Definisi lain, seperti yang disebutkan oleh Cutlip, Center, dan Brown, menyebutkan
bahwa Public Relations adalah sebuah fungsi manajemen secara khusus yang
mendukung terbentuknya saling pengertian dalam komunikasi, pemahaman,
penerimaan dan kerja sama antara organisasi dengan publiknya.
J.C. Seidel, Public Relations Director Of Housing, State of New York (dalam
Saoemirat dan Ardianto, II00II : 1II), mengemukakan bahwa “Public Relations adalah
proses yang terus menerus dari usaha-usaha manajemen untuk memperoleh
goodwill dan pengertian dari para pelanggannya, para pekerjanya, dan masyarakat
luas, ke dalam dengan mengadakan analisis dan perbaikan-perbaikan terhadap diri
sendiri, ke luar dengan mengadakan pernyataan-pernyataan”.
Halaman 1 dari 19
dan dipertanggung jawabkan melalui metode logika tertentu layaknya
pengujian terhadap cabang keilmuan lainnya.
Citra adalah obyek dari PR yang telah menjadi kebutuhan dari institusi
layaknya sumber daya yang telah ada seperti sumbDer daya manusia,
sumber daya keuangan, sumber daya peralatan bahkan sumber daya
pengetahuan.
Mitra adalah subyek dari PR disamping institusi itu sendiri. Mitra adalah
bagian dari operasi sebuah institusi, tanpa mitra sebuah institusi tidak dapat
berjalan.
Kepentingan bersama adalah apa yang hendak dicari oleh II (dua) institusi
dalam koneksi satu dengan yang lain. Contoh yang nyata pembeli dan
penjual mempunyai tujuan bersama yaitu tercapai kesepakatan untuk
melakukan transaksi jual beli.
Salah satu komunikasi yang dibangun dalam kaitannya dengan fungsi Public
Realtions adalah hubungan manusiawi atau human relations.
Ciri hakiki bukan dalam human relations bukan human (manusia) dalam pengertian
wujud manusia (human being), melainkan dalam makna proses rohaniah yang
tertuju kepada kebahagiaan, berdasarkan atas watak, sifat perangai, kepribadian
sifat tingkah laku. dan berbagai aspek kejiwaan lainnya yang terdapat dalam diri
manusia. Dengan kata lain, faktor manusia dalam relations ini bukan dalam
Halaman 2 dari 19
wujudnya, melainkan sifat-sifat, watak, tingkah laku, atau aspek psikis lainnya pada
diri manusia.
Dengan demikian terjemahan yang paling mendekati makna dan maksud human
relations adalah hubungan manusiawi atau hubungan insani.
Sifat hubungan dalam human relations tidak seperti orang berkomunikasi biasa,
bukan hanya merupakan penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang
lain, melainkan hubungan antara orang-orang yang berkomunikasi itu mengandung
unsur-unsur kejiwaan yang amat mendalam.
Halaman 3 dari 19
melakukannya dengan komunikasi yang baik sehingga saling memuaskan
individu yang terlibat di dalamnya.
Jadi, sebuah komunikasi yang terjadi baru bisa dikatakan sebagai sebuah Human
relations apabila dalam komunikasi tersebut kedua belah pihak saling berinteraksi,
berkomunikasi, dan memberikan kepuasan batin serta kebahagiaan bagi kedua
belah pihak tersebut.
Bertolak dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa kunci aktivitas human
relationss adalah “Hubungan antar insani di mana terjadi komunikasi yang
persuasive-sugestif yang memberikan kepuasan batin kepada kedua belah pihak”.
Dalam suatu manajemen, suatu lingkungan kerja, atau suatu kegiatan, human
relationss sangat diperlukan. Mengapa? Karena bertujuanuntuk mempererat rasa
persaudaraan dan mendapatkan suatu kepuasan dari apa yang telah mereka
kerjakan. Selain itu, human relationss diperlukan, karena mempelajari bagaimana
Halaman 4 dari 19
orang dapat berkerja atau berinteaksi dengan efektif dalam kelompoknya, sehingga
menimbulkan suatu keputusan, dalam pencapaian tujuan bersama maupun
pencapaian tujuan personal.
Dalam kegiatan hubungan manusiawi ada cara untuk teknik yang bisa digunakan
untuk membantu mengembangkan dimensi konstruktif seseorang, yakni dengan apa
yang disebut counseling (karena tidak ada perkataan bahasa Indonesia yang tepat,
istilah ini dapat di-Indonesia-kan menjadi konseling).
Ini pula yang harus dipahami oleh setiap mahasiswa yang sedang melakukan
kegiatan Kuliah Kerja Nyata, terutama bagi mereka yang berhadapan langsung
dengan masyarakat. Sebagai insane intelektual, seorang mahasiswa harus sudah
mampu menunjukan kualitas intelektualitasnya dengan membantu masyarakat untuk
memecahkan problem yang dihadapinya secara benar, tepat, dan akurat. Dalam
Halaman 5 dari 19
kontrek itulah, seorang mahasiswa dapat betindak sebagai konselor, sedangkan
masyarakat adalah konseli-nya.
Dalam kegiatan human relations terdapat dua jenis konseling, bergantung pada
pendekatan (approach) yang dilakukan. Kedua jenis konseling tersebut ialah
directive counseling, yakni konseling yang lansung terarah, dan non-directive
counseling yakni konseling yang tidak langsung terarah.
Hambatan yang bersifat subjektif ialah yang sengaja dibuat oleh orang lain sehingga
merupakan gangguan, penentangan terhadap suatu usaha komunikasi. Dasar
gangguan dan penentangan ini biasanya disebabkan karena adanya pertentangan
kepentingan, prejudice, tamak, iri hati, apatisme dan sebagainya.
Faktor kepentingan dan prasangka merupakan faktor yang paling berat karena
usaha yang paling sulit bagi seorang komunikator ialah mengadakan komunikasi
dengan orang-orang yang jelas tidak menyenangi komunikator atau menyajikan
pesan komunikasi yang berlawanan dengan fakta atau isinya yang mengganggu
suatu kepentingan.
Halaman 6 dari 19
mengelakkan dan secara acuh tak acuh mendiskreditkan pesan komunikasi sebagai
hal yang sukar dimengerti.
Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi sifat-sifat luar objek itu;
kita tidak meneliti sifat-sifat batiniah objek itu. Ketika kita melihat papan tulis, kita
tidak pernah mempersoalkan bagaimana perasaannya ketika kita amati. Pada
persepsi interpersonal, kita mencoba memahami apa yang tidak tampak pada alat
indera kita. Kita tidak hanya melihat perilakunya, kita juga melihat mengapa ia
Halaman 7 dari 19
berperilaku seperti itu. Kita mencoba memahami bukan saja tindakan tetapi juga
motif tindakan itu. Dengan demikian, stimuli kita menjadi sangat kompleks. Kita tidak
akan mampu “menangkap” seluruh sifat orang lain dan berbagai dimensi
perilakunya. Kita cenderung memilih stimuli tertentu saja. Ini jelas membuat persepsi
interpersonal lebih sulit, ketimbang persepsi objek.
Ketiga, ketika kita mempersepsi objek, objek tidak bereaksi kepada kita; kita pun
tidak memberikan reaksi emosional padanya. Perasaan anda dingin saja ketika anda
memandang papan tulis; tetapi sedingin itu jugakah ketika anda memandang
seorang artis misalnya? Apakah artis itu juga juga akan diam saja ketika Anda
memandangnya tidak berkedip? Dalam persepsi interpersonal faktor-faktor personal
Anda, dan karakteristik orang yang ditanggapi serta hubungan anda dengan orang
tersebut menyebabkan persepsi interpersonal sangat cenderung untuk keliru.
Lagipula kita sukar menemukan kriteria yang dapat menentukan persepsi siapa yang
keliru: persepsi anda atau persepsi saya.
Keempat objek relatif tetap, manusia berubah-ubah. Papan tulis yang anda lihat
minggu yang lalu tidak berbeda dengan papan tulis yang kita lihat hari ini. Mungkin
tulisan pada papan tulis itu sudah berubah, mungkin sobekan kayu di sudut sudah
hilang tetapi secara keseluruhan papan tulis itu tidak berubah. Manusia selalu
berubah. Anda hari ini bukan anda yang kemarin, bukan anda esok hari. Kemarin
anda ceria karena baru menerima kredit mahasiswa Indonesia. Hari ini sedih karena
sepeda motor anda ditabrak becak. Esok anda gembira lagi karena ujian anda lulus.
Anda di fakultas bukan anda di rumah bukan anda di masjid. Perubahan ini kalau
tidak membingungkan kita, akan memberikan informasi yang salah tentang orang
lain. Persepsi interpersonal menjadi mudah salah.
Anehnya betapapun sulitnya kita mempersepsi orang lain, kita toh berhasil juga
memahami orang lain. Buktinya kita masih dapat bergaul dengan mereka, masih
dapat berkomunikasi dengan mereka dan masih dapat menduga perilaku mereka.
Dari mana kita memperoleh petunjuk tentang orang lain? Apa yang menyebabkan
kesimpulan kita bahwa X bersifat Y? Kita menduga karakteristik orang lain dari
petunjuk-petunjuk eksternal (external cues) yang dapat diamati. Petunjuk-petunjuk
itu adalah deskripsi verbal dari pihak ketiga, petunjuk proksemik, kinesik, wajah,
Halaman 8 dari 19
paralinguistik dan artifaktual. Selain yang pertama, yang lainnya boleh disebut
sebagai petunjuk non verbal (non verbal cues). Semuanya kita sebut faktor-faktor
situasional.
Menurut Charles Horton Cooley, kita bisa menjadi subjek dan objek persepsi
sekaligus dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain dalam benak kita.
Cooley menyebut gejala ini looking glass self (diri cermin) seakan-akan kita menaruh
cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada
orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya kita merasa
wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai
penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita
mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu
(Vander Zanden, 1975: 79).
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita.
Ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi
Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang konsep diri dapat
dilacak sampai William James. James membedakan antara “The I” diri yang sadar
dan aktif dan “The Me” diri yang menjadi objek renungan kita. Pada psikologi sosial
yang berorientasi pada sosiologi, konsep diri dikembangkan oleh Charles Horton
cooley (1864 – 1929), George herbert Mead (1863 – 1931) dan memuncak pada
aliran interaksi simbolis yang tokoh terkemukanya adalah Herbert Blumer. Di
kalangan Psikologi sosial yang berorientasi pada psikologi, konsep diri tenggelam
ketika Behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943, gordon E. Allport menghidupkan
kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham Maslow (1967, 1970) dan Carl
Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema utama Psikologi Humanistik.
William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social and
psycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and
our interactions of ourselves that we have derived from experiences and our
Halaman 9 dari 19
interaction with others” (1974: 40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan
kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi sosial dan fisis.
Halaman 10 dari 19
1. Asumsi pertama, pendekatan terhadap perilaku manusia harus dilakukan
secara holistik. Artinya kalau kita hendak menganalisa perilaku manusia maka
analisis itu harus menyeluruh sesuai konteks dan jangan terpenggal-penggal.
2. Asumsi kedua, apa yang dialami seseorang atau sekelompok orang
hendaklah dipahami melalui persepsi dan perasaan tertentu meskipun
pandangan itu subjektif.
3. Asumsi ketiga, perilaku manusia lebih sering emosional bukan rasional.
Pendekatan humanistik terhadap perilaku sangat menekankan betapa
pentingnya hubungan antara faktor emosi dengan perilaku.
4. Asumsi keempat, setiap individu atau sekelompok orang sering tidak
menyadari bahwa tindakan-tindakannya dapat menggambarkan perilaku
individu atau kelompok tersebut. Oleh karena itu, para pakar aliran humanistik
sering mengemukakan pendapat mereka bahwa setiap individu atau
kelompok perlu meningkatkan kesadaran sehingga mereka dapat
mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain.
Dalam hal ini, aspek utama yang perlu diperhatikan adalah dengan mengenal lebih
dahulu cirri-ciri masyarakat pedesaaan. Dalam buku Sosiologi karangan Ruman
Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat
desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri
masarakat desa sebagai berikut :
Halaman 11 dari 19
akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan
keseragaman persamaan.
3. Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya
dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu.
Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya
berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme).
4. Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak
diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan
suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya
prestasi).
5. Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan
antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa
menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari
uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang
masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.
Sesuai dengan tujuan KKN untuk Community dan Personal Empowerment, maka
hal-hal terkait bagaimana memahami perilaku masyarakat desa menjadi penting
bagi keberhasilan program KKN yang akan di buat.
Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang
biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi
tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat
desa di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan
perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik
tersebut sudah “tidak berlaku”. Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik
masyarakat desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat
umum yang selama ini masih sering ditemui. Setidaknya, ini menjadi salah satu
wacana bagi kita yang akan bersama-sama hidup di lingkungan pedesaan.
1. Sederhana
Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan ini
terjadi karena dua hal:
a. Secara ekonomi memang tidak mampu
Halaman 12 dari 19
b. Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.
2. Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada:
a. Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya
b. Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”
4. Guyub, kekeluargaan
Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana
kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari
mereka.
5. Lugas
“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka
tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena
memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang
mereka miliki.
Halaman 13 dari 19
Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara langsung
ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan
mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak banyak
omong.
Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka dalam” yang
begitu membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh kecil: mahasiswa
menjanjikan pertemuan di Balai Desa jam 19.00. Dengan tepat waktu, mereka telah
standby namun mahasiswa baru datang jam 20.00. Mereka akan sangat kecewa
dan selalu mengingat pengalaman itu.
11. Demokratis
Halaman 14 dari 19
Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan
keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui
mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan
Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input dari warga.
12. Religius
Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka
taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi
diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan,
rajaban, Jumat Kliwonan, dll.
Kesebelas karakteristik tersebut, pada saat ini tidak bisa digeneralisasikan bagi
seluruh warga masyarakat desa. Ini disebabkan oleh adanya perubahan sosial
religius yang begitu besar pengaruhnya dalam tata pranata kehidupan masyarakat
pedesaan. Dampak yang terjadi meliputi aspek agama, ekonomi, sosial politik,
budaya dan pertahanan keamanan. (ingat: kasus kerusuhan yang terjadi di
beberapa pedesaan di pulau Jawa)
2. Bersahabat
Sifat arogan harus dikikis habis, diganti dengan perilaku yang bersahabat dan
“sumedulur” (bersaudara). Sebagai tamu sudah semestinya tidak bersikap
arogan dan menunjukkan sifat dan perilaku kekotaan.
3. Menghargai
Halaman 15 dari 19
Sebagai reaksi atas sikap kekeluargaan dari masyarakat desa, sepantasnya
kita juga menghargai mereka. Sikap menghargai ini dapat diberikan dalam
hal:
Memahami pola pikir mereka yang berbeda kontra dengan pola pikir kita
Menerima pemberian sesuatu sebagai bentuk “tresno” (kasih sayang)
mereka kepada kita.
Memahami pola hidup mereka yang jauh berbeda dengan pola hidup kita
4. Sopan santun
Dalam rangka mengikuti adat/istiadat/kebiasaan yang berlaku di desa maka
sudah selayaknya kita menyesuaikan diri, diantaranya:
Dalam hal berpakaian, sebaiknya tidak mengenakan pakaian “ala kota”.
Dalam gaya hidup, sebaiknya tidak menunjukkan sikap yang menurut
mereka “pamer materi”. Misalnya: ber-handphone ria ditengah-tengah
mereka, ber-walkman ria sambil berbicara dengan mereka.
Dalam hal berbicara, sebaiknya tidak menggunakan kata-kata/kalimat
yang hanya bisa dipahami oleh kalangan mahasiswa. Misalnya: bahasa
Inggris/bahasa “ngilmiah”.
5. Terbuka
Sebagai reaksi positif atas keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat
desa maka seyogyanya kita juga menunjukkan sikap terbuka kepada mereka,
misalnya:
Jika tuan rumah sudah berbicara apa adanya tentang menu makanan
sehari-hari maka jika kita memang kurang suka sebaiknya “ngomong”.
Contoh: Si A tidak suka makan mie. Sebaiknya ngomong ke tuan rumah
daripada nggerundhel.
Jika keluar dari rumah pondokan sebaiknya menjelaskan secara terbuka:
mau kemana, dengan siapa dan kapan pulang. Hal ini penting, karena
biasanya mahasiswa sudah dianggap sebagai anak sendiri.
Halaman 16 dari 19
Mengacu pada karakteristik gotong-royong yang dimiliki masyrakat desa,
maka sudah semestinya kita menyesuaikan dan mengikuti kebiasaan itu.
Bekerja dan membantu masyarakat desa tanpa pamrih. Dengan senang hati
mengikuti setiap acara tradisional (misal: kenduri) yang diadakan di desa.
Sekalipun tetap memperhitungkan waktu kerja program COP.
7. Tepat waktu
Demi menjaga kepercayaan masyarakat desa, sebaiknya perlu diperhatikan
ketepatan waktu dalam setiap acara peretemuan yang melibatkan orang
banyak. Hal ini sangat penting agar masyarakat desa juga menaruh
kepercayaan kepada kita sehingga sosialisasi program dan keterlanjutan
pelaksanaannya dapat terjaga.
8. Silahturahmi
Sebagai “tamu asing” sudah menjadi kebiasaan yang lumrah jika kita harus
melakukan silaturahmi (= memperkenalkan diri) kepada warga masyarakat
desa agar didalam melakukan sosialisasi dan pelaksanaan program tidak
mengalami hambatan hanya dikarenakan belum kenal. Silaturahmi ini dapat
dilakukan secara formal maupun informal. Misal:
Ketika melakukan sosialisasi ketemu warga desa, sebaiknya langsung
memperkenalkan diri (informal)
Perkenalan diri secara formal di Balai Desa (formal)
9. “Srawung”
Selama menjalankan program KKN sebaiknya kita tetap menjaga hubungan
baik dengan masyarakat desa sehari-hari. Jangan sekali-kali kita mengucilkan
diri dan seolah membentuk kelompok “eksklusif orang kota”.
10. Gotong-royong
Partisipatif, ini kata kuncinya ! Dalam menjalankan program kerja jangan
sampai meninggalkan prinsip dasar, yaitu PARTISIPASI MASYARAKAT. Pada
dasarnya program dapat berjalan karena ada partisipasi, baik dari seluruh
anggota kelompok maupun masyarakat setempat. Memunculkan minat
Halaman 17 dari 19
berpartisipasi tidaklah mudah, karena itu dibutuhkan komitmen yang tinggi
yang diawali dari diri sendiri.
11. Demokratis
Mencermati iklim demokrasi yang juga sudah merambah di desa, hendaknya
kita bersedia mengikuti proses yang berlangsung. Karena itu, dalam
merencanakan dan melaksanakan program kita harus melibatkan BPD
(Badan Perwakilan Desa). Ini juga berarti kita menghargai proses demokrasi
dalam sebuah “lembaga” yang namanya desa.
12. Religius
Menyikapi kenyataan ini, secara psikologis kita tidak perlu khawatir atau
bahkan takut karena justru akan menyulitkan kita untuk bersosialisasi. Sikap
menghargai, itulah yang mesti kita kembangkan ! Kita mesti tahu diri disaat
masyarakat desa sedang menjalankan ibadah agamanya. Karena itu dalam
menyusun suatu kegiatan, pertimbangan faktor “lima waktu” sangat penting
untuk diperhatikan.
Halaman 18 dari 19
DAFTAR LITERATUR
Ruslan, Rosady. 1999. Praktik dan Solusi Public Relations Dalam Situasi Krisis dan
Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Uchjana, Onong, Efendy. 1979. Human Relations dan Public Relation. Bandung:
Penerbit CV. Mandar Maju.
Halaman 19 dari 19
HUMAN RELATIONS
DALAM MENDUKUNG KEBERHASILAN
KULIAH KERJA NYATA
Oleh:
Drs. H. SYAFRUDDIN AMIR, M.M.
http://www.rumahpendidikan.wordpress.com
Halaman 20 dari 19