Anda di halaman 1dari 16

PERADABAN ISLAM DAULAH ABBASIYAH

(132-656 H/ 749-1258 M)

A. Berdirinya Pemerintahan Abbasiyah


Berdirinya Dinasti Abbasiyah berawal dari perjuangan yang dilakukan
oleh keturunan Al-Abbas, sedangkan penamaan Dinasti Abbasiyah
dinisbatkan kepada al-Abbas paman Rasulullah saw. khalifah pertama dari
pemerintahan ini adalah Abbdullah ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin
Abbdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.1
Latar belakang dinasti ini dimulai dari seorang bernama Ali Ibn
Abdullah Ibn Al-Abbas. Ia dekat dengan khalifah Umayyah. Oleh karena itu,
Khalifah Al-Walid Ibn Abd Al-Malik memberi kepada Ali sebuah tempat
bernama Humaymah, dekat Damaskus. Humaymah merupakan tempat yang
tentram. Namun keadaan berubah ketika al-Imam Muhammad bin Ali,
memiliki keinginan meletakkan dasar-dasar kekuasaan deangan cara
merebutnya dari Bani Umayyah.2
Abbasiyah muncul sebagai sebuah dinasti dalam lintasan sejarah
merupakan sebuah revolusi dalam sejarah Islam. Revolusi berlangsung tidak
melalui kudeta terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa yaitu Bani
Umayyah, Muhammad bin Ali mulai melakukan pergerakannya dengan
langkah-langkah di antaranya: pertama, membuat propaganda untuk
menghasut rakyat menentang kekuasaan Umayyah. Kedua, membentuk faksi-
faksi Hamimah (pengikut Syiah), faksi Kufah (Bani Abbas) dan faksi
Khurasan (Mawali). Ketiga faksi ini bersatu dalam satu tujuan yaitu
menumbangkan dinasti Umayyah.3
Ide untuk mengambil kekuasaan tersebut didasari oleh pandangan
bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rassulullah saw,.4
1
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta, 2009. Hlm. 136
2
Saifuddin Anshar, Endang, Wawasan Islam Pokok-pokok Pikiran tentang Umat Islam dan Umatnya,
Rajawali Press, Jakarta, 1990.
3
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam (Melacak Akar-akar Sejarah,
Politik, Sosial, dan Budaya Umat Islam), Rajawali Pers, Jakarta, 2004.
4
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam, Penerbit Kota
Kembang, Yogyakarta, 1989. Hlm. 99
Dasar pemikiran yang demikian sangatlah wajar, karena Rasulullah
saw. adalah utusan Allah swt. untuk memimpin umat. Dia merupakan orang
yang suci, sehingga akan menurunkan keturunan yang baik. Selanjutnya
dengan ide tersebut akan melahirkan kebencian dan kemarahan terhadap
dinasti Umayyah.
Setelah Muhammad bin Ali meninggal tahun 124 H/743 M, perjuangan
dilanjutkan oleh saudaranya Ibrahim sampai sampai tahun 132 H/749 M.
Gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin
Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan
dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya diekskusi. Ia mewasiatkan kepada
adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia
akan dibunuh.5
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah,
ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abdullah bin Ali, salah
seorang paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah
terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri,
dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Al-Fayyum tahun 132 H/750 M di
bawah pimpinan Salih bin Ali, seorang paman Al-Abbas. Dengan demikian,
runtuhlah kekuasaan dinasti Umayyah, dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang
dipimpin oleh khalifah pertama, yaitu Abul Abbas Ash-Shaffah dengan puasat
kekuasaan awalnya di Kufah (Amin, 2009: 140). Dinasti ini berdiri pada tahun
132 H/750 M dan berdiri selama 524 tahun, kalau dihitung dengan tahun
hijrah atau 509 tahun dalam tahun masehi sampai tahun 656 H/1258 M, ketika
ditaklukkan oleh kaum Tartar. Usia yang panjang dari Dinasti Abbasiyah
dipenuhi oleh pasang surutnya kemajuan dalam khazanah sejarah dan
peradaban Islam. Pemerintahan Abbasiyah dapat dibagi kepada dua periode
sebagaimana yang banyak diistilahkan kalangan sejawan, yaitu:
a. Periode pertama (132-247 H/749-861 M)
Periode ini dianggap periode emas Abbasiyah karena kemajuan-kemajuan
yang dicapai dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Para
khalifah Abbasiyah I berhasil menciptakan kondisi negara dalam keadaan
aman dan kondusif. Hampir semua musuh-musuh kerajaan yang tumbuh,

5
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam (Melacak Akar-akar Sejarah,
Politik, Sosial, dan Budaya Umat Islam), Rajawali Pers, Jakarta, 2004. Hlm. 47
baik pemberontakan dari dalam, ataupun serangan dan gangguan-
gangguan yang datang dari luar seperti Romawi, berhasil dikalahkan.
b. Periode kedua (247-656 H/861-1258 M)
Periode ini adalah masa lemahnya para khalifah dan lenyapnya kekuasaan
mereka.
B. Sistem Pemerintahan Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah adalah sebuah kerajaan yang didirikan setelah
berhasil menghapus kekuasaan Dinasti Ummayyah. Dalam pelaksanaan
pemerintahan dinasti, terkadang menggunakan sistem pemerintahan yang
pernah dipraktekkan pada dinasti-dinasti yang berlangsung sebelumnya,
menurut penulis penggunaan sistem pemerintahan yang sudah ada dan
modifikasi akan mempermudah pelaksanaan dan mempercepat pergerakan
pemerintahan untuk lebih maju. Abu Ja‟far al-Mansur pada awal peletakan
dasar-dasar sistem pemerintahan Abbasiyah berpegang pada ajaran Islam.
Dengan mengambil hukum kepada al-Qur‟an dan menganggap dirinya sebagai
Sulthanullah di muka bumi (al-Asy, 2007: 42).
Sistem ini didukung penuh oleh orang-orang Persia karena sesuai
dengan anggapan orang Persia kuno bahwa kekuasaan itu berasal dari Dewa.
Dengan anggapan orang Persia seperti ini bahwa pemerintahan Abbasiyah
tidak menyimpang dari kebiasaan yang mereka lakukan selama ini, sehingga
Abbasiyah diterima dan mendapat dukungan penuh oleh orang persia. Sistem
ini dapat juga disebut sebagai Islamisasi sistem kepemimpinan kaisar Persia
pada zaman sebelumnya. Dengan demikian khalifah tidak hanya mengurus
urusan dunia, tetapi juga menjadi pemimpin dalam bidang keagamaan
(Mufrodi, 1997: 101).
Pernyataan ini menunjukan bahwa Dinasti Abbasiyah bukanlah sebuah
dinasti yang menganut paham sekuler seperti yang dikatakan oleh Cyril Glass
(1999: 1). Walaupun sebagian para khalifah bertindak kurang sesuai dengan
ajaran Islam. Dalam bidang administrasi pemerintahan Abbasiyah menerapkan
dan mengembangkan sistem yang ada pada Dinasti Umayyah yang terakhir.
Dinasti Abbasiyah banyak mewarisi berbagai tradisi, praktek, keahlian, dan
bahkan personil administrasi Umayyah, dengan beberapa modifikasi. Khalifah
Abbasiyah yang kedua Al-Mansur mengakui bahwa mereka berhutang budi
kepada Hisyam, khalifah terakhir Umayyah dalam hal pengorganisasian
negara (Lewis, 1994: 80).
Untuk mengurus suatu daerah dinasti ini memberi kesempatan besar
kepada penduduk setempat tanpa diskriminasi sosial dan eksklusifisme.
Bersamaan itu terjadi perubahan yang paling drastis yang terjadi dalam
kalangan Muslim, yaitu penghilangan supremasi kasta dan menerapkan prinsip
universal di kalangan muslim. Menghilangkan anakronisme bangsa Arab
dalam militer dan menjadikan sebagian besar Muslim sebagai pendukung
Abbasiyah (Lapidus, 1999: 107).
Hilangnya anakronisme arab dan mulai berperannya orang-orang
persia dalam Dinasti Abbasiyah tidaklah berarti bahwa Abbasiyah telah
berhasil mendominasi kekuasaan atau berhasil mengalahkan srpremasi Arab,
karena orang-orang Arab masih punya peran penting dalam sistem kerajaan,
akan tetapi situasi ini adalah suatu kemajuan dalam penerapan universalitas
kemanusiaan dan persamaan hak, yang bahwa tidak ada suatu kaum
mempunyai hak menguasai kaum lainnya. Seluruh Muslim diberi kesempatan
untuk berperan dalam militer dan pemerintahan sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Prinsip egaliter ini benarbenar ditegakkan pada Abbasiyah
priode pertama, sehingga orang-orang Persia, Turki dan orang-orang Ajam
lainnya yang dimasa Dinasti Umayyah dianggap sebagai second class citizens
(Hasan, 1995: 263).
Pada masa Abbasitah memperoleh hak yang sama dengan orang-orang
Arab dalam berpolitik. Dengan demikian pada masa Abbasiyah hak asasi
manusia telah mengalami kemajuan dibandingkan pada masa sebelumnya,
tampa membedakan dari keturunan dan kasta seluruh bangsa terlibat bersama-
sama dalam pengelolaan negara. Hal baru yang dikenalkan oleh Dinasti
Abbasiyah ialah pengangkatan wazir dalam pemerintahan negara. Wazir itu
adalah kepala dari seluruh aparat administrasi negara dan sebagai jabatan
ekseklusif yang langsung berada di bawah khalifah. Jabatan ini adalah baru
dan belum dikenal dalam Dinasti Umayyah, namun tugas-tugas ini
sebelumnya dilaksanakan oleh al-Khatib atau sekretaris.dengan adanya jabatan
ini, lambat laun peran keluarga khalifah secara subtansial digantikan oleh
bentuk pemerintahan yang lebih maju dan rasional, yang memberi kesempatan
lebih besar kepada non-keluarga khalifah untuk ikut serta memberi saran dan
bahkan dalam mengambil keputusan politik di tingkat elit. Sebagai Wazir
pertama diangkat Ja‟far bin Yahya, seotang laki-laki dari Barmakiah, sebuah
marga keturunan Persia dari Balk (Glasse, 1999: 3).
Di bawah kekuasaan Khalifah Al-Mahdi (158-169 H/775-785 M) dan
Harun al-Rasyid (170-173 H/786-809 M) keluarga ini mempunyai pengaruh
besar, namun tidak menguasai seluruh pemerintahan (Lapidus, 1999: 110),
karena khalifah senantiasa mengontrol dan membatasi keluarga mereka. Nasib
mereka sangat tergantung kepada khalifah yang seringkali berubah secara
mendadak, bahkan pada tahun 167 H/803 M. Harun al-Rasyid menghukum
mati tokoh-tokoh Barmakiyah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Dinasti Abbasiyah menganut
sistem politik kebebasan dan keterbukaan, dimana sistem kemasyarakatan dan
pemerintahan Abbasiyah memungkinkan atau terdapat ruang masuknya segala
macam pengaruh asing dalam benruk apapun, namun pengaruh itu akan
terseleksi secara alamiyah dan pelaksanaannya oleh masyarakat, dimana
sesuatu yang dianggap sesuai dengan masyarakat akan terus terpakai,
sedangkan yang kurang sesuai akan rontok oleh zaman, bahkan termasuk
dinasti itu sendiri. Biarpun demikian Abbasiyah akan menyerang dan
melarang kelompok-kelpmpok yang berindikasi politik, seperti ingin
menggulingkan kekuasaan Abbasiyah. Untuk mempertahankan diri dari
kemungkinan pemberontakan dalam negeri dan ganguan dari luar maka
Dinasti Abbasiyah mengambil tindakan tegas dan selalu mawas terhadap
segala macam ancaman terutama keturunan Umayyah (Hasan, 1995: 263).
Banyak di antara pimpinan dan keturunan Umayyah yang terpaksa keluar dari
wilayah Abbasiyah dan lari ke Andalusia dan Afrika dikarenakan mendapat
tekanan dari Abbasiyah.
C. Khalifah Bani Abbasiyah Periode Pertama

No Khalifah Gelar Masa Berkuasa


1. Abul Abbas Abdullah bin Muhammad As-Saffah 132-136 H/749-753 M
2. Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al-Manshur 137-158 H/753-774 M
3. Muhammad bin Abdullah bin Muhammad Al-Mahdi 158-169 H/774-785 M
4. Musa bin Muhammad bin Abdullah Al-Hadi 169-170 H/785-786 M
5. Harun bin Muhammad bin Abdullah Ar-Rasyid 170-193 H/786-808 M
6. Muhammad bin Harun bin Muhammad Al-Amien 193-198 H/808-813 M
7. Abdullah bin Harun bin Muhammad Al-Makmum 198-218 H/813-833 M
8. Muhammad bin Harun bin Muhammad Al-Mu’tashim 218-227 H/833-841 M
9. Harun bin Muhammad bin Harun Al-Watsiq 227-232 H/841-846 M
10. Ja’far bin Muhammad bin Harun Al-Mutawakkil 232-247 846-
861 M

1. Abul Abbas as-Saffah (132-136 H/749-759 M)

Dia bernama Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas,
khalifah pertama pemerintahan Bani Abbasiyah. Ayahnya adalah orang yang
melakukan gerakan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah dan
menyebarkannya. Inilah yang membuat Abdullah banyak mengetahui tentang
gerakan ini dan rahasia-rahasianya. Dia diangkat oleh saudaranya yang bernama
Ibrahim sebelum ditangkap oleh pemerintahan Umawiyah pada tahun 129 H/746
M. Tertangkapnya Ibrahim membuat Abdullah harus berangkat ke Kufah
bersama-sama dengan pengikutnya secara rahasia.6

a. Ibukota
Kufah merupakan pusat gerakan Bani Abbasiyah dan di tempat ini pula
as-Saffah dibaiat sebagai khalifah. Kemudian dia tinggalkan dan menuju
Anbar yang kemudian dia jadikan sebagai ibukota negerinya.
b. Penaklukan pada masa pemerintahannya
As-Saffah banyak disibukkan dengan upaya untuk konsolidasi internal
untuk menguatkan pilar-pilar negara hingga saat itu belum sepenuhnya stabil.
Oleh sebab itu, dia tidak banyak fokus terhadap masalah-masalah penaklukan
ini karena pertempuran di kawasan Turki dan Asia Tengah bergolak.
c. Pemerintahan
Saat pasukan Abbasiyah menguasai Khurasan dan Irak, dia keluar dari
persembunyian dan dibaiat sebgai khalifah pada tahun 132 H/749 M. Setelah
itu dia mengalahkan Marwan bin Muhammad dan menghancurkan
pemerintahan Bani Umawiyah pada tahun yang sama. Kalau diperhatikan,
pemerintahan yang dipimpin oleh as-Saffah bersandar pada tiga hal utama:

6
Ahmad al-Usairy, Sejah Islam ‘sejak zaman nabi adam hingga abad xx. Hlm. 221
Pertama, pada keluarganya. Sebab, dia memiliki paman, saudara-
saudara, dan anak-anak saudara dalam jumlah besar. Mereka menyerahkan
kepemimpinan dan pemerintahan wilayah padanya.
Kedua, Abu Muslim Khurasani. Dia adalah panglima perang yang
jempolan. Dengan kekuatan dan tekadnya yang kokok, dia mampu
menaklukkan Khurasan dan Irak. Sehingga , membuka jalan yang lapang bagi
berdirinya pemerintahan Abbasiyah.
Ketiga, fanatisme golongan. Dia muncul pada akhir-akhir dan
melemahnya pemerintahan Umawiyah. Peluang ini ditangkap dengan manis
oleh bani Abbasiyah. Mereka bersama-sama dengan yumanium bergerak
melawan qaysiyun yang berpihak kepada bani Umawiyah.
d. Meninggalnya

Dia meninggal pada tahun 136 H/753 M., dan memerintah dalam
jangka waktu empat tahun.

2. Abu Ja’far al-Manshur (137-158 H/753-774 M)


Dia bernama Abdullah bin Muhammad Ali bin Abdullah al-Abbas. Dia
seorang yang paling terkenal dari penguasa bani Abbasiyah dengan
keberanian, ambisi, dan kecerdekiannya. Bersama dengan Abul Abbas, dia
pindah ke Kufah dan berusaha mendirikan pemerintahan Abbasiyah. Dia
merupakan tangan kanan al-Abbas sekaligus orang yang paling kuat. Dia
menjadi gubernur untuk wilayah Armenia dan Azarbaijan sebelum menjadi
khalifah. Dia menjadi khalifah sesuai dengan wasiat yang diberikan oleh
saudaranya al-Abbas.
a. Peristiwa-Peristiwa Penting di Zamannya

al-Manshur harus menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang


berbahaya yang bisa saja menggoncang kursi kedudukan dan mengguncanng
jiwa. Namun, dia tidak bergeming dengan semua pemberontakan tersebut.
Dengan segala kecerdikan, keuletan, kemahiran, dan siasatnya, dia berhasil
membabat semua pemberontakan itu. Di antara gerakan pemberontak yang
penting adalah sebagai berikut.

Pertama, pemberontakan Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali.


Pamannya ini menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling berhak
untuk memangku khalifah. Sebab, dialah yang membunuh Marwan bin
Muhammad dan dia pula yang menjadikan pilar-pilar kekuasaan Abbasiyah
menjadi kokoh dan kuat. Sebagaimana dia juga mengaku bahwa Saffah
mewasiatkan padanya untuk menjadi khalifah setelahnya. Dia dibaiat oleh
penduduk Syam dan Jazirah Arab. Dengan pasukannya, ia berangkat menuju
Haran dan berlindung di sana. Al-Manshur segera memberangkatkan Abu
Muslim Khurasani untuk menumpas pemberontakan itu. Abu Muslim terlibat
perang dengan Ali selama lima bulan. Ali kalah dalam peperangan dan
melarikan diri ke Bashrah. Al-Manshur menangkapnya pada tahun 137 H/753
M dan memenjarakannya hingga dia meninggal.

Kedua, pembunuhan Abu Muslim Khurasani. Abu Muslim adalah


seorang yang kuat dan cerdik. Dia berasal dari Persia dan merupakan satu-
satunya orang yang ditaati di Khurasan. Al-Manshur sangat khawatir Abu
Muslim membangkang terhadap pemerintahannya. Oleh sebab itulah, dia
mengundangnya datang setelah berhasil menumpas pemberontakan Abdullah
bin Ali. Abu Muslim datang setelah adanya paksaan yang terus-menerus dari
al-manshur. Lalu, al-Manshur membunuhnya pada tahun 137 H/753 M

Ketiga, pemberontakan Muhammad dan Ibrahim. Mereka adalah


anak dari Abdullah bin Hasan ibn Hasan bin Ali. Muhammad melakukan
pemberontakan di Madinah pada tahun 145 H/762 M. Al-manshur segera
mengirimkan pasukannya untuk memberangusnya. Sementara itu, saudaranya
yang bernama Ibrahim juga melakukan pemberontakan pada tahun yang sama
di Bashrah yang kemudian berhasil dia tundukkan. Setelah itu dia berhasil
menaklukkan sebagian besar wilayah Irak, Persia dan Ahwaz. Muhammad
juga memerangi al-Manshur dengan sengit. Namun, dia juga bertekuk lutut
pada tahun 145 H/762 M.

Keempat, Khawarij. Mereka bergerak kembali pada masa


pemerintahan al-manshur dan secara khusus di wilayah-wilayah Maghrib. Di
sana orang-orang Khawarij mendirikan sebuah negeri yang bernama
Shafariyah dan Sajalmasah di Maghrib pada tahun 140 H/857 M. Al-Manshur
segera bergerak untuk memerangi mereka.

b. Peradabannya
Benahi administrasi pemerintahan diawal jadi khalifah. Setelah
dilantik pada tahun 137 H/753 M, Al-Mansur langsung memfokuskan
perhatiannya pada pembenahan administrasi pemerintahan. Ia
memembentuk Wazir (penasihat atau koordinator departemen) untuk
mengkoordinasi departemen dari berbagai bidang. Khalid bin Barmak
menjadi wazir pertama dalam pemerintahan ini. Secara bertahap, ia mulai
membentuk lembaga protokoler negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara. Kemudian, ia menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai
hakim serta memperbaiki sistem pengelolaan pos yang sudah ada sejak masa
Bani Umayyah. Pembenahan administrasi ini harus ia lakukan diawal
pemerintahan agar dapat menghimpun seluruh informasi dari daerah-daerah
sekaligus menjadi pusat informasi untuk mengontrol para gubernurnya.

Memperluas jaringan politik. Setelah administrasi pemerintahan di


tata dengan baik, Al-Mansur mulai memperluas jaringan politik Bani
Abbasiyah. Ia kembali menaklukkan wilayah-wilayah Bani Abbasiyah yang
melepaskan diri dan menertibkan daerah perbatasan. Usahanya ini
tergambarkan dalam peristiwa perebutan benteng-benteng di Asia, Kota
Malatia, wilayah Cappadocia, dan Cicilia. Peristiwa ini terjadi pada tahun 756
sampai 758 M. Kemudian, Al-Mansur juga membangun hubungan diplomatik
dengan wilayah-wilayah di luar jazirah Arab. Seperti, mengadakan genjatan
senjata antara tahun 758 sampai 765 M dan membuat perjanjian damai dengan
Kaisar Constantine V, mengadakan penyebaran dakwah Islam ke Byzantium,
mengadakan kerjasama dengan Raja Pepin dari Prancis, serta menaklukan
daerah Afrika Utara pada tahun 761 M.

Mendirikan Kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan. Di awal


khalifah, pusat pemerintahan Bani Abbasiyah berada di Kota Anbar, Persia.
Kemudian dipindahkan ke Kota Kufah dan berakhir di Kota Baghdad. Kota
Baghdad sendiri terletak di tepi sungai Tigris dan Eufrat, Persia. Kota ini
dianggap sebagai daerah strategis karena sejak zaman Persia Kuno sudah
menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai
penjuru dunia, seperti para pedagang dari Cina dan India. 
Dalam membangun kota ini, Al Mansur mempekerjakan para ahli
bangunan dari Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100
ribu orang. Di kota ini terdapat parit besar yang berfungsi sebagai saluran air
sekaligus benteng, empat buah pintu gerbang sebagai jalur memasuki kota,
bangunan istana yang dilengkapi masjid hingga tempat tinggal pejabat
pemerintahan, serta pasar sebagai tempat perbelanjaan. Tidak hanya sebagai
pusat pemerintahan, kota ini juga menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan.
Bahkan, dalam kisah 1001 malam, Baghdad disebut sebagai kota impian.

Mulai mengembangkan ilmu pengetahuan dengan


menerjemahkan literatur. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada
masa Bani Abbasiyah dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far
Al-Manshur. Minat dan perhatiannya yang besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, mendorongnya untuk membuat kebijakan penyalinan literatur
secara besar-besaran ke dalam bahasa Arab. Literatur-literatur ini berasal dari
Iran, Irak, Grik, dan Siryani. Kemudian, Al-Mansur juga menghidupkan
kembali perguruan tinggi ketabiban di Jundishapur yang berdiri pada tahun
351-579 M, yang saat itu dibangun oleh Khosru Anushirwan (Kaisar Persia).
Untuk mendukung perkembangan pendidikan, ia juga menjadikan tawanan
perang berpengalaman dari Grik dan Roma sebagai tenaga-tenaga pengajar.

Setelah itu, ia juga kembali mendirikan sebuah perguruan tinggi


bernama “Baitul Hikmah” agar kiblat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam
berada di Kota Baghdad. Tak lupa, mengajak para ahli ilmu pengetahuan
untuk tinggal di Kota Baghdad dan menyokong perkembangan pendidikan
dengan pengadaan buku dari berbagai ilmu pengetahuan.

Demikianlah kisah singkat dari Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur.


Dibalik banyaknya khalifah yang berprestasi pada masa Bani Abbasiyah, ia
memilih menjadi cikal bakal kejayaan peradaban Islam dengan
memperhatikan hal-hal dasar, seperti perbaikan administrasi negara,
memperluas jaringan politik, hingga menyokong perkembangan ilmu
pengetahuan. Tentunya, hal ini menjadi salah satu dasar berkembangnya
peradaban.
Setelah menjalankan pemerintahan, Al-Mansur wafat dalam
perjalanannya ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji pada tahun 158
H/774 M. Ia meninggal dalam usia 57 tahun dalam masa pemerintahan selama
21 tahun. Kemudian, ia dimakamkan di Kota Makkah.

3. Muhammad al-Mahdi (158-169 H/774-785 M)


Ketika khalifah Abu Ja'far Al-Manshur meninggal di tengah perjalanan
untuk menunaikan ibadah haji, Al-Mahdi sedang berada di Baghdad
mewakilinya mengurus kepentingan negara. Di sanalah al-Mahdi mendengar
kabar kematian ayahnya tercinta sekaligus pengangkatan dirinya sebagai
khalifah.
Setelah merasa mampu menguasai kesedihannya, ia berpidato di
hadapan orang banyak. Di antara isi pidatonya, “Sesungguhnya Amirul
Mukminin adalah seorang hamba yang diminta, lalu dia penuhi permintaan itu.
Rasulullah Saw pernah menangis saat berpisah dengan orang-orang yang
dicintainya. Kini aku berpisah dengan sosok yang agung, kemudian aku diberi
beban yang sangat berat. Hanya kepada Allah aku mengharap pahala untuk
Amirul Mukminin, dan hanya kepada-Nya aku memohon pertolongan untuk
memimpin kaum Muslimin.”
Al-Mahdi dikenal sebagai sosok dermawan, pemurah, terpuji, disukai
rakyat serta banyak memberikan hadiah-hadiah. Selain itu, ia juga
mengembalikan harta-harta yang dirampas secara tidak benar. Ia lahir pada
129 H. Ada juga yang mengatakan 126 H. Ibunya bernama Ummu Musa binti
Al-Manshur Al-Himyariyah.
Al-Mahdi adalah khalifah pertama yang memerintahkan ulama untuk
menulis buku menentang orang-orang Zindiq dan mulhid (ingkar). Menurut
Adz-Dzahabi seperti dikutip Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’,
dialah yang pertama kali membuat jaringan pos antara Irak dan Hijaz.
Berbeda dengan pemerintahan ayahnya yang penuh dengan perjuangan
melawan berbagai kesulitan untuk menstabilkan keadaan negara, masa
pemerintahan Al-Mahdi bisa dikatakan masa kejayaan dan kemakmuran.
Rakyat dapat hidup dengan tenteram dan damai. Sebab negara pada waktu itu
berada dalam keadaan stabil dan mantap. Keuangan negara terjamin dan tidak
ada satu pun gerakan penting dan signifikan yang mengancam keselamatan
negara.
Masa pemerintahan Al-Mahdi dimulai dengan pembebasan para napol
(narapidana politik) dan tapol (tahanan politik). Kebanyakan dari golongan
Alawiyah (pendukung Ali), terkecuali para kriminal yang dipenjarakan
menurut undang-undang yang berlaku.
Pembangunan yang dilakukan di masa itu meliputi peremajaan
bangunan Ka’bah dan Masjid Nabawi, pembangunan fasilitas umum,
pembangunan jaringan pos yang menghubungkan kota Baghdad dengan kota-
kota besar Islam lainnya.
Di antara kebijakan Al-Mahdi adalah menurunkan pajak bagi golongan
kafir dzimmi, juga memerintahkan pegawai-pegawainya untuk tidak bersikap
kasar ketika memungut pajak, karena sebelumnya mereka diintimidasi dengan
berbagai cara agar membayar pajak.
Penaklukan di masa Khalifah Al-Mahdi meliputi daerah Hindustan
(India) dan penaklukan besar-besaran terjadi di wilayah Romawi. Selain itu,
Al-Mahdi juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menyimpang dari
ajaran Islam, yaitu mereka yang menganut ajaran Manawiyah Paganistik
(penyembah cahaya dan kegelapan) atau lebih dikenal dengan sebutan
kaum Zindiq. Setelah itu sebutan Zindiq dialamatkan kepada siapa saja yang
mulhid atau para ahli bid’ah.
Gerakan lain yang muncul pada masa kepemimpinannya adalah
gerakan Muqanna al-Khurasani yang menuntut dendam atas kematian Abu
Muslim al-Khurasani. Selain itu, gerakan ini merupakan percobaan Persia
untuk merebut kembali kekuasaan dan pengaruh dari bangsa Arab, khususnya
Bani Abbasiyah. Al-Muqanna mengajarkan kepada para pengikutnya tentang
pengembalian ruh ke dunia dalam jasad yang lain, yang lebih dikenal dengan
reinkarnasi. Tentu saja gerakan ini sangat sesat dan menyesatkan.
Kemunculan Al-Muqanna menimbulkan kekhawatiran khalifah, selain
karena para pengikutnya yang bertambah banyak, mereka juga sering
memenangkan peperangan menghadapi kaum Muslimin serta menawan
Muslimah dan anak-anak. Oleh sebab itu, Al-Mahdi mengirim pasukan besar
menghadapi gerakan tersebut.
Terjadilah pengepungan di sebuah kota di mana Al-Muqanna
bersembunyi. Pengepungan itu berlangsung cukup lama. Di luar perkiraan
pasukan Al-Mahdi, sebuah aksi bunuh diri massal dilakukan Al-Muqanna
bersama pengikut-pengikutnya, yaitu dengan cara membakar diri.
Pada tahun 159 H, Al-Mahdi mengangkat kedua anaknya, Musa Al-
Hadi dan Harun Ar-Rasyid, sebagai putra mahkota secara berurutan. Dia
meninggal pada tahun 169 H/785 M dan memerintah selama 10 tahun.
4. Musa al-Hadi (169-170 H/785-786 M)
Musa al-Hadi dilahirkan di Ray pada 147 H. Ia menjabat Khalifah
Abbasiyah keempat menggantikan ayahnya.Ketika ayahnya wafat, Musa al-
Hadi sedang berada di pesisir pantai Jurjan di pinggir laut Kaspia. Saudaranya,
Harun Ar-Rasyid, bertindak mewakilinya untuk mengambil baiat dari seluruh
tentara. Mendengar berita wafatnya sang ayah, Musa al-Hadi segera kembali
ke Baghdad dan berlangsunglah baiat secara umum.
Pusat perhatian umat Musa Al-Hadi ketika menjabat khalifah adalah
membasmi kaum Zindiq. Tantangan terhadap Khalifah Musa Al-Hadi tak
hanya muncul dari kaum Zindiq. Di daerah Hijaz muncul sosok Husain bin Ali
bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia mendapatkan sambutan dari masyarakat
karena masih keturunan Ali bin Abi Thalib. Bahkan kelompok ini sempat
memaklumatkan berdirinya Daulah Alawi di Tanah Hijaz.
Karena gubernur setempat tak mampu mengatasinya, Musa Al-Hadi
segera mengirimkan pasukan cukup besar dari Baghdad yang dipimpin oleh
Muhammad bin Sulaiman. Mulanya pihak Sulaiman menawarkan perdamaian.
Namun karena tak mencapai kata mufakat, akhirnya terjadilah pertempuran di
suatu tempat antara Madinah dan Makkah yang dikenal dengan nama Fakh.
Husain bin Ali tewas dalam peperangan itu. Kepalanya dibawa ke hadapan
Khalifah Musa Al-Hadi dan dikebumikan di Baghdad. Sebagian pasukan
melarikan diri keluar Hijaz.
Tak terlalu banyak perkembangan yang terjadi di masa pemerintahan
Musa Al-Hadi. Usia pemerintahannya pun tidak terlalu lama. Ia meninggal
dunia pada malam Sabtu 16 Rabiul Awwal 170 H. Konon kemangkatannya itu
tidak wajar. Ibunya, Khaizuran yang masih keturunan Iran, dianggap terlalu
sering mencampuri urusan pemerintahan. Hal itu tidak disenangi oleh sang
khalifah. Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa ibunya merencanakan
pembunuhannya. Sebab, dia telah meminggir-kan sang Ibu dari pengaruh
otoritas yang pernah dimainkannya di masa pemerintahan suaminya, al-Mahdi.
Dia hanya memerintah selama setahun 3 bulan.
5. Harun ar-rasyid (170-193 H/786-808 M)
Kun-yahnya adalah Abu Ja’far. Sedangkan nama dan nasabnya adalah
Harun bin al-Mahdi Muhammad bin al-Manshur Abu Ja’far Abdullah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas al-Qurasyi al-Hasyimi al-Abbasi.
Harun al-Rasyid dilahirkan pada tahun 148 H di Kota Ray. Kala itu, ayahnya
menjadi pemimpin wilayah Ray dan Khurasan. Ibunya adalah al-Khayziran.
Harun al-Rasyid adalah salah seorang raja paling agung dalam sejarah.
Pada masanya, pemerintahan Islam mengalami puncak keemasan dan
keagungannya sehingga ia sangat terpandang dengan kekuatan dan kemajuan
ilmu pengetahuannya. Pemerintahannya sangat ditakuti.
Imam al-Suyuthi berkata, “sesungguhnya pada masa pemerintahan al-
Rasyid semua penuh dengan kebaikan. Seakan-akan dalam keindahannya ia
serupa dengan temanten dan pesta-pesta”.
Harun al-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani. Dia
telah melakukan penyerbuan dan penaklukan negeri Romawi pada masa
pemerintahan ayahnya ketika usianya baru dua puluh tahun. Dikenal sebagai
sosok yang takwa dan takut kepada Allah swt. dalam segala perkara.
Selain itu, al-Rasyid dikenal sebagai sosok khalifah yang selalu setia
mendengarkan nasihat-nasihat dan seringkali menangis karena takut kepada
Allah. Dia seorang yang fasih berbicara, juga seorang ulama diantara mereka
dan orang yang paling mulia dan terhormat.
Diantara kerja mulia yang dia lakukakan untuk ilmu pengetahuan
adalah pendirian Baitul Hikmah, sebuah akademi yang menjadi mercusuar
ilmu dan peradaban di dunia pada masa itu. Sebuah akademi yang darinya
muncul obor bagi kebangkitan sains di Eropa setelah itu.
Banyak rumor dan tuduhan miring yang di arahkan kepada Harun al-
Rasyid yang menyebutkan bahwa khalifah terbesar Bani Abbas ini suka hura-
hura, kehidupan glamor, dan suka minum.
Ada beberapa pemberontakan pada masa pemerintahan al-Rasyid
diantaranya adalah:
a. Pada tahun 176 H/792 M, pemberontakan Yahya bin Abdullah,
salah seorang keturunan Hasan bin Ali yang melakukan
pemberontakan di negeri Dailam dan berhasil menaklukkan
beberapa wilayah. Al-Rasyid berhasil menghancurkannya pada
tahun 180 H/796 M.
b. Pada tahun 178 H/794 M, terjadi sebuah gelombang besar gerakan
kaum khawarij pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang
muncul di jazirah Arab. Gerakan ini dipimpin oleh Walid bin
Tharif al-Syari. Pasukan al-Rasyid berhasil menaklukkannya
setelah melalui upaya yang hebat.
c. Pada tahun 181 H/797 M, al-Rasyid berhasil mematahkan
pemberontakan orang-orang Zindiq yang menguasai Jurjan dan
hidup di tempat itu dengan melakukan kerusakan-kerusakan.

Penaklukan Heraclee. Peperangan di negeri Romawi terus berlanjut


dan tidak pernah terputus. Bahkan, tak jarang Harun al-Rasyid memimpin
langsung pertempuran. Pada tahun 187 H/ 802 M, orang-orang Romawi
mengingkari janji tatkala yang berkuasa atas mereka adalah Naqfur (dalam
bahasa Inggris disebut dengan Nicephorus I [802-811 M]) yang menulis surat
kepada Harun.

“Dari Nicephorus Raja Romawi kepada Harun Raja Arab. Jika


engkau telah membaca surat ini, maka kembalikan semua harta benda yang
telah diberikan kepadamu sebelum ini dan jadikan dirimu sebagai tebusan.
Jika tidak, maka yang akan berbicara antara kamu dan aku adalah pedang.”

Setelah membaca surat ini, Harun sangat marah dan segera membalas
surat tersebut.

“Dari Harun Amirul Mukminin kepada Nicephorus anjing Romawi.


Saya telah membaca suratmu wahai anak wanita kafir. Sedangkan,
jawabannya adalah apa yang akan engkau lihat dan bukan apa yang engkau
dengar.”

Harun segera berangkat dengan pasukan yang sangat besar dan


mewajibkan bagi musuhnya untuk membayar jizyah. Harun berhasil
memasuki kota Heraclee dan menguasainya.
Harun al-Rasyid pernah bermimpi tentang kematiannya. Dalam
mimpinya ia melihat dirinya menggenggam tanah berwarna merah. Di tempat
itulah ia wafat. Mimpi itu pun jadi kenyataan. Saat al-Rasyid menempuh
perjalanan menuju Khurasan, setibanya di Kota Thous, ia jatuh sakit. Al-
Rasyid memerintahkan pembantunya, “Datangkan padaku sewadah tanah dari
tempat ini.” Kemudian diberikan padanya tanah merah di gengagamannya.
Melihat itu, al-Rasyid mengatakan, “Demi Allah, inilah telapak tangan yang
aku lihat. Dan tanah yang ada di genggamannya.”

Ia memerintahkan penggalian makamnya saat ia masih hidup.


Kemudian ia minta dibacakan Alquran seutuhnya. Setelah itu, ia minta dibawa
ke makamnya. “Menuju tempat inilah perjalanan (hidup ini) wahai anak
Adam,” kata al-Rasyid. Ia pun menangis. Tiga hari kemudian,
beliau rahimahullah wafat.

Anda mungkin juga menyukai