Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada Al- Abbas, paman

Rasulullah, sementara Khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah

Ash- Sahffah bin Muhammad bin Ali Bin Abdulah bin Abbas bin Abdul Muthalib.1

Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas
Ash-Shafah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Selama lima Abad dari tahun

132-656 H (750 M- 1258 M). Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai

kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh Bani Hasyim

(Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah saw dengan mengatakan bahwa

yang berhak untuk berkuasa adalah keturunana Rasulullah saw dan anak-anaknya.

Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang

merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memiliki kedudukan

tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakan kekuasaan keluarga

besar paman Rasulullah saw, Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama Al- Abbas

paman Rasulullah saw inilah nama ini di sandarkan pada tiga tempat pusat

kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah,dan khurasan.

Di kota Humaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah seorang

pimpinannya bernama Al-imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak

dasar-dasar bagi berdirinya dinasti Abbasiyah. Para penerang Abbasiyah

1Ash-Shafah artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka, Abul Abbas Ash-
Shafah dikenal sebagai orang yang masyur karena kedermawanannya, kuat ingatannya, keras hati,
tetapi sangat besar dendamnya terhadap Bani Umayyah. Sehingga dengan tidak mengenal belas
kasihan dibunuhnya keturunan-keturunan Bani Umayyah itu. Lihat bukunya Hamka, Sejarah
Umat Islam, (Jilid. 2; Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 102.

3
4

berjumlah 150 orang di bawah para pimpinannya yang berjumlah 12 orang dan

puncak pimpinannya adalah Muhammad bin Ali.

Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang

sebagai gerakan rahasia.Akan tetapi, imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang

berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh

khalifah Umayyah terakhir Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap

oleh pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya

diekskusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan


kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh,dan memerintahkan untuk

pindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu

Salamah. Segeralah Abul Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah diiringi oleh

para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan

Abdullah bin Ali.

Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukan

oleh Abbasiyah dan di usir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di

Kufah yang telah di taklukan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang

paman Abbul Abbas di perintahkan untuk mengejar khaliffah Umayyah terakhir,

Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri, dimana

akhirnya dapat di pukul di dataran rendah sungai Zab. Khlifah itu melarikan diri

hingga ke Fustat di Mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Al- Fayyum,

tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salih bin Ali, seorang paman Al-Abbas

yang lain. Dan beririlah Dinasti Abbasiyah yang di pimpin oleh khalifah

pertamanya, yaitu Abbul Abbas Ash- Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di

Kufah.2

2A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), h. 7.
5

Kekuasaan Dinasti Bani Abbas atau Khalifah Abbasiyah, sebagiamana

disebutkan, melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khalifah

Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-

Abbas paman Nabi Muhammad saw. Kekuasaannya berlansung dalam rentang

waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M).

selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda

sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola

pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode, yaitu :


1. Periode pertama (132 H/750 M - 232 H /847 M), disebut periode pertama

pengaruh Persia pertama.

2. Periode kedua (232 H/847 M - 334 H/ 946 M), disebut masa pengaruh Turki

pertama.

3. Periode ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti

Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga

masa pengaruh Persia kedua.

4. Periode keempat (477 H/1055 M - 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti

Abni Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga

dengan masa pengaruh Turki kedua.

5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari

pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota

Baghdad. 3

B. Penyebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah

3Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2008), h. 49-50.
6

Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah

Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Periode ini khalifah Abbasiyah

tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak

sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang

terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan

berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan

khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masas inilah

tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan
dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat

serangan Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut

masa pertengahan.

Sebagaimana terlihat periodesasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduruan

inilah sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran

itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode

pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak

sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbasiyah terlihat bahwa

apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai

sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda

pemerintahan.4

Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan

khalifah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling

berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya sebagai berikut :

a. Faktor Militer

4Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), h. 79-80.


7

Salah satu ciri sosial Dinasti Abbasiyah adalah kemewahan, baik

pemerintah maupun masyarakatnya, kecuali kaum budak, keadaan ini membuat

mereka menjadi kaum elit yang enggan untuk berperang, sehingga digambarkan

bahwa Bani Abbas tidak mempunyai kekuatan tentara yang tangguh dan

propersional, untuk ukuran wilayah sebesar peta kekuasaan Bani Abbas, untuk

mempertahankan kekuasaan dan propinsi-propinsi, pemerintah terpaksa harus

menyewa, bahkan membeli tentara-tentara dari Turki. Khalifah Al Mu’tasim

(833-842 M) menguasai istana beliau mendatangkan orang-orang turki menjadi


pengawalnya, dan secara otomatis, pengaruh Turki mulai masuk ke pusat

pemnerintahan, dan mereka menjadi pasukan elit pegawai istana.

Selanjutnya orang-orang asing ini mulai menguasai provinsi-provinsi, dan

melakukan penyerangan terhadap penduduk Baghdad. Para khalifah hanya

menjadi Boneka ditangan mereka, dan hakekat yang memerintah bukan lagi

khalifah, melainkan perwira dan pegawai Turki. Karena khalifah hanya terbatas di

istana tanpa mengetahui perkembangan negara yang sebenarnya.

Dengan beragamnya laporan kepada khalifah, membuat Al-Mu’tasim

mengambil kebijakan membangun kota samara dan pindah ke sana, namun

ternyata disini juga keadaan juga tidak jauh berubah, khalifah mengalami

kesulitan untuk melepskan diri pengaruh dan cengkraman orang-orang turki.

Keadaan ini berlanjut sampai kepada Khalifah al-Watsiq bin al-Mu’tasim, dan

setelah al-Wasiq orang-orang Turki ini mulai menyerbu untuk mendapatkan

kekuasaan penuh. Dimasa pemerintahan al-Mutawakkil, mereka berhasil

menikmati sebagian besar dari kerajaan, dan sampai pada masanya mereka

berkuasa penuh di zaman pemerintahan khalifah al-Muntashir.5

5A.Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: Al Husan Zikra, 1997), h. 309.
8

b. Persaingan antar Bangsa

Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan

orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua

golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas.

Setelah khalifah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan

persekutuan itu. Ada dua sebab Dinasti Abbas memilih orang-orang Persia

daripadad orang-orang di Arab yaitu :

1) Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada

masa itu mereka merupakan warga kelas satu,

2) Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ‘ashabiyyah

kesukuan. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di

atas ‘ashabbiyah tradisional.6

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka

menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara

itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah

darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia

Islam.

Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat

luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti maroko, mesir Syria, irak,

Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali, Islam,

pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-

macam tersebut dengan kuat.

6W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1998), h.
123.
9

Fanatisme kebangsaan ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh

penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru.

Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka

dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh

bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka

mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.

Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuatan


sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para

khilafah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbanagan kekuatan,

stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil, seorang Khilafah yang

lemah naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. sejak itu kekuasaan

Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang

Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani buwaih, bangsa-bangsa Persia, pada

periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode

keempat.7

c. Kemorosotan Ekonomi

Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi

bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama,

pemerintahan bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk

lebih besar dari yang keluar, sehingga bait al-mal penuh dengan harta.

Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak

hasil bumi.

7Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), h. 80-82.


10

Setelah khalifah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara

menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan

Negara itu disebabkan oleh yaitu :

1) Makin menyempitnya wilayah kekuasaan,

2) Banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganu perekonomian rakyat,

3) Diperingannya pajak,

4) Banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri, dan


5) Tidak lagi membayar upeti.

Sedangkan pengeluaran membengkak disebabkan antara lain, yaitu :

1) Kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah

2) Jenis pengeluaran makin beragam, dan

3) Para pejabat melakukan korupsi.

Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian Negara

morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemahkan kekuatan

politik dinasti Abbasiyah, kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.8

d. Konflik Keagamaan

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan-persoalan

kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecawaan

mendorong sebagaian mereka mempropangandakan ajaran Manuisme,

Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan

gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha

8Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), h. 82.


11

kerasa memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan

khusus untuk mengawasi kegiatan-kegiatan orang-orang Zindiq.

Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik

antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang

sangat sederhana seperti polemic, tentang ajaran, sampai kepada konflik

bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan

Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada gerakan ini mulai tersudut, pengukungnya banyak berlindung di balik

ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrem)

dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang

dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlus

Sunnah. Anatara keduannya, sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga

melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya memerintahkan agar makam

Husein di Karbala dihancurkan. Namun, anaknya, al-Muntashir (861-862 M),

kembali memperkekankan orang Syi’ah menziarahi makam Husein tersbut. Syi’ah

pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari

seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir

adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakakn diri dari Baghhdad yang sunni.

Konflik yang dilator balakangi agama tidak yang sebatas pada konflik

antara muslim dan zindiq atau Ahlus Sunnah dengan Syi’ah saja, tetapi antar

aliran dalam Islam Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat

di’dah oleh golonngan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh

Al-Ma’mun khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan

Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara. Pada masa Al-Mutawakkil (847-862


12

M), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran Negara dan golongan salaf

kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap

Mu’tazilah yang rasional telah menyempitkan horizontal intelektual.

Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa dinasti buwaih. Namun,

pada masas dinasti Seljuk yang menganut aliran Asy’ariyah, penyingkiran

golongan Mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung

penguasa aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan Berjaya. Pikiran-pikiran Al-Ghazali


yang mendukung aliran ini menjadi cirri nutama paham Ahluh Sunnah.

Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi

perkembangan kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.9

C. Penyebab kehancuran Dinasti Abbasiyah

1. Adapun yang menjadi faktor internal yang menyebabkan kehancuran

Dinasti Abbasiyah yaitu sebagai berikut :

a. Munculnya Dinasti-dinasti yang Memerdekakan Diri

Disentegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudh mulai trjadi diakhir

zaman Bani Umayyah. Akan tetapi, berbicara tentang politik Islam dalam

limtasan sejarah, akan telrihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah

dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari

awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah

kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk ditrapkan pada

pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol

dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan

kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak

9Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), h. 83-84.


13

dikuasai Khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan

gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai

dengan pembayaran upeti.10

Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas

dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu, dengan pembayaran

upeti itu. Alasannya, pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk

membuat mereka tunduk kepadanya11, kedua, penguasa Bani Abbas lebih


menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan

ekspansi.

Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban

dan kebudayaan Islam dari persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu

dipinggiran mulai lepas dari gangguan penguasa Bani Abbas. Ini bias terjadi

dalam salah satu dari dua cara : pertama, seorang pemimpin local memimpin

suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti

Daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua, seseorang yang

ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat,

seperti Daulat Aghlabiyah di Tunasia dan Thahiriyyah di Khusaran.

Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Maroko, propinsi-

propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka

menyaksikan Baghdad stabil dari khalifah mampu mengatasi pergolakan-

pergolakan yang muncul. Namun, pada saat wibawa khalifah sudah memudar,

mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja

10Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), h. 83-84.


11W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 152.
14

menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa diantaranya berusaha

menguasai khalifah itu sendiri.

Sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal

abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya

pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu

yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah

waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa


Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional dibidang kemiliteran,

khususnya tentara turki dengan sistem perbudakan baru seperti yang diuraikan

diatas. Pengangkatan anggota militer turki ini, dalam perkembangan selanjutnya

ternyata, menjaid ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi, pada

periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sumuncul fanatisme

kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (Kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah

yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping

persoalan-persoalan keagamaan.

Tampaknya, para Khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme

kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam

hamper semua segi kehidupan, seperti dalam kesusastraan dan karya-karya ilmiah,

mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada

diantara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan

keagamaan itu.12

Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad

pada masa Khalifah Abbasiyah, diantaranya adalah :

12Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), h. 64-65.


15

a. Yang berbangsa Persia

1) Thahiriyyah di khurasam, (205-259 H/20-872 m)

2) Shafariyah di Fars, (254-290 h/868-901 m)

3) Samaniyah di Transoxania (261-389 H/873-998 M)

4) Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M)

5) Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/932-1055

M)

b. Yang berbangsa Turki


1) Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M)

2) Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M)

3) Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 h/962-1189 M)

4) Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:

a) Seljuk besar atau Seljuk Agung, didrikan oleh Rukn Al-Din Abu

Thalib Tuqhrul Bek ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai

Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (492-522

H/1037-1127 M)

b) Seljuk Kirman di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M)

c) Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M)

d) Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M)

e) Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia kecil, (470-700 H/1077-1299

M)

c. Yang berbangsa Kurdi

1) Al-Barzuqani, (348-406 h/959-1015 M)

2) Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M)

3) Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M)


16

d. Yang berbangsa Arab

1) Idrisiyyah di Maroko, (172-375 H/88-985 M)

2) Aghlabiyyah di Tunisia, (184-289 H/800-900 M)

3) Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)

4) Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/864-928 M)

5) Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929-1002 M)

6) Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H/1011-1150 M)

7) Ukailiyyah di Maushil (386-489 H/996-1095)


8) Mirdasiyyah di Aleppo (414-472 H/1023-1079 M)

e. Yang mengaku dirinya sebagai Khalifah

1) Umawiyah di Spanyol

2) Fathimiyah di Mesir13

Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan

antarbangsa, terutama antara Arab, Persia, dan Turki. Disamping latar belakang

kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, dan yang

berlatar belakang Syi’ah, ada yang Sunni.

Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada

periode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri sendiri, adalah :14

1) Luas wilayah kekuasaan Daulat Abbasiyah sementara komunikasi

pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat

saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana

pemerintahan sangat rendah.

13Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), h. 65-66.


14W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), h. 165-166.
17

2) Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan

khalifah kepada mereka sangat tinggi.

3) Keuangan Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk

tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer munurun,

khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

b. Perebutan kekuasaan di Pusat Pemerintahan

Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga

terjadi, terutama diawal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya,

seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak

berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khalifah dari tangan Bani Abbas.

Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jebatan-

jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena, khalifah sudah

dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sacral dan tidak bias diganggu gugat

lagi. sedangkan, kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh

dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara

Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan

boneka yang tak bias berbuat apa-apa. Bahkan, merekalah yang memilih dan

menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.

Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode

kedua, pada periode ketiga (334 H/945-447 H/1055 M), daulat Abbasiyah berada

di bawah kekuasaan Bani Buwaih.

Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang putra Abu Syuja’ Buwaih,

pencuri ikan yang tinggal di daerah Dailam., yaitu Ali, Hasan, dan Ahmad. Untuk
18

keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang

ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki.

Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelag generasi

pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian di antara

anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat.

Perebutan kekuasaan dikalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu

faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan


mereka. Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara

golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki.

Sejalan dengan makin melemahnya kekutan politin Bani Buwaih, banyak

pula gangguan dari luar yang membawa kemunduran dan kehancuran dinasti ini.

Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya serangan-

serangan Bizantium ke dunia Islam dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil

yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti itu,

antara lain, dinasti Fatimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang

jabatan di khalifah Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syiria, Hamdan di Aleppo dan

lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat Kabul, dan dinasti Seljuk yang berhasil

merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.15

c. Faktor Ekonomi

Pembebanan pajak dan pengaturan wilayah-wilayah propinsi demi

keuntungan kelas penguasa telah menghancurkan bidang pertanian dan

perindustrian. Ketika para penguasa semakin kaya, rakyat justru semakin miskin.

Di dalam Negara-negara bagian tumbuh sejumlah Negara kecil yang

15Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), h. 68-72.


19

pemimpinnya terbiasa menipu rakyatnya. Menurutnya kekuatan manusia

disebabkan oleh petikaian berdarah yang sering terjadi mengakibatkan lahan

pertanian tandus dan terbengkalai. Banjir di dataran rendah Mesopotamia kadang-

kadang disertai malapetaka, yang semakin parah dengan terjadinya wabah

kelaparan di berbagai wilayah imperium.16

Wabah penyakit sering menyerang pes, cacar, malaria, dan jenis demam

lainnya yang telah membuat manusia Abad Pertengahan tak berdaya,


membinasakan banyak penduduk diberbagai wilayah. Tidak kurang dari empat

puluh wabah penyakit penitng yang tercatat dalam sejarah Arab selama empat

Abad pertama pasca penaklukan. Kehancuran ekonomi nosional tentu saja

berakibat langsung pada turunnya tingkat intelektualitas masyarakat dan

mengekang tumbuhnya pemikiran kreatif.17

2. Adapun yang menjadi faktor eksternal yang menyebabkan kehancuran

Dinasti Abbasiyah yaitu sebagai berikut :

a. Perang Salib

Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi

yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071

M0. Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peistiwa

ini berhasil mengalahkan tentara romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri

dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akrj, Perancis, dan Armenia. Peristiwa besar ini

menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap

16Philip K. Haiti, History of The Arabs; From the Earlist Times, Diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasinn dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), h. 618.
17Philip K. Haiti, History of The Arabs; From the Earlist Times, Diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasinn dan Dedi Slamet Riyadi, h. 618.
20

umat islam, yang kemudian mencetuskan perang salib. Kebencian itu bertambah

setelah dinasti Seljuk dapat merebut bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari

kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir.

Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang

ingin berziarah kesana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk

memperoleh kembali keleluasan berziarah ketanah suci Kristen itu, pada tahun

1095 M, paus urbanus II berseru kepada umat Kristen di eropa supaya melakukan
perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan perang salib, yang terjadi dalam

tiga periode.

1) Periode Pertama

Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang eropa, sebagian besar

bangsa perancis dan norman, berangkat menuju konstantinopel, kemudian

palestina. Tentara salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond

ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 juni 1097 mereka berhasil

menaklukan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka

mendirikan kerajaan latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama

mereka dapat menguasai Anthicea dan mendirikan kerajaan Latin II di timur.

Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait Al-

Maqdis (15 juli 1099 M). dan mendirikan kerajaan latin III dengan rajanya

Godfrey,. Setelah penaklukan baith Al-Maqdis itu, tentara salib melanjutkan

ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M). Tripoli (1109 M), dan kota

tyre (1124 M). di Tripoli mereka mendirikan kerajaan latin IV, rajanya adalah

reymond.

2) Periode kedua
21

Imaduddin Zanki, penguasa Moshul, dan irak, berhasil menaklukkan

kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. namun, ia wafat pada

tahun 1146 M. tugasnya dilanjutkan oleh putranya, Nazaruddin Zanki.

Nazuruddin Zanki berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun1149 M pada

tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.

Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang Kristen mengobarkan perang

salib kedua. Paus III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh raja
prancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya meminpin pasukan salib

untuk merebut wilayah Kristen Syiria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat

oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan

Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Naruddin wafat tahun 1174

M. pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalah Al-Din Al-Ayyubi yang

berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. hasil peperangan

Shalah Al-Din yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun

1187 M. dengan demikian, kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama

88 tahun berakhir.

Jatuhnya Yerussalem ketangan kaum muslimin sangat memukul perasaan

tentara salib. Merekapun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib

dipinpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Loin Hart, raja

Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189

M. meskipun mendapat tantangan berat dari Shalah Al-Din, namun mereka

berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota latin. Akan tetapi,

mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 nopember 1192 M,

dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalah Al-Din yang disebut dengan
22

Shulh al-Ramlah, dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen

yang pergi berziarah ke bait Al-Maqdis tidak akan di ganggu.

3) Periode Ketiga

Tenatra salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali

ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan

harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M,

mereka berhasil menduduki Dimyat,. Raja mesir dari dinasti Ayibiyyah waktu itu,
Al-Malik Al-Kamil, membuat perjanjian dengan Federick. Isinya anatara lain

Federick bersedia melepaskan Dimyat, sementara Al-Malik Al-Kamil melepaskan

Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana Federick tidak

mengirim bantuan kepada kaum Kristen di Syiria. Dalam perkembangan

berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di

masa pemerintahan Al-Malik Al-Shalih, pengusa mesir selanjutnya,. Ketika

Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik, yang menggantikan posisi dinasti Ayibiyyah

pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah

Akka dapat direbut kembali kaum muslimin, tahun 1921 M.

Demikianlah perang salib yang berkobar di timur. Perang ini tidak berhenti

di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.

Walaupun ummat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari

tentara salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena

peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan

kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian, mereka
23

bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang

memerdekakan diri dari dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.18

b. Serangan Bangsa Mongol

Pada tahun 1253, Hulagu, cucu Jengis Khan, bergerak dari Mongol

memimpin pasukan berkekuatan besar untuk membasmi kelompok Pembunuh

(Hasyasyin) dan menyerang kekhalifaan Abbasiyah. Inilah gelombang serangan

kedua yang dilakukan bangsa Mongol. Mereka menyapu-bersih semua yang


mereka lewati dan yang menghadang perjalanan mereka, menyerbu semua

kerajaan kecil yang berusaha tumbuh diatas puing-puing imperium Syah

Khwarizm. Hulagu mengundang khalifah al-Musta’shim (1242-1258) untuk

bekerjasama menghancurkan kelompok Hasyasyim Islmailiyah. Tetapi undangan

itu tidak mendapat jawaban. Pada 1256, sejumlah besar benteng hasyasyim,

termasuk “Puri Induk” di Alamur, telah direbut tampa sedikitpun kesulitan, dan

kekuatan kelompok yang ketakutan itu hancur lebur. Bahkan lebih tragis lagi,

bayi-bayi disembelih dengan kejam. Pada bulan September tahun berikutnya,

tatkala merengsek menuju jalan raya Khurasan yang temakhsyur, Hulagu

mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar

tembok kota sebelah segera diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan

memberikan jawaban. Pada Januari 1258, anak buah Hulagu bergerak dengan

efektif untuk meruntuhkan tembok Ibukota. Tak lama kemudian upaya mereka

menbuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng.19

18Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), h. 76-79.


19Philip K. Haiti, History of The Arabs; From the Earlist Times, Diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasinn dan Dedi Slamet Riyadi, h. 619.
24

Pada saat itu, orang Mongol menunggangi kuda-kuda tangkas dan

bersenjata busur-busur aneh merengsek membabi buta menebar malapetaka dan

kerusakan kemanapun mereka bergerak. Dihadapan orang Mongol, pusat-pusat

budaya Islam timur hamper-hampir disapuh bersih. Yang tersisa hanya gurun-

gurun telanjang atau puing-puing berantakan bekas istana-isntan kenegaraan dan

perpustakaan. Semua kehancuran itu ditandai dengan berkas-berkas noda

berwarna merah tua. Penduduk Harat (Herart) yang semula berjumlah 100.000

kini tinggal 40.000 jiwa. Mesijd-mesjid Bukhara, yang termasyhur sebagai pusat
ibadah dan pengetahuan, dijadikan kandang kuda oleh pasukan Mongol. Banyak

penghuni Samarkand dan Balkh yang disembelih atau diseret ketahanan.

Khawarizm benar-benar hancur. Pada saat menaklukkan Bukhara (1220),

Jengis menurut cerita belakangan menggambarkan dirinya sendiri sebagai

bencana yang dikirim tuhan kepada umat manusia sebagai hukuman dosa-dosa

mereka. Ibn Al-Atsir, seorang narasumber yang menjadi saksi saat itu, merasa

ngeri menyaksikan semua peristiwa horror ini dan berharap seandainya ibunya tak

pernah melahirkannya. Bahkan satu abad kemudian, tatkala Ibn Baththuthah

mengunjungi Bukhara, Samarkand, Balkh, dan kota-kota lain di Transoxiana, dia

melihat sebagian besar tempat ini masih dipenuhi puing-puing. Sementara bagi

Baghdad, gilirannya akan tiba.20

20Philip K. Haiti, History of The Arabs; From the Earlist Times, Diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasinn dan Dedi Slamet Riyadi, h. 614-615.

Anda mungkin juga menyukai