Anda di halaman 1dari 10

KEBUDAYAAN PADA MASA

DINASTI ABBASIYAH

Faktor penting berdirinya kekhalifahan Dinasti Abbasiyah adalah adanya


sosok pimpinan yang kuat sebagai seorang figur di kalangan mereka. Untuk
menjaga keberlangsungan sebuah kekuasaan maka harus didukung oleh kekuatan
menyeluruh. Khalifah pertama daulah Abbasiyah adalah Abu Abbas As-Safah.
Langkah awal Khalifah Abu Abbas dalam mempertahankan keberlangsungan
pemerintahannya adalah membersihkan pemerintahannya dari siaa-siaa Dinasti
Umayyah. Cara yang ia tempuh yaitu melalui cara-cara militer. sehingga ia
mendapatkan gelar As-Safah yang artinya si Haus Darah.

Khalifah Abu Abbas tidak meninggalkan misi gerakan dalam merebut


kekuasaan, yaitu dengan gerakan dakwah. Maka setelah berkuasa ia menyebarkan
Islam ke luar Jazirah Arab sehingga memungkinkan bangsa Arab berhubungan
Iangsung dengan bangsa-bangsa non-Arab. Hasil dari interaksi tersebut adalah
kebudayaan. Dampak yang menyertai adanya kebudayaan adalah timbulnya
berbagai kelas dalam masyarakat Islam Beberapa kelas di masyarakat ketika itu
antara lain kaum Arab, kaum muslim non-Arab, dan kaum nonmuslim (zimmi).

A. Kondisi Sosial

Ketika Dinasti Umayyah berkuasa, kelas tertinggi dinikmati oleh kaum


muslimin Arab di Suriah, yang kemudian menimbulkan kesenjangan pada
masyarakat. Kesenjangan yang berdampak pada kecemburuan sosial itu menjadi
bumerang bagi Dinasti Umayyah. Kekecewaan rakyat menyebar luas dan
timbullah pemberontakan yang berujung pada keruntuhan Dinasti Umayyah.

Dinasti Abbasiyah berdiri berkat dukungan dan bantuan kaum muslim


lainnya. Mereka itu adalah masyarakat Mekah, Madinah, Irak, juga kaum Syiah
(pendukung keturunan Ali). Dukungan yang meluas itu disebabkan keberhasilan
para pemimpin Dinasti Abbasiyah yang berkampanye pentingnya persatuan dan
kesatuan sesama kaum yang tertindas dan sesama keturunan Hasyim. Sementara
itu dukungan dari kaum muslim non-Arab yang terbesar berasal dari orang-orang
Persia, yang tidak puas dengan pemerintahan Dinasti Umayyah. Ketika itu mereka
dianggap sebagai kaum Mawali, warga negara kelas dua, dan hak-hak sebagai
warga negara terabaikan. Dengan adanya berbagai dukungan tersebut Dinasti
Abbasiyah memiliki kekuatan yang besar yang akhirnya mampu menggulingkan
Dinasti Umayyah.

Maka ketika dinasti Abbasiyah berkuasa, hak-hak masyarakat muslim


non-arab disamakan. Bahkan dalam beberapa periode mereka mempunyai peran
cukup penting dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mereka adalah kaum
Barmak, Dinasti Buwaihiyah, dan Dinasti Seljuk

Keluarga Barmak adalah keluarga bangsawan terhormat dari Balkh,


Persia. Bangsawan yang pertama kali menjalin hubungan dengan keluarga
Abbasiyah yaitu Khalid bin Barmak. Mereka ikut andil dalam gerakan dakwah
Dinasti Abbasiyah dan berperan besar dalam proses berdirinya kekuasaan dinasti
ini. Khalid bin Barmak juga berjasa besar ketika berhasil meredakan
pemberontakan di Mesopotamia. Dalam waktu yang cukup lama ia menjadi
gubernur di sana.

Ketika khalifah Abu Jafar Al-Mansur menetapkan adanya jabatan wazir,


Khalid bin Barmak ditunjuk memegang jabatan ini. Hampir 50 tahun Iamanya ia
menjabat sebagai wazir pertama. Jabatan itu kemudian diturunkan kepada
anaknya bernama Yahya bin Khalid. Kemudian diturunkan lagi kepada anaknya
yang bernama Ja'far bin Yahya. Sedangkan anaknya yang lain, yaitu Fadl bin
Yahya, menjadi gubernur Persia Barat dan Khurasan.

Golongan lain yang berperan cukup penting pada daulah Abbasiyah adalah
Dinasti Buwaihiyah. Mereka berasal dari golongan Syiah dan merupakan
keturunan Buwaih yang berasal dari suku Dailami yang tinggal di daerah
pegunungan di sebelah barat daya laut Kaspia. All bin Buwaih yang berkuasa di
AI-Ahwaz dan Khuziatan. Putra keturunan Buwaih itu diakui sebagai sultan oleh
khalifah Dinasti Abbasiyah.

Dinasti Buwaihiyah pernah berpengaruh dalam pemerintahan Dinasti


Abbasiyah selama hampir satu abad (945-1055 M). Pada masa itu, khalifah
dianggap sebagai simbot belaka, semua kebijakan diambil alih oleh Dinasti
Buwaihiyah.

Kelompok pendukung yang pernah berperan dalam pemerintahan Dinasti


Abbasiyah lainnya adalah Dinasti Seljuk. Mereka yang mengendalikan
pemerintahan, sementara khalifah hanya menjadi boneka di iatana Bagdad.
Dinasti Seljuk beraliran Islam suni, sama dengan Dinasti Abbasiyah dan berbeda
dengan Dinasti Buwaihiyah yang beraliran Syiah. Interaksi yang terjadi antara
masyarakat Arab dengan non-Arab memberi warna baru di bidang sosial dan
budaya. Karena adanya persamaan hak dan tidak terjadi perbedaan kelas antara
penduduk Arab dan non-Arab, maka bebas menyumbangkan pemikiran, ide, dan
konsep yang penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

B. Kemajuan Politik Dan Militer

Perkembangan di bidang politik dan militer pada pemerintahan Dinasti


Abbasiyah dibedakan ke dalam lima periode. Setiap periode ditandai adanya
perubahan dalam hal pemegang kekuasaan, siatem pemerintahan, dan kebijakan
militer. Berikut ini akan kita bahas tentang perkembangan bidang politik dan
militer Dinasti Abbasiyah pada tiap-tiap periode.

Periode Pertama

Periode pertama ini biasa diaebut periode pengaruh Persia pertama.


Diaebut demikian karena pada periode ini pemerintahan Dinasti Abbasiyah sangat
kental dipengaruhi oleh sebuah keluarga dari bangsa Persia, yaitu keluarga
Barmak.

Keluarga Barmak ini didirikan oleh seorang yang bernama Khalid bin
Barmak. la merupakan salah satu orang yang ikut berjasa dalam usaha merebut
kekuasaan Dinasti Umayyah dengan kekuatan militer Dinasti Abbasiyah. Ketika
Khalifah Abu Jafar Al-Mansur berkuasa, Khalid bin Barmak ditunjuk untuk
menduduki posiai sebagai wazir. Akhirnya keluarga Barmak secara turun
menurun mempunyai pengaruh dan peran yang sangat penting dalam
pemerintahan Dinasti Abbasiyah hingga masa kekuasaan Khalifah Harun Al-
Rasyid.

Para khalifah Dinasti Abbasiyah sejak yang pertama hingga khalifah


terakhir secara terus menerus selalu mengandalkan kekuatan militer sebagai upaya
untuk menegakkan pemerintahan. Dengan dukungan bala tentara dan siatem
kemiliteran yang kuat maka cita-cita untuk menegakkan pemerintahan dan negara
biaa terwujud. Kekuatan militer dikerahkan oleh Dinasti Abbasiyah untuk yang
pertama kali adalah ketika dinasti ini berusaha mendirikan kekhalifahan. Setelah
itu, kekuatan militer dilakukan dalarn rangka mempertahankan kedaulatan negara
dari ancaman pemberontak dan serangan kerajaan lain.

Khalifah Abu Abbas As-Safah menggunakan kekuatan militer untuk


menghancurkan siaa-siaa kekuatan Dinasti Umayyah. Paman Khalifah Abu Abbas
As-Safah yang bernama Abdullah bin Ali sebagai pengatur dalam upaya
melenyapkan seluruh keluarga dan kaki tangan Dinasti Umayyah. Keberanian,
ketegasan, dan kekejaman dalam setiap peperangan yang dilakukannya membuat
Abu Abbas mendapat julukan As-Safah yang artinya Si Haus Darah.

Khalifah Abu Abbas meninggal pada tahun 754 M kemudian kekuasaan


pindah ke tangan saudaranya yang bernama Abu Jafar Al-Mansur. la mampu
mengkondisikan potensi pendukung Dinasti Abbasiyah dan bersikap keras kepada
siapa pun yang berusaha menggoncang kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Salah satu
contoh sikap itu ditunjukkan ketika ia menghentikan pemberontakan yang
dilakukan oleh pamannya sendiri yang bernama Abdullah bin Ali. Pamannya itu
diangkat sebagai gubernur di Suriah oleh Abu Abbas As-Safah disertai janji
bahwa ia akan diangkat sebagai khalifah menggantikannya. Tetapi, belakangan
yang menjadi khalifah ternyata Abu Jafar Al Mansur. Karena kecewa, maka
Abdullah bin Ali kecewa memberontak. Mengatasi pemberontakan itu Abu Jafar
Al-Mansur mengutus Abu Muslim Al-Khurasani untuk menumpasnya. Dalam
pertempuran yang terjadi di dekat Nasibin, pasukan Abu Muslim Al-Khurasani
berhasil mengalahkan pasukan pemberontak Abdullah bin Ali.

Dalam perkembangan selanjutnya, Khalifah Abu Jafar Al-Mansur berpikir


bahwa secara politis Abu Muslim Al-Khurasani bisa mengancam kedudukannya,
karena kekuatan militer ada di belakang Abu Muslim AI-Khurasani dan
pendukungnya sangat besar di Khurasan. Maka Khalifah Abu Jafar AI-Mansur
rnenggeser posisinya dari Khurasan menjadi Gubernur di Suriah.

Perintah itu tentu saja ditolak oleh Abu Muslim Al-Khurasani karena
Khurasan adalah negeri sendiri. Abu Muslim Al-Khurasani akhirnya dijatuhi
hukuman mati pada tahun 755 M. Para pengikut Abu Muslim Al-Khurasani
kemudian mengadakan pemberontakan menuntut balas, tetapi pemberontakan
tersebut dapat diatasi oleh khalifah Abu Jafar Al-Mansur.

Pemberontakan terjadi lagi pada tahun 758 M oleh kaum Rawandiyah.


Setelah pemberontakan itu dapat diredam, muncul lagi pemberontakan
Muhammad dan Ibrahim. Khalifah Abu Jafar Al-Mansur kemudian bersikap keras
terhadap setiap pemberontakan ini. Pasukan Dinasti Abbasiyah yang dipimpin
oleh isa bin Mahan berhasil melumat mereka.

Di Mesopotamia juga muncul pemberontakan, yaitu oleh kaum Khayar


dan kaum Kurdi. Akhirnya Khalid bin Barmak ditunjuk menjadi gubernur di sana
untuk meredam pemberontakan itu. Disusul kemudian, kaum Khawarij di Afrika
Utara. Untuk mengatasinya, Khalifah Abu Jafar Al-Mansur menunjuk Aqlab
sebagai gubernur di sana, yaitu pada tahun 765 M.

Selain untuk mengatasi pemberontakan dalam negeri, kekuatan militer


juga pernah dikerahkan oleh Khalifah Abu Jafar Al-Mansur untuk urusan luar
negeri, Misalnya, dalam upayanya merebut kembali Spanyol dari tangan Abdullah
Ad-Dakhil. Usaha ini gagal. Pasukan Khalifah Abu Jafar Al-Mansur juga
berperang melawan Bizantium. Pada tahun 759 M, Khalifah Abu Jafar Al-Mansur
memimpin langsung sebuah ekspedisi ke Tabariatan.

Penerus kekuasaan Abu Jafar Al-Mansur adalah anaknya yang bernama


Al-Mandi. Tetapi, Khalifah Al-Mandi tidak sejalan dengan ayahnya. AI-Mandi
menghadapi lawan-lawan politiknya dengan cara yang lebih lembut. Hasan, anak
Ibrahim sebagai lawan politik yang dijebloskan ke penjara oleh ayahnya, ia
bebaskan. Hak-hak istimewa kota-kota suci yang pernah dicabut oleh ayahnya, ia
kembalikan seperti semula. Al-Mandi juga mengembalikan seluruh harta para
keturunan Nabi dan Ali bin Abi Thalib yang dirampas oleh ayahnya.
Suatu ketika ada seorang bernama Hisyam bin Hakim. la seorang laki-laki
bertubuh kecil yang berwajah jelek. Ciri-cirinya, selalu mengenakan topeng untuk
menyembunyikan wajahnya. Maka ia juga dijuluki Al-Muqanna. Orang itu
mengaku sebagai "nabi yang berkerudung" dan berhasil mempengaruhi banyak
orang menjadi pengikutnya kemudian menentang pemerintahan Dinasti
Abbasiyah. Namun, ia berhasil dipatahkan dan dibunuh.

Ada lagi seorang Syaikh bernama Ibnu Abdul Quddus yang menyebarkan
ajaran-ajaran zoroasterianisme yang terselubung. Para penganutnya dinamakan
kaum Zindik. Khalifah AI-Mandi tidak tinggal diam, karena mereka telah
merusak budaya masyarakat dan agama. Mereka akhirnya mereka dapat
diberantas seakar-akarnya.

Pertempuran melawan pasukan Bizantium tersulut ketika mereka


mengganggu wilayah-wilayah di perbatasan. Komando pasukan pemerintah
Abbasiyah dipegang oleh Ibnu Kahtaba berhasil melumpuhkan pasukan
Bizantium. Peperangan berikutnya, Khalifah AI-Mandi berangkat ke Mosui untuk
menghalau orang-orang Romawi. Tentara Romawi berhasil dihalau. Ratu
Bizantium bernama Irene, yaitu janda Raja Leo VI menyatakan menyerah dan
bersedia menyerahkan upeti tahunan kepada kaum muslimin.

Khalifah berikutnya sepeninggal AI-Mandi adalah Al-Nadi. Tetapi, ia


memerintah hanya sekitar satu tahun, meninggal karena sakit. Ketika itu, terjadi
pemberontakan oleh seorang keturunan Ali bernama Idris, yang masih saudara
Muhammad dan Ibrahim. Setelah gagal, ia mengungsi ke Magrib (Maroko) dan
tinggal di Kota Fez. Idris kemudian mendirikan Dinasti Idrisiyah yang berkuasa
bagian utara Afrika (sekarang termasuk wilayah Maroko dan Aljazair). Dinasti ini
bertahan sekitar dua abad lamanya.

Pada tahun 786 M, Harun Al-Rasyid menduduki tahta kekhalifahan. Harun


Al-Rasyid adalah khalifah termasyur dalam sejarah daulah Abbasiyah. Namanya
menjadi legenda dalam kisah "seribu satu malam". Kemasyhuran Harun AI-
Rasyid sejajar dengan Charlemagne (Karel Agung) Raja Franca yang kemudian
sebagai kaisar Romawi. Dua penguasa berpengaruh ini mengadakan hubungan
diplomatik, dan bersatu ketika menghancurkan Dinasti Umayyah di Spanyol dan
Bizantium. Kepiawaian Harun Al-Rasyid dibuktikan dengan kemampuannya
menjalin hubungan politik dengan para penguasa, misalnya dengan raja-raja di
daratan Cina.

Pada awal pemerintahan Harun Al-Rasyid, kaum Khawarij mengadakan


pemberontakan lagi. Untuk menumpas pemberontak itu, Ibrahim bin Aqlab
diangkat menjadi gubernur di sana. Prestasi Ibrahim bin lqbal adalah
keberhasilannya memulihkan keamanan dan kestabilan politik. la juga mampu
menyetor 40.000 dinar tiap tahun ke Bagdad. Sebagai hadiah, Khalifah Harun Al-
Rasyid memberinya jabatan gubernur Afrika Utara kepada Ibrahim hingga turun
temurun yang akhirnya mereka dikenal dengan Dinasti Aqlabiyah.

Pemberontakan juga terjadi di Armenia dilakukan oleh orang-orang


Khazan yang dibantu oleh bangsa Yunani. Tak lama mereka berhasil
dilumpuhkan. Kabul dan Sanjar masuk dalam wilayah kekuasaan Dinasti
Abbasiyyah, pada tahun 787 M. Ratu Irene bersama pasukah Bizantium membuat
kekacauan lagi di wilayah-wilayah perbatasan. Irene mati di tangan panglimanya
sendiri, seorang perwira Romawi bernama Nicleporus untuk merebut takhta
Bizantium pada tahun 802 M. Konflik internal di Bizantium itu dimanfaatkan oleh
Khalifah Harun Al-Rasyid. Bizantium diserbu, kemudian berhasil menduduki
Heraclea dan Tyana pada tahun 806 M.

Dinasti Barmak yang merupakan mitra Dinasti Abbasiyyah terpaksa harus


habis pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid ini. Keluarga Barmak yang berhasil
mendukung para khalifah sebelumnya, telah mengangkat derajad keluarga mereka
dengan kekayaan yang melimpah. Mereka mendirikan istana yang megah, yang
kemegahannya hanya berada sedikit di bawah istana Kalifah. Kemasyhuran
mereka sejajar dengan para khalifah.

Keadaan itu menimbulkan kecemburuan dan rasa iri para bangsawan Arab.
Fazal bin Rabi, seorang bangsawan Arab memberi laporan kepada khalifah bahwa
keluarga Barmak mengadakan gerakan bawah tanah untuk menghancurkan
Dinasti Abbasiyah. Akhirnya anggota keluarga Barmak mendapat hukuman dari
Khalifah Harun Al-Rasyid.
Pada tahun 809 M Khalifah Harun Al-Rasyid meninggal dan
kedudukannya digantikan oleh putranya yang bernama Al-Amin. Ratu Zubaidah
dan saudaranya, Isa bin Jafar, meminta agar ketiga putranya yaitu Al-Amin, AI-
Makmun, dan Qasim diangkat sebagai khalifah berturut-turut. Tetapi, dalam
waktu tak berapa lama, terjadi perang saudara antara Al-Amin dengan Al-
Makmun memperebutkan takhta kekhalifahan. Perang saudara itu diawali oleh
adanya persaingan dan kecemburuan antara bangsawan Arab dan bangsawan di
istana Bagdad. Kelompok bangsawan Arab mendukung Al-Amin, sedangkan
kelompok bangsawan Persia di belakang AI-Makmun. Basis pertahanan Al-
Makmun berada di Khurasan.

Al-Amin mengerahkan 50.000 pasukan di bawah komando Ali bin Isa.


Menghadapi pasukan Al-Amin itu Al-Makmun mengirimkan 40.000 tentara yang
dipimpin oleh Tahir bin Husain. Pertempuran pun terjadi di dekat Ray pada tahun
811 M. Dalam pertempuran itu, Tahir bin Husain mampu mengungguli Ali bin
Isa. Disusul kemudian, jendral-jendral AI-Makmun berhasil menghabisi tentara
Al-Amin. Setelah beberapa saat di kepung dari berbagai penjuru, akhirnya
pasukan AI-Makmun berhasil menguasai Bagdad Pada tahun 813 M. Al-Amin
meninggal dalam peperangan itu. Melihat kiprah bangsa Arab di pentas kekuasaan
Dinasti Abbasiyah, maka secara politis, kemenangan AI-Makmun atas Al-Amin
dapat dipahami sebagai dominasi bangsa Persia atas bangsa Arab.

Semenjak AI-Makmun dinobatkan sebagai khalifah hingga pada enam


tahun pertama, ia belum menduduki takhta di Bagdad. Waktunya ia habiskan
untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan di Merv, Khurasan. Tujuan Al-
Makmun meninggalkan istana tersebut adalah sebagai berikut.

a. Mendinginkan suasana dan reaksi masyarakat ibukota atas


meninggalnya Al-Amin.
b. Menyelidiki kekuatan pendukung Al-Amin di lingkungan keluarga
Dinasti Abbasiyah.

Selama tahta dikosongkan, kendali pemerintahan dikuasakan kepada Fazal


bin Sahal. Pemerintahan baru di bawah pimpinan Fazal bin Sahal itu sudah harus
menghadapi pemberontakan kaum Baduy di Irak, dan kelompok Syiah yang
merasa berhak atas kekhalifahan.

Sementara itu, selama berada di Merv, khalifah AI-Makmun justru


terpengaruh aliran Syiah. Sampai-sampai ia ingin mewariskan kekhalifahan
kepada Imam Ali Reza. Tetapi, pengalihan kekuasaan itu batal karena Imam All
Reza meninggal terlebih dahulu.

Sepulang dari pengasingan di Khurasan, pada tahun 819 M Khalifah Al-


Makmun mengambil alih kendali pemerintahan. la Memulai dengan gebrakan
penyerahan kekuasaan baru. Kota-kota suci diserahkan kepada keturunan Ali,
Kufah dan Basrah kepada dua orang saudara khalifah. Tahir bin Husain sebagai
gubernur Khurasan, dan Abdullah anak Tahir bin Husain menjadi gubernur di
Mesir dan Suriah.

Pada tahun 826 M, Khalifah Al-Makmun menikahi Khadijah Buran, anak


Hasan bin Sahal. Perkembangan selanjutnya Khadijah Buran banyak
mempengaruhi hampir setia kebijakan khalifah.

Dalam kepemimpinan Khalifah AI-Makmun ini, terjadi pengerahan


militer, antara lain ketika menghentikan pemberontakan kaum Khawarij di
Khurasan. Tahir bin Husain yang menumpas pemberontakan tersebut. Atas
keberhasilannya itu, Tahir bin Husain memerintah di Khurasan secara turun
temurun, hingga akhirnya terkenal sebagai Dinasti Tahiriyah. Pengerahan militer
berikutnya, yaitu ketika berperang melawan bangsa Romawi. Khalifah AI-
Makmun membangun benteng-benteng sebagai pertahanan militer di Tayanna,
Asia Kecil.

Setelah Khalifah Al-Makmun meninggal pada tahun 833 M, kekhalifahan


Dinasti Abbasiyah dipegang oleh Al-Muktasim saudara Al-Makmun.
Sebagaimana pendahulunya, Khalifah Al-Muktasim juga menganut aliran
Mutazilah.

Keputusan yang paling penting selama pemerintahan Khalifah Al-


Muktasim adalah merekrut orang-orang Turki menjadi tentara yang dibayar secara
profesional. Perekrutan orang-orang Turki ini dilakukan untuk mengimbangi
kekuatan pengawal pribadi khalifah yang menuntut berlebihan yang tidak biaa
dipenuhi oleh khalifah.

Dalam perkembangannya, justru tentara Turki tersebut makin


mendominasi pemerintahan, bahkan mereka ikut campur tangan dalam
pengangkatan raja-raja bawahan dan gubernur. Keadaan ini diaadari oleh Khalifah
Al-Muktasim maka kemudian ia berupaya menghapus dominasi tentara Turki
tersebut dengan memindahkan pengendalian pemerintahan ke Samara. Di ibukota
baru ini, ia membangun istana dan barak-barak militer bagi sejumlah 250.000
tentara.

Pada pemerintahan Khalifah Al-Muktasim terjadi pemberontakan oleh


kaum Zatt. Mereka adalah orang-orang yang berimigrasi ke Persia beberapa abad
sebelumnya. Mereka tinggal di pinggiran tertentu sepanjang Sungai Tigria dan
Eufrat. Pendapatan mereka dari hasil merampok khafilah-khafilah dagang,
menyerang pemukiman penduduk, dan memungut bea masuk bagi kapal-kapal
yang melewati daerah kekuasaan mereka. Selain berpengaruh terhadap pemasukan
negara hal itu menyebabkan pasokan barang ke Bagdad terputus.

Khalifah Al-Muktasim menumpas pemberontakan dan mengusir kelompok


itu dengan tegas. Sebagian dari mereka pindah ke perbatasan Siailia, sebagian
yang lain menyeberang ke Eropa dan ada pula yang pergi mengembara.

Pemberontakan lain terjadi pada tahun 839 M oleh seorang pangeran dari
Tabariatan yang bernama Maizar.

Pemberontakan itu dapat diatasi dengan mudah. Pengganti Khalifah Al-


Muktasim adalah khalifah AI-Wasiq. la sebagai khalifah terakhir pada periode
pertama. Keputusan yang paling menentukan yaitu dengan menunjuk seorang
perwira Turki bernama Asyaus menjadi wakilnya. Kedudukan ini sangat
menguntungkan posiai orang-orang Turki, sebaliknya merugikan posiai orang-
orang Arab. Pemberontakan yang terjadi pada masa itu dagang dari orang suci
yang bernama Ahmad bin Nasr di Bagdad, yang menentang pemindahan penguasa
dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah kepada kaum non-Muktazilah. Ahmad bin
Nasr akhirnya tertangkap kemudian diadili dengan tuduhan melakukan bid'ah.
Ahmad bin Nasr mati sebagai pahlawan kaum Muktazilah.

Anda mungkin juga menyukai