Anda di halaman 1dari 17

(VII)

PERIODE
DINASTI BANI ABBASIYAH

Dinasti Abbasiyah telah memainkan peran penting pada


zaman keemasan Islam, namun akhirnya mengalami
kemunduran. Kekuasaan Islam akhirnya terpecah belah sejalan
dengan mandulnya kepemimpinan khalifah. Dinasti-dinasti
kecil dan tandingan muncul di berbagai kawasan yang tidak
bisa lagi dikontrol secara efektif. Salah satu puncak dari
kemunduran kekuasaan Islam terjadi pada 1258, ketika Dinasti
Abbasiyah itu membawa dampak yang sangat kuat bagi
kemunduran peradaban Islam.

A. SEJARAH BERDIRINYA

Dinasi Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas)


yang menguasai daulat (Negara) Islamiah pada masa klasik
dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di
bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulah
Abbasiyah. Daulah Abbasiyah adalah daulah (Negara) yang
melanjutkan kekuasaan Daulah Umayyah. Dinamakan
Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti
ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman Nabi
Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-
Saffah. Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah inilah
zaman keemasan Islam tercapai.
1
2 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulah Umayyah


kepada Daulah Abbasiyah bermula ketika Bani Hasyim
menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka
karena mereka adalah keluarga Nabi SAW yang terdekat.
Tuntutan itu sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi baru
menjelma menjadi gerakan ketika Bani *Umayyah naik
takhta dengan mengalahkan *Ali bin Abi Thalib dan bersikap
keras terhadap Bani Hasyim.
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika *Umar bin
Abdul Aziz (717-720) menjadi khalifah Daulah Umayyah.
Umar memimpin dengan adil. Ketentraman dan stabilitas
Negara memberi kesempatan kepada gerakan Abbasiyah
untuk menyusun dan merencanakan gerakannya yang
berpusat di al-Humaymah. Pemimpinnya waktu itu adalah
Ali bin Abdullah bin Abbas, seorang zahid. Dia kemuadian
digantikan oleh anaknya yang bernama Muhammad yang
memimpin dan memperluas gerakan, dia menetapkan tiga
kota sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kufah
sebagai kota penghubung, dan Khurasan sebagai pusat
gerakan praktis. Muhammad meninggal pada tahun 125
H/743 M dan digantikan oleh anaknya yang bernama
Ibrahim al-Imam. Panglima perangnya dipilih seorang kuat
asal Khurasan bernama *Abu Muslim al-Khurasanni. Abu
Muslim berhasil merebut Khurasan dan kemudian menyusul
kemenangan demi kemenangan. Pada awal tahun 132
H/749 M Ibrahim al-Imam tertangkap oleh pemerintah
3 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

Daulah Umayyah dan dipenjara sampai meninggal. Dia


digantikan oleh saudaranya Abu Abbas. Tidak lama setelah
itu dua bala tentara, Abbasiyah dan Umawiyah, bertempur
di dekat Sungai Zab bagian hulu. Dalam pertempuran itu
Bani Abbas mendapat kemenangan, dan bala tentaranya
terus menuju ke negeri Syams (sekarang: Suriah); kota demi
kota dapat dikuasainya, sehingga kemenangan dicapai.
Sejak tahun 132 H/750 M itulah Daulah Abbasiyah
dinyatakan berdiri dengan khalifahnya yang pertama Abu
Abbas as-Saffah. Daulat ini berlangsung sampai ttahun 656
H/1258 M, masa yang panjang itu dilaluinya tidak dengan
pola pemerintahannya berubah sesuai dengan perubahan
politik, social, budaya, dan penguasa. Berdasarkan
perbedaan pola dan perubahan politik itu, para sejarawan
biasanya membagi masa yang dilalui Daulah Abbasiyah ini
menjadi lima periode.

B. PERIODESASI DAULAH ABBASIYAH


1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M)

Walaupun Abu Abbas adalah pendiri daulah ini,


pemerintahannya terlalu singkat, hanya beberapa tahun
saja, yaitu dari tahun 750 sampai 754. Pembina sebenarnya
daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur. Dia dengan keras
menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij,
dan juga Syiah yang merasa mulai dikucilkan dari
kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-
4 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaing


baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan
Salih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang telah
ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di
Suriah dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya,
akhirnya terbunuh di tangan Abu Muslim al-Khurasani. Abu
Muslim sendiri, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing
baginya, akhirnya dihukum mati oleh khalifah pada tahun
755.
Untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas
Negara yang baru berdiri itu, Abu Ja’far kemudian
memindahkan ibu kota negaranya dari al-Hasyimiyah,
kediamannya dekat Kufah, ke kota yang baru dibangunnya,
Baghdad, pada tahun 767. Di sana ia menertibkan
pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk
dalam lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam lembaga
eksekutif dia mengangkat wazir (menteri) sebagai
coordinator departemen; dia juga membentuk lembaga
protocol Negara, sekretaris Negara, kepolisian Negara di
samping melanjutkan angkatan bersenjata. Dia menunjuk
Muhammad bin Abdur Rahman sebagai hakim pada
lembaga kehakiman Negara. Jawatan pos yang sudah ada
sejak masa dinasti Bani Umayyah dilanjutkannya dengan
tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk
mengantar surat, pada masa al-Mansur jawatan pos
ditugaskan juga untuk menghimpun seluruh informasi di
5 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat


berlangsung dengan lancar. Para direktur jawatan pos juga
bertugas melaporkan kegiatan Gubernur setempat kepada
Khalifah.
Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi
perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu lebih dari
50 tahun berada di tangan keluarga. Baramikah atau
Barmaki, suatu keluarga terpandang berasal dari Balkh,
Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak,
kemudian anaknya Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini
kemudian mengankat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi
wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya,
menjadi gubernur wilayah Persia Barat dan kemudian di
Khurasan. Pada masa lima puluh tahun lebih ini, persoalan-
persoalan administrasi Negara lebih banyak ditangani
keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non-Arab ini
kedalam pemerintahan merupakan unsure pembeda antara
Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi
ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukkan
kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri
dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di
antara usaha-usahanya itu adalah merebut benteng-
bentengnya di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan
Sicilia pada tahun 756-758. Ke utara bala tentaranya
melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat
6 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

Bosporus, dan berdamai dengan Kaisar Constantine V.


selama genjatan senjata (758-765), Bizantium membayar
upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan
bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di Laut
Kaspia, Turki di bagian lain Oksus serta India.
Pada masanya konsep khilafah berubah. Dia berkata:
Innama ana Sultan Allah fi ardihi (sesungguhnya saya
adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Dengan demikian,
jabatan khalifah dalam pandangannya dan berlanjut ke
generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah SWT
dan bukan dari manusia, dan bukan juga sekedar pelanjut
Nabi SAW sebagaimana pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin
(sebutan untuk keempat khalifah setelah Nabi SAW wafat,
yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali). Di samping itu,
berbeda dari Daulah Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai “gelar takhta”. Al-Mansur, misalnya memakai gelar
takhta “Abu Ja’far”. “Gelar takhta” itu lebih popular daripada
nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah
ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas as-Saffah
dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti
ni berada pada tujuh khalifah sesudahnya, mulai dari masa
Khalifah al-Mahdi (775—785) hingga Khalifah al-Wasiq (842-
847). Puncak popularitas Daulah Abbasiyah berada pada
zaman Khalifah *Harun ar-Rasyid (786-809) dan putranya
al-*Ma’mun (813-833).
7 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

Daulat ini lebih menekankan pembinaan peradaban


dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah yang
memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan
peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda
antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah yang lebih
mementingkan perluasan daerah. Akibat dari kebijaksaan
seperti itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai
terlepas dari genggaman mereka. Ini bisa terjadi dalam salah
satu dari dua cara: pertama, seorang pemimpin local
memimpin suatu pemberontakan yang berhasil menegakkan
kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayyah di Andalusia
(Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Maroko; dan kedua,
orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah menjadi
sangat kuat, seperti Daulah Aglabiyah (Bani Taglib) di
Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.
Pada zaman Al-Mahdi, perekonomian meningkat.
Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat
ganda dibandingkan masa sebelumnya. Pertambangan dan
sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula
perdagangan internasional ke timur dan barat dipergiat.
Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang
sarananya lengkap.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada
zaman Harun ar-Rasyid. Kesejahteraan social, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
8 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara


terkuat tak tertandingi.
Al-Ma’mun menonjol dalam hal gerakan intelektual
dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku
dari Yunani. Filsafat Yunani yang rasional menjadikan
khalifah terpengaruh dan mengambil teologi rasional
Muktazilah menjadi teologi Negara.
Al-Mu’tasim, khalifah berikutnya (833-842), memberi
peluang besar kepada orang-orang Turki masuk dalam
pemerintahan. Daulah Abbasiyah mengadakan perubahan
system ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti
perjalanan perang sudah terhenti. Ketentaraan kemudian
terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang professional.
Kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.
Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga
khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi
boneka di tangan mereka. Khalifah al-Wasiq (842-847)
mencoba melepaskan diri dari dominasi tentara Turki
tersebut dengan memindahkan ibu kota ke Samarra, tetapi
usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi Turki.
Terdapat banyak factor yang menyebabkan Daulah
Abbasiyah pada periode pertama dapat mencapai masa
keemasan:
Pertama, terjadinya asimilasi dalam Daulah
Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non-Arab
9 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

(terutama bangsa Persia) dalam pembinaan peradaban Islam


telah mendatangkan kemajuan dalam banyak bidang.
Kedua, kebijaksanaan Daulah Abbasiyah yang memang
lebih berorientasi kepada pembangunan peradaban daripada
perluasan wilayah kekuasaan. Kebudayaan Persia telah
memperkaya khazanah peradaban Islam dengan tradisi
keilmuan dan pemerintahan yang sejak lama sudah
berkembang. Banyak penulis Persia memelopori perkembangan
ilmu dalam Islam, misalnya: (1) Abu Hanifah dalam bidang
Hukum Islam, (2) Sibawih dalam bidang Gramatika, dan (2) Al-
Kisa’i dalam bidang Qira’at (bacaan Al-Qur’an).
Banyak orang yang telah memelopori perkembangan
ilmu, filsafat, dan juga sastra. Kebudayaan India juga telah
memperkaya khazanah peradaban Islam dengan masuknya
ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, dan matematika asal India
ke Baghdad. Yang paling banyak mempengaruhi perkembangan
peradaban dan kebudayaan Islam pada masa Abbasiyah ini
adalah unsure kebudayaan Yunani.
Unsur kebudayaan Yunani ini sebenarnya sudah lama
berpengaruh di wilayah-wilayah yang sudah menjadi bagian
wilayah kekuasaan Islam waktu itu. Kota-kota Jundisapur,
Harran, Antakia, dan Iskandariyah adalah pusat-pusat
peradaban dan pemikiran Yunani sebelum Islam menguasai
kota-kota itu. Setelah kota-kota itu berada di bawah kekuasaan
Islam, tradisi keilmuan sebelumnya tetap terjaga, bahkan
setelah kegiatan penerjemahan digalakkan, masing-masing
10 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

pusat peradaban yunani itu menyumbagkan keistimewaan


terhadap peradaban Islam; Jundisapur dalam bidang
kedokteran, Iskandariyah dan Antakia dalam bidang filsafat,
dan Harran dalam bidang matematika dan ilmu falak.
Semuanya itu berkembang dengan sarana yang disediakan
kebudayaan Arab, yaitu keagamaan dan bahasa.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu semakin cepat
setelah Khalifah mendirikan lembaga yang sesuai, yaitu
perpustakaan-perpustakaan, yang terbesar di antaranya
adalah Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh
Khalifah Harun ar-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa
Khalifah Al-Ma’mun. perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah
universitas di mana terdapat kitab-kitab secara lengkap. Orang-
orang datang ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis,
dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini lebih
menyerupai sebuah universitas di mana terdapat kitab-kitab
secara lengkap. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi
sebagai kantor penerjemahan, terutama karya-karya
kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi, dan ilmu
alam. Buku-buku yang diterjemahkan didatangkan dari
Bizantium dan daerah-daerah lain. Dalam perkembangan
selanjutnya, para ilmuwan Islam telah mengembangkan
ilmu-ilmu yang diterjemahkan tersebut dan mendapatkan
temuan-temuan ilmiah yang baru. Di sinilah letak
sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban Barat atau
dunia.
11 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

Demikianlah gambaran dari Daulah Abbasiyah dalam


periode pertama. Dalam periode ini, sebenarnya banyak
tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik
dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun
gerakan-gerakan seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan
kalangan intern Bani Abbas, Revolusi al-Khawarij di Afraka
utara, Gerakan *Zindik di Persia, Gerakan Syiah dan konflik
bangsa serta aliran pemikiran keagamaan itu, semuanya dapat
dipadamkan.
Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai
prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila
tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi
dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada di bawah
pengaruh kekuasaan yang lain.

Perkembangan peradaban kebudayaan yang tercapai


telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah dan
bahkan cenderung mencolok dalam kehidupan yang berfoya-
foya. Setiap khalifah cenderung menjadi lebih mewah daripada
pendahulunya. Kehidupan mewah para khalifah itu ditiru oleh
para hartawan dan anak-anak pejabat. Sementara itu, rakyat
umumnya hidup miskin dan susah. Lemahnya kepemimpindan
Khalifah dan dalamnya jurang antara yang kaya dan yang
miskin telah memberi peluang kepada para tentara untuk
mengambil kendali pemerintahan. Hal yang terakhir ini
membuat semakin pudarnya kekuasaan Bani Abbas di dalam
Daulah Abbasiyah yang didirikannya itu dan merupakan awal
12 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

dari keruntuhan dinasti ini, meskipun usianya masih dapat


bertahan lebih dari empat ratus tahun lagi.

2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M)

Pilihan Khalifah al-Mu’tasim (833-842) terhadap


unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatarbelakangi
oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia
pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Al-Mu’tasim (833-
842) dan khalifah sesudahnya, al-Wasiq (842-847), mampu
mengendalikan mereka. Akan tetapi, khalifah al-Mutawakkil
(847-961) yang merupakan awal dari periode ini adalah
seorang khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang
Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah al-
Mutawakkil wafat. Merekalah yang memilih dan mengangkat
khalifah sesuai dengan kehendak mereka. Dengan demikian,
kekuasaan tidak lagi berada di tangan khalifah Bani Abbas,
meskipun mereka tetap berada pada jabatan khalifah.
Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para
perwira Turki itu, tetapi usaha itu selalu gagal. Pada tahun
892, Baghdad kembali menjadi ibu kota. Kehidupan
intelektual terus berkembang.
Setelah orang-orang Turki mulai melemah karena
persaingan di antara mereka sendiri, Khalifah ar-Radi
menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Ra’iq,
gubernur Wasith dan Basra. Khalifah memberinya gelar
Amirul Umara (panglima dari pada panglima). Namun
13 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih baik.


Dari dua belas khalifah pada periode ini, hanya empat orang
yang wafat dengan wajar, selebihnya, kalau bukan dibunuh,
mereka diturunkan dari takhta dengan paksa.
Pada periode ini memang ada beberapa
pemberontakan, seperti pemberontakan ‘Zanj di dataran
rendah Irak selatan dan pemberontakan *Qaramitah yang
berpusat di Bahrain, tetapi bukan itu yang menyebabkan
gagalnya mereka mewujudkan kesatuan politik Daulah
Abbasiyah. Faktor-faktor penting yang menyebabkan
kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai
berikut:
1) Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang
harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat.
Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di
kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan
sangat rendah.
2) Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada
mereka menjadi sangat tinggi
3) Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara
sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah
tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M)

Pada periode ini,Daulah Abbasiyah berada di bawah


kekuasaan Bani *Buwaihi. Keadaan khalifah lebih buruk
14 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaihi


adalah penganut aliran Syiah. Khalifah tidak lebih sebagai
pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaihi
membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara: Ali untuk
wilayah bagian utara; Ahmad untuk wilayah al-Ahwaz;
Wasit. Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat
pemerintahan Islam karena telah pindah ke Syiraz di mana
berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani
Buwaihi.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan
Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode
ini. Pada masa inilah munculnya pemikir-pemikir besar
seperti AL-*Farabi (870-950), *Ibnu Sina (980-1037), al-
*Biruni (973-1048), *ibu Maskawaih (930-1030), dan
kelompok studi ikhwan as-Safa. Bidang ekonomi, pertanian,
dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini
juga diikuti dengan pembangunan kanal masjid rumah
sakit.
Pada masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad, telah
terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara ahlusunah
dan syiah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.

4. Periode Keempat (447 H/1055M-590 H/1199 M)

Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani *Seljuk atas


Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas
15 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

“undangan” khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani


Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang membaik,
paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama
kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu
pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-
Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Maliksyah,
mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067) dan Madrasah
Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah
didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah
ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Dari
Madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan Islam yang
dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah az-
*Zamakhsyari, penulis dalam bidang tafsir dan Usul ad-Din
(teologi), al-*Qusyairi dalam bidang tafsir, al-*Gazali dalam
bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam
bidang ilmu perbintangan.

Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak di


Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi
beberapa propinsi dengan seorang gubernur untuk masing-
masing propinsi itu. Pada masa pusat kekuasaan melemah,
setiap propinsinya memerdekakan diri. Konflik-konflik dan
peperangan antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan
sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah kembali,
terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak
di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/1199 M.
16 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

5. Periode Kelima (590 H/1199 M-656 H/ 1258 M)

Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di


bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan
berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Sempitnya
wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan
politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar
menghancurluluhkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun
656 H/1258 M.

C. FAKTOR-FAKTOR KERUNTUHAN

Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi


lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi
faktor-faktor intern dan faktor-faktor ekstern.
Faktor intern antara lain:
1. Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa
yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama
Arab, Persia, dan Turki,
2. Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering
menyebabkan timbulnya konflik berdarah,
3. Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri
dari kekuasaan pusat di Baghdad, dan
4. kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.

Sedangkan faktor ekstern, antara lain:

1. Perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang, dan


17 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)

2. Hadirnya tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu


Khan.

Kehadiran yang terakhir inilah yang menyebabkan


hancur dan berakhirnya Daulah Abbasiyah. Kemudian
tentara Mongol menguasai kota Baghdad.

Anda mungkin juga menyukai