,
ilmu hutang, pertanian, pertenunan, politik, pengobatan tradisioanal
dan jahid menjahid.
b. Kurikulum Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai denga akal dan
kejiwaan peserta didik, dengan tujuan agar peserta didik
menyukainya dan bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn
Khaldun membagi ilmu menjadi 3 macam:
1) Kelompok ilmu lisan (bahasa), ilmu tentang bahasa
(gramatika), sastra dan bahasa yanga tersusun secara puitis
(syair).
2) Kelompok ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci
dan sunnah Nabi.
3) Kelompok ilmu aqli, yaitu ilmu yang diperoleh melalui
kemampuan berfikir. Proses perolehan tersebut dilakukan
melalui panca indra dan akal.
9. Tradisi Ilmiah Dan Atmosfer Akademik
Tradisi ilmiah dapat diartikan sebagai kebiasaan yang berkaitan
dengan pengembangan ilmu yang sudah memasyarakat dan digunakan
secara merata di kalangan ilmuan. Tradisi ilmiah ini selanjutnya
membentuk sebuah keadaan yang khas yang selanjutnya disebut
atmosfer akademik.
Di antara tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada
zaman Abbasiyah dan masa sebelumnya adalah sebagai berikut:
a. Tukar Menukar Informasi (Muzakaroh)
Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dari berbagai daerah untuk
saling bertukar pikiran, pemahaman dan pengalaman suatu ajaran.

21
b. Berdebat
Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dan pakar dalam
bidang tertentu untuk saling menguji kedalaman ilmu, ketajaman
analisis, dan kekuatan argumentasi yang dimiliki masing- masing
ulama. Tradisi ini memiliki pengaruh yang kuat kepada para
ilmuwan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keilmuannya
masing-masing.
c. Rihlah Ilmiah
Rihlah Ilmiah berarti melakukan perjalanan atau
pengembaraan dari suatu daerah ke daerah lain dalam rangka
menuntut ilmu atau melakukan penelitian terhadap suatu masalah.
Tradisi ini terjadi seiring dengan semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam dan tersebarnya para ilmuwan pada berbagai
wilayah tersebut.
d. Penerjemahan
Tradisi penerjemahan ini terjadi karena didorong oleh
keingin tahuan dan keperluan para ilmuwan dalam menjelaskan
tentang suatu masalah. Khalifah Bani Abbasiyah bernama Al-
Makmun sangat memberikan perhatian terhadap kegiatan
penerjemahan. Ia mendirikan Bait al- Hikmah (rumah kegiatan
ilmu) untuk melakukan kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani,
India, Dan Cina dan menyewa penerjemah asing, seperti, Hunain
Ibn Ishak.
e. Mengoleksi Buku dan Mendirikan Perpustakaan
Tradisi mengoleksi buku ini sejalan dengan adanya tradisi
penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi
penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi
dmembaca dan menulis buku. Kegiatan mengoleksi buku ini tidak
hanya terjadi pada perorangan, melainkan juga secara kelembagaan.

22
f. Membangun lembaga pendidikan
Yang dimaksud dengan lembaga pendidikan disisni adalah
tempat atau wadah yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan
pendidikan, pengajaran, bimbingan, dan pelatihan, baik yanyg
bersifat formal, non formal maupun informal. Lembaga pendidikan
tesebut seperti, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis al-
ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.21
g. Melakukan Penelitian Ilmiah
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang secara garis
besar diarahkan kepada dua hal. Pertama, penelitian untuk
mendapatkan temuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan atau
teori. Penelitian jenis pertama ini disebut sebagai penelitian ilmiah.
Kedua, penelitian untuk menerapkan teori atau konsep menjadi
sebuah program atau kegiatan yang secara pragmatis.
10. Sarana, Prasarana Dan Pembiayaan Pada Masa Bani Abbasiyah
Sarana dan prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan,
peralatan kegiatan belajar mengajar, peralatan penelitian dan
percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa
sebelumnya. Hal ini sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu
pengetahuan yang memerlukan peralatan khusus dalam
mengerjakannya. Gedung sekolah perkantoran, alat-alat tulis, rumah
tempat tinggal bagi para mahasisiwa, asrama mahasiswa, dan
berbagai sarana lainnya yang dibutuhkan tersedia lebih memadai.
Ketersediaan sarana dan prasarana dan peralatan belajar mengajar
terjadi berkat adanya perhatian yang besar dari pemerintah serta
masyarakat pada umumnya terhadap masalah pendidikan.
Terjadinya kemajuan dalam bidang pendidikan sebagaimana
disebutkan di atas karena adanya pembiayaan pendidikan yang
memadai. Sumber pembiayaan pendidikan ini berasal dari anggaran
belanja pemeritah serta dari dana wakaf yang berhasil dihimpun.

21
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Hal. 173

23
Dana tersebut digunakan untuk biaya hidup guru, para pelajar,
pembangunan gedung sekolah, serta pengadaan sarana prasarana.
Biaya pendidikan ini dikeluarkan, karena pada umumnya lembaga
pendidikan yang diselenggarakan bersifat gratis, yakni dibiayai oleh
pemerintah. Pada setiap tahunnya pemerintah abbasiyah
mengeluarkan dana tidak kurang 600.000 dinar, atau setara dengan 6
milyar rupiah untuk ukuran waktu itu, atau sebanyak 6 triliun untuk
ukuran sekarang.22
11. Manajemen pendidikan
Terjadinya kemajuan dalam sistem pendidikan islam
sebagaimana tersebut tidak lepas dari adanya manajemen
pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib. Gedung-gedung
sekolah dibangun, diatur, dipelihara, digunakan, dan dikelola dengan
tertib. Rumah-rumah bagi para guru, dan asrama bagi para pelajar
dibangun sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula jadwal kegiatan
mengajar, tugas-tugas bagi para guru dan lainnya diatur dengan baik.
Hubungan antara lembaga pendidikan yang berada di pusat
pemerintahan yang ada di daerah diatur dengan baik dan dikelola
oleh sebuah kementerian pendidikan.
Para pelajar yang menimba ilmu pada zaman abbasiyah
berasal dari daerah sekitarnya serta dari mananegara. Mereka ada
yang berasal dari kawasan timur tengaah, asia, afrika dan eropa.
Keberadaan para pelajar yang demikian itu menyebabkan kota
bagdad menjadi masyarakat multi-etnis dan multikultural yang
bersifta megapolit. Interaksi antara para pelajar yang berasal dari
latar belakang daerah yang berbeda-nbeda itu menyebabkan
timbulnya atmosfer akademik dan traisi ilmiah yang luar bisa.
Keadaan ini semakin menambah suasana kegiatan intelektual makin
meningkat dan mendorong proses pematangan keilmuan sesorang.

22
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Hal. 175-176

24
12. Kemunduran Abbasiyah
Masa kemunduran dimulai sejak periode kedua, namun
demikian faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara
tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya
khalifah pada saat itu sangat kuat, sehingga benih-benih itu tidak
sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila
khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai pegawai
sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur
roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah banyak faktor yang
menyebabkan khalifah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing
faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Persaingan antar bangsa.
Khalifah abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu
oleh orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh
persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Abbasiyah
berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan
itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti bani abbas
memilih orang-orang Persia daripada orang-orang arab. Pertama,
sulit merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang arab
sendiri terpecah belah dengan adanya abbasiyah kesukuan.
Meskipun demikian, orang-orang persia tidak merasa puas.
Mereka menginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari
persia pula. Sementara itu bangsa arab beranggapan bahwa darah
yang mengalir ketubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan
mereka menganggap rendah bangsa non-arab di dunia islam.
2. Kemerosotan ekonomi.
Khalifah abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang
ekonomi bersamaan dengan kemunduruan dibidang politik. Pada

25
periode pertama, pemerintahan bani abbas merupakan pemerintah
yang kaya. Dana yang masuk lebih besar daripada dana yang
keluar, sehingga bait al-mal penuh dengan harta. Pertambahan
dana yang besar diperoleh dari al-kharaj, semacam hasil pajak
bumi. Setelah khalifah memasuki kemunduran, pendapatan
negara menurun, sementara pengeluaran terus meningkat lebih
besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan
yang menganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan
banyaknya dinasti-dinasti keil yang memerdekakan diri dan tidak
lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak
antara lain disebabkan oleh kehidupan para khilafah dan pejabat
semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan pejabat
melakukan korupsi.
3. Konflik keagamaan.
Fanatisme keagamaan erat dengan persoalan kebangsaan.
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai,
kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan
ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini
dikenal dengan gerakan zindiq yang menyebabkan menurut para
khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas sehinga
menyebabkan konflik diantara keduanya, mulai polemik tentang
ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah dari kedua belah pihak.
4. Berkenaan dengan konflik keagamaan itu.
Syeed Ameer Ali mengatakan: “ agama muhammad saw
seperti juga agama isa as, terkeping-keping oleh perpecahan dan
perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal
abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu
kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan
yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sangit dari

26
perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam
lingkungan pengetahuan manusia soal kehendak bebas manusia
telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam islam. Pendapat
bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah menjadi
sebab binasanya jiwa-jiwa berharga.
5. Ancaman dari luar.
Yang disebabkan di atas adalah faktor-faktor internal.
Disamping, itu ada pula faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan khalifah abbasiyah lemah dan akhinya hancur.
Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa golongan
gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua,
serangan tentara mongol ke wilayah kekuasaan islam.
Sebagaimana telah disebutkan, orang-oran kristen eropa
terpanggil untuk ikut berperang setelah puas urbanus ii
mengeluarkan fatwanya. Perang salib iu juga membakar semangat
perlawanan orang-orang kristen yang berada di bawah kekuasaan
islam. Namun, diantara komunitas-komunitas islam kristen timur,
banyak armenia dan meronit lebanon yang tertarik dengan perang
salib dan melibatkan diri dalam tentara salib itu.
6. Pengaruh salib.
Pengaruh salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara
mongol. Disebutkan bahwa hulagu khan panglima tentara
mongol, sangat membenci islam karena ia banyak dipengaruhi
oleh oran-orang budha dan kristen nestorian. Gereja-gereja kristen
berasosiasi dengan orang mongol yang anti islam itu dan
diperkeras di kantong-kantong al-kitab.. tentara al-mongol,
setelah menghancurleburkan pusat-pusat islam, ikut memperbaiki
yerusallem. Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya
imperium abbasiyah, yakni kalangan elite imperium dan bentuk-
bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan
transformasi imperium tersebut. Bahkan kemorosotan abbasiyah

27
telah berlangsung disaat berlangsun nya konsolidasi. Ketika rezim
ini sedang memperkuat militernya dan institusi pemerintah, dan
sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan kultur, terjadi
beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib
imperium abbasiyah.

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dinasti Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses perebutan
kekuasaan dari Bani Umayyah. Banyak sekali faktor pendorong yang
memicu dalam terbentuknya dinasti bani abbasiyah. Dinasti Abbasiyah
tergolong yang paling lama berkuasa, yaitu mulai dari Abu al-Abbas
Assafah di tahun 750 M sampai dengn Al-Mu’tashim di tahun 1258 M.
Dari kurun waktu selama lebih dari lima abad tersebut, kepemimpinan
dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 orang khalifah, atau
masing-masing berkuasa selama 14 tahun. Namun dari 37 orang khalifah
Bani Abbas tersebut ada lima khalifahnya yang paling terkenal, yaitu Abu
Al-Abbas Al-Saffah, Abu Ja’far Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Ar-Rasyid,
dan Ma’mun.Masa pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak
perkembangan pendidikan Islam di dunia. Popularitas daulah Abbasyiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan
puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa
pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
a. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama.
b. Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut pengaruh Turki
pertama.
c. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan
Dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini
biasanya disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
d. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan
dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah, biasanya
disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.

29
e. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khilafah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar
kota Bagdad.
Pada masa Nabi, masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan
pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar
karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah
tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat
pada masa itu. Selama pemerintahan bani Abbasiyah, banyak bidang
pendidikan Agama maupun bidang pendidikan umum yang muncul beserta
tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan pendidikan tersebut.
Seperti Al-Razi, Al-Battani, Al Ya’qubi, Al Buzjani, Ibn Sina, dan masih
banyak yang lainnya. Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli
pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian
berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain
ilmu umum dan ilmu naqli. Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri
dari beberapa tingkat, yaitu tingkat sekolah rendah, Tingkat sekolah
menengah, dan Tingkat perguruan tinggi. Mengenai lembaga pendidikan
pada masa Abbasiyah juga mengalami banyak kemajuan dalam lembaga
pendidikannya seperti, toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu,
sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah. Pada masa Dinasti
abbasiyah dalam pengajarannya, metode pendidikan/pengajaran yang
digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan
tulisan. Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada
unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib
(ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pillihan (ikhtiari).
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya
telah mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari segi susunan atau konsepnya
belum seperti yang dijumpai di masa sekarang. Kurikulum pendidikan ini
terlihat dalam pembagian ilmu yang dikemukakan para tokoh sebagai
berikut.

30
1. Kurikulum Menurut Al-Ghazali
Ia membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian
ilmu dari segi sumbernya. Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh
dekatnya dengan Tuhan. Dan yang ketiga, pembagian ilmu dari segi
hukumnya.
2. Kurikulum Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan
kejiwaan peserta dididk, dengan tujuan agar pesrta didik menyukainya
dan bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi ilmu
menjadi 3 macam, yakni Kelompok ilmu lisan (bahasa), kelompok naqli
dan kelompok aqli. Tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi
pada zaman Abbasiyah dan masa sebelumnya adalah sebagai berikut,
Tukar Menukar Informasi ( Muzakarah ), Berdebat, Rihlah Ilmiah,
Penerjemahan, Mengoleksi Buku dan Mendirikan Perpustakaan,
Membangun Lembaga Pendidikan, Melakukan Penelitian Ilmiah,
Menulis Buku, Memberikan Wakaf. Sarana prasarana pendidikan
seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan penelitian dan
percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang
memerlukan peralatan khusus dalam mengajarkannya.Terjadinya
kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adanya
manajemen pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib. Terjadinya
kemajuan dalam sistem pendidikan islam sebagaimana tersebut tidak
lepas dari adanya manajemen pengelolaan pendidikan yang rapi dan
tertib. Gedung-gedung sekolah dibangun, diatur, dipelihara, digunakan,
dan dikelola dengan tertib. Rumah-rumah bagi para guru, dan asrama
bagi para pelajar dibangun sesuai dengan kebutuhan. Disamping
kelemahan khalifah banyak faktor yang menyebabkan khalifah
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling
berkaitan satu sama lain.

31
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin, Nata. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenata


Media Grup.

Al-Isy, Yusuf. 2007. Dinasti Abbasiyah. Jakarta: Al-Kautsar.

Fauzan Dan Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta:


Prenata Media

Nurul, Aen. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Ramayulis. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Samsul, Nizar. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Predana


Media Grup.

Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media.

Suwendi. 2004. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.

Suwito, dkk. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Katalog


Dalam Terbitan.

Yatim,Badri. 2001. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Yunus, Mahmud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Hidakarya


Agung.

32

Anda mungkin juga menyukai