Anda di halaman 1dari 7

Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al-Mansur (712-775 M) adalah khalifah

kedua Bani Abbasiyah. Ia dilahirkan di al-Humaymah, kampung halaman kelurga


abbasiyah setelah bermigrasi dari Hijaz pada tahun 687-688. Ayahnya bernama
Muhammad bin Ali bin Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib. Ibunya bernama
Salamah al-Barbariyah, wanita dari suku Barbar yang dulunya seorang budak. Abu
Ja’far selalu mendapat anugrah kemenangan dalam setiap peperangan melawan Bani
Umayyah dan kerusuhan-kerusuhan kaum pemberontak di dalam negri dan dalam
menekan imperium Bizantium. Oleh karena itu ia diberi gelar “al-Mansur” (orang
yang mendapat pertolongan Allah)

1. Abu Ja’far Al Mansur menjadi khalifah.


Abu Ja'far Al-Manshur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan
saudaranya Abu Abbas As-Saffah. Abu Ja'far Al-Manshur adalah putra Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung
Ibrahim Al-Imam dan Abu Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani
Abbasiyah. Abu Abbas hanya memerintah dalam kurun waktu singkat, yakni empat
tahun. Oleh karena itu, ia kehilangan jati dirinya. Kehidupannya yang dikenal dlaam
sejarah pertama hanyalah sebagai pembasmi Dinasti Umayyah. Abu Abbas Al-
Saffah meninggal tahun 754 M. Dan digantikan oleh saudaranya, Ia dibaiat sebagai
khalifah karena penobatannya sebagai putera mahkota oleh kakaknya Abu Abbas
As-Saffah ,ketika itulah Abu Ja’far Al-Mansur menjadi khalifah pada tahun 754-
774 M. Dialah sebenarnya yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Abassiyah. Dia
tetap melanjutkan kebijaksanaan Al-Saffah yakni menindak tegas setiap orang yang
menentang kekuasaannya, termasuk juga dari kalangan keluarganya sendiri. Sifat
dan watak Al-Mansur dikenal oleh penulis sejarah sebagai seorang politikus yang
demokratis, pemberani, cerdas, teliti, disiplin, kuat beribadah, sedErhana, fasih
dalam berbicara, sangat dekat dan memperhatikan kepentingan rakyat. Oleh karena
itu, tidakah mengherankan bahwa selama kurang lebih 20 tahun kekuasannya,
ia berhasil meletakan landasan yang kuat dan kokoh bagi kehidupan dan kelanjutan
kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu.
2. Keadaan pemerintahan pada masa khalifah Al-Mansur
Khalifah al Manshur adalah Khalifah ke 2 Dinasti Abbasiyyah sekaligus peletak
dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyyah. Ketika awal Khalifah al Manshur
berkuasa Daulah Bani Abbasiyyah masih dalam masa transisi dari kekuasaan Bani
Umayyah ke Bani Abbasiyyah, namun berkat strategi kepemimpinan ataupun pola
pemerintahannya yang tergolong radikal Ia mampu melewati masa transisi dengan
gemilang dimulai ketika Abu Ja'far al Manshur mengangkat dirinya menjadi Khalifah
bergelar al Manshur. Pada mulanya ibu kota negara adalah Al- Hasyimiyah dekat
Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas dan negara yang
baru berdiri itu. al Mansur memindahakan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, yaitu Baghdad bekas ibu kota Persia.

Baghdad terletak di pinggir sungai Tigris. Khalifah al Manshur sangat cermat


dan teliti dalam memilih lokasi yang akan dijadikan ibu kota. Ia menugaskan
beberapa orang ahli untuk meneliti dan mempelajari lokasi. Dengan mengerahkan
ratusan peneliti yang akhirnya memutuskan untuk membangun kota Baghdad
mengerahkan lebih dari 100 ribu ahli bangunan terdiri dari arsitektur,tenaga
bangunan dan lainnya. Kerja keras tim ahli bangunan dengan dana 3.88 juta Dirham
dikerjakan selama 4 tahun berhasil secara gemilang membangun kota Baghdad yang
unik nan megah kemudian kota Baghdad dijuluki Madinat as Salam atau kota
perdamaian. Kota Baghdad juga sebagai pusat intelektual terdapat beberapa
aktivitas pengembangan ilmu, antara lain Baitul Hikmah yaitu lembaga ilmu
pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai ilmu, dan juga pusat penerjemah
buku-buku dari berbagai cabang ilmu yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
arab.

Kota Baghdad memang indah memukau bagaimana tidak kota Baghdad yang
dibangun selama 4 tahun yang didesain oleh Nowbakht, persia dan Mashallah dari
Iran itu berbentuk bundar hingga dijuluki kota Bundar terinspirasi kota Firouyabad
di Persia kemudian kota Baghdad d ikelilingi 3 tembok benteng dan dilengkapi
Istana Khalifah yang megah bernama al Qasr Az Zahabi atau istana keindahan,
masjid Jami' al Manshur, pasar, alun-alun, parit ,kanal sebagai saluran air sekaligus
benteng pertahanan membuat kota Baghdad menjadi kota peradaban Islam ketika
itu.

Selama masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman


dan makmur. Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak
ada gejolakpolitik dan pemberontakan-pemberontakan.
Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur sangat mewaspadai tiga kelompok yang
menurutnya dapat menjadi batu sandungan Bani Abbasiyah dan dirinya. Kelompok
pertama dipimpin Abdullah bin Ali, adik kandung Muhammad bin Ali, paman Abu
Ja'far sendiri. Ia menjabat panglima perang Bani Abbasiyah. Kegagahan dan
keberaniannya dikenal luas. Pengikut Abdullah bin Ali sangat banyak serta sangat
berambisi menjadi khalifah.Kelompok kedua dipimpin Abu Muslim Al-Khurasani,
orang yang berjasa besar dalam membantu pendirian Dinasti Abbasiyah. Karena
keberanian dan jasa-jasanya, ia sangat disegani serta dihormati di kalangan Bani
Abbasiyah. Masyarakat luas banyak yang menjadi pengikutnya. Khalifah Abu Ja'far
Al-Manshur khawatir pengaruh Abu Muslim terlalu besar terhadap pemerintahan
Bani Abbasiyah.Kelompok ketiga adalah kalangan Syiah yang dipimpin pendukung
berat keturunan Ali bin Abi Thalib. Masyarakat luas banyak yang simpati karena
dalam melakukan gerakan mereka membawa nama-nama keluarga Nabi Muhammad
Saw.
Setelah berhasil mengantisipasi kelompok-kelompok yang dapat menjadi batu
sandungan pemerintahannya, pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja'far al Manshur
adalah mengatur politik dengan segala siasat pemerintahan Bani Abbasiyyah
sehingga terjalin kerjasama erat pemerintah pusat dan daerah atau kepala-kepala
dinas lainnnya kemudian membuat stabilitas politik dalam negeri terkendali tanpa
gejolak dan pemberontakan-pemberontakan. Perjalanan hidup Abu Ja'far al
Manshur tak kalah menarik saat mengangkat Abu Hanifah sebagai Hakim Tinggi
atau Qadhi Qudha ,namun sang Abu Hanifah menolak keras bahkan disertai ancaman
agar Ia memegang jabatan itu. Ketika mendapat ancaman tersebut Abu Hanifah
menjawab “seandai anda mengancam untuk membenamkanku ke dalam sungai
Eufarat atau memegang jabatan itu sungguh aku akan memilih untuk
dibenamkannya” ,mendengar sikap Abu Hanifah yang menolak keras tawaran
jabatan sebagai Qadhi Qudha membuat Khalifah Abu Ja'far al Manshur amat
murka apalagi mendengar Abu Hanifah terlibat dalam geraka, akhirnya sang Imam
dipenjara sampai meninggal.
Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata,
“Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan
Tuhan di bumi-Nya. Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan
berlanjut dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagai
pada masa al-Khulafa al-Rasyadun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani
Umayyah, dalam penggunaan khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa
yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar
tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur juga berusaha menaklukkan kembali daerah-
daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan memantapkan
keamanan daerah pembatasan. Di antara usaha-usahanya tersebut adalah merebut
benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun
756-758 M. ke Utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati
selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantive V dan selama
genjatan senjata 758-765 M, Bazantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya
juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia,
Turki di bagian lain Oksus dan India.

3.Perubahan-perubahan yang dilakukan khalifah al-Mansur pada dinasti


Abbasiyah
Perubahan mendasar bagi perkembangan dinasti Abbasiyyah sebagai Negara dikuasa
di masa mendatang, yaitu:
1. Pada tahun 762 M, Al mansur memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah,
kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota
Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di
tengah-tengah bangsa Persia.
2. Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga
eksekutif dan yudikatif.
3. Di bidang pemerintahan, Al-Manshur menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat
adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia.
4. Membentuk lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara.
5. Membentuk kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata.
6. Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman
negara.
7. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan
peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dahulu hanya sekedar untuk mengantar
surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh
informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan
lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur
setempat kepada khalifah.

4. Perkembangan Politik, Ekonomi, dan Administrasi


Sejarah telah mengukir pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam benar-benar
berada di pucak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu. Masa
pemerintahan ini merupakan golden age dalam perjalanan sejarah peradaban islam
Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-1258 M).
Pemerintahan yang panjang tersebut dapat dibagi dalam dua periode. Periode I
adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas sampai
Al-Mustakfi termasuk Al Mansur sebagai khalifah kedua. Periode II adalah masa
antara tahun 945-1258 M, yaitu masa Al-Mu’ti sampai Al-Mu’tasim. Pembagian
periodisasi ini diasumsikan bahwa pada periode pertama, perkembangan di bidang
masih menunjukan grafik vertikal, stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II,
kejayaan terus merosot sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil
menghancurkan Dinasti Abbasiyah.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang
dikembangkan antara lain:
1) Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad;
2) Memusnahkan keturunan Bani Umayyah;
3) Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah
memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali;
4) Menumpas pemberontakan-pemberontakan;
5) Menghapus politik kasta.
Selain kebijkan-kebijakan diatas, langkah-langkah lain yang diambil dalam
program politknya adalah:
1) Para khalifah tetap ari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang
dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali;
2) Kota Baghdad ditetapkan sebagai ibukota negara dan menjadi pusat kegiatan
politik, ekonomi, dan kebudayaan;
3) Kebebasann berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.
Dalam masa permulaan pemerintah Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi dapat
dikatakan cukup stabil dan menunjukn angka vertikal. Devisa negara penuh
berlimpah-limpah. Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh ekonom Abbasiyah yang
telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan
negara.
Di sektor pertanian, daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah
negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah
pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi.
Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota politik, agama dan
kebudayaan,juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia pada saat itu.
Sedangkan kota Damaskus merupakan kota kedua. Sungai Tigris dan Efrat menjadi
pelabuhan transmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia.
Terjadinya kontak perdagangan tingkat internasional ini semenjak khalifah Al-
Mansur.

5. Perkembangan ilmu pengetahuan


Abu ja’far al mansur sangat sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk
sebuah peradaban. Ia memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa
didukung oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu yang bermanfaat adalah pilar amal
kebaikan serta sumber dari kehidupan yang bemakna.Oleh sebab itu, dalam konteks
inilah kita akan memahami al-Mansur seorang khilafah yang sangat memperhatikan
ilmu agama dan dunia secara seimbang. Sangat tidak mengherankan jika al-Mansur
sangat memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan agama. Karena beliau adalah
salah seorang yang sangat paham ilmu agama.

Suatu ketika, beliau pernah berkata kepada Imam Malik yang saat itu menjadi
Imam penduduk Madinah: “Wahai Imam Malik, engkau sangat mengetahui bahwa
saat ini tidak ada yang memahami ilmu agama dengan baik kecuali engkau dan
aku. Engkau juga mengetahui betapa aku sibuk megurusi rakyat. Oleh sebab itu, aku
sangat berharap jika engkau menulis sebuah buku yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat dengan kriteria seperti ini. “lalu Imam Malik mengomentari perkataan
al-Mansur:”Sungguh beliau telah memberikan inspirasi padaku, bagaimana menulis. “
setelah Imam Malik selesai menulis buku tersebut, beliau memperhatikannya kepada
al-Mansur. Saat itu, al-Mansur sangat menginginkan agar buku tersebut menjadi
sumber undang-undang negara serta digunakan di lembaga-lembaga peradilan
negara. Seandainya saat itu Imam Malik tidak menolaknya, maka niscaya buku itu
telah menjadi undang-undang negara.

Selama masanya, karya sastra dan ilmiah di Dunia Islam mulai muncul dalam
kekuatan penuh, didukung toleransi terhadap orang-orang Persia dan kelompok lain.
Walau Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abd al-Malik telah mengambil praktik
peradilan Persia, itu tak sampai masa al-Mansur jika sastra dan ilmu pengetahuan
Persia sampai mendapat penghargaan yang sebenarnya di Dunia Islam. Munculnya
Shu'ubiya di antara sarjana Persia terjadi selama masa pemerintahan al-Mansur
sebagai akibat hilangnya sensor atas Persia. Shu'ubiya merupakan gerakan sastra
antara orang Persia yang menunjukkan kepercayaan mereka bahwa seni dan budaya
Persian lebih tinggi daripada Arab; gerakan, membantu mempercepat munculnya
dialog Arab-Persia pada abad ke-8.

6. wafatnya Abu Ja’far Al mansur


Abu Ja’far Al-Mansur meninggal pada tahun 775 dalam perjalanannya ke
Makkah untuk berhaji. Ia dimakamkan entah di mana di sepanjang jalan dalam salah
satu ratusan nisan yang telah digali untuk menyembunyikan badannya dari orang-
orang Umayyah. Kedudukannya sebagai khalifah digantikan oleh putranya yang
bernama Muhammad bin Mansur al-Mahdi, atau lebih dikenal dengan sebutan al
mahdi.

Anda mungkin juga menyukai