Anda di halaman 1dari 3

BIOGRAFI KHALIFAH ABU JA’FAR AL MANSUR

Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al-Mansur adalah Khalifah kedua Bani
Abbasiyah, putera Muhammad bin Ali bin Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib,
dilahirkan di Hamimah pada tahun 101 H. Ibunya bernama Salamah al-Barbariyah, adalah
wanita dari suku Barbar. Al-Mansur adalah saudara Ibrahim Al-Imam dan Abul Abbas As-
Saffah. Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan otak cemerlang. Ia
dinobatkan sebagai putera mahkota oleh kakaknya, Abul Abbas As-Saffah. Selanjutnya,
ketika As-Saffah meninggal, Al-Mansur dilantik menjadi khalifah, saat itu usianya 36 tahun.
Al-Mansur seorang khalifah yang tegas, bijaksana, alim, berpikiran maju, baik budi, dan
pemberani. Ia tampil dengan gagah berani dan cerdik menyelesaikan berbagai persoalan yang
tengah melanda pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Al-Mansur juga sangat mencintai ilmu
pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan menjadi pilar bagi pengembangan
peradaban Islam di masanya. Setelah menjalankan pemerintahan selama 22 tahun lebih, pada
tanggal 7 Zulhijjah tahun 158 H/775 M, al-Mansur wafat dalam perjalanan ke Makkah untuk
menunaikan ibadah Haji, di suatu tempat bernama “Bikru Maunah” dalam usia 57 tahun.
Jenazahnya dimakamkan di Makkah.

Kebijakan Khalifah Al-Mansur dalam Pemerintahan.

Setelah dilantik menjadi khalifah pada 136 H/754 M, Al-Manshur membenahi


administrasi pemerintahan dan kebijakan politik. Dia menjadikan Wazir sebagai koordinator
departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balk,
Persia. Al-Mansur juga membentuk lembaga protokoler negara, sekretaris negara, dan
kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya untuk menghimpun seluruh
informasi dari daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan berjalan dengan lancar
sekaligus menjadi pusat informasi khalifah untuk mengontrol para gubernurnya Untuk
memperluas jaringan politik, Al-Mansur menaklukkan kembali daerah-daerah yang
melepaskan diri, dan menertibkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha
tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Cappadocia, dan
Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan
mendekati selat Bosporus. Selain itu, Al-Mansur membangun hubungan diplomatik dengan
wilayah-wilayah di luar jazirah Arabia. Dia membuat perjanjian damai dengan kaisar
Constantine V dan mengadakan genjatan senjata antara tahun 758-765 M. Khalifah Al-
Manshur juga mengadakan penyebaran dakwah Islam ke Byzantium dan berhasil menjadikan
kerajaan Bizantium membayar upeti tahunan kepada Dinasti Abbasiyah. Juga mengadakan
kerjasama dengan Raja Pepin dari Prancis Saat itu, kekuasaan Bani Umayyah II di Andalusia
dipimpin oleh Abdurrahman Ad-Dakhil. Al-Mansur juga berhasil menaklukan daerah Afrika
Utara itu pada tahun 144 H, meski kadang kota Kairawan silih berganti bertukar wali.
Kadang di kuasai oleh bangsa Arab, di lain waktu jatuh ke tangan Barbar lagi. Baru pada
tahun 155 H barulah kota itu dikuasai penuh oleh Daulat Abbasiyah.
Mendirikan Kota Baghdad.

Pada masa awal pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah, yakni di masa Abul Abbas
As-Saffah, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah di kota Anbar, sebuah kota kuno di
Persia sebelah Timur Sungai Eufrat. Istananya diberi nama Hasyimiyah, dinisbahkan kepada
sang kakek, Hasyim bin Abdi Manaf. Pada masa Al-Mansur, pusat pemerintahan dipindahkan
lagi ke Kufah, dan mendirikan istana baru dengan nama Hasyimiyah II. Selanjutnya, untuk
lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara Al-Mansur mencari daerah strategis untuk
menjadi ibu kota negara. Pilihan jatuh pada daerah yang sekarang dinamakan Baghdad,
terletak di tepian sungai Tigris dan Eufrat. Sejak zaman Persia Kuno, kota ini sudah menjadi
pusat perdagangan yang dikunjungi para saudagar dari berbagai penjuru dunia, termasuk para
pedagang dari Cina dan India. Ada juga cerita rakyat bahwa daerah ini sebelumnya adalah
tempat peristirahatan Kisra Anusyirwan, Raja Persia yang termasyhur. Baghdad berarti
“taman keadilan”. Taman itu lenyap bersama hancurnya kerajaan Persia dani namanya tetap
menjadi kenangan rakyat. Dalam membangun kota ini, khalifah mempekerjakan ahli
bangunan yang terdiri dari arsitektur-arsitektur, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, ahli
pahat, dan lain-lain yang didatangkan dari Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah yang berjumlah
sekitar 100.000 orang. Kota ini berbentuk bundar. Di sekelilingnya dibangun dinding tembok
yang besar dan tinggi. Di sebelah luar dinding tembok, digali parit besar yang berfungsi
sebagai saluran air sekaligus benteng. Ada empat buah pintu gerbang di seputar kota ini,
disediakan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota. Keempat pintu gerbang itu adalah
Bab al-Kufah, terletak di sebelah Barat Daya, Bab al -Syam, terletak di Barat Laut, Bab al-
Bashrah, di Tenggara, dan Bab al-Khurasan, di Timur Laut. Diantara masing-masing pintu
gerbang ini, dibangun 28 menara sebagai tempat pengawal negara bertugas mengawasi
keadaan di luar. Di atas setiap pintu gerbang dibangun tempat peristirahatan yang dihiasi
dengan ukiran-ukiran yang indah dan menyenangkan. Di tengah-tengah kota terletak istana
khalifah dengan seni arsitektur Persia. Istana ini dikenal dengan Al-Qashr al -Zahabi, berarti
‘istana emas’. Istana ini dilengkapi dengan bangunan masjid, tempat pengawal istana, polisi,
dan tempat tinggal putra-putri dan keluarga khalifah. Di sekitar istana dibangun pasar tempat
perbelanjaan. Jalan raya menghubungkan empat pintu gerbang. Sejak awal berdirinya, kota
ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah
sebabnya, Philip K. Hitti, seorang peneliti Sejarah Arab, menyebut Baghdad sebagai kota
intelektual. Menurutnya, di antara kota-kota di dunia, Baghdad merupakan profesor
masyarakat Islam. Bahkan dalan cerita 1001 malam, Baghdad menjadi kota impian. Al-
Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, tahun
762 M. Baghdad, selanjutnya bukan hanya menjadi pusat pemerintahan yang strategis,
sekaligus juga menjadi pusat kebudayaan dan peradaban.

Pengembangan Ilmu Pengetahuan.

Al-Mansur menunjukkan minat dan perhatian yang besar terhadap pengembangan


ilmu pengetahuan. Penyalinan literatur Iran dan Irak, Grik serta Siryani dilakukan secara
besar-besaran. Dia mendorong usaha-usaha menterjemahkan buku-buku pengetahuan dari
kebudayaan asing ke bahasa Arab, agar dikaji orang-orang Islam. Perguruan tinggi ketabiban
di Jundishapur yang dibangun oleh Khosru Anushirwan (351-579 M, Kaisar Persia)
dihidupkan kembali dengan tenaga-tenaga pengajar dari tabib-tabib Grik dan Roma yang
menjadi tawanan perang. Al-Mansur juga mendirikan sebuah perguruan tinggi sebagai
gudang pengetahuan diberi nama “Baitul Hikmah”. Usahanya itu telah menjadikan kota
Baghdad sebagai kiblat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ia mengajak banyak ulama
dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia merandorong
pembukuan ilmu agama, seperti fiqh, tafsir, tauhid, Hadits dan ilmu lain seperti bahasa dan
ilmu sastra. Pada masanya lahir juga para pujangga, pengarang dan penterjemah yang hebat,
termasuk Ibnu Muqaffak yang menterjemahkan buku Khalilah dan Dimnah dari bahasa Parsi.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang sejarah dan biografi singkat Singkat
Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur Pendiri Kota Baghdad. Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur
memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan otak cemerlang.

Sumber :
http://www.bacaanmadani.com/2017/08/biografi-dan-sejarah-singkat-khalifah.html.

Anda mungkin juga menyukai