Anda di halaman 1dari 8

Biografi Abu Ja'far Al-Mansur: Pendiri Dinasti Abbasiyah

Khalifah Abu Ja'far al-Mansur (101-158 H/732-775 M) adalah putera Muhammad bin
Ali bin Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib dilahirkan di Hamimah pada tahun
101 H. Ibunya bernama Salamah, bekas seorang hamba. Al-Mansur adalah saudara
Ibrahim al-Imam dan Abul Abbas al-Saffah. Ketiganya dikenal sebagai tokoh pendiri
dinasti Abbasiyah. Bahkan Abu Ja'far al-Mansur dikenal sebagai pendiri dinasti
Abbasiyah yang sebenarnya, karena dialah peletak dasar-dasar dan sistem
pemerintahan Bani Abbas. Ia pula yang mengatur politik pemerintahan dinasti
Abbasiyah.

Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan memiliki pemikiran
cemerlang. Dalam usia 36 tahun, ia telah menjadi khalifah menggantikan kedudukan
Abul Abbas al-Saffah yang telah wafat. Di usia yang begitu muda, ia tampil ke depan
menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah melanda pemerintahan dinasti
Abbasiyah. Keberhasilannya dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri
dinasti Bani Abbasiyah, membawa harum nama Bani Abbas dan memperkuat dasar
pemerintahan dinasti Abbasiyah.

Selain itu, al-Mansur juga dikenal sebagai seorang khalifah yang agung, tegas,
bijaksana, alim, berpikiran maju, pemerintahannya rapi, disegani, baik budi, dan
seorang pemberani. Keberaniannya ini diperlihatkan dengan kemampuannya
mengatasi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya, yaitu
Abdullah bin Ali. Karena itu, ia berhasil membangun kekuasaan dan
memantapkannya dengan berbagai strategi politik dengan menyusun peraturan-
peraturan, undang-undang, dan sebagainya.

Jalur-jalur administrasi pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah ditata dengan
rapi sehingga sistem dan roda pemerintahan berjalan dengan baik. Kebijakannya ini
menimbulkan dampak yang positif di kalangan para pejabat pemerintahan, karena
terjadi koordinasi dan kerja sama yang baik di antara mereka. Koordinasi dan kerja
sama itu terjadi antara Kepala Qadhi (Jaksa Agung), Kepala Polisi Rahasia, Kepala
Jawatan Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal itu dilakukan untuk melindungi
masyarakat dari berbagai tindakan yang tidak adil dengan memberikan hak-hak
masyarakat.

Dengan demikian, pemerintahan Khalifah Abu Ja'far al-Mansur berjalan dengan baik,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga keamanan dan ketertiban terjamin
dengan baik. Dengan kata lain, kebijakan khalifah ini sangat berpengaruh terhadap
sistem dan tatanan kehidupan sosial politik, sehingga dinasti Abbasiyah mengalami
perkembangan dan kemajuan dengan pesat, khususnya setelah pemerintahan berada di
bawah kekuasaan Khalifah Harun al-Rasyid dan generasi penerusnya

PERADAPAN ISLAM DI MASAABU JA’FAR AL- MANSUR

I. PENDAHULUAN
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khalifah Abbasiyah sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti
Bani Umayyah. Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-
Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al- Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
al- Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang yang panjang.
Setelah menjadi khalifah, Abu al- Abbas bergelar al- saffah penumpah darah mengeluarkan dekrit para Gubernur,
supaya tokoh- tokoh umayyah yang memiliki darah biru semuanya dibunuh. Ia sendiri juga membunuh banyak rival.
Sebelum Saffah wafat, Ia mengangkat saudaranya, Abu Ja’far, dengan gelar al- Mansur( sebut Mansur) sebagai
penggantinya. Maka dari itu dalam makalah ini akan menguraikan beberapa hal mengenai Peradapan Islam Pada
Masa Abu Ja’far al- Mansur.

II. RUMUSAN MASALAH


A. Bagaimana Sejarah dan Kepribadian Abu Ja’far al- Mansur?
B. Bagaimana Perjalanan Politik Abu Ja’far al- Mansur?

III. PEMBAHASAN
A. Sejarah Dan KepribadianAbu Ja’far al- Mansur
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al Mansur (712-775) merupakan Khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ia dilahirkan di
al- Humaymah, kampung halaman keluarga Abbasiyah setelah migrasi dari Hejaz pada tahun 687- 688. Ayahnya
adalah, Muhammad, cicit dari Abbas, ibunya bernama Salamah al- Barbariyah, adalah wanita dari suku Barbar. Ia
dibaiat sebagai khalifah karena penobatanya sebagai putra mahkota oleh kakaknya, As- Saffah pada tahun 754, dan
berkuasa sampai 775. Pada tahun 762 Ia mendirikan ibu kota baru dengan istananya Madinat as- Salam, yang
kemudian menjdi Baghdad.
Al- mansur tersangkut dengan kerasnya masa pemerintahanya setelah kematian saudaranya al- Abbas. Pada 775 Ia
menyusun pembunuhan Abu Muslim, Jendral yang telah memimpin pasukan Abbas menang terhadap keluarga
Umayyah dalam perang saudara ke- 3. Ia berusaha memastikan bahwa keluarga Abbasiyah ialah yang tertinggi
dalam urusan negara, dan kedaulatannya atas Khilafah tidak diragukan lagi.
Selama masanya, karya satra dan ilmiah didunia Islam mulai muncul dalam kekuatan penuh, didukung toleransi
terhadap orang- orang Persia dan kelompok lain. Walaupun Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abd al- Malik telah
mengambil praktik peradilan Persia, itu tidak sampai masa al- mansur jika sastra dan ilmu Persia sampai mendapat
penghargaan yang sebenarnya di dunia Islam.
Dia bernama Abdullah bin Muhammad Ali bin Abdullah al- Abbas. Dia seorang yang paling terkenal dari penguasa
Bani Abbasiyah dengan kebenarian, ambisi, dan kecerdekiannya. Dia dianggap sebagai pendiri pemerintahan Bani
Abbasiyah yang sebenarnya.
Bersama- sama dengan Abul Abbas, dia pindah ke Kufah dan berusaha untuk mendirikan pemerintahan Bani
Abbasiyah. Dia merupakan tangan al- Abbas yang utama dan orang yang paling kuat.
Khalifah yang amat berbakti memajukan kebudayaan Islam, ialah khalifah al- Mansur, yakni khalifah yang kedua dari
dinasti Abbasiyah, dan pembangunkota Baghdad.
Beliau ialah seorang yang shaleh, teguh memegang agama, ahli dalam ilmu fiqih dan tidak kurang pula suka kepada
ilmu keduniaan terutama ilmu bintang dan ilmu kedokteran. Ahli- ahli ilmu pengetahuan dari berbagai bangsa dan
agama sama- sama bekerja di istana beliau dengan nafkah yang bukan kecil.
Setengah dari mereka ialah Naubacht seorang ahli astronomi berasal dari Persia dan dulunya beragama Majusi, dan
masuk agama islam dengan penyaksian baginda khalifah al- Mansur sendiri.
Al- Mansur telah meninggalkan buah usahanya dalam ilmu- ilmu asteonomi, ilmu pasti dan ilmu kedokteran.
Juga khalifah- khalifah yang lain- lain seperti, Khalifah al- Mahdi, Khalifah Harunar- Rasyid, Khalifah al- Ma’mun yang
meneruskan pekerjaan beliau.

B. Perjalanan Politik Abu Ja’far al- Mansur


Pada masa Khalifah Mansur dalam bidang politik, Negara cukup stabil dan maju, setelah ia memadamkan api
pemberontakan termasuk gerakan Ustadsis di Herat yang menyatakan dirinya sebagai Nabi, menguasai Khurasan
dan Sizistan yang sangat luas. Ia ditangkap dan dibawa ke Baghdad.
Di Afrika Utara Berber dan Khawarij yang semula ikut barisan berdirinya Abbasiyah untuk mengulingkan Umayyah,
karena mereka berfaham demokratis dan menganggap khalifah tidak hanya harus dari golongan tertentu ( Quraisy).
Akan tetapi boleh saja dari suku dan bangsa mana pun. Akhirnya kecewa dengan sikap Mansur yang satu persatu
menyingkirkan tokoh- tokoh yang berjasa guna menumbangkan Dinasti Umayyah untuk mendirikan
DinastiAbbasiyah.Pada akhirnya, mereka menarik dukungan dan menggangu kestabilan politik Abbasiyah. Mereka
juga kecewa dengan sikap Abbasiyah terhadap mereka yang berat sebelah dengan orang Persia. Gerakan dan
pemberontakan baik Berber maupun Khawarij dapat dipadamkan di bawah panglima merangkap amir, Yazid ibn
Hasan al- Muhallab yang berhasil menguasai Qayrawan, sebagai pusat politik di Afrika Utara.
Saat Khalifah sibuk dalam urusan dalam negeri, tentara Bizantium menyerang dan menggangu di wilayah
perbatasan barat laut. Akhirnya, mereka dapat mengalahkan tentara Raja Kostantinopel IV yang damai sama Islam
dengan membayar pajak. Demi memperkokoh kedaulatan islam, Khalifah membangun banyak benteng kokoh di
sana. Selain Saffah, semua Khalifah Abbasiyah menganggap kekuasaanya dari Allah. Dengan demikian, sejak masa
kepemimpinan Mansur dalam diri seorang Khalifah terdapat dua jabatan, yaitu Khalifah, sebagai jabatan sakral dan
sebagai seorang raja.Dengan adanya jabatan sakral itu, maka sejak Mansur para Khalifah Abbasiyah tidak
membutuhkan pengakuan rakyat dengan kata lain, rakyat yang butuh Khalifah.
Telah disebut, bahwa setelah Mansur berkuasa terdapat perubahan corak kepemimpinan dalam Islam, yang pasca
Abbasiyah, diteruskan oleh Dinasti Malik terakhir disandang oleh para penguasa Turki Usmani sendiri sampai
Mustofa Kemal Atta Turk yang mengusir Sultan Turki merangkap Khalifah itu dari tanahTurki.
IV. KESIMPULAN
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al Mansur (712-775) merupakan Khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ia dilahirkan di
al- Humaymah, kampung halaman keluarga Abbasiyah setelah migrasi dari Hejaz pada tahun 687- 688. Ayahnya
adalah, Muhammad, cicit dari Abbas, ibunya bernama Salamah al- Barbariyah, adalah wanita dari suku Barbar. Ia
dibaiat sebagai khalifah karena penobatanya sebagai putra mahkota oleh kakaknya, As- Saffah pada tahun 754, dan
berkuasa sampai 775. Pada tahun 762 Ia mendirikan ibu kota baru dengan istananya Madinat as- Salam, yang
kemudian menjdi Baghdad.
Pada masa Khalifah Mansur dalam bidang politik, Negara cukup stabil dan maju, setelah ia memadamkan api
pemberontakan termasuk gerakan Ustadsis di Herat yang menyatakan dirinya sebagai Nabi, menguasai Khurasan
dan Sizistan yang sangat luas. Iaditangkapdandibawake Baghdad.

V. PENUTUP
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan dan kekurangan untuk itu kritik dan saran
yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami, semoga makalah ini bias
memberikan manfaat bagi pembaca umumnya dan pemakalah khususnya. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA

Al- Usairy, Ahmad, Terj. Samson Rahman, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,( Jakarta: Akbar
Media Eka Sarana, 2003)
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran Dan Peradapan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007 )
Natsir, Kebudayaan Islam Dalam Prespekti Sejarah, ( Jakarta: PT. Girimukti Pasaka, 1988)
Yatim, Badri, Sejarah Peradapan Islam Dirasah Islamiyah II, ( Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2003)
http://id.wikipedia.org/wiki/Ja%27al- Mansur Kategori: Kelahiran 712 | Kematian 775

I. PENDAHULUAN
       A. Latar Belakang
            Pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, di    mana pendiri
dari khilafah ini adalah keturunan al-Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Di mana pola pemerintahan
yang di terapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
            Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis,
para kholifah benar-benar tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat ilmu pengetahuan dalamIslam. Namun setelah
periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat
dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
             Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat. Selanjutnya digantikan
oleh Abu Ja’far al-Mansur, yang keras menghadapi lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij,
dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-
tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu persatu disingkirkannya.
     B.  Rumusan Masalah
           1. Siapakah Abu Ja’far al-Mansur?
           2. Bagaimana sistem pemerintahan pada masa al-Mansur?
           3. Apa saja kebijakan-kebijakan yang dilakukan Abu Ja’far dalam masa pemerintahannya?

II. PEMBAHASAN
       A. Riwayat Abu Ja’far al-Mansur
                Abu Ja’far dilahirkan di kota Humayyah (Hamimah) Yordaniyah 101 H/712 M, merupakan
khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ibu beliau bernama Salamah al-Barbariyah, wanita dari suku Barbar.
Dan ayahnya bernama Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.[1] Abu Ja’far
selalu mendapat anugrah kemenangan dalam setiap peperangan melawan Bani Umayyah dan
kerusuhan-kerusuhan kaum pemberontak di dalam negri dan dalam menekan imperium Bizantium. Oleh
karena itu ia diberi gelar “al-Mansur” (orang yang mendapat pertolongan Allah).
                Sebutan al-Mansur sendiri adalah gelar takhta yang ditambahkan kepada nama aslinya. Gelar
takhta itu ternyata lebih populer dan mudah dikenal daripada nama aslinya, ini menjadi semacam
tradisi dalam kholifahan Dinasti Abbasiyah, seperti as-Saffah untuk Abu Abbas, al-Rasyid untuk Harun,
al-Imam, al-Makmun, dll.
                Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan memiliki pemikiran
cemerlang. Dalam usia 36 tahun, ia telah menjadi kholifah menggantikan kedudukan Abu Abbas as-
Saffah yang telah wafat. Di usia yang begitu muda, ia tampil ke depan menyelesaikan berbagai
persoalan yang tengah melanda kekuasaannya. Keberhasilannya dalam mengatasi persoalan-persoalan
dalam negeri Dinasti Abbasiyah, membawa harum Bani Abbas dan memperkuat dasar pemerintahan
Dinasti Abbasiyah.
                Selain itu, al-Mansur juga dikenal sebagai seorang khalifah yang agung, tegas, bijaksana,
alim, berpikiran maju, pemerintahannya rapi, disegani, dan seorang pemberani. Keberaniannya ini
diperlihatkan dengan kemampuannya mengatasi pemberontak-pemberontak yang terjadi, diantaranya
adalah pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya, yaitu Abdullah bin Ali.
               Khalifah Abu Ja’far al-Mansur juga dikatakan sebagai bapak pembangunan daulah Bani
Abbasiyah, karena beliaulah sebenarnya untuk pertama kali yang membuat dan mengatur politik
pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Jalur-jalur administrasi pemerintah mulai dari pusat sampai
daerah-daerah ditata dengan baik antara kepala qadhi, kepala jawatan pajak, kepala polisi rahasia,
dan kepala jawatan pos. Dengan demikian, maka pemerintahan pada masa kholifah Abu Ja’far al-
Mansur menjadi tertib dan lancar, sehingga pemerintahannya menjadi kokoh, maju, dan berhasil
membawa umat Islam ke masa kejayaan.
               Abu Ja’far al-Mansur sangat besar jasanya dalam mengembangkan kebudayaan dan
peradaban Islam. Beliau adalah seorang yang cinta ilmu pengetahuan. Melalui kekuasaan dan hartanya,
dia memberikan dorongan dan kesempatan yang luas bagi para cendekiawan untuk mengembangkan
riset ilmu pengetahuan. Buku-buku yang dihasilkan oleh bangsa Romawi yang telah dilupakan,
diperintahkan untuk dikumpulkan kembali, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Ilmu falak
dan ilmu filsafat mulai digali dan dikembangkan di pemerintahannya.
               Abu Ja’far al-Mansur menjabat sebagai kholifah selama 22 tahun (136-158 H/754-775 M). dan
beliau wafat dalam perjalanan ketika hendak menunaikan ibadah haji di Bir Maimun (Makkah) pada usia
63 tahun, jenazah beliau dibawa dan dikebumikan di Baghdad.[2]
       B. Sistem Pemerintahan Pada Masa al-Mansur
                           Sebelum Abu al-Abbas as-Saffah  meninggal, ia sudah mewasiatkan siapa bakal
menjadi penggantinya, yakni saudaranya, Abu Ja’far, kemudian Isa ibn Musa, keponakannya. As-Saffah
digantikan oleh saudaranya, Abu Ja’far, yang memperoleh gelar Al-Manshur (pemenang). Menurut Hitti,
dia ternyata “salah seorang Abbasiyah yang paling berhasil meskipun paling jahat”. Meskipun As-Saffah
merupakan penguasa pertama dari bani Abbas, Abu Ja’far harus diangkat sebagai pendiri dinasti itu
yang sebenarnya.[3] Sistem pengumuman putra mahkota ini meniru cara Umayyah, bukan mencontoh
khulafaurrasyidin yang mendasarkan pemilihan kholifah pada musyawarah dari rakyat.
                           Di zaman al-Mansur berawal masa kejayaan dan masa perkembangan ilmu
pengetahuan, yang oleh karenanya Daulah Abbasiyah mencapai zaman keemasannya di belakang hari.
Di zaman al-Mansur pula berkembang pengaruh Persia secara jelas, sehingga khalifah-khalifah Bani
Abbas meniru umat Persia tentang adat istiadat istana bahkan sampai kepada nizam siasat yang
terpakai di masa pemerintahan Kisra-kisra Persia. Ada suatu hal yang baru lagi bagi para khalifah
Abbasiyah, ialah pemakaian gelar. Abu Ja’far misalnya memakai gelar al-Mansur. Hal tersebut dapat
ditelusuri dari lokasi dimana Abbasiyah berkuasa yang bertumpu pada bekas kekuasaan Persia, sehingga
model Persia dijadikan acuan bagi pemerintahannya. Antara lain ialah dengan mengatakan bahwa
seorang penguasa adalah wakil Tuhan di bumi, tuhan telah memilih mereka sebagai orang kepercayaan-
Nya untuk memerintah. Sedangkan menurut Joesoef Sou’yf disebabkan Abu Ja’far senantiasa menang di
dalam peperangan baik memadamkan kerusuhan maupun dalam menghadapi serangan imperum
Byzantium, maka ia pun digelari al-Mansur yang berarti memperoleh pertolongan dari Allah.
                          Pada masa al-Mansur pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata “Innama ana
Sulthan Allah fi Ardhihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di buminya).” Dengan demikian
konsep khalifah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi selanjutnya yang merupakan mandate
dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa
khulafaurrasyidin. Hal ini merupakan pengaruh Persia yang menetapkan bahwa raja adalah wakil
Tuhan, karena itu dia berhak memerintah, dan rakyat hendaklah setia dan patuh kepadanya.[4]
                         Setelah diangkat menjadi khalifah, Abu Ja’far al-Mansur segera membuat beberapa
perombakan dalam bidang pemerintahan. Dia mulai menerapkan sistem baru. Dia mengangkat seorang
wazir yang bertugas sebagai seorang koordinator antar departemen yang ada. Jabatan wazir ini hamper
mirip dengan perdana menteri.
                        Selain itu, Abu Ja’far juga mulai menerapkan tradisi prokoler. Tradisi protokoler ini
mirip dengan lembaga sekretariat negara. Lembaga ini bertugas mengatur jadwal pertemuan dengan
khalifah. Para tamu yang mau bertemu dengan khalifah harus terlebih dahulu melapor dan menjelaskan
keperluannya. Dengan adanya tradisi protokoler ini, para tamu, tidak mudah bertemu dengan khalifah.
[5]
                       Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun
750-754 M. selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah. Untuk memperkuat
kekuasannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu persatu disingkirkannya.
Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur
oleh khalifah sebelumnya di Syiria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Mansur
memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-
Khurasani, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.[6]
                      Abu muslim sendiri merupakan seorang yang setia kepada kahlifah dan berpengaruh
besar. Ketika as-saffah masih hidup, Abu Muslim selalu dimintai pendapatnya dalam urusan negara,
sebelum meminta kepada yang lain termasuk al-Mansur. Dikarenakan kekhawatiran akan menjadi
pesaing baginya, maka Abu Muslim al-Khurasani dihukum mati pada tahun 755 M. Selanjutnya Abu
Ja’far juga menyingkirkan keturunan Ali ibn Abi Thalib yang pengikutnya banyak, terutama di wilayah
berdirinya kekuasaan Bani Abbas. Mereka ditakutkan menuntut hak untuk kepemimpinan umat dari
golongannya yang selama ini ikut berjuang mendirikan kekuasaan.[7]
                      Selain kedua rival itu, pemimpin kharismatik sekte Syi’ah, Muhammad ibn Abdullah ibn
Hasan ibn Ali, yang terkenal dengan sebutan Imam Nafs al Zakiyah telah bersumpah setia, kepadanya
sebagai imam dan akan diangkat sebagai khalifah setelah runtuhnya Bani Umayyah. Rakyat Hijaz dan
Yaman mengakuinya sebagai khalifah, mereka termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyatakan
“Nafs al-Zakiyah sebagai khalifah yang sah”. Akan tetapi, justru dibunuh oleh Mansur. Demikian pula
nasib saudaranya, Ibrahim juga telah dibunuh Mansur, dimana kedua saudara yang dihormati banyak
orang baik kalangan Syi’ah maupun bukan Syi’ah.[8]
       C. Kebijakan-Kebijakan Abu Ja’far al-Mansur Dalam Masa Pemerintahannya      
                      Sebagai khalifah Dinasti Abbas yang tergolong awal, Abu Ja’far berfikir dan berjuang
keras guna secepat mungkin menciptakan kemajuan-kemajuan di berbagai bidang kebudayaan.
Diantara usaha-usaha untuk menciptakan kemajuan Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut:
          1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
                 Abu Ja’far al-Mansur dikenal sebagai khalifah yang mencintai ilmu. Hal ini dapat dilihat dari
usaha beliau dalam memajukan ilmu melalui hal-hal sebagai berikut:
a.       Menyalin buku-buku ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani, Sanskerta, Persia, dan Suryani ke
dalam bahasa Arab.
b.      Menyusun buku-buku yang beraitan dengan agama Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu hadist yang
telah diseleksi, nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
c.       Mendatangkan kaum cendekiawan dari berbagai negara untuk mengembangkan dan mengajarkan
ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti kedokteran, ilmu falak, ilmu astronomi, dan lain-lain.
 Pada masa Abu Ja’far juga telah dilakukan penyusunan dan penyaringan ilmu hadist. Upaya ini
dilakukan agar tidak terjadi pemalsuan terhadap perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad
saw. (Hadist Nabi).
          2. Pengaturan dan Penertiban Pemerintahan
                     Sebagai usaha untuk memperkokoh kedudukan dan kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah
serta memajukan negerinya, Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
a.       Menyusun dan menertiban administrasi pemerintahan.
b.      Menjalin kerjasama antarsektor aparat negara, seperti kerjasama antar qadhi dengan kepala
polisi rahasia, dengan kepala jawatan perhubungan, kepala jawatan pos, kepala pajak, kepala
pendapatan negara, dan sebagainya.
c.       Memberikan tugas dan tanggung jawab kepada semua aparat, baik di pusat maupun di daerah-
daerah.

          3. Peningkatan Ekonomi Sosial


                     Untuk usaha peningkatan ekonomi masyarakat dilakukan dengan mendirikan dan
membangun kota baru, yang semula yaitu “Madinah as-Salam” (kota perdamaian) menjadi Baghdad
(nama Persia) yang berarti pemberian Allah. Kota Baghdad menjadi ibu kota Dinati Abbasiyah yang
indah dan megah sehingga menjadi pusat kegiatan ekonomi, perdagangan, sosial budaya, politik, dan
menjadi kota internasional.
                      Di samping itu, Abu Ja’far juga membangun kanal-kanal, irigasi untuk mengembangkan
pertanian di berbagai wilayah.[9]
          4. Bidang Politik
                    Pada masa khalifah al-Mansur dalam bidang politik, negara cukup stabil dan maju, setelah
ia memadamkan api pemberontakan. Di Afrika Utara Berber dan Khawarij yang semula ikut barisan
berdirinya Abbasiyah untuk menggulingkan Umayyah karena mereka berpaham demokratis dan
menganggap khalifah tidak hanya harus dari golongan tertentu (Quraisyi) akan tetapi boleh saja dari
suku  dan bangsa manapun asal memenuhi syarat, akhirnya kecewa terhadap sikap Mansur yang telah
menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh yang berjasa guna menumbangkan Dinasti Umayyah untuk
mendirikan Dinasti Abbasiyah. Pada akhirnya, menarik dukungan dan mengganggu kestabilan politik
Dinasti Abbasiyah. Mereka juga kecewa dengan sikap Abbasiyah terhadap mereka yang berat sebelah
dengan orang Persia. Pemberontakan baik Berber atau Khawarij di bawah panglima merangkap amir,
Yazid ibn Hasan al-Muhallab yang berhasil menguasai Qayrawan, sebagai pusat politik Islam di Afrika
Utara.[10]
                    Dalam upaya pembinaan politik luar negeri, Khalifah Abu Ja’far mengadakan serangan dan
penaklukan kota-kota yang dikuasai oleh raja Bizantium Kaisar Komstantin V. tempat tersebut misalnya
benteng Malaka, wilayah Coppadosia, dan juga merebut kembali Sisilia. Penaklukan direncanakan terus
ke utara sampai selat Borporus. Akan tetapi, Kaisar Komstantin V meminta gencatan selama tujuh tahu
yang disebut dengan perjanjian damai “Seven Years Truce” (758-765 M).[11]
  
III. KESIMPULAN
                Dari penjelasan mengenai kebudayaan Islam di masa al-Mansur dapat disimpulkan bahwa:
a.  Abu Ja’far dilahirkan di kota Humayyah Yordania. Ibu beliau bernama Salamah dan ayahnya
bernama Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.
b. Di zaman al-Mansur berawal masa kejayaan dan masa perkembangan ilmu ppengetahuan yang oleh
karenanya Daulat Abbasiyah mencapai zaman keemasannya di belakang hari. Di zaman al-Mansur
berkembang pula pengaruh Persia secara jelas, sehingga khalifah-khalifah bani Abbas meniru adat
istiadat  istana bahkan sampai kepada nizam siasat yang terpakai di masa pemerintahan Kisra-kisra
Persia.
c.  Kebijakan-kebijakan al-Mansur dalam masa pemerintahannya.
Diantara usaha-usaha untuk menciptakan kemajuan Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1.         Pengembangan Ilmu Pengetahuan
2.         Pengaturan dan Penertiban Pemerintahan
3.         Peningkatan Ekonomi Sosial
4.         Bidang Politik

IV. PENUTUP
           Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan
baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu kritik dan saran sangat
kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai