Anda di halaman 1dari 58

Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah

ISLAM MASA DAULAH BANI ABBASIYAH


_________________________________
A. Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani
Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini
adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di
Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal
132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M
(Syalaby,1997:44).
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang
paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara
pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah).
Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria,
berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan
Abbasiyah.
Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian
Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga
dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi.
Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas
revolusi yaitu :
1. Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari
masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan
ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2. Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan
lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan
zaman.
3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa
pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4. Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang
lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena halhal
tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada .
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat
kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan
tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar
paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga
tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari
kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak
berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran
Syiah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan
golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya
mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat

fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah
bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum
Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan
dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran
(Hasjmy, 1993:211).
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia.
Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak,
terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada
mulanya mendukung Bani Umayyah.
Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, maka seorang
pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany,
bergabubg dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara
terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan,
Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani
Abbasiyah resmi berdiri.
B. Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat
dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya .
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbedabeda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur
dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali .
b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi sosial dan kebudayaan.
c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia .
d. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami
penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian
(kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan
politik saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya ,dan mereka telah
mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya DaulahDaulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah .
Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh
para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari
kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan
keras terhadap Bani Umayah . dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu
oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat .
Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (sistem

pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas
nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk
memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja . Pada kasus lainnya
fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah
(Lapidus,1999:180).
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan
sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh
seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara,
wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara
bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul
umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial,
ekonomi dan budaya.
Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :
1. Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di dibawah kekuasaan para Khalifah
kecuali di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut :
a. Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
b. Abu Jafar al mansyur (754 775 M)
c. Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)
d. Abu Musa Al-Hadi (785786 M)
e. Abu Jafar Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
f. Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g. Abu Jafar Abdullah Al Mamun (813-833 M)
h. Abu Ishak M. Al Mutashim (833-842 M)
i. Abu Jafar Harun Al Watsiq (842-847 M)
j. Abul Fadhl Jafar Al Mutawakkil (847-861)
2. Periode kedua (232 H/847 M 590 H/1194 M)
Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik pada sistem
desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom :
a. Kaum Turki (232-590 H)
b. Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c. Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa Khalifah Abbassiyah.
3. Periode ketiga (590 H/1194 M 656 H/1258 M)
Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan Khalifah, tetapi hanya di
baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman
daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1. Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Bani Abbasiyah tahun 750 M,
sampai meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).
2. Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkal (847 M), sampai berdirinya
daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).

3. Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai
masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4. Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai
jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).
Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1. Periode pertama (750847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya.
Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan
politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun
750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu
Jafar al-Mansur (754775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat
Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri
itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu
Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat
pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di
lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru
dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang
menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama
lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran).
Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya
bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Jafar bin Yahya, menjadi
wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat
dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara
lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam
pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah
yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan
kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad
ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang
sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan
tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan
pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga
administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas
melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di
daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama
genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam
pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari

Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al
Khulafa al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun alRasyid (786-809 M) dan putranya al-Mamun (813-833 M). Kekayaan yang banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan
dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman
Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah
negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim,
2003:52-53). Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid
lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan
wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan
kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti
Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada
ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga
mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait
al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orangorang
Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh
adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Mamun dan
sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada
masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara
khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti
Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas,
baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti
gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain
semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip
kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode
sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada
dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti
Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah,
bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para
hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan
terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara
profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mutasim untuk mengambil
alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya
berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah
yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini,
meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.

Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah
seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat
merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang
memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di
tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada
usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas
Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya
kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah
merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul
tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan
Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada
periode ini adalah sebagai berikut:
a. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara
komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c. Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah
merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah
penganut aliran Syiah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji.
Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian
selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah AlAhwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi
merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali
bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus
mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar
seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan asSafa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan
ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit.
Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan
aliran antara Ahlussunnah dan Syiah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran
Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani
Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena
kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orangorang
Syiah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada
periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah,
mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabangcabang
Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan.
Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini

telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan
Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis
dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali
dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu
perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka
membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk
mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah,
masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang
terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan
politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut
berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5. Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada
di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada
di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah
Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya.
Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada
masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan
dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan
tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran
dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini
tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya
karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan
berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama
lain. Beberapa di antara nya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Internal
1. Persaingan antar Bangsa
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal Khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para Khalifah adalah
orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat
terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara
Turki tidak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah Abbasiyyah sebenarnya sudah
berakhir
2. Kemerosotan Ekonomi
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti
Abbasiyah. Kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan
3. Konflik Keagamaan
Konflik yang melatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan

Zindik atau Ahlussunnah dengan Syiah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam.
4. Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan
Kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah, yang kemudian ditiru oleh para haratawan
dan anak-anak pejabat sehingga menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat
menjadi miskin (Yatim, 2003:61-62).
b. Faktor Eksternal
1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak
korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
C. Perkembangan Intelektual
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak kejayaan pada
masa pemerintahhan Harun ar-Rasyid , kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1. Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu
sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui
terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
2. Gerakan Terjemah
Pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat
sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
umum terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari
gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain ;
a. Bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Sina, alGhazali,Ibnu Rusyid.
b. Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi.
c. Bidang Matematika: Umar al-Farukhan , al-Khawarizmi.
d. Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni dan sebagainya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama,
berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu
pengetahuan, antara lain :
1. Ilmu Umum
a.Ilmu Filsafat
1) Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2) Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
3) Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
4) Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
5) Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa,
Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain
6) Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al
Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lainlain
7) Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah
dan lain-lain
b. Bidang Kedokteran
1) Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.

2) Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai
penterjemah bahasa asing.
3) Thabib bin Qurra (836-901 M)
4) Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan
campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
c. Bidang Matematika
1) Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2) Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
d. Bidang Astronomi
Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal
dalam perbintangan ini seperti :
1) Al Farazi : pencipta Astro lobe
2) Al Gattani/Al Betagnius
3) Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4) Al Farghoni atau Al Fragenius
e. Bidang Seni Ukir
Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik,
seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
2. Ilmu Naqli
a. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al
Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin
Ishak dan lain-lain
b. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H),
Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At
Tarmidzi, dan lain-lain
c. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mutazilah berjasa besar dalam menciptakan
ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha, Abu Huzail al Allaf,
Adh Dhaam, Abu Hasan Asyary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
d. Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H).
Karangannya : ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya :
Awariful Maarif, Imam Ghazali : Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
e. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih
mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan
faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafii, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syiah (Hasjmy, 1995:276-278).
D. Perkembangan Peradaban di Bidang Fisik
Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena
upayaupaya
dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan -bangunan
yang berupa:
a. Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b. Majlis Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir dan
pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c. Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini
merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan
belajar.

d. Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan
sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e. Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan
ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah
Mansyur.
E. Kehidupan Perekonomian Daulah Bani Abbasiyah
Permulaan masa kepemimpinan Bani Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh dan
berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi Khalifah
adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan
keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam.
Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam :
1. Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak
hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
2. Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai
industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
3. Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:
a) Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah
dagang.
b) Membangun armada-armada dagang.
c) Membangun armada : untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak
laut.
Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan
dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala
negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.
Selain ketiga hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan yang
memperlihatkan kemajuan pesat Bani Abbassiyah.
1. Istana Qarruzzabad di Baghdad
2. Istana di kota Samarra
3. Bangunan-bangunan sekolah
4. Kuttab
5. Masjid
6. Majlis Muhadharah
7. Darul Hikmah
8. Masjid Raya Kordova (786 M)
9. Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
10. Istana Al Hamra di Kordova
11. Istana Al Cazar, dan lain-lain (Maruf,1996:39-40).
F. Strategi Kebudayaan dan Rasionalitas
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir diakui sepenuhnya
sebagai hak asasi setiap manusia oleh Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu
akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa
mengeluarkan pendapat. Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal
melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafii , Hanafi, Hambali , dan
Maliki.
Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir

al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits. Sebelumnya, belum terdapat penafsiran
seluruh al-Quran, yang ada hanyalah Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah, yang
dibuat untuk tujuan tertentu (Syalaby, 1997:187).
Dalam negara Islam di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang
berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam
unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang
mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani,
Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
1. Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena 2
faktor, yaitu :
a. Pembentukan lembaga wizarah
b. Pemindahan ibukota
2. Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi
dengan dua cara:
a. Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India
seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
b. Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam kebudayaan Islam
lewat kebudayaan Persia.
3. Kebudayaan Yunani
Sebelum dan sesudah Islam, terkenallah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat
kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling termasyur diantaranya adalah :
a. Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh Sabur yang dijadikan tempat
pembuangan para tawanan Romawi. Setelah jatuh di bawah kekuasaan Islam.
Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan
bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
b. Harran,Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat pertemuan segala
macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan
Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
c. Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani. Dalam kota
Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal Filsafat Baru Plato
(Neo Platonisme). Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo
Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
4. Kebudayaan Arab
Masuknya kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan
utama, yaitu :
a. Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Quran, Hadist, Fiqh yang semuanya
dalam bahasa Arab.
b. Jalan Bahasa,Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara
rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam.
G. Catatan Simpul
Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah.
Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman
Nabi. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlansung dari
tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang
tidak terdapat di zaman bani Umayyah, antara lain :
1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh

dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada
Arab.
2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan Wazir, yang
membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan
Bani Umayyah.
3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas.
Sebelumnya belum ada tentara Khusus yang profesional.

Sepeninggal Hisyam bin Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang


tampil bukan hanya lemah, tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat
golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M, daulah Bani Umayyah dapat
digulingkan dan pemerintahan pun berpindah tangan kepada Bani Abbasiyah.
Karena sifat masalah yang berkembang di bawah dinasti Umayyah terlalu arogan
membuat Bani Abbasiyah mengadakan suatu revolusi, bukan hanya melakukan
pergantian dinasti saja. Kemajuan-kemajuan telah dirasakan oleh kaum muslimin
dalam masa ini, terlebih ketika kepemerintahan dipegang oleh khalifah Harun alRasyid, dan putranya al-Makmun.
Dalam zamannya tersebut, berbagai disiplin ilmu telah dilahirkan atas jasa
beberapa tokoh intelektual muslim, kedokteran, filsafat, kimia, sejarah, dan geografi,
misalnya.
A. Masa Keemasan Bani Abbasiyah
Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini
adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan
oleh Abdullah al-Suffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.
Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132-565
H (750-1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan pola
pemerintahan, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi tiga periode[1] yaitu:
1. Periode pertama (132 H/750 M 232 H/847 M). Kekuasaan pada periode ini berada di
tangan para khalifah.
2. Periode kedua (232 H/847 M 590 H/1194 M). Pada periode ini kekuasaan hilang dari
tangan para khalifah berpindah kepada kaum Turki (232-234 H), golongan Bani
Buwaim (334-447 H), dan golongan Bani Saljuq (447-590 H).
3. Periode ketiga (590 H/1194 M 656 H/1258 M), pada periode ini kekuasaan berada
kembali di tangan para khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan
sekitarnya
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa
keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun,
setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam
bidang politik meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang.[2]
Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyah diletakkan dan dibangun
oleh Abu al-Abbas dan Abu Jafar al-Mansur, maka puncak keemasannya dari dinasti
ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu:
1. Al-Mahdi (775-785 M)
2. Al-Hadi (775-786 M)
3. Harun al-Rasyid (785-809 M)
4. Al-Mamun (813-833 M)
5. Al-Mutashim (833-842 M)

6. Al-Wasiq (842-847 M)
7. Al-Mutawakkil (847-861 M)
Pada masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di
sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak,
emas, tembaga dan besi.[3]
Popularitas Daulah Bani Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah
Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun. Ketika mendirikan sebuah akademi
pertama di lengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan. Adapun kemajuan
yang dapat dicapai adalah sebagai berikut :[4]
1. Lembaga dan kegiatan ilmu pengetahuan
Sebelum dinasti Bani Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara
pada masjid. Masjid dijadikan center of education. Pada dinasti Bani Abbasiyah inilah
mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam mahad.
Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan, yaitu :
a. Maktab/kuttab dan masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak
remaja belajar dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja
belajar dasar-dasar ilmu agama.
b. Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam Islam pergi ke luar daerah
atau ke masjid-masjid, bahkan ke rumah gurunya. Pada tahap berikutnya, mulailah
dibuka madrasah-madrasah yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada
tahun 456-485 H. Lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa dinasti
Bani Abbasiyah.
2. Corak gerakan keilmuan
Gerakan keilmuan pada dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik, kajian
keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran,
di samping kajian yang bersifat pada al-Quran dan al-Hadits, sedang astronomi,
mantiq dan sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
3. Kemajuan dalam bidang agama
Pada masa dinasti Bani Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang,
terutama dua metode, yaitu tafsir bil al-matsur (interpretasi tradisional dengan
mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat), dan tafsir bil al-rayi (metode
rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits
dan pendapat sahabat).[5]
Dalam bidang hadits, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan,
pembukuan dari catatan dan hafalan dari para sahabat. Pada zaman ini juga mulai
diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis.
Dalam bidang fiqh, pada masa ini lahir fuqaha legendaris, seperti Imam
Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafii (767-820 M) dan Imam
Ahmad ibn Hambal (780-855 M).
Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena bahasa Arab
yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh.
4. Ilmu pengetahuan sains dan teknologi
Kemajuan tersebut antara lain:

a. Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind, kemudian diterjemahkan Muhammad
ibn Ibrahim al-Farazi (77 M). Di samping itu, masih ada ilmuwan Islam lainnya,
seperti Ali ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, Umar al-Khayyam dan al-Tusi.
b. Kedokteran, dokter pertama yang terkenal adalah Ali ibn Rabban al-Tabari. Tokoh
lainnya al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.
c. Kimia, tokohnya adalah Jabir ibn Hayyan (721-815 M). Tokoh lainnya al-Razi, al-Tuqrai
yang hidup di abad ke-12 M.
d. Sejarah dan geografi, tokohnya Ahmad ibn al-Yakubi, Abu Jafar Muhammad bin Jafar
bin Jarir al-Tabari. Kemudian ahli ilmu bumi yang terkenal adalah Ibnu Khurdazabah
(820-913 M).
5. Perkembangan politik, ekonomi dan administrasi
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik
yang dikembangkan antara lain:
a. Memindahkan ibu kota negara dari Damaskus ke Baghdad
b. Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
c. Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah
memberi peluang dan kesempatan besar kepada kaum Mawali.
d. Menumpas pemnberontakan-pemberontakan
e. Menghapus politik kasta
f. Para khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, gubernur dan
para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan Mawali.
g. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia
h. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
i. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintah (Hasjmy, 1993: 213-214).
Selain kemajuan di atas, pada masa

pemerintahan

Bani

Abbasiyah,

pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan maju dan menunjukkan angka vertikal.


Devisa negara penuh dan melimpah ruah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh
ekonomi Abbasiyah yang mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam ekonomi
dan keuangan negara. Di sektor perdaganganpun merupakan yang terbesar di dunia
saat itu dan Baghdad sebagai kota pusat perdagangan.[6]
B. Faktor-faktor Pendukung Masa Keemasan
Ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi masa keemasan Bani
Abbasiyah, khususnya dalam bidang bahasa,[7] adalah:
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Asimilasi berlangsung
secara efektif dan bernilai guna. Bangsa itu memberi saham-saham tertentu dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase.
a. Fase pertama, pada masa khalifah al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini
yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq
b. Fase kedua, berlangsung mulai khalifah al-Mamun hingga tahun 300 H.
c. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas. Bidang-bidang yang diterjemahkan semakin luas.

Dengan gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dalam bidang


ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Akan tetapi, secara
garis besar ada dua faktor penyebab tumbuh dan kejayaan Bani Abbasiyah, [8] yaitu:
1. Faktor internal: faktor yang berasal dari dalam ajaran Islam yang mampu memberikan
motivasi bagi para pemeluk untuk mengembangkan peradabannya.
2. Faktor eksternal, ada 4 pengaruh, yaitu:
a. Semangat Islam
b. Perkembangan organisasi negara
c. Perkembangan ilmu pengetahuan
d. Perluasan daerah Islam.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya khilafah Bani
Abbasiyah adalah karena mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada
umumnya, bahwa Bani Abbas adalah keluarga yang dekat kepada Nabi dan
bahwasanya mereka akan mengamalkan al-Quran dan Sunnah Rasul serta
menegakkan syariat Islam.[9]
C. Lahirnya tokoh-tokoh Intelektual Muslim
Pada masa daulah Bani Abbasiyah, telah banyak tokoh-tokoh intelektual
muslim yang berhasil menemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan, antara lain
yaitu :[10]
1. Filsafat
Setelah kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kaum
muslimin sibuk mempelajari ilmu filsafat, sehingga lahir filosof dunia yang terkenal,
yaitu :
a. Abu Ishak al-Hindy (karyanya lebih dari 231 judul)
b. Abu Nashr al-Faroby (karyanya sebanyak 12 buah)
c. Ibnu Sina (karyanya al-Qanun fil al-Thib)
d. Ibnu Bajah
e. Ibnu Thufnil
f. Al-Ghazali (terkenal dengan karyanya Ihya Ulumuddin)
g. Ibn Rusyd (terkenal dengan Averoes di wilayah barat).
2. Kedokteran
Daulah Bani Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter kenamaan, yaitu:
a. Abu Zakaria Yuhana ibn Masawih
b. Sabur ibn Sahal
c. Abu Zakaria al-Razi (tokoh pertama yang membedakan cacar dengan measles)
d. Ibnu Sina
3. Matematika
Di antara ahli matematika Islam terkenal adalah beliau pengarang kitab AlGebra (al-Jabar), ahli matematika yang berhasil menemukan angka nol (0).
4. Farmasi dan Kimia
Di masa para ahli farmasi dan kimia pada masa pemerintahan dinasti Bani
Abbasiyah adalah Ibnu Baithar (karyanya yang terkenal adalah al-Mughni).
5. Perbintangan
Tokoh ilmu perbintangan antara lain:

a. Abu Manshur al-Falaky


b. Jabir al-Batany (pencipta teropong bintang)
c. Raihan al-Bairleny
d. Abu Ali al-Hasan ibn al-Hitami (terkenal dengan al-Hazen dalam bidang optik). [11]
6. Tafsir dan Hadits
Ilmu tafsir yang berkembang pesat adalah tafsir al-Matsur dan al-Rayi di
antara tokoh-tokohnya adalah :
a. Ibnu Jarir al-Thabari (ahli tafsir al-Matsur
b. Ibnu Athiyah al-Andalusy (ahli tafsir al-Matsur)
c. Abu Bakar Asam (ahli tafsir al-Rayi)
d. Abu Muslim Muhammad (ahli tafsir al-Rayi)
Sedangkan tokoh ilmu hadits yang terkenal antara lain :
a. Imam Bukhari
b. Imam Muslim
c. Ibnu Majah
d. Abu Dawud
e. Al-Nasai
7. Kalam dan Bahasa
Perdebatan para ahli mengenai dosa, pahala, surga, dan neraka serta
pembicaraan mereka mengenai ilmu ketuhanan atau tauhid menghasilkan ilmu,
yaitu ilmu tauhid dan ilmu kalam. Parapelopornya adalah Jaham ibnu Shafwan, Wasil
bin Atha.
Sedangkan ilmu bahasa yang berkembang pada waktu itu adalah nahwu,
bayan, badi dan arudl. Di antara ilmuwan bahasa yang terkenal, adalah:
a. Imam Sibawih (karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman)
b. Al-Kasai
c. Abu Zakaria al-Farra (kitab nahwunya terdiri dari 6.000 halaman)
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa puncak keemasan
daulah Bani Abbasiyah adalah terletak pada periode I yaitu pada masa khalifah
Harun al-Rasyid dan juga terletak pada masa khalifah al-Makmun (putra Harun alRasyid). Pada zaman itu juga muncul beberapa intelektual-intelektual muslim yang
berhasil menemukan berbagai ilmu pengetahuan yang sangat penting, baik itu
pengetahuan agama ataupun umum. Adapun faktor yang mendukung masa
keemasannya terdapat 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Maududi, Abul Ala, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 2006.
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Thoha Putra, 2003.
Syalaby, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

KEPIMPINAN KHALIFAH HARUN AL RASYID DAN PEMBANGUNAN


ILMU

Nama sebenar beliau ialah Harun ar-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi.


Dilahirkan di Ar-Rayy pada bulan Zulhijjah tahun 145 H bersamaan 756 M.
Telah menggantikan saudaranya iaitu al-Hadi sebagai khalifah Baghdad yang
kelima dalam pemerintahan Abbasiyah.
Sejak dari awal lagi, beliau dikenali sebagai seorang yang pintar dan
sukakan ilmu pengetahuan. Tidak hairanlah jika beliau dilihat sebagai seorang yang
mempunyai keperibadian yang tinggi serta banyak pengalaman sama ada dalam
bidang politik, ketenteraan mahupun dalam bidang pentadbiran awam.
Peranan beliau yang paling besar ialah sebagai penaung kepada semua
kegiatan ilmu.
Baitul Hikmah merupakan hasil usahanya yang paling besar dalam dunia
penyebaran ilmu pengetahuan di Kota Baghdad.
PEMERINTAHAN
Khalifah Harun ar-Rasyid sendiri begitu cekap dalam menguruskan
pentadbiran negara.
Beliau telah dapat membanteras segala kekacauan dan pemberontakan di
dalam negaranya dengan pelbagai rintangan dan dugaan.
Beliau begitu mengambil berat terhadap kredibiliti tentera-tenteranya dan juga
memberi perlindungan serta keselamatan untuk kesejahteraan rakyatnya.

Ekonomi
Banyak perubahan yang dilakukan oleh beliau dalam membangunkan
ekonomi dengan melakukan aktiviti perdagangan, perniagaan dan membawa
pedagang-pedagang asing untuk berniaga di Kota Baghdad.
Disebabkan usaha inilah, ramai pedagang-pedagang asing yang datang
membawa barangan mereka untuk diniagakan di Kota Baghdad.
Hubungan diplomatik
Beliau juga mengadakan hubungan yang baik dengan kuasa-kuasa asing,
antaranya kerajaan Byzantium, Peranchis dan keluarga al-Barmaki.
Perhubungan ini bertujuan untuk pendamaian antara kedua-dua belah pihak
melalui pembayaran ufti antara Kota Bahgdad dengan kerajaan Byzantium.
PERKEMBANGAN ILMU

Khalifah harun ar-Rasyid dikenali sebagai tokoh negarawan terulung kerana


usaha beliau dalam penyebaran ilmu pengetahuan.
Oleh kerana itulah, beliau membuka Baitul Hikmah iaitu institusi kebudayaan
dan pusat kegiatan ilmu pengetahuan.
Disamping itu juga, seseorang khalifah harus tahu untuk membangunkan dan
memajukan negara agar menjadi sebuah negara yang maju dalam pelbagai bidang
sama ada ekonomi, politik mahupun sosial.
Ilmu pengetahuan sangat penting yang seharusnya ada dalam diri seorang
khalifah. Beliau juga mempunyai pengalaman yang cukup luas dalam mentadbir
Kota Baghdad selama 23 tahun.
Kemajuan Intelektual
Kemajuan intelektual yang dicapai oleh Khalifah Harun ar-Rasyid juga adalah
salah satu sumbangan yang besar diberikan oleh baginda.
Terdapat buku-buku yang berupa terjemahan ilmu dari luar ataupun disusun
oleh intelektual Islam tergolong dalam kemajuan intelektual.
Beliau dianggap sebagai penaung bagi semua kegiatan ilmu pengetahuan
kerana beliau sering kali menganjurkan majlis forum, syarahan dan perbahasan,
yang mana akan dihadiri oleh orang ramai dan golongan intelektual di masjid
Baitul hikmah
Satu lagi sumbangan Khalifah ar-Rasyid yang sangat besar kepada kerajaan
Abbasiyah ialah dengan tertubuhnya Baitul Hikmah.
Sikap prihatin beliau dalam bidang ilmu pengetahuan mendorong beliau untuk
menubuhkan institusi itu sebagai satu tempat penyebaran ilmu pengetahuan.
Semua kegiatan keilmuan ini merupakan satu usaha yang cemerlang
dilakukan oleh beliau ketika mentadbir kerajaan Abbasiyah.
Baitul Hikmah ini juga menggabungkan pelbagai fungsi antaranya ialah
sebagai tempat penyimpanan buku-buku, pengumpulan buku, perpustakaan, pusat
akademik dan balai penterjemahan. Ia juga merupakan lambang pendidikan yang
terpenting dan telah dapat menandingi kemasyhuran Perpustakaan Iskandariah.

Pembinaan Baitulhikmah yang merupakan sebuah institusi keilmuan yang


ditubuhkan oleh khalifah Harun al- Rashid turut berkembang secara meluas dan
mencapai kegemilangannya pada zaman pemerintahan Khalifah al- Makmun.
Hasilnya, aktiviti penterjemahan dijalankan dengan pesat dan menjadi lebih
sistematik.
Penterjemahan karya falsafah dan sains, khususnya daripada bahasa Yunani
menjadi kegiatan utama.
Menjadi pusat pengajian yang menjadi tumpuan para ilmuwan dalam pelbagai
bidang.
Keberkesanan pemerintahannya dalam bidang penulisan pula boleh dilihat
melalui tiga tahap.
Tahap yang pertama ialah mencatat segala percakapan atau idea. Beliau
mengumpul idea yang serupa atau mengumpul hadis Nabi Muhammad s.a.w. ke
dalam sebuah buku.
Tahap yang kedua pula mengarang. Terdapat golongan ulama yang terlibat
dalam penulisan pada zaman pemerintahannya. Ramai ulama menyusun hadis dan
menghasilkan tulisan dalam bidang fikah, tafsir, sejarah, dan sebagainya seperti
Imam Malik menyusun buku al- Muwatta, Ibn Ishaq menyusun sejarah hidup Nabi
Muhammad s.a.w., Abu Hanifah menyusun fikah dan pendapat ijtihad.
Tahap ketiga pula ialah penterjemahan. Penterjemahan pada masa itu mula
dibuat daripada bahasa Sanskrit, Suriani, dan Yunani kepada Bahasa Arab. Dua
perkara penting berkaitan dengan penterjemahan ialah, di samping menterjemah,
orang Islam mencipta dan membuat pembaharuan dalam karya yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Huraian dan penambahbaikan dibuat terhadap karya dengan
memuatkan keterangan dan ulasan. Selain itu,Orang Islam berperanan penting
dalam berbakti kepada kebudayaan dunia kerana mereka berjaya memelihara
warisan ilmu daripada lenyap semasa masyarakat Eropah dilanda Zaman Gelap.
Penubuhan pusat pengajian tinggi dapat mempertingkatkan kegiatan
penyelidikan.
Hasil kajian sarjana Islam tersebar ke Eropah dan sejumlah hasil kajian
diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Perkembangan ini membawa kepada kebangkitan Eropah.
Perkembangan tamadun Islam di Kota Baghdad dan Cordova memberi
sumbangan yang besar kepada perkembangan keilmuan di Eropah dan
perkembangan keilmuan di Eropah melahirkan zaman pemulihan budaya atau
Renaissance.
Penulisan karya dalam pelbagai bidang oleh para ilmuan Islam telah
mempertingkatkan pengetahuan manusia sezaman dan meninggalkan warisan yang
amat ternilai kepada generasi kemudian.
Kegigihan masyarakat Islam menimba ilmu daripada pelbagai sumber asing
banyak memberi faedah kepada orang Islam sendiri.
Para ilmuan Islam telah memperbaiki dan meningkatkan mutu karya sehingga
berlakunya percambahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hasilnya, pada
zaman pemerintahannya itu sudah terdapat sekitar 800 orang doktor.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN GERAKAN


INTELEKTUAL MASA ABBASIYAH
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN GERAKAN INTELEKTUAL MASA ABBASIYAH
Oleh: Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd.I
A. Pendahuluan
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari dinasti Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah
keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali
ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M) (Khaled Abou El Fadl 2000, hlm.
537).
Seiring dengan stabilnya kondisi sosial politik terutama terutama pada masa pertengahan
pemerintahan Abbasiyah, aktivitas pendidikan dan ilmu pengetahuan berkembang dengan begitu
mengagumkan. Beberapa prestasi umat Islam pada masa ini mampu menempatkan umat Islam pada
puncak kejayaannya. Peradaban Islam menapaki zaman keemasan ( The Golden Age)
The Golden Age atau zaman kemasan Islam berlangsung pada zaman dinasti Abbasiyah merupakan
fakta sejarah. Perbandingan kemajuan yang pernah diperoleh antara masa Nabi, Khilafah Rasyidah,
kekuasaan Bani Umayyah dengan kekuasaan Dinasti Abbasiyah juga sangat signifikan. Kalau
kemajuan Islam pada masa Nabi dapat disebut sebagai kemajuan di bidang agama dan politik, pada
masa khalifah Rasyidah sebagai kemajuan politik dan meliter, pada masa Bani Umayyah sebagai
kemajuan politik, ekonomi dan militer, maka kemajuan Dinasti Abbasiyah menambah panjang
pencapaian kemajuan itu yakni politik, militer, ekonomi, sains dan peradaban.
Pada bidang pendidikan pemerintahan Abbasiyah memberikan torehan sejarah yang sangat

istimewa. Produk pendidikan Islam pada babak ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap
kebangkitan peradaban Erofa. Perkembangan intelektual dimulai denga diterjemahkannya khasanah
intelektual Yunani klasik seperti filsafat Aristoteles, Khalifah sendiri mengalokasikan anggaran khusus
untuk menggaji para penterjemah. Untuk melengkapi kehausan terhadap ilmu pengetahuan, harun alRasyid mendirikan perpustakaan yang diberi nama Bait al- Hikmah. Lembaga ini selain berfungsi
sebagai perpustakaan dan pusat penerjemahan juga berfungsi sebagai akademi. Cabang-cabang
ilmu yang diutamakan dalam Bait al-Hikmah adalah filsafat, ilmu kedokteran, matematika, optic, fisika,
geografi, astronomi dan sejarah. Penerjemahan buku-buku Yunani merupakan salah satu factor
dalam gerakan intelektual yang dibangkitkan dalam dunia Islam abad ke -9 dan terus berlanjut
sampai abad ke- 12.
Menurut W. Montgomery Watt (1990, hlm. 100), sebelum munculnya penerjemahan buku-buku
Yunani telah terjadi kegiatan inteletual yang gencar dikalangan orang-orang islam terutama mengenai
masalah-masalah fiqih. Sedangkan menurut Mehdi Nakosten ( 1964, hlm. 33 ), gerakan
penerjemahan yang berlangsung di Baghdad tidak dapat dilepaskan dari gerakan penerjemahan yang
sebelumnya dilakukan pada masa kerajaan Sassaniah, yakni yang berpusat di sebuah akdemi
Jundishapur. Akademi ini merupakan pusat penerjemahan karya-karya ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani serta Hindu ke dalam bahasa Pahlevi. Dari sekolah ini pula muncul beberapa terjemahan
penting dari bahasa Sansekerta, Pahlevi, dan Syiria ke dalam bahasa Arab.
B. Pembahasan
1. Pengaruh Filsafat Yunani, Hellenisasi Pengetahuan Atau Islamisasi Ilmu.
Sumbangan utama Bani Abbas dalam sejarah peradaban Islam, berbeda dengan Bani Umayyah yang
lebih mengedepankan aspek politik, adalah dukungannya yang besar terhadap perkembangan
keilmuan, filsafat dan sains.
Secara umum, kebanyakan khalifah Bani Abbas adalah orang yang gandrung ilmu dan hikmah, dan
memberikan dukungan besar pada bidang ini. Al-Makmun (813-833 M)( George A Makdisi dkk 2005,
hlm. 30) adalah khalifah yang mempelopori proses penterjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam,
yang kemudian didukung oleh penggantinya, Harun al-Rasyid, dengan didirikannya Bait al-Hikmah,
perpustakaan besar dan pusat penelitian.
Hasil terjemahan-terjemahan filsafat dan pemikiran Yunani kemudian memberikan kontribusi besar
bagi perkembangan filsafat, pemikiran dan sains Islam (W. Montgomery Watt 1990, hlm. 68). Meski
demikian, dalam masalah ini, harus segera dikatakan bahwa hal itu bukan berarti pemikiran dan
filsafat Islam berasal dari Yunani, atau bahwa Islam tidak mempunyai pemikiran filosofis dan rasional
sendiri yang orisinal seperti dituduhkan Renan dan Duhem.
Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru semata. Suatu ide dapat dibahas oleh
banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil
sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau
filsafatnya sendiri. Aristoteles, misalnya, jelas merupakan murid Plato (427-348 SM) ( Emmanuel
Gerrit Singgih 2004, hlm. 237), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya.
Begitu pula Barush Spinoza (1632-1777 M) walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes
(1596-1650 M) tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri.
Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filosof muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (9801037 M) ( M. Hadi Masruri dan Fuad Mustafid 2005, hlm. 26). Walau sebagai murid Aristoteles, tetapi
ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan gurunya. Para filosof muslim secara umum
hidup dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof lainnya, sehingga adalah suatu
kesalahan jika kita mengabaikan pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori mereka.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa (1) apa yang disebut transmisi filsafat Yunani ke Arab
merupakan suatu proses kompleks dimana ia sering banyak dipengaruhi oleh interpretasi-interpretasi
yang diberikan melalui suatu tradisi skolastik sebelumnya, dan kadang kala dalam istilah-istilah yang
sudah digunakan secara teknis dalam disiplin baru yang berkaitan dengan bahasa Arab atau Islam.
Konsekuensinya, tugas rekonstruksi sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu
diharapkan berbentuk suatu terjemahan yang jelas kedalam sesuatu yang dianggap asli Yunani,

tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks, dan karena itu harus direkonstruksi
secara terlepas dari teks. (2) Perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide
Yunani dari al-Kindi (801-878 M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191
M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya bisa diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi
kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut. (3) karena itu pula, presentasi
karya-karya muslim secara terpisah dari faktor-faktor cultural akan menjadi suatu deskripsi yang tidak
lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika
batas-batas kultural sudah terlewati (Sabra 1992, hlm. 90).
Sedemikian, sehingga tidak bisa dibantah bahwa karya-karya filsafat Islam disusun berdasarkan nilainilai pokok agamanya dan kondisi sosial yang melingkupinya. Artinya, peradaban Islam adalah
sesuatu yang berdiri sendiri, mempunyai arah, gaya, dan persoalan sendiri, tidak sekedar peralihan
dari pemikiran dan peradaban Yunani. Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran
rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Tercatat
dalam sejarah, terjemahan buku-buku filsafat Yunani yang memberikan kontribusi besar bagi
perkembangan pemikiran dan filsafat Islam baru di mulai pada masa al-Makmun oleh orang-orang
seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq (Philip Khuri Hitti
2005, hlm. 363).
Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual
Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah
yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Atha (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat,
bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya
masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn alAllaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan
Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M).
Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbth)
dengan istilah-istilah seperti istihsn, istishlh, qiys dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh
mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbth dengan menggunakan rasio seperti Abu Hanifah
(699-767 M), Malik (716-796 M), Syafii (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan
filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni
dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah
yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani
dalam Islam (Muhsin Mahdi 1992, hlm. 56).
2. Faktor Pendukung Perkembangan Pendidikan dan Gerakan Intelektual
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada
masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas
penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang.
Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :
1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasardasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti
tafsir, hadis, fiqh dan bahasa.
2. Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut
ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya,
ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di
rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau
di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana (Hasan Ibrahim Hasan 1989, hlm.
129).
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan
berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah

universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan
berdiskusi (Badri Yatim 2008, hlm. 55).
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa
administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu
pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsabangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna.
Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping
itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India
terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani
masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah alManshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya
dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Mamun
hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan
kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas http://www.cybermq.com/index.php?
pustaka/detail/10/1/pustaka-149.html).
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan,
bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan
agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi almatsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat.
Kedua, tafsir bi al-rayi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan
pikiran daripada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-rayi, (tafsir
rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang
sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan
umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut (Badri Yatim 2008, hlm.
56).
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam
Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi (Harun Nasution 2005, hlm.
14). Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Muridnya
dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi
masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafii (767-820
M) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada
masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya
secara bebas dan mendirikan mazhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang,
pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mutazilah.
Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mutazilah muncul di ujung
pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna
baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak
dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam (W. Montgomery Watt1987,
hlm. 54-113).
Tokoh perumus pemikiran Mutazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849

M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835 M). Asyariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang
dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asyari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga
banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asyari sebelumnya adalah
pengikut Mutazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadis, juga
berkembang pesat pada masa Bani Abbas (http://www.com/index.php?pustaka-149.html).
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di
bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama
al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di
Eropa dengan nama al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis (Harun Nasution 1985, hlm. 71).
Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang
membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak (A. Razaq Naufal 1987, hlm. 47).
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil
menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb
yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah ( Badri Yatim 2008, hlm. 58).
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen,
terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang
dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke
mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah,
besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu.
Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam
bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, alJabr wa al-Muqoibalah (A. Razaq Naufal 1987, hlm. 88). Dalam bidang sejarah terkenal nama alMasudi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Maaadzin
al-Jawahir (Badri Yatim 2008, hlm. 58 ).
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi
banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat
Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah alSyifa. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat
dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme (Badri Yatim
2000, hlm. 53-54).
3. Gerakan Mihna dalam Pemikiran Islam
Mihnah adalah suatu kebijaksanaan yang dilakukan oleh khalifah al-Makmun tentang
diberlakukannya pemeriksaan atau lebih tepatnya dikatakan pemaksaan kepada rakyatnya terhadap
penerimaan doktrin al-Quran itu makhluk. Peristiwa ini dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan
politik, bahkan dengan kekerasan .
Mihnah (inkuisisi) merupakan instusi resmi dalam melancarkan gerakannya. Diceritakan dalam
literatur-literatur sejarah bahwa yang menjadi korban kekerasan pada masa Mihnah adalah golongan
ahli hadis. Mereka memaksa orang yang berpegang teguh pada pendapat ahli hadis yang
menyatakan bahwa al-Quran itu qadim.
Sebagian besar tokoh ahli hadis akhirnya terpaksa menyatakan sependapat dengan mereka, hanya
satu tokoh yang bersikeras dengan pendapatnya, ia adalah Ahmad Ibn Hanbal (720 855 M) yang
tetap bertahan pada pendiriannya meski ia menderita hukuman cambuk di punggungnya hingga
terkelupas.
Pada masa kekhalifahan al-Mamun (198-218 H/813-833 M), Mutazilah (aliran yang mendasarkan
agama Islam pada al-Quran dan akal) dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Al-Mamun memaksa
semua pejabat negara dan tokoh-tokoh agama mengikuti paham ini, terutama yang berkaitan dengan
anggapan bahwa al-Quran adalah mahluk. Pemaksaan terhadap paham tersebut lebih dikenal
dengan sebutan Mihnah (inquisition), yaitu ujian aqidah terhadap pejabat dan para ulama
(Ensiklopedi Islam Indonesia 1992, hal. 298).

Sementara itu, materi pokok yang diajarkan kepada aqidah mereka, adalah tentang al-Quran. Bagi
Mutazilah, al-Quran adalah mahluk yang merupakan ciptaan Allah, tidak qadim sebab tidak ada
sesuatu pun yang qadim selain eksistensi Allah SWT. Selanjutnya, Mutazilah mengklaim orang-orang
yang berpendapat al-Quran adalah qadim berarti telah berbuat syirik, yang merupakan tindakan dosa
besar, tidak dapat diampuni. Untuk menghilangkan syirik, maka Khalifah al-Mamun (sepaham
dengan Mutazilah) mengadakan tindakan Mihnah.
Masa Khalifah al-Mamun kajian-kajian tentang masalah ilmiah, filsafat dan teologi menjadi tidak
berkembang karena dia lebih tertarik pada bidang militer (meskipun hal-hal di atas merupakan wasiat
yang harus dijalankan). Namun, kebijakan Mihnah tetap dilaksanakan. Mihnah pada masa al-Mamun
berlangsung sangat ketat, bahkan sampai khalifah al-Watsiq (227-232 H / 842-847 M). Terdapat
kejadian yang sangat kejam pada masa pemerintahan al-Watsiq yang menimpa Ahmad ibn Nashar
ibn Malik ibn al-Haitsam al-Kuzdi (salah satu moyangnya pendiri dari Daulah Abbasiyah). Ia menolak
untuk meyakini al-Quran adalah mahluk, akhirnya beliau dihukum pancung, dan kepalanya
dipancangkan silih berganti pada penjuru ibukota . Demikian, ilustrasi kecil betapa ketatnya Mihnah
itu diterapkan. Namun, kebijakan Mihnah bergeser pada paham Ahlussunnah wal Jamaah saat masa
Khalifah al-Mutawahil (232-247 H / 847-861 M) (H.M. Joesoef Souyb 1997, hlm. 244-246).
Selain itu, kondisi yang perlu dilihat di masa Abbasiyah pada akhir periode pertama adalah satu
kondisi yang diakibatkan dari kebijakan Mihnah di masa al-Mutashim yang tidak begitu ketat dalam
penegakannya. Mungkin dikarenakan ia seorang ahli militer yang tidak begitu memperhatikan
kegiatan keilmuan.
Naluri kemiliterannya lebih tertarik dengan keberanian dan keteguhan Ahmad Ibn Hanbal dalam
mempertahankan prinsipnya sehingga akhirnya Ahmad Ibn Hanbal tidak dibunuh. Berita keberanian
Ahmad Ibn Hanbal tersebar luas di kalangan Ahlussunnah. Hal ini menumbuhkan rasa heroik di
tengah-tengah masyarakat sehingga lambat laun dukungan terhadap Ahmad Ibn Hanbal dan
Ahlussunnah bertambah besar (Harun Nasution 1986, 63). Dengan kata lain, kebijakan Mihnah bukan
memperkecil militansi dukungan terhadap kalangan Ahlussunnah, tetapi justru semakin banyak
pendukungnya (Joesoef Souyb, hlm. 181.), terlihat dari betapa besarnya simpatisan Ahmad Ibn
Hanbal.
Kondisi politik yang sedikit rentan dan keberpihakan masyarakat terhadap kaum ortodoks semakin
banyak, kemudian dipahami secara jeli oleh al-Mutawakkil ketika baru menjabat sebagai kepala
pemerintahan, lalu ia mengakhiri kebijakan Mihnah dan mendukung pendapat kalangan Ahlussunnah.
Agaknya di balik kebijakan itu ia mempunyai hasrat untuk mempertahankan keutuhan kekuasaannya
dengan bahasa memulihkan suasana masyarakat yang damai.( Joesoef Souyb, hlm. 181).
Jadi, dapat diasumsikan bahwa yang melatarbelakangi khalifah al-Mutawakkil mengubah kebijakan
itu adalah karena kondisi di atas. Tetapi, kita perlu melihat latar-belakang yang lain kenapa ia berbuat
seperti itu. Al-Mutawakkil adalah putra dari khalifah al-Mutashim dengan istri budak dari Khawarizmi
yang bernama Syuja. Ia memerintah di usia 26 tahun, dan menjabat khalifah selama lima tahun (232247 H / 847-861 M). Ia berbeda dengan pamannya dan bapaknya serta saudaranya. Ia seorang
ortodoks dan bersikap bermusuhan terhadap aliran Itizal. Pada masanya, ia mengeluarkan dekrit
tentang sekte Syiah yang berisikan penghancuran bangunan-bangunan suci Syiah, termasuk
makam al-Husain Ibn Ali, Kaum Syiah dilarang berziarah ke tempat tersebut. Kemudian di masanya
pula ia banyak membangun bangunan fisik akibat banyaknya bencana (E.J. Brill 1987, hlm. 786).
Ketika ia naik tahta maka tindakannya yang pertama-tama ialah membebaskan Imam Ahmad Ibn
Hanbal dari tahanannya, yang sebelumnya ia ditahan kembali oleh khalifah al-Watsiq karena kritikkritiknya yang tajam terhadap khalifah (H.M. Joesoef Souyb 1997, hlm. 162). Tindakan khalifah alMutawakkil itu disambut hangat oleh kalangan Sunni, terutama kalangan ahli hadis yang ingin
memurnikan tauhid dan kembali kepada bentuk kesederhanaan berpikir tanpa pembahasanpembahasan yang logis dan rasional (mantiqi). Sejalan dengan pola pikir khalifah al-Mutawakkil yang
ortodoks, ia memulihkan kembali kedudukan aliran Sunni dan mengumumkan larangan terhadap
aliran Mutazilah. Di ibukota berlangsung demonstrasi-demonstrasi mendukung tindakan tersebut, di
bawah pimpinan pemukanya, Ahmad Ibn Hanbal (H.M. Joesoef Souyb 1997, hlm. 102).

Masih dalam kaitannya dengan dukungan al-Mutawakkil terhadap kalangan Ahlussunnah, ia


menganjurkan untuk mengembangkan al-Hadis, terutama hadis-hadis mengenai sifat-sifat Allah dan
hadis-hadis tentang rukyat atau penyaksian terhadap Allah (Ahmad Amin, hlm. 198 ).
Kepada para muhadditsin ia memerintahkan supaya memperbanyak jumlah hadis sehingga pada
masa itu aliran ahlussunnah sangat menonjol. Al-Masudi, seorang penulis sejarah muslim pertama
yang menggunakan metode topik dalam menulis sejarah, menggambarkan suasana pada masa
khalifah al-Mutawakkil dalam karyanya Muruju al-Zahaby jilid II hal. 288, ia menceritakan bahwa
setelah kekhalifahan berpindah kepada al-Mutawakkil, maka ia pun memerintahkan supaya
menghentikan segala macam diskusi dan dialog, dan menghentikan segala macam kegiatan yang
berlangsung pada masa al-Mutashim dan al-Watsiq, dan memerintahkan kepada seluruh orang untuk
ber-taslim dan ber-taqlid.
C. Simpulan
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan alAbbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Pada masa Abbasiyah bidang pendidikan mengalami masa keemasan. Popularitasnya mencapai
puncaknya pada masa khalifah al-Rasyid dan putranya, khalifah al-Makmun. Kemajuan tersebut
ditentukan oleh dua hal :
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang telah dahulu mengalami
perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
2. Gerakan penterjemahan guna menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif.
Disamping itu juga didukung oleh tradisi intelektual yakni tradisi membaca, menulis, berdiskusi,
keterbukaan/ kebebasan berfikir, penelitian, serta pengabdian mereka akan keilmuan yang mereka
kuasai. Kemajuan bidang Iptek yang telah dicapai meliputi: Geometri, trigonometri, musik, geografi,
antidote (penawar racun), ilmu kedokteran, dan filsafat.
Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam sangat pesat, walau tercatat ada priode
dimana pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.
Munculnya gerakan Mihnah yang dilakukan oleh khalifah al-Makmun tentang diberlakukannya
pemeriksaan atau lebih tepatnya dikatakan pemaksaan kepada rakyatnya terhadap penerimaan
doktrin al-Quran itu sebagai makhluk. Peristiwa ini dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan
politik, bahkan dengan kekerasan. Mihnah merupakan instusi resmi dalam melancarkan gerakannya.
Gerakan Mihnah memunculkan banyak korban kekerasan pada masa khusunya golongan ahli hadis.
Mereka memaksa orang yang berpegang teguh pada pendapat ahli hadis yang menyatakan bahwa
al-Quran itu qadim.
Pada akhirnya kebijakan Mihnah diakhiri pada masa kepemimpinan al-Mutawakkil dan beliau
mendukung pendapat kalangan Ahlussunnah. Agaknya di balik kebijakan itu ia mempunyai hasrat
untuk mempertahankan keutuhan kekuasaannya dengan bahasa memulihkan suasana masyarakat
yang damai.
Demikian dapat kami paparkan makalah yang sangat sederhana ini, kritik dan saran yang bersifat
konstruktif dari teman-teman sangat kami harapkan. Kepada Dosen pengampu mata kuliah SPPI ini
kami haturkan terima kasih yang setingi-tingginya. Wassalam

REFERENSI
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz III (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, TT).
Antony Black, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, (Jakarta : Serambi, 2006).
A. Razaq Naufal, Umat Islam dan Sains Modern, (Bandung : Husaini, 1987).
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2000).
E.J. Brill, First Encyclopedia of Islam, (Leiden & New York: Kobenhaven, V.VI, Koln, 1987).
Emmanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium
III, ( Yogyakarta, Kanisius, 2004)
George A Makdisi, dkk, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam
dan Pengaruhnya Terhadap Renaisans Barat, ( Jakarta : Serambi, 2005)
H.M. Joesoef Souyb, Sejarah Daulah Abbasiyah II. (Jakarta : Bulan Bintang 1997).
H.M. Joesoef Souyb, Sejarah Daulat Abbasiyah I (Jakarta: Bulan Bintang 1997)
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI Press, 2005).
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986).
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1989)
Joesoef Souyb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, TT)
Khaled Abou El Fadl, Musyawarah Buku : Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, (Jakarta :
Serambi, 2000).
M. Hadi Masruri dan Fuad Mustafid, Ibn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, ( Yogyakarta, Lkis,
2005)
Mehdi Nakosten, History of Islamic Origins of Western Education AD 800-1350. Terj. Joko S. kahar
( Colorado : Universuty of Colorodo Press, 1964)
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 9; Muhsin Mahdi, Al-Farabi dan Fondasi Filsafat
Islam, dalam Jurnal al-Hikmah, (edisi 4, Februari 1992).
Philip Khuri Hitti, History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta, Serambi, 2005).
Sabra, Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar, dalam Jurnal

al-Hikmah, (edisi 6, Oktober 1992).


Tim Penyusun Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992)
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Tinjauan Kritis, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990).
_______________, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta : P3M, 1987).
______________, The Majesty That Was Islam. Terj. Hartono Hadikumoro, (Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1990)

Kemajuan Yang Capai Dinasti


Abbasiyah
Diposting oleh sosiator pada 23:04, 13-Okt-14
Di: Politik

A. Kemajuan di Bidang Politik


Secara umum sistem pemerintah daulah Abbasiyah melanjutkan
dari Imperium Umayyah yaitu dengan bentuk pemerintahan monarki.
Namun ada perbedaan yang mendasar antara keduanya, yaitu jika dalam
sistem Pemerintah Umayyah, semua anggota parlemen didominasi oleh
Bangsa Arab, namun dalam sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini
sudah terjadi percampuran antara Arab, Persia dan Turki.
Dimulai pada masa khalifah Al-Mansur, konsep kehalifahan
dipandang sebagai mandat dari Allah, bukan dari manusia dan bukan pula
sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masaKhulafaurrasyidin.
Pola pemerintahan pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah berbedabeda dan diterapkan sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi
dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I
antara lain :

1. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri,


panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan
Persia dan mawali .
2. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi
pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting
dan mulia.
4. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
5. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk
menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).

Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah


mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini
dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak
menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima
di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan
atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya daulahdaulah kecil seperti daulah Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol) dan
Daulah Fatimiyah.
Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang
dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan
dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau
timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap Bani
Umayah dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada
waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang
jabatanya disebut dengan wizaraat. Wizaraat terbagi lagi menjadi dua
macam, yaitu:
1) Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil) yaitu wazir hanya
sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet), Wazirnya berkuasa penuh
untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang
saja .
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha
negara
diadakan
sebuah
dewan
yang
bernama Diwanul
Kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorangRaisul
Kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan
negara, wazir dibantu
beberapa raisul
diwan (menteri
departemen-

departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan AnNidhamul Idary Al-Markazy.

B. Kemajuan di Bidang Intelektual


Kebebasan berpikir yang diakui sepenuhnya sebagai hak asasi
setiap manusia oleh Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu
akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga
orang leluasa mengeluarkan pendapat. Berawal dari itu, zaman
pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung,
yaitu: Imam Hanafi (80-150 H), Imam Maliki (93170 H), Imam Syafii
(150-204 H) dan Imam Hanbali ( wafat 241 H).
Pada masa pemerintahhan Khalifah Harun Ar-Rasyid perkembangan
intelektual mencapai puncak kejayaan, kemajuan tersebut dipengaruhi
oleh :
a) Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh
Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu
mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra.
Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam
banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
b) Pada masa ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan
giat
sekali.
Pengaruh
gerakan
terjemahan
terlihat
dalam
perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang
astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah.

Kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah mencakup ilmu agama,


filsafat dan sain (Harun Nasution, 2001:65-69).
Berikut kemajuan yang pernah dicapai dibidang ilmu agama :
1. Ilmu Hadits
Tokohnya:
Al-Bukhori
dengan
kitabnya Al-Jami
AsShahih dan Tarikh Al-Kabir, Muslim dengan kitabnya Shahih Muslim,
Ibnu Majjah, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai.
2. Ilmu Tafsir
Tokohnya: Ibnu Jarir Ath Thabari dengan karyanya Jami Al-Bayan
fi Tafsir al- Quransebagai pegangan pokok bagi mufassir hingga

sekarang, Abu Muslim Muhammad Ibn Bahar al-Ashfahani dengan


tafsirnya Jamiut Tawil, Ar-Razy dengan tafsirnya Al-Muqthathaf.
3. Ilmu Fiqih
Tokohnya: Abu Hanifah dengan kitabnya Musnad Al-Imam AlAdhom atau Fiqh Al-Akbar, Iman Malik dengan kitabnya Al-Muwatha,
Syafii dengan kitabnya Al-Um dan Al-Fiqh Al-Akbar Fi Al-Tauhid, dan
Ibn Hambal dengan kitabnya Al-Musnad.
4. Ilmu Tasawuf
Tokohnya:
Abu
Bakr
Muhammad
Al-Kalabadi
dengan
karyanya At-Taarruf Li Mazhab Ahl Al-Tasawuf, Abu Nasr As-Sarraj AlTusi dengan karyanya Al-Luma, Abu Hamid al-Ghazali dengan
karyanya Ihya Ulumuddin, dan Abu Qasim Abd Al-Karim Al- Qusyairi
dengan karyanya Maqamat. Tokoh lainnya, Zunnun al-Misri, Abu Yazid
al-Bustami, Husain Ibn Mansur al-Hallaj, dsb.
5. Ilmu Kalam / Teologi
Tokohnya seperti Washil bin Atha, Ibn al-Huzail, al-Allaf, dll dari
golongan Mutazilah, Abu al-Hasan al-Asyari dan al-Maturidi dari ahli
sunnah.
Kemajuan dalam Ilmu Umum / Sains :
1. Ilmu Tarikh / Sejarah
Tokohnya: Ibn Hisyam (abad VIII), Ibn Sad (abad IX), dll.
2. Kedokteran
Tokohnya: Al-Razi dengan karyanya al-Hawi, Ibn Sina dengan
karyanya al-Qanun fi al-Tibb (Canon of Medicine) dan Materia Medica
yang memuat 760 obat-obatan.
3. Ilmu Kimia
Tokohnya: Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti
timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak
dengan menggunakan obat rahasia. Ia mengetahui cara membuat
asam belerang, asam sendawa, dan aqua regia yang dapat
menghancurkan emas dan perak.Ia juga memperbaiki teori aristoteles
mengenai campuran logam.
4. Astronomi

Tokohnya: Al-Biruni dengan kitabnya al-Hind dan al-Qanun alMasudi fi al-Haia wa al-Nujum, Nasiruddin Tusi menyusun tabel
astronomi Ilkanian, Ibn Yunus membuat perbaikan tabel astronomi dan
Hakemite Tables, Moh. Targai Ulugh Begh (cucu Timur Lenk) menyusun
kitab al-Zij al-Sulthani al-Jadid yang berisi 1018 bintang.
5. Matematika
Tokohnya yang populer adalah al-Khawarizmi yang menemukan
angka 0 (aljabar) pada abad IX. Angka 1-9 berasal dari angka-angka
Hindu di India.
6. Fisika
Tokohnya Abdul Rahman al-Khazini, menulis kitab Mizanul Hikmah
(The Scale of Wisdom) tahun 1121 M. Tokohnya adalah Ali al-Hasan
ibnul Haitsam yang dikenal Alhazen, menulis sebuah buku besar
tentang optic Optical Thesaurus, mengoreksi teori Euclid dan
Ptolemy. Ia juga mengembangkan teori pemfokusan, pembesaran, dan
inversi dari bayangan.
7. Geografi
Tokohnya: Zamakhsyari (w.1144) seorang Persia, menulis kitabul
Amkina wal Jibal wal Miyah (The Book of Places, Mountains and
Waters), Yaqut menulis Mujamul Buldan (The Persian Book of Places)
tahun 1228, Al-Qazwini menulis Ajaib al-Buldan (The Wonders of
Lands), dll.
8. Filsafat
Di antara ilmu yang menarik pada masa dinasti Abbasiyah adalah
Filsafat. Ilmu ini berasal dari Yunani kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, bahkan juga buku-buku yang berasal dari Persia maupun
Spanyol. Dari gerakan ini muncul para filosof Islam, seperti: Al-Kindi
(185-260 H/801-873 M), Al-Razi (251-313 H/865-925 M), Al-Farabi (258339 H/870-950 M), Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Bajjah, dan lainlin.
9. Sains Lainnya
Seperti Botani (Abd Latif), Antidote/penawar racun (Ibn Sarabi),
Trigonometri (Jabir ibn Aflah), dan Musik (Nasiruddin Tusi, Qutubuddin,
Asy- Syirazi, dan Safiuddin).

C. Kemajua di Bidang Ekonomi

Para Khalifah dinasti Abbasiyah yang khususnya pada periode awal


sangat menyadari akan vitalnya bidang ekonomi bagi kelangsungan
pemerintahan. Oleh karena itu mereka memberi perhatian penuh pada
bidang yang satu ini. Upaya untuk kemajuan bidang ekonomi ini dimulai
dengan pemindahan pusat pemerintahan ke kota Bagdad.
Baghdad merupakan sebuah kota yang terletak didaerah yang
sangat strategis bagi perniagaan dan perdagangan. Begitu juga terdapat
jalur pelayaran ke sungai eufrat yang cukup dekat. Sehingga barangbarang dagangan dan perniagaan dapat diangkut menghilir sungai
eufratdan tigris dengan menggunakan perahu-perahu kecil. Di samping
itu, yang terpenting ialah tedapatnya jalan nyaman dan aman dari semua
jurusan. Akhirnya Baghdad menjadi daerah sangat ramai, karena
disamping sebagai ibu kota kerajaan juga sebagai kota niaga yang cukup
marak pada masa itu. Dari situlah negara akan dapat devisa yang sangat
besar jumlahnya.
Selain itu faktor pertambahan jumlah penduduk juga merupakan
suatu faktor turut meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dimana semakin
pesat pertumbuhan penduduk, maka semakin besar dan banyak pula
faktor permintaan pasar (demand). Hal ini pada gilirannya memicu
produktivitas ekonomi yang tinggi.
Komoditi yang menjadi berkembang pada masa itu adalah bahan
pakaian atau tekstil yang menjadi konsumsi pasar asia dan eropa.
Sehingga industri di bidang penenunan seperti kain, bahan-bahan
sandang lainnya dan karpet berkembang pesat. Bahan-bahan utama yang
digunakan dalam industri ini adalah kapas, sutra dan wol. Industri lain
yang juga berkembang pesat adalah keramik dan parfum.
Selain itu berkembang juga industri kertas yang di bawa ke
Samarkand oleh para tawanan perang Cina tahun 751 M. di Samarkan
inilah produksi dan ekspor kertas dimulai. Hal ini mendorong pemerintah
pada masa Harun Ar-Rasyid lewat wazirnya Yahya ibn Barmak mendirikan
pabrik kertas pertama di Baghdad sekitar tahun 800 M.
Alat tukar yang digunakan adalah mata uang Dinar (emas)
dan Dirham (perak). Penggunaan mata uang ini secara ekstensif
mendorong tumbuhnya perbankan. Hal ini disebabkan para pelaku
ekonomi yang melakukan perjalanan jauh, sangat beresiko jika membawa
kepingan-kepingan tunai uang tadi. Sehingga bagi para pedagang yang
melakukan perjalanan digunakanlah sistem yang dalam perbankan
modern disebut Cek, yang waktu itu dinamakan Shakk. Dengan adanya
sistem ini pembiayaan menjadi fleksibel. Artinya uang bisa didepositokan
di satu bank di tempat tertentu, kemudian bisa ditarik atau dicairkan
lewat cek di bank yang lain. Dan cek hanya bisa dikeluarkn oleh pejabat
yang berwenang yaitu bank. Lebih jauh bank pada masa ini kejayaan
Islam juga sudah memberikan kredit bagi usaha-usaha perdagangan dan

industri. Selain itu bank juga sudah menjalankan fungsi sebagaiCurrency


Exchange (penukaran mata uang).[1]
Kemajuan di bidang ekonomi tentunya berimbas pada kemakmuran
rakyat secara keseluruhan. Puncak kemakmuran rakyat dialami pada
masa Harun Ar-Rasyid (786-809M) dan putranya Al-Mamun (813-833 M).
kekayaan yang melimpah pada masa ini digunakan untuk kegiatankegiatan di berbagai bidang seperti sosial, pendidikan, kebudayaan,
pendidikan, Ilmu Pengetahuan, kesehatan, kesusastraan dan pengadaan
fasilitas-fasilitas umum. Pada masa inilah berbagai bidang-bidang tadi
mencapai puncak keemasannya.
Kemajuan ekonomi dan kemakmuran
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :

rakyat

pada

masa

ini

Relatif stabilnya kondisi politik mendorong iklim yang kondusif bagi


aktivitas perekonomian.

Tidak adanya ekspansi ke wilayah-wilayah baru sehingga kondisi ini


dimanfaatkan oleh masyarakat guna meninggkatkan taraf hidup dan
kesejahtraan mereka.

Besarnya arus permintaan (demand) untuk kebutuhan-kebutuhan


hidup baik yang bersifat primer, sekunder dan tersier, telah
mendorong para pelaku ekonomi untuk memperbanyak kuantitas
persediaan (supply) barang-barang dan jasa.

Luasnya wilayah kekuasaan mendorong perputaran dan pertukaran


komoditas menjadi ramai. Terutama wilayah-wilayah bekas jajahan
Persia dan Byzantium yang menyimpan potensi ekonomi yang besar.

Jalur transfortasi laut serta kemahiran para pelaut muslim dalam ilmu
kelautan atau navigasi.

Etos kerja ekonomi para khalifah dan pelaku ekomoni dari golongan
Arab memang sudah terbukti dalam sejarah sebagai ekonom yang
tangguh. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa perdagangan sudah
menjadi bagian hidup orang Arab, apalagi kenyataan juga
mengatakan bahwa Nabi sendiri juga adalah pedagang.

Kebijakan di biadang Ekonomi yang ditempuh Khalifah:


a) Pertanian
Untuk meningkatkan hasil pertanian dibangun banyak
bendungan, kanal dan irigasi untuk memenuhi dan mengatur
pengairan
yang
dibutuhkan
para
petani.
Sebagai
contoh,
Terusan Zubaidah yang dibangun atas usulan istri Khalifah Harun ArRasyid, Permaisuri Zubaidah, yang mengalirkan air ke dua kota suci
yaitu Mekah dan Madinah.

b) Perindustrian
Para khalifah menganjurkan masyarakat untuk membuat industri
baik pertambangan maupun pengolahan untuk memperkuat bidang
perekonomian. Banyak kota yang dibangun sebagai pusatpusat
industri. Contohnya, Basrah sebagai pusat industri gelas dan sabun;
Kufah sebagai industri tekstil; Khazakstan sebagai industri sutera;
Damaskussebagai industri pakaian jadi dari sutra bersulam; dan Syam
sebagai pusat industri keramik dan gelas berukir.
c) Perdagangan,
Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:

Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan


yang dilewati kafilah dagang.
Membangun armada-armada dagang.
Membangun armada : untuk melindungi parta-partai negara dari
serangan bajak laut.

D. Kemajuan di Bidang Seni Budaya


Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat
maju pesat, karena upaya-upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang
pembangunan fisik. Hal ini dapat kita lihat dari banguna-bangunan yang
berupa:
a) Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah
dan menengah.
b) Majlis Muhadharah, yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,
ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c) Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun ArRasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya
juga disediakan tempat ruangan belajar.
d) Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang
mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai
sekarang ini dengan nama Madrasah.
e) Masjid

Sisa peninggalan yang memperlihatkan kemajuan pesat Bani


Abbassiyah :
a) Istana Qarruzzabad di Baghdad
b) Istana di kota Samarra
c) Istana Al Hamra di Kordova
d) Istana Al Cazar, dan lain-lain
e) Bangunan-bangunan sekolah
f)

Kuttab

g) Majlis Muhadharah
h) Darul Hikmah
i)

Masjid Raya Kordova (786 M)

j)

Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Ibnu & Muhlisin. Sejarah Peradaban Islam.Surabaya.2006


Lupidus , Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam . Jakarta : RajaGrafindo
Persada. 1999
Thohir, Ajib. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. Jakarta :
RajaGrafindo Persada. 2004
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
2010
Maurice Lombard, The Golden Age of Islam. New York : American Elsevier,
1975.

KEMAJUAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH DAN BANI


ABBASIYAH
KEMAJUAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH DAN BANI ABBASIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

B.
1.
2.
3.
4.
C.
1.
2.
3.
4.

Islam sejak kelahirannya pada awal abad ke-7 di Mekkah, Islam terus mengalami
perkembangan yang pesat melewati berbagai tantangan yang sangat berat, sampai
akhirnya tersebar ke seluruh dunia.[1] Bernard Lewis menulis, sampai akhir
kekuasaan Khulafaurrasyidin wilayah Islam terbentang luas dari Maroko sampai
Indonesia, dari Kazakhtan sampai Sinegal.[2]
Seperti apapun kronologi wafatnya Kholifah Ali bin Abi Thalib, yang jelas hal ini
telah menginspirasikan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan untuk tampil sebagai
pemegang tampuk kekuasaan islam, yang akhirnya berhasil dan mengubah
kekuasaan dengan sistem dinasti dan diberi nama khilafah bani Umayyah. Dengan
segala kelebihan dan kekurangannya dinasti yang dibentuk muawiyah akhirnya
dinasti ini runtuh pula.
Indikasi keruntuhan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah tercium sepeninggal
khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Kedamaian dan ketentraman yang dirasakan masyarakat
berganti dengan kekacauan dan kerusuhan. Keadaan ini terus berlanjut hingga pucuk
pimpinan dinasti ini dipegang khalifah Hisyam ibn Abdul Malik dan khalifah-khalifah
berikutnya. Di sisi lain kelompok oposisi yang digalang oleh keturunan Abbas ibn Abdul
Muthalib yang mendapatkan dukungan dari golongan mawali (non-Arab) dan Abu
Muslim al-Khurasani menjelma menjadi momok menakutkan, ditambah lagi khalifahkhalifah yang menggantikan Hisyam Ibn Abdul Malik begitu lemah dan bermoral buruk.
Ketika Marwan Ibn Muhammad naik tahta, Khalifah yang tercatat sebagai khalifah
terakhir dari Bani Umayyah ini karena adanya kekacauan, dia melarikan diri ke Mesir
dan akhirnya terbunuh di sana. Dan pada saat itulah kekhalifahan berpindah kepada
Bani Abbasiyah.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan pembahasaan makalah ini adalah :
Awal munculnya dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah
Sistem pergantian Kholifah
Prestasi yang dicapai
Sebab kemunduran
Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah di atas, penulis mempunyai tujuan agar :
Mengetahui Awal munculnya dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah
Mengetahui Sistem pergantian Kholifah
Mengetahui Prestasi yang dicapai
Mengetahui Sebab kemunduran
BAB II
PEMBAHASAN
A. DINASTI BANI UMAYYAH
a. Asal-usul Dinasti Bani Umayyah
Nama Daulah Umayah berasal dari nama Umayah ibnu Abdi Syam ibnu
Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin Qurays di zama Jahiliyah[3]. Bani
Umayah merupakan keturunan Umayah, yang masih memiliki ikatan famili dengan
para pendahulu Nabi. Naiknya bani Umayah ke puncak kekuasaan, dimulai oleh

Muawiyah ibnu Abi Sufyan, salah seorang keturunan bani umayah dan salah
seorang sahabat Nabi, dan ia menjadi bagian penting dalam setiap masa
pemerintahan para khulafa ar-rasyidun. Pada masa Ustman, Muawiyah diduga
memiliki hubungan yang kuat dengan Ustman, sehingga terjebak dengan praktik
nepotisme dengan Muwiyah. Bahkan kerusakan pemerintahan Ustman akibat
nepotismenya kepada Bani Umayah, sehingga mendapatkan tantangan dari para
pendukung Ali.[4]
Disinilah letak kepekaan nalar politik yang dimiliki Muawiyah mulai bekerja.
Muawiyah pada dasarnya termasuk politisi ulung yang mampu mengambil posisi
kekuasaan dalam setiap masa pemerintahan. Pada masa Ustman, betapa
Muawiyah mampu membangun koalisi nepotis dengan Ustman, sehingga Bani
Umayah tetap menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara pada masa-masa Ali,
Muawiyah telah mulai melakukan gerakan politik untuk meraih posisi puncak dalam
kekuasaan. Muawiyah mampu memanfaatkan kelemahan dan keluguan kekuasaan
Ali.
Pada masa Ali masih berkuasa, Muawiyah telah memiliki kekuatan penuh,
sehingga pada saat Ali terbunuh, Muawiyah langsung mengambil alih kekuasaan
dengan sangat mudah dan terkordinasi dengan baik. Salah satu kepekaan nalar
politik Muawiyah ialah mampu belajar pada pengalaman yang terjadi pada tiga
khalifah sebelumnya, yang berakhir dengan pembunuhan. Pilihan memindahkan
kekuasaan ke luar Jazirah Arab, menunjukkan sikap dan kecerdasan politik
Muawiyah dalam menghindari pergolakan antar kubu yang sangat tragis di kalangan
umat Islam di jazirah Arab bahkan sebagai upaya untuk menghindari tragedi
pembunuhan yang dilakukan terhadap tiga khalifah sebelumnya. Akhirnya,
Muawiyah dan dinastinya mengendalikan kekuasaannya dari luar jazirah Arab,
mencoba
bersebarangan
dengan
para
pendahulu-pendahulunya
yang
berkonsentrasi di wilayah jazirah Arab. Menurut H.A.R. Gibb : Mulai tahun 660 M. ibu
kota kerajaan Arab dipindahkan ke Damaskus, tempat kedudukan baru khilafah Bani
Umayah, sedangkan Madinah tetap merupakan pusat pelajaran agama Islam,
pemerintah dan kehidupan umum kerajaan dipengaruhi oleh dapat istiadat Yunani
Romawi Timur.[5]

b. Sistem Pergantian Kholifah


Pada masa-masa Awal Muawiyah menjadi penguasa kekuasaan masih berjalan
secara demokratis, tetapi setelah berjalan dalam beberapa waktu, Muawiyah
mengubah
model
pemerintahnya
dengan
model
pemerintahanmonarchiheredetis (kerajaan turun temurun).[6] yaitu sebagai berikut:
NO

NAMA

MASA BERKUASA

Muawiyah ibnu Abi Sufyan

661-681 M

Yazid ibn Muawiyah

681-683 M

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

9.

Muawiyah ibnu Yazid

683-685 M

Marwan ibnu Hakam

684-685M.

Abdul Malik ibn Marwan

685-705 M

Al-Walid ibnu Abdul Malik

705-715 M

Sulaiman ibnu Abdul Malik

715-717 M

Umar ibnu Abdul Aziz

717-720 M

Yazid ibnu Abdul Malik

720-824 M

10

Hisyam ibnu Abdul Malik

724-743 M

11

Walid ibn Yazid

734-744 M

12

Yazid ibn Walid [ Yazid III]

744 M

13

Ibrahim ibn Malik

744 M

14

Marwan ibn Muhammad

745-750 M

c.Keberhasilan Yang Dicapai


Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial
a). Bidang Material :
Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan
kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan
angkatan bersenjata.
Muawiyah merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan anjung
dalam masjid tempat is sembahyang. Ia sangat khwatir akan keselamatan dirinya,
karena khalifah Umar dan Ali, terbunuh ketika sedang melaksanakan shalat.
Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat
lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai
lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
Muawiyah sudah merancang pola pengiriman surat (post), kemudian dimatangkan
lagi pada masa Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin ditata dengan
baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang baik pada waktu itu.
Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik
membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal
dengan The Dame Of The Rock (Gubah As-Sakharah).
Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan
keseluruh penjuru negeri islam.
Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat
untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai
Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga
kapal perang waktu itu berjumlah 1700 buah.
Khalifah Abd Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan
administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi
administrasi pemerintahan Islam yang tadinya berbahasa Yunani dan Pahlawi
sehingga
sampai
berdampak
pada
orangorang non Arab menjadi pandai berbahasa Arab dan untuk menyempurnakan

pengetahuan tata bahasa Arab orang-orang non Arab, disusun buku tata bahasa
Arab oleh Sibawaih dalam al-Kitab.
10. Merubah
mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam.
Sebelumnya
mata uang Bizantium dan Persia seperti dinar dan dirham.
Penggantinya uang dirham terbuat dari mas dan dirham dari perak dengan memakai
kata-kata dan tulisan Arab.
11. Perluasaan wilayah kekuasaan dari Afrika menuju wilayah Barat daya, benua Eropa,
bahkan perluasaan ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di bawah kepemimpinan
panglima Thariq bin Ziad, yang berhasil menaklukkan Kordova, Granada, dan
Toledo.
12. Dibangun mesjid-mesjid dan istana. Katedral St. Jhon di Damaskus dirubah menjadi
mesjid, sedang Katedral yang ada di Hims dipakai sebagai mesjid dan gereja. Di alQuds (Jerussalem) Abdul Malik membangun mesjid al-Aqsha. Monumen terbaik
yang ditinggalkan zaman ini adalah Qubah al-Sakhr di al-Quds. Di mesjid al-Aqsha
yang menurut riwayatnya tempat Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail dan
Nabi
Muhammad
mulai
dengan
miraj
ke
langit,
mesjid
Cordova di Spanyol dibangun,
mesjid Mekah dan
Madinah diperbaiki dan
diperbesar oleh Abdul Malik dan Walid.
13. Bahkan pada masa, Sulaiman ibn Malik, telah dibangun pembangunan mega
raksasa yang terkenal dengan Jamiul Umawi.
b). Bidang Immaterial
1. Mendirikan pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang akhirnya
memunculkan nama- nama besar seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri dan
Washil bin Atha. Bidang yang menjadi perhatian adalah tafsir, hadits, fikih, dan
kalam.
2. Penyair-penyair Arab baru bermunculan setelah perhatian mereka terhadap syair
Arab Jahiliyah dibangkitkan. Mereka itu adalah Umar Ibn Abi Rabiah (w. 719 m.),
Jamil al-Udhri (w. 701 M.), Qays Ibn al-Mulawwah (w. 699 M.) yang lebih dikenal
dengan nama Majnun Laila, al-Farazdaq (w 732M.), Jarir (w. 792 M) dan al-Akhtal
(w. 710 M.).
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra-Seni
Waktu dinasti ini telah mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan
eksakta. Dan ilmu pengetahun berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah,
tarikh, dan filsafat. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama
pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain
sebagainya. Sehingga secara perlahan ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua
macam, yaitu : pertama, Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul
Islamiyah (ilmu al-Quran, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan alJughrafi), Al-Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang
meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
Persia dan Romawi. Kedua : Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah

ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu
lughah, syair, khitabah dan amtsal.
Pada masa ini pula sudah mulai dirancang tentang undang-undang yang
bersumber dari al-Quran, sehingga menuntut masyarakat mempelajari tentang tafsir
al-Quran. Salah seorang ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut
adalah Ibnu Abbas. Pada waktu itu beliau telah menafsirkan al-Quran dengan
riwayat dan isnad, kemudian kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al-Quran dicari
dalam al-hadist, yang pada gilirannya melahirkan ilmu hadist. Dan akhirnya kitab
tentang ilmu hadist sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama
hadist yang terkenal pada masa itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim
bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi
Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auzai Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri asSyabi. Dalam bidang hadist ini, Umar bin Abd Aziz secara khusus memerintahkan
Ibn Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadist. Oeh karena itu, Ibnu Syihab telah
dianggap sanat berjasa dalam menyebarkan hadist hingga menembus berbagai
zaman. Sejak saat itulah perkembangan kitab-kitab hadist mulai dilakukan.[7]
4. Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi
Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dilakukan,
terutama pada masa khalifah Marwan. Pada saat itu, ia memerintahkan
penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter dari
iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam
bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah memerintahkan menerjemahkan buku
dongeng dalam bahasa sansakerta yang dikenal dengan Kalilah wa Dimnah, karya
Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah ibnu Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak
menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan logika, termasuk karya
Aristoteles
:Categoris,
Hermeneutica,
Analityca
Posterior serta
karya
Porphyrius :Isagoge.[8]

d. Kemunduran Dinasti Umayyah


Selama berkuasa kurang lebih 90 tahun lamanya, penguasa Bani Umayah, sejak
Umayah berkuasa harus diakui telah banyak memberikan sesuatu yang berarti bagi
Islam. Tetapi, kekuasaan yang dibangun dengan cara-cara yang keras dan kasar
seperti yang dilakukan oleh Muawiyah seperti pasa saat ia merebut kekkuasaan,
dan ditambah lagi dengan pola suksesi yang bersifat keluargaan telah memunculkan
perlawanan yang keras dari lawan-lawan politik Bani Umaya. Sejak sepeninggal
Hisyam ibnu Abd Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah terus mengalami melemah,
bukan hanya moral tetap juga lemah dalam kekuataan politik. Kelemahn ini tentu
saja terus dimanfaatkan dengan baik oleh musuh-musuh Bani Umayah untuk
dihancurkan, dan segera diganti.
Beberapa faktor yang menjadi akar melemah dan hancurnya Bani Umayah, antara
lain :

1. System suksesi khalifah dengan cara dinatian bukan tradisi Arab dan lebih
mengandalkan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas, sehingga menimbulkan
menimbulkan persaingan yang keras di kalangan anggota keluarga.
2. Latar belakang terbentuknya Bani Umayah tidak terlepas dari konflik politik yang
terjadi di masa Ali. Ktbu Ali (Syiah) dan kubu khawarij yang masih tersisa, terus
menjadi oposisi dan melakukan perlawanan terhadap Bani Umayah, baik dengan
terang-terangan maupun dengan cara sembunyi-sembunyi. Penumpasan terhadap
kelompok-kelompok ini, banyak menyedot kekuatan pemerintah Bani Umayah.
3. Pada masa Bani Umayah pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays)
dan Arabia Selatan (Bani Kalb) terus menruncing. Konflik ini membuat penguasa
Bani Umayah merasa kesulitan dalam menggalang persatuan dan kesatuan.
4. Faktor lemahnya Bani Umayah juga akibat sikap hidup mewah orang-orang di
lingkungan istana, sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kekuasaan. Kemudian, banyak para agamawan yang kecewa dengan penguasa
Bani Umayah karena penguasa ini sudah tidak memperhatikan pengembangan
agama.
5. Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd Thalib
yang mendapatkan dukungan dari Bani Hasyim dan golongan Syiah dan kaum
Mawali.[9]
Akhir kehancuran Dinasti Umayah, dimulai oleh pembunuhan terhadap khalifah
Marwan yang dilakukan oleh Abul Abbas as-Shaffah, setelah itu ia menjadi khalifah
dalam kekuasaan umata Islam. Kemudian kelompok Abul Abbas, beralih
menghancurkan Yazid bin Umar bin Hubairah, yang merupakan benteng terakhir
kekuasaan dinasti Umayah.[10] Jadi, hancurnya dua kekuayaan Umayah ini,
menjadi akhir dari kiprah bani Umayah dalam sejarah kekuasan Islam.
B. DINASTI ABBASIYAH
a. Asal-usul Dinasti Bani Abbasiyah
Khilafah Bani Abbasyiyah adalah penerus tongkat estafet perjuangan Islam dari
khilafah bani Umayyah yang berhasil mereka gulingkan pada tahun 750 M. Akar
munculnya khilafah ini dimulai dari tindakan propaganda Abbasiyah yang dimotori oleh
Ibrahim (orang Bani Abbas/saudara Saffah) yang mendapat dukungan dari pemuka
khurasan bernama Abu Muslim. Ditambah lagi kekuatan oposisi yang semakin solid
serta pemegang kursi pemerintahan bani Umayyah semakin melemah. Dari tindakan
propaganda ini akhirnya memunculkan perselisihan seru antara bani Umayyah dan bani
Abbasiyah yang diakhiri dengan jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah.
Dinasti Abbasiyah muncul juga tidak bisa dilepaskan dari bantuan orang-orang
Persia yang merasa bosan terhadap bani Umayyah di dalam sosial, politik dan
administrasi. Orang-orang Persia percaya kepada hak agung raja-raja (yang berasal dari
Tuhan). Kekhalifahan menurut mereka merupakan kekuasaan dari Allah. Hal ini nampak
jelas dalam ucapan al-Manshur yang menyatakan:Innamaa Anaa Sulthaanullah fii
Ardlihii (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Dengan demikian,
konsep khilafah dalam pandangannya merupakan mandat langsung dari Allah bukan

dari rakyat. Sistem kekhalifahan semacam ini sangat berbeda dengan sistem
kekhalifahan pada masa Khulafaur Rasyidun dimana kekhalifahan mereka berasal dari
rakyat.
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
dari keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad S.A.W.
b. Sistem Pergantian Kholifah
Sistem pemerintahan yang diterapkan bani Abbasiyah masih sama dengan
pendahulunya, bani Umayyah dengan sistem kekuasaan absolutisme. Mereka
mengangkat dan mengumumkan seorang atau dua orang putra mahkota atau
saudaranya sendiri untuk terus mempertahankan kepemerintahan. Kebijakan
menerapakan sistem seperti ini tentu saja menimbulkan kecemburuan dan kebencian
diantara sesama keluarga. Sebagai contoh, tatkala al-Manshur naik tahta, dia
mengumumkan Mahdi sebagai putra mahkota pertama dan menunjuk Isa ibn Musa,
kemenakannya sebagai putra mahkota kedua. Saat itu juga al-Manshur mengasingkan
Isa sama sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah pertama al-Shaffah.
Seluruh anggota keluarga Abbas dan pemimpin umat Islam mengangkat Abdullah alSaffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas sebagai khalifah mereka yang
pertama walaupun masih ada Abu Jafar (al-Manshur) yang nantinya akan menjadi
khalifah yang kedua. Kekhalifahan bani Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu
yang sangat panjang dan pada periode pertama (750 848 M) tercatat kurang lebih 10
khalifah yang memimpin dengan silsilah keturunan sebagai berikut :
N
NAMA
MASA BERKUASA
O
1.
Saffah ibn Muhammad
(132 H/750 M)
Abu Jafar al-Manshur ibn
2.
(136 H/754 M)
Muhammad
3.
Mahdi ibn al-Manshur
(158 H/775 M)
4.
Hadi ibn Mahdi
(169 H/785M)
5.
Harun al-Rasyid ibn Mahdi
(170 H/786M)
6.
Amin ibn Harun
(193 H/804 M)
7.
Mamun ibn Harun
(198 H/813 M)
8.
Mutashim ibn Harun
(218 H/833 M)
9.
Watsiq ibn Mutashim
(227 H/842 M)
10.
Mutawakkil ibn Mutashim
(232 H/848 M)
Dalam perkembangannya, di bawah khalifah Saffah, ibu kota negara berada di kota
Anbar dekat kufah dengan istana yang diberi nama al-Hasyimiyah. Namun demi
menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu akhirnya pada tahun 762 M al-Manshur
memindahkan ibu kota negara ke Baghdad dengan istana al-Hasyimiyah II. Dengan
demikian, pusat pemerintahan daulah Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa
Persia.

1.
2.
3.
4.
5.

1.
2.
3.

4.

5.

1.
2.
3.

Diantara langkah-langkah yang diambil al-Manshur dalam menertibkan


pemerintahannya antara lain :
Mengangkat pejabat di lembaga ekskutif dan yudikatif.
Mengangkat wazir (menteri) sebagai koordinator departemen. Dan wazir pertama yang
diangkatnya adalah Khalid ibn Barmak berasal dari kota Balkh Persia
Mengangkat sekretaris negara dan kepolisian negara dan membenahi angkatan
bersenjata
Memaksimalkan peranan kantor pos. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan
tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Berdamai dengan kaisar Constantine V, dan selama gencatan senjata, Bizantium
membayar upeti tahunan.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan oleh Shaffah dan alManshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada beberapa khalifah
sesudahnya. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai klimaks kesuksesan adalah pada
masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid dan puteranya al-Mamun.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik yang ada, para sejarawan biasanya membagi masa
pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode dengan karakteristik yang berbeda-beda
pula :
Periode pertama (132 H/750 M 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama
Periode kedua (232 H/847 M 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama
Periode ketiga, (334 H/945 M 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
Periode keempat, (447 H/1055 M 590 H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua.
Periode kelima, (590 H/1194 M 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
c.Keberhasilan Yang Dicapai
Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial
a). Bidang Material :
Pada zaman al-Mahdi, sebenarnya perekonomian sudah mulai menggeliat dengan
peningkatan di sektor pertanian, melaluai irigasi dan peningkatan hasil pertambangan.
Diantara prestasi-prestasi yang berhasil diraih al-Mahdi antara lain:
Dia membangun gedung-gedung sepanjang jalan menuju Makkah.
Masjid Agung di Madinah diperbesar tetapi menghapus nama khalifah bani Umayyah,
Walid dari dinding masjid itu dan mengganti dengan namanya.
Membangun tempat pelayanan pos antara Makkah dan Madinah kemudian Yaman yang
berfungsi sebagai tempat pembayaran ongkos perjalanan tiap mil.

4. Membuat benteng di beberapa kota khususnya Rusafa di bagian Baghdad Timur


Popularitas daulah bani Abbasiyah mencapai puncak peradaban dan
kemakmurannya di zaman Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Mamun (813833 M). Kekayaan yang banyak, dimanfaatkan Harun untuk keperluan sosial. Istanaistana besar, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter dan farmasi didirikan. Bahkan
menurut sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa sebenarnya Harun ingin
menggabungkan laut tengah dengan laut merah. Namun Yahya ibn Khalid (dari keluarga
barmak) tidak menyetujui gagsan itu. Pada masa al-Mamun menjadi khalifah, ia banyak
mendirikan sekolah-sekolah. Salah satu karya terbesarnya adalah pembangunan Bait
al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang sangat besar.
Baghdad, kota kuno yang didirikan oleh orang-orang Persia, merupakan tempat
perdagangan yang kerap kali dikunjungi oleh pedagang dari India dan Cina. Para
Insinyur, tukang batu, dan para pekerja tangan didatangkan dari Syiria, Bashra, Kufa
untuk membantu didalam memperindah kota. Bahkan di daerah pinggir kota ini sudah
terbagi menjadi empat bagian pemukiman yang masing-masing mempunyai seorang
pemimpin yang dipercaya untuk mendirikan pasar di pemukimannya. Demikianlah di
zaman Abbasiyah pertama. Baghdad menjadi kota terpenting di dunia sebagai sentral
perdagangan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Masjid-masjid dan bangunanbangunan lain semakin bertambah banyak dan menjadi hal menarik dalam kesenian
muslim.
a). Bidang Imaterial :
Kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah mencakup ilmu agama, filsafat dan
sain (Harun Nasution, 2001:65-69). Ilmu agama yang dikembangkan pada masa ini
mencakup:
a. Ilmu Hadits
Tokohnya: Al-Bukhori dengan kitabnya al-Jami al-Shahih dan Tarikh al-Kabir, Muslim
dengan kitabnya Shahih Muslim, Ibnu Majjah, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasai.
b. Ilmu Tafsir
Tokohnya: Ibnu Jarir Ath Thabari dengan karyanya Jami al-Bayan fi Tafsir al- Quran
sebagai pegangan pokok bagi mufassir hingga sekarang, Abu Muslim Muhammad
Ibn Bahar al-Ashfahani dengan tafsirnya Jamiut Tawil, Ar-Razy dengan tafsirnya AlMuqthathaf.
c. Ilmu Fiqih
Tokohnya: Abu Hanifah dengan kitabnya Musnad al-Imam al-Adhom atau Fiqh alAkbar, Malik dengan kitabnya al-Muwatha, Syafii dengan kitabnya al-Um dan alFiqh al-Akbar fi al-Tauhid, dan Ibn Hambal dengan kitabnya al-Musnad.
d. Ilmu Tasawuf atau Mistisisme Islam
Tokohnya: Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dengan karyanya al-Taarruf li Mazhab
Ahl al-Tasawuf, Abu Nasr as-Sarraj al-Tusi dengan karyanya al-Luma, Abu Hamid
al-Ghazali dengan karyanya Ihya Ulum al-Din, dan Abu Qasim Abd al-Karim al-

Qusyairi dengan karyanya Maqamat. Tokoh lainnya, Zunnun al-Misri, Abu Yazid alBustami, Husain Ibn Mansur al-Hallaj, dsb.
e. Ilmu Kalam atau Theologi
Tokohnya seperti Washil bin Atha, Ibn al-Huzail, al-Allaf, dll dari golongan
Mutazilah, Abu al-Hasan al-Asyari dan al-Maturidi dari ahli sunnah.
f. Ilmu Tarikh atau Sejarah
Tokohnya: Ibn Hisyam (abad VIII), Ibn Sad (abad IX), dll.
g. Ilmu Sastra
Tokohnya: Abu al-Farraj al-Isfahani dengan karyanya Kitab al-Aghani, al-Jasyiari
dengan karyanya Alfu Lailah wa Lailah di pertengahan abad X. h. Ilmu agama
lainnya seperti ilmu al-Qoriah, ilmu Bahasa, dan Tata Bahasa. Di antara ilmu yang
menarik pada masa dinasti Abbasiyah adalah Filsafat. Ilmu ini berasal dari Yunani
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, bahkan juga buku-buku yang
berasal dari Persia maupun Spanyol. Dari gerakan ini muncul para filosof Islam,
seperti:
a. Al-Kindi (185-260 H/801-873 M)
Al-Kindi lahir di Kufah, karyanya sekitar 270 buah yang dikelompokkan oleh ibn
Nadim dan al-Qifti menjadi 17, yaitu: filsafat, logika, ilmu hitung, globular, musik,
astronomi, geometri, sperikal, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik,240
meteorology, dimensi, benda-benda pertama, dan spesies tertentu logam dan kimia.
b. Al-Razi (251-313 H/865-925 M)
Nama latinnya adalah Rhazes, lahir di Rayy dekat Teheran. Buku-buku filsafatnya
antara lain: Al-Tibb al-Ruhani, Al-shirat al-Falsafiyyah, Amarat Iqbal al-Daulah, Kitab
al-Ladzdzah, Kitab al-Ilm al-Ilahi, dll.
c. Al-Farabi (258-339 H/870-950 M)
Di Barat dikenal dengan nama Alpharbiu, lahir di Wasij (suatu desa di Farab/
Transoxania). Selain seorang filosof, ia juga ahli dalam bidang logika, matematika,
dan pengobatan. Dalam bidang fisika, ia menulis kitab al-Musiqa. Di antara karyanya
adalah: al-Tanbih ala Sabil al-Saadat, Ihsha al-Ulum, al-Jam bayn Ray alHakimayn, Fushush al-Hikam, dll.
d. Ibn Sina (370-428 H/980-1037 M)
Nama latin Ibn Sina adalah Avicenna, lahir di Afsyana (dekat Bukhara). Selain ahli
filsafat dan kedokteran, beliau juga
memiliki karya dalam bidang logika,
matematika, astronomi, fisika, mineralogy, ekonomi, dan politik. Karyanya antara
lain: Kitab al-Syifa, Kitab al-Nadjat, Al-Isyarat wat-Tanbihat, Al-Hikmat alMasyriqiyyah, dll.
e. Al-Ghazali (455-507H/1059-1111 M)
Beliau bergelar hujjatul Islam, lahir di Ghazaleh dekat Tus di Khurasan. Karyanya
antara lain: Al-Munqidz min ad-Dlalal, Tahafut al-Falasifah, Ihya Ulumuddin, Qawaid
al-Aqaid, Misykat al-Anwar, dll.
f. Ibn Rusyd (520-595 H/1126-1198 M)

Di Barat namanya Averroes, lahir di Cordova. Bukunya yang terpenting ada empat:
Bidayatul Mujtahid, Faslul Maqal fi ma baina al-Hikmati was Syariat min al- Ittisal,
Manahij al-Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah, dan Tahafut at-Tahafut.
g. Ibn Bajjah (w. 533 H/1138 M)
Beliau lahir di Saragossa dan karyanya berupa risalah antara lain: Al-Ittisal, alWada, Tadbir al-Mutawahhid, dll.
h. Ibn Tufail (506-581 H/1110-1185 M)
Beliau lahir di Granada. Karangannya tentang filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan
dan sebagainya tidak sampai kepada kita kecuali satu yaitu risalah Hay bin Yaqzhan.
Kemajuan sains pada masa dinasti Abbasiyah didukung oleh Science Policy,
yakni antara lain dengan didirikannya akademi, sekolah dan observatorium (lembaga
ilmiah yang
melakukan penelitian dan pengajarannya sekaligus) di samping
perpustakaan. Dengan kebijakan tersebut menimbulkan kemajuan-kemajuan dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti:
a. Kedokteran
Tokohnya: Al-Razi dengan karyanya al-Hawi, Ibn Sina dengan karyanya al-Qanun fi
al-Tibb (Canon of Medicine) dan Materia Medica yang memuat 760 obat-obatan.
b. Ilmu Kimia
Tokohnya: Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan
tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat
rahasia. Ia mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa, dan aqua
regia yang dapat menghancurkan emas dan perak.Ia juga memperbaiki teori
aristoteles mengenai campuran logam.241
c. Astronomi
Tokohnya: Al-Biruni dengan kitabnya al-Hind dan al-Qanun al-Masudi fi al-Haia wa
al-Nujum, Nasiruddin Tusi menyusun tabel astronomi Ilkanian, Ibn Yunus membuat
perbaikan tabel astronomi dan Hakemite Tables, Moh. Targai Ulugh Begh (cucu
Timur Lenk) menyusun kitab al-Zij al-Sulthani al-Jadid yang berisi 1018 bintang.
d. Matematika
Tokohnya yang populer adalah al-Khawarizmi yang menemukan angka 0 (aljabar)
pada abad IX. Angka 1-9 berasal dari angka-angka Hindu di India.
e. Optik
Tokohnya adalah Ali al-Hasan ibnul Haitsam yang dikenal Alhazen, menulis sebuah
buku besar tentang optic Optical Thesaurus, mengoreksi teori Euclid dan Ptolemy.
Ia juga mengembangkan teori pemfokusan, pembesaran, dan inversi dari bayangan.
f. Fisika
Tokohnya Abdul Rahman al-Khazini, menulis kitab Mizanul Hikmah (The Scale of
Wisdom) tahun 1121 M.
g. Geografi
Tokohnya: Zamakhsyari (w.1144) seorang Persia, menulis kitabul Amkina wal Jibal
wal Miyah (The Book of Places, Mountains and Waters), Yaqut menulis Mujamul

Buldan (The Persian Book of Places) tahun 1228, Al-Qazwini menulis Ajaib alBuldan (The Wonders of Lands), dll.
h. Sains lainnya
Seperti Botani (Abd Latif), Antidote/penawar racun (Ibn Sarabi), Trigonometri (Jabir
ibn Aflah), dan Musik (Nasiruddin Tusi, Qutubuddin, Asy- Syirazi, dan Safiuddin).
d. Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Setelah kekuasaan bani Seljuk berakhir, khalifah bani Abbasiyah berkuasa kembali
dan titak lagi berada di bawah pengaruh satu dinasti tertentu. Namun demikian, banyak
dinasti-dinasti kecil Islam yang independent. Wilayah kekuasaan bani Abbasiyah
menyempit di Baghdad dan sekitarnya yang menunjukkan pada kelemahan politik
mereka. Keadaan ini dibaca oleh tentara Mongol dan Tartar untuk menyerang Baghdad
yang akhirnaya bisa mereka kuasai.
Masa kemunduran bani Abbasiyah sebenarnya sudah dimulai sejak periode kedua.
Namun karena khalifah yang berkuasa sangat kuat, benih kehancuran dinasti ini masih
belum sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan bani Abbasiyah terlihat bahwa
apabila khalifah yang berkuasa kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala
pegawai sipil yang hanya mendapatkan bayaran, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan
berkuasa mengatur roda pemerintahan sepenuhnya. Di samping kelemahan khalifah
yang menjadi penyebab kemunduran, ada beberapa faktor lain yang menjadi sebab
kemunduran khilafah bani Abbasiyah, antara lain:
1. Persaingan Antar Bangsa
Dalam berdirinya khilafah bani Abbasiyah, mereka lebih memilih bersekutu dengan
bangsa Persia dari pada bangsa Arab. Persekutuan ini disebabkan karena mereka
sama-sama tertindas selama bani Umayyah berkuasa. Di sisi lain, bangsa Arab
beranggapan bahwa mereka lebih istimewa dibandingkan dengan bangsa non Arab di
dunia Islam. Pada waktu itu tidak ada kesadaran untuk merajut elemen-elemen yang
beraneka ragam tersebut dengan kuat. Akibatnya yang muncul adalah fanatisme
kearaban dan fanatisme antar bangsa. Setelah al-Mutawakkil naik tahta, dominasi Turki
dalam kepemerintahan tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan khilafah bani Abbasiyah
sebenarnya sudah berakhir berganti ke tangan orang-orang Turki, bani Buwaih, dan bani
Seljuk.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran dalam bidang ekonomi
bersamaan dengan kemunduran dalam bidang politik. Walaupu periode pertama
terbilang sukses perekonomiannya, namun memasuki periode kedua mengalami
kemerosotan. Pendapatan negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih
besar. Hal ini disebabkan menyempitkan wilayah kekuasaan mereka dan banyaknya
kerusuhan yang mengganggu perekonomian bangsa.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian semakin memburuk.
Sebaliknya, perekonomian yang buruk semakin memperlemah kondisi polotik dinasti
Abbasiayah, kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.

3. Konflik Keagamaan
Pada periode pertama sudah bermunculan gerakan-gerakan keagamaan yang
membuat beberapa khalifah waktu itu merasa berang dan berusaha untuk
memberantasnya. Al-Mahdi bahkan mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi
kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bidah.
Akan tetapi semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik di antara merekapun
bermunculan. Mulai dari polemik tentang ajaran sampai pada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah diantara kedua belah pihak.
Konflik keagamaan tidak terbatas antar muslim dan zindiq atau Sunni dengan Syiah,
melainkan juga antar aliran dalam Islam. Mutazilah yang cenderung rasional, dituduh
sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini
dipertajam oleh al-Mamun saat menjabat sebagai khalifah dengan menjadikan
Mutazilah sebagai madzhab resmi dinasti Abbasiyah. Pada masa al-Mutawakkil, giliran
golongan salaf yang menjadi madzhab resmi, sementara Mutazilah dibatalkan.
4. Ancaman dari Luar
Setidaknya ada dua Faktor eksternal yang mempengaruhi kemunduran dinasti
Abbasiyah. Pertama, perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang yang
menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
Begitu juga orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus
Urbanus II mengeluarkan seruan kepada umat Kristen Eropa supaya melakukan perang
suci yang lebih dikenal dengan sebutan perang Salib.

BAB III
KESIMPULAN PENUTUP
a. Kesimpulan
- Bani Umayyah
Bani Umayah merupakan salah satu dinasti Islam yang cukup masyhur seperti
yang penguasa-penguasa muslim yang lain. Bahkan pada masa ini, perubahan demi
perubahan dilakukan, setidaknya keberanian Bani Umayah untuk keluar dari tradisi
Arab dalam masalah pergantian kepemimpinan serta pemindahan pusat kekuasaan
dari Jazirah Arab ke Damaskus (luar jazirah Arab) menjadi bukti sederhana tentang
dinamika yang terjadi pada masa Bani Umayah berkuasa.
Tulisan di atas walaupun sangat singkat telah memberikan gambaran tentang
pergulatan kekuasan Bani Umayah dengan segala dinamikan yang terjadi selama
berkuasa kurang lebih 90 tahun lamanya, di satu sisi telah menorehkan banyak
catatan kemajuan bagi Islam, tetapi pada sisi yang lain tidak juah beda dengan
penguasa-penguasa sebelumnya, yaitu ketidakmampuan dalam meminimalisir
konflik politik, yang acapkali melahirkan berbagai tragedi pertempuran di kalangan
umat Islam.

Namun demikian, Bani Umayah tetaplah bagian penting dan menarik dalam
sejarah umat Islam yang harus terus dijadikan sebagai pengalaman sangat
berharga, karena tidak semua yang dilakukan Bani Umayah itu jelek, tetapi juga
memiliki sisi penting yang harus ditiru oleh umat Islam. Kekuasaan Bani Umayah
yang hampir seabad lamanya dalam memimpin umat Islam, tetaplah sebuah
prestasi yang harus diapreasi secara kritis.
- Bani Abbasiyah
Masa kekuasaan bani Abbasiyah yang terbagi dalam lima periode terbilang
cukup lama. Dengan menerapkan sistem kekuasaan absolutisme, mereka telah
menguasai dunia Islam lebih dari 500 tahun. Pada saat itu pula masa kejayaan Islam
direngkuh. Kemajuan yang dicapai dalam bidang fisik, ilmu pengetahuan, poltik,
ekonomi, dan banyaknya ilmuwan Islam saat itu adalah bukti konkrit bahwa Islam
mencapai puncak kejayaannya. Berbagai peristiwa penting, seperti perluasan
wilayah Islam ke berbagai daerah, juga beberapa peperangan termasuk perang
dengan Byzantium, Mongol, Tartar, penumpasan gerakan Zindiq, dan perang Salib
ikut mewarnai perjalanan kepemerintahan dinasti Abbasiyah.
Bila kita cermati, dalam sejarah kekuasaan bani Abbasiyah terlihat bahwa apabila
khalifah yang berkuasa kuat, maka kepemerintahan akan berjalan baik pula.
Kekuasaan sepenuhnya ada di tangan khalifah. Para menteri cenderung hanya
berperan sebagai kepala pegawai sipil. Tetapi jika yang menjabat sebagai khalifah
lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan sepenuhnya. Bahkan
dalam pengangkatan atau pemberhentian khalifah mereka sendirilah yang
menentukan.
Sistem kekuasaan absolutisme yang mereka jalankan, ditengarai menjadi salah
satu penyebab kemunduran dinasti Abbasiyah. Dengan sistem yang demikian, tidak
mungkin dipungkiri akan menimbulkan kecemburuan di kalangan keluarga mereka
sendiri. Apalagi dengan banyaknya kerusuhan, baik di kalangan umat Islam sendiri
ataupun serangan-serangan dari Negara lain adalah penyebab utama kehancuran
dinasti Abbasiyah.
Penutup
Alhamdullilah, makalah ini terselesaikan dengan segala kekurangan dan
kelebihannya. Mudah-mudahan menjadi penumbuh ide atau isnpirasi kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Dr. Akbar S. Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Jakarta :
Erlangga, 1992
Al-Mukhdhori, Muhammad Tarikh Tasyri al-Islami. Tempat dan penerbit tidak
disebutkan, 1981
Gibb, H.A.R. Islam dalam Lintasan Sedjarah. Jakarta : Yayasan Franklin, 1953
Hassan, Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta, Kota Kembang
Khaeruman,
Badri, Otentisitas
Hadist
:
Studi
Kritis
Atas
Hadist
Kontemporer. Bandung, Rosda, 2004

Lewis, Bernard. The Crisis of Islam : Holy War and Unholy Terror, terj. Muhammad
Hariri Marzuki. Surabaya : Jawa Pos Press, 2004
Mughni, Syafiq A. Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan . Surabaya :
LPAM, 2002
Sulaiman Schwartz, Stephen. Dua Wajah Islam : Modernisme vs Fundamentalisme
dalam Wacana Global, terj. Hodri Ariv. Jakarta : Balantika, 2007
Syalabi, Prof. Dr. A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta : Pustaka al-Husna,
2003
Yatim, M.A, Drs. Badri. Sejarah Peradaban Islam . Jakarta : PT. Grafindo Persada,
1998

[1] Islam pada awalnya berkembang di tengah-tengah orang Arab dan bangsa Semit lainnya, kemudian Islam
berkembang di Iran, Kaukasus, orang kulit putih laut tengah, Slavia, Turki dan Tartar, Tinghwa, India, Indonesia,
Banu dan Negro dari Afrika Barat. H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintasan Sedjarah (Jakarta, Yayasan Franklin,
1953),lm. 25
[2] Bernard Lewis, The Crisis of Islam : Holy War and Unholy Terror, terj. Muhammad Hariri Marzuki (Surabaya,
Jawa Pos Press, 2004), hlm. 18
[3] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta : Pustaka al-Husna, 2003), hlm. 21
[4] Ibid. hlm. 64
[5] H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintasan Sejaraht. hlm. 12
[6] Drs. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1998), hlm. 42
[7] Drs. Badri Khaeruman, M.Ag, Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst Kontemporer (Bandung, Rosda,
2004), hlm. 39
[8] C.A. Qadir, Filsafat Dan ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta, Pustaka Obor, 2002), hlm. 37
[9] Badri Yatim, Otentisitas Hadist. hlm. 48-49
[10] Ibid. hlm. 44

LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke
dalam Mahad. Lambaga ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama, Maktab/Kuttab dan masjid,
yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan,
menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama serta tempat
penngajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (Khalaqah), tempat
berdiskusi dan Munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga dilengkapi dengan
ruangan perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam disiplin ilmu. Disamping itu,
di masjid-masjid ini dilengkapi juga dnegan berbagai macam fasilitas pendidikan penunjang
lainnya. Kedua, bagi pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke
masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah gurunya. Karena semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka semakin banyak khalaqahkhalaqah (lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang
masjidMaka pada perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di
pelopori oleh Nizhamul Muluk. Lembaga inilah yang kemudian yang berkembang pada masa
Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di temukan di Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah,
Musail dan kota lainya mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang
ilmu pengetahuan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Zaman Abbasiyah
Masa keemasan Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam
yang berpusat di Baghdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M).
Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjalani keilmuan dan
dengan karya-karyanya. Mulai dari aliran fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi, filsafat sampai
dengan bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, sastra sampai ilmu
kedokteran.
Keberhasilan dalam bidang keilmuan tersebut disebabkan adanya kesadaran yang
tinggi akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah peradaban. Mereka memahami bahwa
sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan. Hal itu dapat
ditunjukkan melalui antusias mereka dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para
ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, dan banyaknya perpustakaan yang
dibuka, salah satunya adalah Bait al-Hikmah.
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid
(768-809 M) dan puteranya al-Mamun (813-833 M). Masa pemerintahan Harun al-Rasyid
yang 23 tahun itu merupakan permulaan zaman keemasan bagi sejarah dunia Islam bagian

timur. Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah
sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Al-Mamun pengganti al-Rasyid dikenal
sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya
yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Mamun inilah
Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
B. Lembaga Lembaga Pendidikan
Seiring dengan ramainya kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan
fisafat Yunani,lembaga pendidikan juga mencapai kemajuannya yang signifikan.Lembagalembaga pendidikan yang sebelumnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama,mulai
mengajarkan ilmu pengetahuan umum,seperti Matematika,Filsafat,dan Kedokteran.
Awal daripada lembaga lembaga pendidikan dalam sejarah Islam tidak dapat
dipisahkan dari fungsi dan peranan mesjid. Di samping sebagai pusat pelaksanaan ibadah
shalat maka mesjid berfungsi pula sebagai penyebar ilmu pengetahuan. Di setiap mesjid para
ulama mengajar berbagai macam ilmu dan di mesjid telah disiapkan pula ruangan baca atau
perpustakaan khusus. Memang pada awal perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam,
sekolah sebagai bentuk yang dikenal sekarang ataupun perpustakaan yang berdiri sendiri
belum didirikan.
Pada permulaan daulah Abbasiyah, juga masih belum ada pusat pendidikan yang
bernama madrasah (sekolah) hanya yang ada mahad (tempat belajar) yang lain, yaitu :
a.
Kuttab,yaitu (lembaga pendidikan tingkat dasar yang sudah adasejak zaman nabi. Di
dalam kuttab ini diajarkan cara membaca dan menulis,kemudian berkembang menjadi
pelajaran ilmu agama.) kuttab ini berdiri sejak abad ke 8 M ,mulai mengajarkan tentang ilmu
pengetahuan.
b.
Halaqah adalah model pendidikan dimana seorang guru duduk dikelilingi oleh muridmuridnya.Menurut Hanun Asrohah,Halaqah bukan lembaga pendidikan tingkat dasar
melainkan lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan college.
c.
Masjid dalam sejarahnya bukan hanya tempat shalat tetapi juga tempat untuk menuntut ilmu.
Lembaga pendidikan masjid tersebar diseluruh provinsi wilayah islam. Masjid-masjid yang
banyak di kunjungi antara lain,Makkah,Madinah,Baghdad,Kairo,dan Damaskus.Masjid alManshur di Baghdad memiliki tak kurang 40 halaqah sehingga sangat ramai dikunjungi
penuntut ilmu.Masjid Umayyah di Damaskus,juga ramai dijadikan sebagai tempat
halaqah,Masjid al-Azhar di Kairo merupakan pusat kegiatan keilmuan setingkat universitas
d.
Majelis Munadharah,yaitu majelis tempat pertemuan para ulama sarjana,ahli pikir dan
pujangga untuk membahas masalah masalah ilmiah.Majelis serupa ini terdapat di kota-kota
besar dalam negara Islam.
e.
Baitul Hikmah,yang didirikan oleh Hrun al-Rasyid dan kemudian disempurnakan oleh
khalifah Makmun.Baitul hikmah adalah perpustakaan terbesar ,yang juga disediakan
ruangan-ruangan tempat belajar (dilengkapi dengan observatorium.Al-Makmun
menempatkan Al-Khawarizmi sebagai peneliti khususnya untuk menyusun kalender).
Disamping perpustakaan besar ini ,dibangun pusat pendidikan tinggi,Baitul Hikmah.

f.

Madrasah Nidhamul muluk ,yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizham Al-Muluk
yang memerintah dalam tahun 456-485 H adalah seorang yang mula-mula mendirikan
madrasah(sekolah) dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini,dengan nama madrasah.
Madrasah
yang
didirikan
Nidhamul
Mulk
,terdapat
di
Baghdad,Balkh,Muro,Thabristan,Naisabur,Hara,Isfahan,Basrah,Mausul,dan
kota-kota
lainnya.Madrasah-madrasah yang didirikan ini,mulai dari tingkat rendah,menengah,dan
tinggi dan meliputi segala bidang.
Kehidupan intelektual di zaman dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian
pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu
al-Quran dan Hadis. Dalam bidang pendidikan di awal kebangkitan Islam lembaga
pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1. Maktab/ kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu
agama, seperti tafsir, hadis, fiqih, dan bahasa.
2. Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya pergi keluar daerah
menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam agama. Pengajarannya
berlangsung di masjid-masjid atau di ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa, pendidikan
biasanya berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan mendatangkan ulama
ahli.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas dengan
berdirinya perpustakaan dan akademik.
Kemajuan dalam bidang keilmuan tersebut dikarenakan oleh:
1. Keterbukaan budaya umat Islam untuk menerima unsur-unsur budaya dan peradaban dari luar,
sebagai konsekuensi logis dari perluasan wilayah yang mereka lakukan.
2. Adanya penghargaan, apresiasi terhadap kegiatan dan prestasi-prestasi keilmuan.
3. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
4. Gerakan penterjemahan guna menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif. Gerakan
terjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, masa khalifah al-Manshur hingga
Harun al-Rasyid. Banyak menterjemahkan karya-karya bidang astronomi dan manthiq. Fase
kedua, masa khalifah al-Mamun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, setelah tahun 300 H
terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin
meluas.
Perhatian masyarakat sangat tinggi di bidang sastra dan sejarah, dalam periode awal
Abbasiyah telah didapati banyak terjemahan dari bahasa Pahleli atau adaptasi dari bahasa
Persia. Berkembangnya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini antara lain
karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan
mengembangkannya secara kreatif, ditambah dengan dukungan dari khalifah pada waktu itu
dengan memfasilitasi terciptanya iklim intelektual yang kondusif. Tradisi yang berkembang
pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/ kebebasan berfikir,
penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang mereka kuasai. Bagi mereka adalah
kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu.

Tradisi intelektual terlihat dari kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu
dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang
diperuntukkan kepada khalayak umum atau disponsori oleh khalifah. Hasil membaca mereka
kemudian didiskusikan dan dikembangkan lagi, mereka menjadikan perpustakaan dan masjid
sebagai tempat berdiskusi. Dari sinilah memunculkan ide/ keilmuan baru, tercipta tradisi
menulis, menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi. Tradisi penelitian juga
kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu dalam bidang sains, matematika,
kedokteran, astronomi, dan lain-lain.

BAB III
KESIMPULAN
1. Pada masa Abbasiyah bidang pendidikan mengalami masa keemasan. Popularitasnya mencapai
puncaknya pada masa khalifah al-Rasyid dan putranya, khalifah al-Makmun.Kemajuan
tersebut ditentukan oleh dua hal:
a. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang telah dahulu mengalami
perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
b. Gerakan penterjemahan guna menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif.
Disamping itu juga didukung oleh tradisi intelektual yakni tradisi membaca, menulis,
berdiskusi, keterbukaan/ kebebasan berfikir, penelitian, serta pengabdian mereka akan
keilmuan yang mereka kuasai.
Lembaga lembaga pendidikan islam pada masa dinasti abbasiyah:
a. Kuttab
b. Halaqah
c. Mesjid
d. Majelis Munadharah
e. Baitul Hikmah
f. Madrasah Nidhamul Muluk

DAFTAR PUSTAKA
SJ,Fadil,Pasang surut peradaban islam dalam lintasan sejarah.(Malang:UIN malang
press,2008)
Yatim,Badri,sejarah peradaban islam.(Jakarta:rajawali pers,2002)

Anda mungkin juga menyukai