Dinasti Abbasiyah telah memainkan peran penting pada
zaman keemasan Islam, namun akhirnya mengalami kemunduran. Kekuasaan Islam akhirnya terpecah belah sejalan dengan mandulnya kepemimpinan khalifah. Dinasti-dinasti kecil dan tandingan muncul di berbagai kawasan yang tidak bisa lagi dikontrol secara efektif. Salah satu puncak dari kemunduran kekuasaan Islam terjadi pada 1258, ketika Dinasti Abbasiyah itu membawa dampak yang sangat kuat bagi kemunduran peradaban Islam.
A. SEJARAH BERDIRINYA
Dinasi Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas)
yang menguasai daulat (Negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulah Abbasiyah. Daulah Abbasiyah adalah daulah (Negara) yang melanjutkan kekuasaan Daulah Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as- Saffah. Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah inilah zaman keemasan Islam tercapai. 1 2 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulah Umayyah
kepada Daulah Abbasiyah bermula ketika Bani Hasyim menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka karena mereka adalah keluarga Nabi SAW yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi baru menjelma menjadi gerakan ketika Bani *Umayyah naik takhta dengan mengalahkan *Ali bin Abi Thalib dan bersikap keras terhadap Bani Hasyim. Propaganda Abbasiyah dimulai ketika *Umar bin Abdul Aziz (717-720) menjadi khalifah Daulah Umayyah. Umar memimpin dengan adil. Ketentraman dan stabilitas Negara memberi kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakannya yang berpusat di al-Humaymah. Pemimpinnya waktu itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas, seorang zahid. Dia kemuadian digantikan oleh anaknya yang bernama Muhammad yang memimpin dan memperluas gerakan, dia menetapkan tiga kota sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kufah sebagai kota penghubung, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad meninggal pada tahun 125 H/743 M dan digantikan oleh anaknya yang bernama Ibrahim al-Imam. Panglima perangnya dipilih seorang kuat asal Khurasan bernama *Abu Muslim al-Khurasanni. Abu Muslim berhasil merebut Khurasan dan kemudian menyusul kemenangan demi kemenangan. Pada awal tahun 132 H/749 M Ibrahim al-Imam tertangkap oleh pemerintah 3 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
Daulah Umayyah dan dipenjara sampai meninggal. Dia
digantikan oleh saudaranya Abu Abbas. Tidak lama setelah itu dua bala tentara, Abbasiyah dan Umawiyah, bertempur di dekat Sungai Zab bagian hulu. Dalam pertempuran itu Bani Abbas mendapat kemenangan, dan bala tentaranya terus menuju ke negeri Syams (sekarang: Suriah); kota demi kota dapat dikuasainya, sehingga kemenangan dicapai. Sejak tahun 132 H/750 M itulah Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifahnya yang pertama Abu Abbas as-Saffah. Daulat ini berlangsung sampai ttahun 656 H/1258 M, masa yang panjang itu dilaluinya tidak dengan pola pemerintahannya berubah sesuai dengan perubahan politik, social, budaya, dan penguasa. Berdasarkan perbedaan pola dan perubahan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa yang dilalui Daulah Abbasiyah ini menjadi lima periode.
B. PERIODESASI DAULAH ABBASIYAH
1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M)
Walaupun Abu Abbas adalah pendiri daulah ini,
pemerintahannya terlalu singkat, hanya beberapa tahun saja, yaitu dari tahun 750 sampai 754. Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur. Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syiah yang merasa mulai dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh- 4 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaing
baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Salih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang telah ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Suriah dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya, akhirnya terbunuh di tangan Abu Muslim al-Khurasani. Abu Muslim sendiri, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, akhirnya dihukum mati oleh khalifah pada tahun 755. Untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu, Abu Ja’far kemudian memindahkan ibu kota negaranya dari al-Hasyimiyah, kediamannya dekat Kufah, ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, pada tahun 767. Di sana ia menertibkan pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk dalam lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam lembaga eksekutif dia mengangkat wazir (menteri) sebagai coordinator departemen; dia juga membentuk lembaga protocol Negara, sekretaris Negara, kepolisian Negara di samping melanjutkan angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdur Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman Negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah dilanjutkannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur jawatan pos ditugaskan juga untuk menghimpun seluruh informasi di 5 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat
berlangsung dengan lancar. Para direktur jawatan pos juga bertugas melaporkan kegiatan Gubernur setempat kepada Khalifah. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga. Baramikah atau Barmaki, suatu keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian anaknya Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengankat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi gubernur wilayah Persia Barat dan kemudian di Khurasan. Pada masa lima puluh tahun lebih ini, persoalan- persoalan administrasi Negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non-Arab ini kedalam pemerintahan merupakan unsure pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab. Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usahanya itu adalah merebut benteng- bentengnya di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Sicilia pada tahun 756-758. Ke utara bala tentaranya melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat 6 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
Bosporus, dan berdamai dengan Kaisar Constantine V.
selama genjatan senjata (758-765), Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di Laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus serta India. Pada masanya konsep khilafah berubah. Dia berkata: Innama ana Sultan Allah fi ardihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Dengan demikian, jabatan khalifah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah SWT dan bukan dari manusia, dan bukan juga sekedar pelanjut Nabi SAW sebagaimana pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (sebutan untuk keempat khalifah setelah Nabi SAW wafat, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali). Di samping itu, berbeda dari Daulah Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar takhta”. Al-Mansur, misalnya memakai gelar takhta “Abu Ja’far”. “Gelar takhta” itu lebih popular daripada nama yang sebenarnya. Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ni berada pada tujuh khalifah sesudahnya, mulai dari masa Khalifah al-Mahdi (775—785) hingga Khalifah al-Wasiq (842- 847). Puncak popularitas Daulah Abbasiyah berada pada zaman Khalifah *Harun ar-Rasyid (786-809) dan putranya al-*Ma’mun (813-833). 7 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
Daulat ini lebih menekankan pembinaan peradaban
dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah yang lebih mementingkan perluasan daerah. Akibat dari kebijaksaan seperti itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai terlepas dari genggaman mereka. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: pertama, seorang pemimpin local memimpin suatu pemberontakan yang berhasil menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayyah di Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Maroko; dan kedua, orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah menjadi sangat kuat, seperti Daulah Aglabiyah (Bani Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan. Pada zaman Al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda dibandingkan masa sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan barat dipergiat. Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang sarananya lengkap. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun ar-Rasyid. Kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa 8 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara
terkuat tak tertandingi. Al-Ma’mun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani. Filsafat Yunani yang rasional menjadikan khalifah terpengaruh dan mengambil teologi rasional Muktazilah menjadi teologi Negara. Al-Mu’tasim, khalifah berikutnya (833-842), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki masuk dalam pemerintahan. Daulah Abbasiyah mengadakan perubahan system ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perjalanan perang sudah terhenti. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang professional. Kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi boneka di tangan mereka. Khalifah al-Wasiq (842-847) mencoba melepaskan diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibu kota ke Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi Turki. Terdapat banyak factor yang menyebabkan Daulah Abbasiyah pada periode pertama dapat mencapai masa keemasan: Pertama, terjadinya asimilasi dalam Daulah Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non-Arab 9 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
(terutama bangsa Persia) dalam pembinaan peradaban Islam
telah mendatangkan kemajuan dalam banyak bidang. Kedua, kebijaksanaan Daulah Abbasiyah yang memang lebih berorientasi kepada pembangunan peradaban daripada perluasan wilayah kekuasaan. Kebudayaan Persia telah memperkaya khazanah peradaban Islam dengan tradisi keilmuan dan pemerintahan yang sejak lama sudah berkembang. Banyak penulis Persia memelopori perkembangan ilmu dalam Islam, misalnya: (1) Abu Hanifah dalam bidang Hukum Islam, (2) Sibawih dalam bidang Gramatika, dan (2) Al- Kisa’i dalam bidang Qira’at (bacaan Al-Qur’an). Banyak orang yang telah memelopori perkembangan ilmu, filsafat, dan juga sastra. Kebudayaan India juga telah memperkaya khazanah peradaban Islam dengan masuknya ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, dan matematika asal India ke Baghdad. Yang paling banyak mempengaruhi perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa Abbasiyah ini adalah unsure kebudayaan Yunani. Unsur kebudayaan Yunani ini sebenarnya sudah lama berpengaruh di wilayah-wilayah yang sudah menjadi bagian wilayah kekuasaan Islam waktu itu. Kota-kota Jundisapur, Harran, Antakia, dan Iskandariyah adalah pusat-pusat peradaban dan pemikiran Yunani sebelum Islam menguasai kota-kota itu. Setelah kota-kota itu berada di bawah kekuasaan Islam, tradisi keilmuan sebelumnya tetap terjaga, bahkan setelah kegiatan penerjemahan digalakkan, masing-masing 10 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
pusat peradaban yunani itu menyumbagkan keistimewaan
terhadap peradaban Islam; Jundisapur dalam bidang kedokteran, Iskandariyah dan Antakia dalam bidang filsafat, dan Harran dalam bidang matematika dan ilmu falak. Semuanya itu berkembang dengan sarana yang disediakan kebudayaan Arab, yaitu keagamaan dan bahasa. Perkembangan ilmu pengetahuan itu semakin cepat setelah Khalifah mendirikan lembaga yang sesuai, yaitu perpustakaan-perpustakaan, yang terbesar di antaranya adalah Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Ma’mun. perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah universitas di mana terdapat kitab-kitab secara lengkap. Orang- orang datang ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah universitas di mana terdapat kitab-kitab secara lengkap. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai kantor penerjemahan, terutama karya-karya kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi, dan ilmu alam. Buku-buku yang diterjemahkan didatangkan dari Bizantium dan daerah-daerah lain. Dalam perkembangan selanjutnya, para ilmuwan Islam telah mengembangkan ilmu-ilmu yang diterjemahkan tersebut dan mendapatkan temuan-temuan ilmiah yang baru. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban Barat atau dunia. 11 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
Demikianlah gambaran dari Daulah Abbasiyah dalam
periode pertama. Dalam periode ini, sebenarnya banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun gerakan-gerakan seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, Revolusi al-Khawarij di Afraka utara, Gerakan *Zindik di Persia, Gerakan Syiah dan konflik bangsa serta aliran pemikiran keagamaan itu, semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.
Perkembangan peradaban kebudayaan yang tercapai
telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah dan bahkan cenderung mencolok dalam kehidupan yang berfoya- foya. Setiap khalifah cenderung menjadi lebih mewah daripada pendahulunya. Kehidupan mewah para khalifah itu ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Sementara itu, rakyat umumnya hidup miskin dan susah. Lemahnya kepemimpindan Khalifah dan dalamnya jurang antara yang kaya dan yang miskin telah memberi peluang kepada para tentara untuk mengambil kendali pemerintahan. Hal yang terakhir ini membuat semakin pudarnya kekuasaan Bani Abbas di dalam Daulah Abbasiyah yang didirikannya itu dan merupakan awal 12 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
dari keruntuhan dinasti ini, meskipun usianya masih dapat
bertahan lebih dari empat ratus tahun lagi.
2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M)
Pilihan Khalifah al-Mu’tasim (833-842) terhadap
unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Al-Mu’tasim (833- 842) dan khalifah sesudahnya, al-Wasiq (842-847), mampu mengendalikan mereka. Akan tetapi, khalifah al-Mutawakkil (847-961) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah al- Mutawakkil wafat. Merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah sesuai dengan kehendak mereka. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan khalifah Bani Abbas, meskipun mereka tetap berada pada jabatan khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi usaha itu selalu gagal. Pada tahun 892, Baghdad kembali menjadi ibu kota. Kehidupan intelektual terus berkembang. Setelah orang-orang Turki mulai melemah karena persaingan di antara mereka sendiri, Khalifah ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Ra’iq, gubernur Wasith dan Basra. Khalifah memberinya gelar Amirul Umara (panglima dari pada panglima). Namun 13 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih baik.
Dari dua belas khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya, kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari takhta dengan paksa. Pada periode ini memang ada beberapa pemberontakan, seperti pemberontakan ‘Zanj di dataran rendah Irak selatan dan pemberontakan *Qaramitah yang berpusat di Bahrain, tetapi bukan itu yang menyebabkan gagalnya mereka mewujudkan kesatuan politik Daulah Abbasiyah. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut: 1) Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah. 2) Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi 3) Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad. 3. Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M)
Pada periode ini,Daulah Abbasiyah berada di bawah
kekuasaan Bani *Buwaihi. Keadaan khalifah lebih buruk 14 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaihi
adalah penganut aliran Syiah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaihi membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara: Ali untuk wilayah bagian utara; Ahmad untuk wilayah al-Ahwaz; Wasit. Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan Islam karena telah pindah ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi. Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah munculnya pemikir-pemikir besar seperti AL-*Farabi (870-950), *Ibnu Sina (980-1037), al- *Biruni (973-1048), *ibu Maskawaih (930-1030), dan kelompok studi ikhwan as-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan kanal masjid rumah sakit. Pada masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara ahlusunah dan syiah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.
4. Periode Keempat (447 H/1055M-590 H/1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani *Seljuk atas
Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas 15 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
“undangan” khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani
Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al- Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Maliksyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Dari Madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah az- *Zamakhsyari, penulis dalam bidang tafsir dan Usul ad-Din (teologi), al-*Qusyairi dalam bidang tafsir, al-*Gazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak di
Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang gubernur untuk masing- masing propinsi itu. Pada masa pusat kekuasaan melemah, setiap propinsinya memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/1199 M. 16 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
5. Periode Kelima (590 H/1199 M-656 H/ 1258 M)
Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di
bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurluluhkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H/1258 M.
C. FAKTOR-FAKTOR KERUNTUHAN
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi
lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi faktor-faktor intern dan faktor-faktor ekstern. Faktor intern antara lain: 1. Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki, 2. Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah, 3. Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad, dan 4. kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.
Sedangkan faktor ekstern, antara lain:
1. Perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang, dan
17 Sejarah Peradaban Islam (Muqaddimah)
2. Hadirnya tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu
Khan.
Kehadiran yang terakhir inilah yang menyebabkan
hancur dan berakhirnya Daulah Abbasiyah. Kemudian tentara Mongol menguasai kota Baghdad.