Anda di halaman 1dari 4

Nama : M.

Taufiqqurahman
Kelas : VIII - B
No. Absen : 17

Khalifah Terkenal Pada Masa Daulah Abbasiyah

Abdullah Al Makmun

A. Biografi
Abdullah bin Harun ar-Rasyid lebih dikenal dengan panggilan Al-Makmun. Ia dilahirkan pada tanggal 15
Rabi’ul Awal 170 H/786 M, bertepatan dengan hari wafat kakeknya (Musa al-Hadi) dan pengangkatan ayahnya,
Harun ar-Rasyid. Ibunya bernama Murajil, bekas seorang budak yang dinikahi ayahnya, namun meninggal setelah
melahirkannya. Al- Makmun termasuk anak yang jenius. Sebelum usia 5 tahun, ia mendapat pendidikan agama
dan baca Al-Quran dari dua orang ahli terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi.
Untuk mendalami Hadiṡ, Al-Makmun dan Al- Amin dikirim ayahnya, Harun ar-Rasyid berguru kepada Imam
Malik di Madinah, khususnya untuk belajar kitab Al-Muwaṭṭa karangan Imam Malik. Dalam waktu yang sangat
singkat, Al- Makmun telah menguasai berbagai ilmu seperti kesusastraan, tata negara, hukum, hadiṡ, filsafat,
astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ia juga hafal Al-Quran dan ahli juga menafsirkannya.
Setelah khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal, sebagaimana wasiatnya jabatan kekhalifahan diserahkan
kepada Al-Amin, sementara Al- Makmun mendapatkan jabatan sebagai gubernur di daerah Khurasan. Baru setelah
Al-Amin meninggal, Al-Makmun menggantikannya menjadi khalifah.

( Diakses 02 Oktober 2023, 13.57 WIB, https://an-nur.ac.id/khalifah-abdullah-al-makmun-khalifah-pembaharu-ilmu-


pengetahuan/ )

B. Usaha / Prestasi
Sebagaimana ayahnya, Al-Makmun adalah khalifah Dinasti Abbasiyah yang besar dan menonjol. Ia memiliki
sifat-sifat yang agung, diantaranya memiliki tekad yang kuat, penuh kesabaran, menguasai berbagai ilmu, penuh
ide, cerdik, berwibawa, berani, dan toleran. Pada masa kekhalifahannya, Dinasti Abbasiyah mengalami masa
kegemilangan. Berikut beberapa pencapaian kejayaan dan kegemilangan peradaban Islam.

Bidang Pertanian dan Perdagangan


Dengan keamanan terjamin, kegiatan pertanian berkembang secara luas dan pesat. Produksi buah-buahan
dan bunga-bungaan dari Parsi makin meningkat dan terjamin mutunya. Anggur dari wilayah Shiraz, Yed, dan
Isfahan telah menjadi komoditi penting dalam perdagangan di seluruh Asia. Tempat-tempat pemberhentian kafilah
dagang menjadi ramai dan meluas ke berbagai penjuru dunia. Sebagai contoh, lalu lintas dagang dari teluk Parsi
menuju Tiongkok berkembang melalui dataran tinggi Pamir, yang dikenal dengan “Jalan Sutera” (Silk Road) dan
“Jalur Laut” (Sea Routes).

Bidang Pendidikan
Perhatian besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dimulai oleh Khalifah Harun
ar-Rasyid, dilanjutkan dan semakin mencapai puncaknya masa Al-Makmun. Ia mendorong dan menyediakan dana
yang besar untuk melakukan gerakan penerjemahan karya-karya kuno, terutama karya Yunani dan Syria ke dalam
bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, filsafat, dan lain-lain.
Para penerjemah yang termasyhur antara lain: Yahya bin Abi Manṣur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Ṡabit bin
Qura, dan Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid al-Ibadi. Hunain bin Ishak adalah ilmuwan Nasrani yang
menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles atas permintaan Al-Makmun. Selain itu, Al-Makmun juga
mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Al-Makmun mengembangkan perpustakaan Bait al-Hikmah yang didirikan ayahnya menjadi pusat ilmu
pengetahuan. Lembaga ini kemudian berhasil melahirkan sederet ilmuwan Muslim yang melegenda. Selanjutnya
dibangun Majelis Munaẓarah, sebagai pusat kajian keagamaan. Pada masanya muncul ahli Hadis termasyhur
seperti Imam Bukhori, juga sejarawan terkenal seperti Al-Waqidi.

Perluasan Daerah Islam dan Penertiban Administrasi Negara


Di era kekhalifahan Al-Makmun, Dinasti Abbasiyah menjelma menjadi negara adikusa yang sangat disegani.
Wilayah kekuasaan dunia Islam begitu luas, mulai dari Pantai Atlantik di Barat hingga Tembok Besar Cina di Timur.
Dalam perluasan wilayah kekuasaannya, ada beberapa peristiwa besar yang dicapai, diantaranya penaklukan
Pulau Kreta (di Laut Tengah) tahun 208 H/823 M, dan juga penaklukan Pulau Sicily (di Laut Mediterranean) tahun
212 H/827 M.
Kemudian pada tahun 829 M, wilayah Islam mendapat serangan dari imperium Byzantium (Romawi). Di
penghujung tahun 214 H/ 829 M, Al-Makmun bersama pasukan yang besar menyerang imperium Byzantium.
Ketika itu, ia berhasil menduduki wilayah Kilikia dan Lidia pada tahun 832 M. Hanya saja, belum seluruh wilayah
Byzantium ditaklukkan, Al-Makmun meninggal dunia tahun 218 H/833 M. Perjuangan selanjutnya diteruskan oleh
saudaranya, Al-Mu’taṣim.

C. Ilmuwan / Ulama Terkenal


Al-Waqidi adalah seorang ahli hadis, ahli fikih, pengembara, dan sejarawan Arab terkenal. Nama lengkapnya
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar al-Waqidi al-Aslami. Sejak berusia muda, ia sudah bergelut menuntut
ilmu, dan menulis sekitar 30 judul buku, khususnya tentang sejarah.
Al-Waqidi mengembara dari satu kota ke kota lainnya untuk mencari para ilmuwan yang bisa dijadikan tempat
berguru, terutama dari kalangan tabiin. Pengembaraannya berkisar di Mekah, Madinah, Ta’if, Jiddah, kota-kota
Syam (Suriah), Baghdad, dan lain-lain.
Gurunya adalah para ahli hadis dan fikih, seperti Muhammad bin Ajlan, Ibnu Juraij (w. 150 H/767 M), Ma‘mar
bin Rasyid, Ibnu Abi Zi‘b, Aflah bin Humaid al-Auza’i, Imam Malik (w. 179 H/795 M), dan Sufyan as-Sauri (w. 161
H/778 M) di kota Madinah.
Setelah tumbuh menjadi ulama hadis, para penuntut ilmu datang kepadanya untuk belajar dan meriwayatkan
hadis-hadisnya, seperti para ahli hadis berikut: Muhammad bin Sa‘ad (sekretarisnya sendiri), Abu Bakar bin Abi
Syaibah, Muhammad bin Yahya al-Azdi, Muhammad bin Syuja‘ as-Salji, Abu Bakar as-Sagani, dan Muhammad bin
Faraj al-Azraq.
Dalam pengembaraannya mencari hadis, ia sampai ke Baghdad pada 180 H. Dari sana ia berangkat ke
Suriah, kemudian kembali ke Baghdad. Setelah menetap di Baghdad, ia diangkat menjadi kadi (hakim) oleh
khalifah Abbasiyah Harun ar-Rasyid dan kemudian al-Ma’mun. Ia terus menangani persoalan peradilan sampai ia
wafat.
Kepustakaan pribadinya penuh dengan buku. Pada waktu ia pindah tempat tinggal di kota Baghdad, buku-
bukunya diangkut dengan 120 ekor unta.
Ia seorang ulama yang produktif. Menurut Ibnu Nadim di dalam kitabnya al-Fihris, ia meninggalkan sekitar 30
judul buku dalam berbagai bidang ilmu, seperti ulumul Qur’an, hadis, fikih, dan sejarah. Akan tetapi sebagian besar
bukunya membahas peristiwa sejarah.
Karyanya banyak dikutip oleh muridnya yang sejarawan, Ibnu Sa‘d (w. 230 H/844 M) dan Abu Ja‘far
Muhammad bin Jarir at-Tabari. At-Tabari mengutip pendapatnya di 317 tempat di dalam buku sejarahnya Tarikh at-
Tabari, yaitu yang menyangkut biografi Nabi SAW, perang-perang Nabi SAW, dan sejarah kekhalifahan sampai
179 H.
Kutipan para sejarawan sesudahnya membuktikan bahwa al-Waqidi pernah menulis buku tentang:
(1) kabilah-kabilah Arab pra-Islam,
(2) sejarah dakwah Nabi SAW,
(3) wafatnya Nabi SAW,
(4) peristiwa Saqifah (pertemuan Kaum Ansar dan Kaum Muhajirin di Balairung Bani Saidah untuk menentukan
kepemimpinan setelah Rasulullah SAW wafat) dan pembaiatan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah,
(5) Perang Riddah (632),
(6) ekspansi Islam ke Suriah dan Irak,
(7) terbunuhnya Usman bin Affan, tentang Perang Jamal (656) dan Perang Siffin,
(8) tentang sejarah gubernur dan kadi (hakim) Kufah dan Basrah, semacam kitab Tabaqat (buku kumpulan
biografi tokoh),
(9) masalah yang berhubungan dengan kota-kota dan lembaga-lembaga keislaman, dan
(10) sejarah khalifah sampai 179 H/795 M yang berjudul at-Tarikh al-Kabir (Sejarah Besar).
Tidak ada karya al-Waqidi itu yang sampai ke generasi sekarang kecuali al-Magazi (Peperangan) yang me-
rupakan bagian dari karyanya tentang biografi Nabi SAW (as-sirah). Dalam karyanya ini, ia memaparkan perang-
perang yang langsung dipimpin Nabi SAW sendiri (gazwah) dan beberapa peperangan yang dipimpin para sahabat
sebagai komandan perang (sariyyah).
Dalam metode penulisannya, seperti tampak dari karyanya al-Magazi, ia menyebutkan sumber-sumber
periwayatan secara umum saja. Di dalam mukadimah kitabnya ini, ia menyebutkan nama-nama perawi yang
dijadikannya sandaran. Oleh karena itu, ketika ia menerangkan satu peristiwa perang, ia cukup mengatakan qalu
(mereka berkata). Tetapi, di lain kesempatan, ia membuka pembahasan tentang ghazwah atau sariyah dengan
menyebut sanad-sanadnya.
Peristiwa-peristiwa itu disusunnya secara kronologis. Setiap ghazwah dan sariyah dijelaskan dengan
menyebut kan panglima perangnya, masa terjadinya, lokasi geografis terjadinya perang, dan hasil yang dicapai
dalam peperangan.
Ia juga bahkan menerangkan nama-nama sahabat yang menafkahkan hartanya untuk keperluan perang,
orang-orang yang diajak Nabi SAW bermusyawarah memecahkan persoalan perang, orang-orang yang tertawan
dan terbunuh sebagai pahlawan dari kalangan umat Islam dan dari pihak musuh, para sahabat yang ditugaskan
mewakili Nabi SAW di Madinah ketika Nabi SAW keluar memimpin peperangan, serta ayat Al-Qur’an yang turun
berkenaan dengan perang yang bersangkutan dengan sedikit penafsiran umum. Bagian ini ditutupnya dengan
kesimpulan bahwa ghazwah terjadi 27 kali, sementara sariyah 47 kali.
Dalam metode penulisannya, ia berusaha melepaskan corak penulisan sejarah dari corak penulisan hadis.
Oleh karena itulah ia tidak begitu “taat” menggunakan metode isnad, sebagaimana yang berlaku dalam
periwayatan hadis. Peristiwa sejarah dipaparkannya dengan metode naratif.
Dalam periwayatan hadis, namanya kurang begitu populer. Ada yang menilainya sebagai dapat dipercaya dan
ada juga yang menganggap hadisnya sebagai tidak kuat. Al-Khatib al-Baghdadi (abad ke-4 H), seorang sejarawan
dari Baghdad, mengatakan bahwa di dalam hadis yang diriwayatkan al-Waqidi tercampur antara yang sahih dan
yang maudhu‘ (palsu), sehingga para ahli hadis tidak begitu memperhatikan hadisnya.
Imam Bukhari berkata tentang al-Waqidi, “Para ahli hadis tidak memperhatikan hadisnya.” Imam Hanbali tidak
mau meriwayatkan hadisnya. Imam Muslim berkata, ”Hadis-hadisnya ditinggalkan orang.” Dan an-Nasa’i
menganggapnya tidak dapat dipercaya. Akan tetapi Muhammad bin Salam al-Jamhi, seorang ahli hadis,
menyatakan, “Al-Waqidi adalah seorang alim pada masanya.” Ibrahim al-Harbi, juga seorang ahli hadis, menilainya
dengan berkata,
“Al-Waqidi adalah seorang yang dapat dipercaya di kalangan umat Islam. Ia termasuk seorang yang paling
mengetahui masalah-masalah keagamaan Islam. Tidak ada perkara jahiliah yang ditemukan di dalam dirinya.”
Ada dua penilaian, baik dan buruk, tentang hadis yang diriwayatkan oleh al-Waqidi. Hal ini disebabkan oleh
karena al-Waqidi sendiri mempunyai dua dimensi keahlian, yakni sebagai ahli hadis dan sebagai ahli sejarah.
Sebagai ahli hadis, riwayatnya dipandang lemah oleh ulama yang memberlakukan seleksi ketat karena hadis
merupakan sumber agama.
Akan tetapi, riwayat sejarah dan biografi dipandang sebagai sesuatu yang dapat dipercaya karena dalam hal
ini ulama memang tidak begitu ketat menyeleksi atau menentukan kriteria riwayat yang dapat diterima. Riwayat
tidak menjadi hujah dalam agama Islam. Namun, apabila kemudian riwayat sejarah tersebut ternyata bertentangan
dengan riwayat yang lebih kuat, tentu saja orang-orang kemudian lebih berpaling pada perawi yang lebih kuat dari
yang sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai