Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah telah menyatakan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan telah
dilahirkan oleh tokoh-tokoh Muslim. Tetapi seperti yang kita ketahui
sekarang ini bahwa sumber ilmu pengetahuan berasal dari Barat. Dari
sisnilah, pentingnya untuk mempelajari sejarah. Karena dengan
mempelajari sejarah inilah, kita akan mengetahui bagaimana kronologi
kejadian masa lalu dapat terjadi.
Peradaban Islam dibagi dalam beberapa babakan mulai dari zaman
Rasullah SAW sampai sekarang ini. Babakan tersebut mempunyai ciri dan
khas tersendiri, mereka telah mencatat sejatrah yang berbeda.
Era Abbasiah dikenal sebagai masa keemasan Islam, namun
budaya masa itu memulai sejak era Umayyah. Mekah, Madinah, Kufah,
dan Basrah sentris dialog dan pembelajaran tentang al-Qur’an, hadist,
bahasa dan sastra Arab, qawaid dan ilmu keagamaan yang memulai pada
era Umayyah yang pengaruh positifnya tampak pada era berikutnya di ibu
kota Abbasiah, Baghdad. Namun, para amir, wazir, dan tentara bataran
dari Turki menjadikan kemudian hari para khalifah Abbasiyah menjadi
boneka mereka, yang akhirnya menjadi penyebab kemunduran dan
kehancuran Abbasiah.1
Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa pada masa bani Abbasiyah
telah terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang luas, dimana banyak
buku-buku dari bahasa asing yang kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa Arab dan dipelajari. Dinasti ini merupakan dinasti yang paling
berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Oleh karena itu dalam
karya tulis ini akan dibahas tentang aliansi politik dari Bani Asbbasiyah,
yang mencakup tentang bagaimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah,
siapa saja khalifah pada masa Bani Abbasiyah serta bagaimana

1
M. Abdul karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher. 2007)hal. 365.
2

pemerintahan pada masa dinasti bani Abbasiyah, serta bagaimana dinasti


Bani tersebut mengalami kemunduran.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang diatas maka yang menjadi pokok
permasalahn dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah?
2. Siapa saja khalifah-khalifah pada masa Bani Abbasiyah?
3. Bagaimana Daulah pada masa Bani Abbasiyah?
4. Bagiamana masa kejayaan yang terjadi pada masa Bani Abbasiyah?
5. Apa yang menyebabkan kemunduruan pada dinasti Bani Abbasiyah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk sejarah berdirinya Bani Abbasiyah.
2. Untuk mengetahui nama-nama khalifah pada masa Bani Abbasiyah.
3. Untuk mengetahui daulah pada masa Bani Abbasiyah.
4. Untuk mengetahui masa kejayaan pada masa Bani Abbasiyah.
5. Untuk mengetahui penyebab kemunduran pada masa dinasti Bani
Abbasiyah.
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Nama Dinasti Abbasiyah (sebut Abbasiah) diambilkan dari nama
salah seorang paman nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas ibn
Abd al-Muttalib ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari
pada Bani Umayyah atas kekhalifaan Islam, sebab mereka adalah cabang
Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi.
Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khilafah
melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan dinasti
Abbasiah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan
pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah.2
Kekuasaan dinasti Bani Abbasiah atau Khilafah Abbasiyah,
sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah.
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti
ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn Al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).3
Jadi, dari beberapa referensi yang telah didapat dapat di ambil
kesimpulan bahwa nama Dinasti ini diambil dari nama paman Nabi SAW,
yaitu al-Abbas ibn Abd al-Muttalib ibn Hasyim. Dinasti ini merasa lebih
berhak menjadi khalifah, karena dinasti ini secara nasab lebih dekat
dengan keturunan Nabi SAW. Untuk mendirikan dinasti ini mereka
melakukan pemberontakan yang luar biasa terhadap Bani Umayyah, yang
di anggap bahwa Bani Umauyah menjadi khilafah karena tragedy perang
siffin. Masa kepemimpinan Dinasti ini cukup lama sejak tahun 132 H (750
M) s.d 656 H (1258 M). Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-
Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abass.

2
Ahmad Syafii Maarif & M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007)hal. 143.
3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010)hal. 49.
4

B. Khalifah-Khalifah Bani Abbasiyah


A. Berikut nama-nama Khalifah Pemerinatahan Abbasiyah di Baghdad4:
1. Abu al-Abbas as-saffah 132 H.
2. Abu Ja’far al-Mansur 136 H.
3. Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi bin al-Mansur 158 H.
4. Abu Musa al-hadi 169 H.
5. Abu Ja’far Harun ar-Rasyid 170 H.
6. Abu Musa Muhammad al-Amin 193 H.
7. Abu Ja’far Abdullah al-Ma’mun 198 H.
8. Abu Ishak Muhammad al-Mu’tashim 218 H.
9. Abu Ja’far Harun al-Watsiq 227 H.
10. Abul- Fadhl Ja’far al-Mutawakkil 232 H.
11. Abu Ja’far Muhammad al-Muntasir 247 H.
12. Abul-Abbas Ahmad al-Musta’in 248 H.
13. Abu Abdullah Muhammad al-Mu’taz 252 H.
14. Abu Ishak Muhammad al-Muhtadi 255 H.
15. Abul Abbas Ahmad al-Mu’tamid 256 H.
16. Abul-Abbas Ahmad al-Mu;tadhid 279 H.
17. Abu Muhammad Ali al-Muktafi 289 H.
18. Abul-fadhl Ja’far al-Muqtadir 295 H.
19. Abu Mansur Muhammad al-Qahir 320 H.
20. Abul-Abbas Ahmad ar-Radhi 322 H.
21. Abu Ishak Ibrahim al-Muttaqi 329 H.
22. Abul-Qasim Abdullah al-Mustakfi 333 H.
23. Abul-Qasim al-Mufadhdhal al-Muthi’ 334 H.
24. Abul-Fadhl Abdul Karim at-Tha’I 362 H.
25. Abul-Abbas Ahmad al-Qadir 381 H.
26. Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im 422 H.
27. Abul-Qasim Abdullah al-muqtadi 467 H.
28. Abul-Abbas Ahmad al-Mustazhhir 487 H.

4
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan islam 3, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993)hal. 4-5.
5

29. Abu Mansur al-Fadhl al-Murtasyid 512 H.


30. Abu Ja’far al-mansur ar-rasyid 529 H.
31. Abu Abdullah Muhammad al-Muqtafi 530 H.
32. Abul-Muzhaffar al-Muntanjid 555 H.
33. Abu Muhammad al-hasan al-Muqtadhi’ 566 H.
34. Abu-Abbas Ahmad an-Nashir 575 H.
35. Abu nashr Muhammad az-Zahir 622 H.
36. Abu Ja’far al-mansur al-Muntashir 623 H.
37. Abu ahmad Abdullah al-Musta’shim 640-656 H.
C. Daulah Bani Abbasiyah
Pada Januari 750 M/132H, Marwan II dibunuh oleh pasukan
Abbasiah, maka mulai saat itulah secara de facto berdiri dinasti baru,
Dinasti Abbasiah. Setelah menjadi khalifah, Abu al-Abbas bergelar al-
saffah (penumpah darah/peminum darah) mengeluarkan dekrit kepada para
gubernur, supaya tokoh-tokoh Umayyah yang memiliki darah biru
semuanya dibunuh. Ia sendiri juga membunuh banyak rival dari dinasti itu.
Bukan hanya diam disitu saja, Saffah menggali kuburan para khalifah
Umayah, kecuali Umar II, dan tulang-tulangnyapun dibakar. Oleh Karena
itu, rakyat Damaskus, Harran, Hims, Kinnisirin, Jeruzalem, dan daerah
lainnya memberontak. Api pemberontakan itu dipadamkan dengan tangan
besi oleh rezim Saffah. Setelah Saffah wafat (754 M), ia megangkat
saudaranya, Abu Ja’far dengan gelar al-mansur sebagai penggantinya.
Semula ibu kota pemerintahan dipusatkan di Ambar, dengan nama istana
negaranya al-Hasyimiah. Setelah Mansur memerintah ia memindahkan ibu
kotanya ke Baghdad, hal ini dikarenakan Ambar terletak diantara Syam
dan Kufah yang selalu dapat ancaman dari kaum Syi’ah, maka pusat
pemerintahan dipusatkan di daerah yang lebih aman, Baghdad dengan
nama Dar al-Salam. Demi keamanan dari lawan politiknya seperti orang
Rawandiah, maka Mansur membangun sebuah kota yang indah dan aman
di tepi sungai Tigris, kemudian dijadikan sebagai ibu kota baru Abbasiah
hingga akhir periode dinasti ini. Baik Saffah maupun Mansur merupakan
khalifah yang dikenal sebagai pembunuhan missal, bahkan keduanya juga
6

tidak segan untuk meyingkirkan para rival politiknya. Misalnya, pemennag


perang di Dzab II, Abdullah ditangkap dan dibunuh oleh Mansur.
Kelompok Syi’ah banyak membantu bagi proses berdirinya dinasti ini,
dibawah pimpinan Abu Muslim Khurasani. Ia merupakan proklamator
pertama yang membunuh sekitar 600.000 orang Umayyah demi berdirinya
dinasti ini. Akan tetapi ia dicurigai oleh Mansur yang kemudian ia
dipanggil dan dibunuh. Selain itu Mansur juga merasa adanya ancaman
dari sekte Syi’ah yang enggan tunduk dan rakyat kecewa dengan
pemerintahan baru. Setelah kedua rival itu, pemimpin sekte Syi’ah,
Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali yang dijanjikan akan menjadi
kepala Negara juga dibunuh. Selain itu, Imam Abu Hanifah serta Imam
Malik, telah disiksa, dipenjarakan serta dibunuh oleh Mansur. Keduanya
disingkirkan dari gelang-gelang politik. Ia juga membunuh di muka umum
secara massal keluarga Ali, Hasan, Husen, simpatisan dan para
pengikutnya. Ia juga membatalkan keputramahkotaan “Isa, pilihan Saffah
dan megangkat puteranya, mahdi sebagai putera mahkota baru. Bidang
politik dalam masa kepepmimpinan Mansur cukup stabil dan maju, yaitu
ia telah berhasil membunuh Ustadsis di Heart yang menyatakan bahwa
dirinya adalah nabi, menguasai Khurasan dan Sizistan yang sangat luas.
Di Afrika Utara Berber dan Khawarij yang semula mengikuti barisan
berdirinya Abbasiyah untuk menggulingkan Umayyah akhirnya kecewa
dengan sikap Mansur yang satu persatu membunuh tokoh Bani Umayyah
untuk mendirikan Bani Abbasiyah, pada akhirnya mereka manarik
dukungan dan meganggu kestabilan politik. Mereka juga kecewa dengan
sikap Abbasiyah yang berat sebelah dengan orang Persia. Selain Saffah,
semua khalifah meganggap bahwa kekuasaannya berasal dariAllah (divine
origin) dan penuntun umat. Para khalifah memegang amanat kekuasaan
untuk menjadi penyelamat uamt. Disini khalifah dianggap mendapat
tuntutan dari Allah dijalan yang lurus untuk membawa pencerahan dan
mengembalikan umat ke jalan yang benar. Mereka juga sebagai pelindung
bagi para ulama dan ilmuwan. Tidak seperti masa sebelum Mansur, para
khalifah adalah sebagai pengganti dari khalifah terdahulu. Mulailah sejak
7

itu jabatan merupakan jabatan prestisius baik untuk bidang politik maupun
bidang keagamaan. Hal ini berbeda dengan periode al-Khulafa al-
rasyiddin dimana khalifah adalah pelayan rakyat dan dipilih rakyat. Pada
era Umayya, meskipun terlihat monarki, namun para khalifah masih
membutuhkan pengakuan rakyat. Sedangkan pada masa dinasti bani
Abbasiyah ini meganggap bahwa para khalifah tidak meembutuhkan
rakyat, melainkan rakyat yang membutuhkan khalifah untuk
memimpinnya. Setelah Mansur wafat pada 755 M, Mahdi menjadi
khalifah(775-785 M), yang popular bersikap sangat lunak terhadap rival
politiknya, lebih dermawan, dan lebih berperan dalam pembelaan Islam.
Periodenya identik dengan Negara yang aman dan kekayaan bertambah.
Masa ini terjadi perubahan yang paling utama adalah, faksi politik
Khurasan dan sekelompok militer mulai menjadi saingan keluarga
kekhalifaan Abbasiah. Disamping itu, sekretaris (kuttab) menjadi
kelompok penekanan. Selain itu adalah kelompok mawali yang semula
berasal dari budak selanjutnya telah dimerdekakan. 5
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para
sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/ 847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh
Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan
dinasti Buwaih dalam pemerintaha khalifah Abbasiah . periode ini
disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan
dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah biasanya
disebut juga dengan masa pengaruh Turki Kedua.

5
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher. 2007)hal. 143-148.
8

5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Baghdad.
Pada mulanya, ibu kota Negara adalah Al-hasyimiyah, dekat Kufah.
Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang
baru berdiri itu, Al-Mansur memindahkan ibu kota Negara ke kota yang
dibagunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762
M. dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di
tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini Al-Mansur
melakukan konsolidasi dan penerbitan pemerintahannya. Dia megangkat
sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan
yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan
megangkat wazir sebagai coordinator departemen. Dengan keadaan
struktur pemerintahan yang tersusun rapi maka segala aspek pemerintahan
dapat berjalan dengan lancer, bahkan yang ditugasi untuk mengatur system
pemerintahan adalah orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut.
Khalifah Al-Mansur berusaha menakhlukkan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan
keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah
merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan
Cicilia pada tahun 756-758 M. ke Utara, bala tentaranya melintasi
pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Dipihak lain, dia
berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-
765 M, Bizantiun membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga
berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di kaukasus, Daylami di laut
Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.6
Dasar konsep Bani Abbas, pada hakikatnya, bertumpu atas
pengakuan adanya hak kekuasaan suatu keluarga tertentu dalam
berhadapan dengan suatu keluarga lainnya. Namun, dalam usaha mencapai
keberhasilan, mereka telah memilih politik devide et empera dengan
menjadikan kabilah-kabilah Arab berperang satu sama lain, dan di lain
6
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah islamiyah II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013)hal. 49-50.
9

pihak mereka mngibarkan juga api pertikaian dan permusuhan antara


bangsa Arab dan non Arab. Diantara pengarahan-pengarahan yang
dikirimkan oleh Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas,
imam gerakan kaum Abbasiyah, kepada Abu Muslim al-khurasani, ketika
menyerahkan penanganan daerah Khurasan, ialah nasihat agar
memanfaatkan pertikaian-pertikaian yang ada antara suku-suku Yaman
dan suku-suku Mudhar, dan membenturkan sebagian dari mereka dengan
sebagian lainnya. Pendirian dinasti Bani Abbasiyah ini snagt di dukung
dan dipelopori oleh orang-orang non Arab terutama Persia, karena mereka
memperhitungkan jika telah terbentuk suatu pemerintahan dengan
kekuatan pedang-pedang mereka, mereka akan dapat menguasainya dan
sekaligus mengakhiri kekuasaan bangsa Arab serta menghancurkan
kekuatan mereka. Perkiraan mereka ini memang pada tempatnya dan
terwujudlah apa yang mereka pikirkan. Berkata al-Jahidh bahwa
pemerintahan Bani Abbas telah menjadi sebuah pemerintahan yang
dikuasai oleh orang-orang Khurasan. Dan di masa kekuasaan al-Mansur ,
orang-orang non Arab telah diangkat untuk menduduki sebagian besar
jabatan sebagai panglima-panglima tentara dan wali-wali negeri, denhgan
demikian mengerutlah kepemimpinan Arab. Pada perincian-perincian yang
disebutkan oleh al-Jahsyiari dalam bukunya Tarikh al-wuzara mengenai
pejabat-pejabat Khalifah Mansur, kita akan mendapati bahwa mereka itu
semua terdiri dari orang-orang Ajam atau non arab. Orang-orang Ajam itu,
setelah menguasai kekuatan politik dan merasa telah mapan, segera
berusaha membangkitkan gerakan shu’ubiyah (chauvenisme anti Arab)
dengan segala kekuatan yang ada pada mereka dimana-mana. Gerakan
yang pada hakikatnya bukan merupakan gerakan nasionalisme semata-
mata, tapi dalam kenyataannya telah membawa serta virus-virus kaum
zindiq, eteisme dan permisivusme (keserbabolehan). Sebagian dari mereka
juga mencuptakan hadist-hadist yang dipalsukan dan menyebarluaskannya
di antara kaum muslimin untuk merusak agama mereka, seperti yang
dilakuakn oleh Ibnu Abi Aujaa’, seseorang zindiq, ketika ditangkap, ia
mengaku telah mengarang empat ribu hadist palsu dengan tema
10

menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal serta


memutarbalikkan hokum-hukum Islam. Ia kemudian dijatuhi hukuman
mati oleh Muhammad bin sulaiman bin Ali, wali kota Kufah yang
diangkat oleh al-Mansur. Kebobrokan seperti ini telah mejadi-jadi di masa
kekuasaan al-Mansur al-abbasi (tahun 136 sampai 158 H atau 754 sampai
755 M) kejahatan yang ditimbulkannya bukan hanya dalam
penyebarluasan kerusakan akhlak atau aqidah saja, tetapi telah mencabik-
cabik masyarakat dan Negara Islam, dalm segi politik dan social, sehingga
menjadi kepingan kecil. Ketika Khalifah al-mahdi, pengganti al-Mansur,
menyadari akibat-akibat mengerikan yang ditimbulkan oleh politik
keluarganya ini, ia diliputi kerisauan yang sangat dan mulailah ia
bersungguh-sungguh dalam berusaha mencabut akar-akar gerakan ini.
Tidak saja melalui kekuatan politis, tetapi ia juga memerintahkan kepada
sekelompok ulama agar melakukan perdebatan dengan kaum zindi itu dan
mengarang buku-buku untuk mengalahkan argumentasi-argumentasi
mereka dan menghilangkan benih keraguan yang mereka tebarkan dalam
pikiran dan perasaan orang awam. Untuk itu ia membentuk suatu
mahkamah permanen di bawah pimpinan Umar al-Kalwadzi yang bertugas
memusnahkan faham zindiq dan menumpas pengikut-pengikutnya.7
Perluasan wilayah Islam yang semakin pesat dan pembauran antara
orang-orang Arab dan orang-orang Persia serta para bekas pemeluk agama
lain, ternyata mengakibatkan timbulnya suatu golongan yang tidak
memahami hakikat agama Islam dan hendak kembali kepada agamanya
semula. Golongan itu disebut “Kaum Zandiq” (kaum yang menyeleweng
dari rel Islam). Untuk mempertahankan dan menjaga agama Islam para
penguasa daulat Abbasiah banyak melakukan pembunuhan terhadap kaum
Zindiq yang muncul pada akhir abad pertama Hijriah dan mencapai
puncaknya pada abad kedua, yaitu pada awal masa berdirinya daulat
Abbasiah. Tindakan kekerasan itu dipelopori oleh “khalifah” Al-mahdiy,
yaitu khalifah ketiga daulat Abbasiah. Kesempatan itu dipergunakan

7
Abul A’la Al-Maududi, pengantar M. Amien rais, Khilafah dan Kerajaan, Konsep
Pemerintahan islam serta Studi Kritis terhadap “Kerajaan” Bani Umayyah dan Bani abbas,
(Bandung: Mizan, 1994)hal. 230-236.
11

olehnya untuk memerangi fanatisme Persia dan kaum Syu’ubiyah. Konon


dalam satu peristiwa saja terjadi pembunuhan terhadap berates-atus orang
yang memprogandakan Maniisme dan para penganutnya. Sebagian besar
kaum Zindiq berdarah Persia dan fanatic kepada kebangsaan mereka.
Khalifah Al-Mahdiy bertindak keras membasmi kaum Zindiq atas dasar
anggapan bahwa ia bekerja untuk mengembalikan agama Islam
sebagaimana asalnya dan mengikuti jejak kaum Salaf. Untuk itulah ia
membunuh banyak orang, antara lain Basyar bin Burd, Shalih bin Abdul
Quddus dan lain-lain. Dengan senjata itu pula Al-Mahdiy melancarkan
tindakan balas dendam terhadap musuh-musuh orang Bani Abbas dan
terhadap orang lain yang dipandang masih setia kepada Bani Umayyah.
Dengan membasmi Kaum Zindiq ia berharap akan memperoleh dukungan
pendapat umum. Dengan tindakannya itu sesungguhnyaia melemahkan
kedudukan Islam. Lebih-lebih setelah ia menuduh Abdullah bin Al-
Muqaffa, dan orang-orang lain yang sekaliber dia, sebagai orang-orang
Zindiq. Sebagimana diketahui Abdullah bin Al-Muqaffa’ adalah seorang
cendekiawan besar yang berakal cerdas, berpikir sehat dan tidak berpihak
kepada golongan man pun juga. Akhirnya daulat Abbasiyah pada zaman
Al-Mahdiy memerangi setiap orang yang berpikir merdeka, berakal cerdas
dan menghendaki perbikan agar Khalifah atau Negara tidak melakukan
tindakan yang sangat membahayakan agama Islam. Para penguasa Bani
Abbas menjalankan kebiajksanaan politik yang membagi masyarakat
menjadi beberapa golongan, yaitu: golongan kaya yang hidup bermewah-
mewah, golongan miskin yang hina-dina, golongan yang hidup penuh
santai berfoya-foya dan golongan yang bekerja keras membanting tulang
untuk dapat makan. Dengan demikian maka system kasta menjadi tampak
menyolok. Pada masa itu terjadikebobrokan dalam hal akidah, pada masa
itu minum arak telah menjadi kebiasaan dalam berbagai pertemuan
memperbincangkan peraturan-peraturan, perundangan dan etika kehidupan
masyarakat. Demikian juga keadaan di Mesir, di Andalusia dan di
Qairuwan (Afrika Utara), para penguasanya meniru-niru para penguasa di
Baghdad. Sebliknya para alim ulama pada umunya hidup dalam keadaan
12

menderita, kemiskinan serta kemelaratan, tentunya keadaan kehidupan


pada masa ini sangat berbeda dengan keadaan yang ada pada masa
Rasullah dan khalifah Rasyidun.8
Setelah Abbasiyah berdiri di Khurasan, terjadilah perang besar di
Dzab II, tahun 749 M, di mana aliansi Abbasiah mengalahkan Khalifah
Marwan bin Muhammad. Marwan melarikan diri, kemudian ditangkap dan
dibunuh di Mesir (750 M), maka sempurnahlah berdiri Dinasti Abbasiah
(750 – 1258 M), dengan Khalifah, abu al-Abbas al-Saffah. Jabatan sacral
tersebut ia klaim demi kekuasaan dan politik. Ia ingin memperkokoh
kedudukan politik, al-Mansur membunuh para saingan terutama Abu
Muslim Khurasani, sang proklamator Dinasti Abbasiyah di Khurasan,
yang membunuh sekitar 600.000 saingan Abbasiah. Akhirnya Khurasani
dibunuh oleh Mansur. Mendengar pembunuhan sang king maker Dinasti
Abbasiyah di Khurasani, rakyat Persia termasuk mawali Khurasan,
sebagian besar mereka meganggap ia sebagai nabi, bahkan setelah
Khurasani wafat, sebagian orang Persia memujanya sebagai Allah
melakukan pemberontakan. Untuk membalas kematiannya, di Ray dan
Persia terjadi gerakan perlawanan Sanbad. Dengan susah payah al-Mansur
memadamkan api pemberontakan ini. Akhirnya ray, Mesopotamia, dan
Kinnisirin dapat dikuasai. Tabaristan, Gilan, dan Daylam tunduk di bawah
panji Abbasiah. Kemudian khalifah menguasai Kurdistan dan Asia Kecil.
Setelah al-mansur wafat sampai munculnya era Harun al-Rashid, tidak ada
yang idtimewa ekspansi Islam ke Asia Tengah dan sekitarnya. Pada masa
Khalifah harun al-rashid 786-809 M tentara Islam kembali menguasai
daerah-daerah seperti Kabul, Sanbad sampai pegunungan Hindukush.
Seorang gubernur diangkat untuk wilyah perbatasan Asia Tengah bernama
“awasim”. Persia menjadi benteng antara wilayah perbatasan tersebut
dwngan tekanan musuh antara perbatsan Basat dan Timur. Pada saat ini
secara besar-besaran terjadi akulturasi dan asimilasi budaya islam-Persia-
Asia Tengah. Usai perang saudara (al-amin dan Mamun), khalifah al-
Mamun berhasil menguasai musuh di Mesapotamia dan Khurasan. Untuk
8
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung: PT Reamja Rosdakarya,
1993)hal.115-123.
13

menghadapi mereka, ia menugaskan Tahir Bin Husain yang dalam waktu


dekat ia mengamankan seluruh wilayah tersebut menjadi wilayah
Abbasiyah. Periode Al-Mamun di catat sebagai masa kejayaan ilmu
pengetahuan dan asimilasi budaya Timur dan Barat dengan Arab. Setelah
al-Mamun wafat sampai khalifah terakhir Abbasiyah, al-Mus’tashim
Billah boleh dikatakan tidak ada perluasan wilayah, bahkan tubuh
kekhalifaan dikuasai oleh pengaruh mawali (Persia-Turki), sampai
serangan Mongolke Baghdad. Periode Abbasiah selanjutnya di mana para
khalifah itu sangat lemah dipengaruhi oleh para wazir yang kelihatannya
para khalifah adalah bagian dari boneka mereka dan tidak punya kekuasaa
secara de facto.9
Kepala Negara adalah seorang khalifah yang setidaknya dalam
teori, memegang semua kekuasaan. Ia dapat, dan telah melimpahkan
otoritas sipilnya kepada seorang wazir, otoritas pengadilan kepada seorang
hakim (qadhi), dan otoritas militer kepada seorang jenderal (amir), tapi
khalifah sendiri tetap menjadi pengambil keputusan akhir dalam semua
urusan pemerintahan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi
pemerintahannya, para khalifah Baghdad paling awal mengikuti pola
administrasi Persia. Penolakan masyarakat terhadap pemerintahan sekuler
Dinasti Umayyah dimanfaatkan oleh kelompok Abbasiyah dengan
menampilkan diri di depan public sebagai pemerintahan imamah, yang
menekankan karakteritik dan kewibawaan religus, kebijakan utama yang
pada masa belakangan semakin berbanding terbalik dengan masa-masa
awal pemerintahan mereka. Prinsip pergantian kepemimpinan secara
turun-temurun yang belum didefinisikan secara tegas, seperti yang telah
dipraktikkan pada masa Umayyah, juga diikuti oleh Dinasti Abbasiyah,
beserta seluruh dampak buruknya. Seorang khalifah yang sedang berkuasa
akan menunjuk sebagai penggantinya seorang anak yang ia senangi atau ia
pandang vcakap, atau saudaranya yang menurutnya paling tepat. Khalifah
dibantu oleh seorang pejabat rumah tangga istana (hajib) yang bertugas
memperkenalkan para utusan dan pejabat yang akan mengunjungi khalifah

9
M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah, (Yogyakarta: Bagaskara, 20006)hal. 19-20.
14

sehingga pengaruhnya di istana menjadi cukup besar. Disamping itu


adajuga seorang eksekutor, yang menjadi tokoh penting di idtana Baghdad,
pada masa itu, ruang bawah tanah yang digunakan sebagai tempat
penyiksaan muncul pertama kali dalam sejarah Arab, ruang pengamatan
bintang terletak berdampingan dengan istana khalifah. Di bawah khalifah
terdapat wazir, yang tugasnya banyak dipengaruhi oleh tradisi orang
Persia. Wazir berperan sebagai tangan kanan khalifah dan kekuasaannnya
semakin bertambah besar ketika atasannya, khalifah, semakin tenggelam
di tengah harem-haremnya.10
Selain pajak, sumber pendapatan Negara yang lain adalah zakat
yang merupakan satu-satunya pajak yang diwajibkan atas setiap orang
Islam, zakat dibebankan atas tanah produktif, hewan ternak, emas dan
perak, barang dagangan, dan harta milik lainnya yang mampu berkembang
baik secara alami ataupun setelah diusahakan.semua uang yang terkumpul
dari orang Islam akan disalurkan oleh kantor perbendaharaan Negara
untuk kepentingan orang Islam itu sendiri, yaitu untuk orang miskin, anak
yatim, musafir, sukarelawan dalam perang suci, dan para budak serta
tawanan yang haru sditebus. Sumber uatam pendapatan utama lainnya
adalah pajak dari bangsa lain, uang tebusan, pajak perlindungan dari
rakyat nonmuslim (jizyah), pajak tanah (kharaj) dan pajak yang diambil
dari barang dagangan nonmuslim yang masuk kewilayah Islam. Berbagai
riwayat berbeda tentang pemasukan Negara yang kita warisi periode
Dinasti Abbasiyah, selain memperlihatkan kemakmuran yang sangat tinggi
selama abad pertama kekuasaan mereka, yang memungkinkan para
khalifah untuk hidup mewah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
juga memperlihatkan pendapatan yang terus merosot dari abad ke abad.11
Disamping biro pajak, dinasti Abbasiyah juga memiliki kantor
pengawas (diwan al-zimam)yang pertama kali diperkenalkan oleh al-
Mahdi, dewan korespondensi atau kantor arsip (diwan al-tawqi) yang
menangani semua suart-surat resmi, dokumen politik, serta intruksi dan

10
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006)hal.
395-398.
11
Ibid, hal. 398-401.
15

ketetapan khalifah, dewan penyelidikan khalifah, dewan penyelidik


keluhan, departemen kepolisian dan pos. dewan penyelidik keluhan (diwan
al-nazhar fi al-mazhalim) adalah sejenis pengadilan tingkat banding, atau
pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara
keliru pada departemen administrative politik. Praktik itu diperkenalkan
oleh al-Mahdi kedalam pemerintahan Abbasiyah. Cirri penting
pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah adanya departemen pos, yang
dikepalai oleh seorang pejabat yang disebut shahib al-barid. Biro
pemerintahan lain yang cukup penting kedudukannya adalah biro
peradilan, pelaksanaan peradilan, yang dalam masyarakat Islam selalu
dipandang sebagai fungsi keagamaan, dipercayakan oleh para khalifah,
atau wazirnya kepada para ulama (faqih), yang diangkat menjadi hakim
(qadhi), atau jika di Baghdad menjadi kepala hakim (qadhi al-qudha).
Tokoh pertama yang memperoleh gelar qadhi al-qudhat adalah Abu Yusuf
(w. 798), yang bekerja dibawah pemerintahan al-Mahdi, dan dua orang
puteranya al-Hadi dan Harun. Al-Mawardi membedakan dua jenis jabatan
hakim, hakim yang otoritasnya bersifat umum dan absolute (amah
muthlaqah), dan hakim yang otoritasnya bersifat khusus dan terbatas
(khashshah). Tugas utama seorang hakim jenis pertama adalah
memutuskan kasus, menjadi wali anak yatim, orang sakit mental dan anak
kecil, manjadi lembaga wakaf, emnjatuhkan hukuman pada para pelanggar
hokum agama, megangkat para wkail pengadilan (tunggal, naib) di
berbagai provinsi dan dalam situasi tertentu, memimpin shalat jum’at.
Pada masa awal terbentuknya lembaga itu, para hakim provinsi ditunjuk
oleh gubernur, tapi pada abad ke-4 mereka biasanya adalah wakil kepala
hakim di Baghdad. Menurut sumber pada masa belakangan, pada masa
pemerintahan al-Ma’mun, gaji seorang hakim di Mesir mencapai 4000
dirham perbulan.hakim jenis kedua memiliki kekuasaan yang terbatas
sesuai dnegan piagam penunjukan mereka dari khalifah, wazir atau
gubernur.12

12
Ibid, hal. 401-407.
16

System organisasi militer pada masa dinasti Abbasiyah atas


pasukan infanteri (harbiyah) yang bersenjatakan tombak., pedang, dan
perisai, pasukan panah (ramiyah) dan kevaleri (fursan) yang mengenakan
pelindung kepala dan dada, serta bersenjatakan tombak panjang dan kapak.
Al-mutawakkil memperkenalkan gaya membawa pedang di pinggang
seperti yang dipraktikkan orang Persia, bukan di punggung seperti
kebiasaan orang Arab. selama pemerintahan dinasti Abbasiyah, telah
dibangun dengan mengandalkna pasukan Persia bukan oasukan Arab,
unsure Arab kehilangan peran dalam kemilitiran, sperti halnya dalam
peraturan politik. Pada masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiah,
pasukan pengawalistana, yang menjadi mesin militer terkuat, kebanyakan
diambil dari pasukan Khurasan.13
Dari penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa masa pemerintahan
yang terjadi pada masa Bani Abbasiah beribah-ubah antara khalifah satu
dengan yang lainnya. Setiap khalifah memiliki system pemerintahan yang
berbeda-beda. Perbedaan dalam system pemerintahan disebabkan oleh
adanya perbedaan sifat, watak, karakter, kecerdasan, pengabdian, serta
pemikiran yang berbeda-beda dari setiap khalifah. Oleh karena perbedaan
tersebut melahirkan system pemerintahan, politik yang betrbeda-beda pula.
Pada mulanya dinasti ini berdiri di Al-Hayimiah, dekat Kufah, namun
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara akhirnya
dipindahkan ke Baghdad. Pada bidang pemerintaan yang memegang
kekuasaan tertinggi lebih banyak dipegang oleh orang Persia dari pada
orang Arab sendiri. Pemegang kekuasaan tertinggi oleh khalifah
diserahkan kepada orang yang benra-benar ahli dalam bidang tersebut,
sehingga struktur pemerintahan berjalan dengan rapi dan lancar. Dengan
adanya kenyataan bahwa pemegang tertinggi adalah orang Persia yang non
muslim maka pada saat tersebut terjadilah kebobrokan moral yang menjadi
factor internal kehancuran dinasti tersebut.

13
Ibid, hal.407-411.
17

D. Masa Kejayaan Dinasti Bani Abbasiyah


Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam,
mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mareka segera setelah
didirikan. Kekhalifaan Baghdad yang didirikan oleh al-Saffah dan al-
mansur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga al-
Mahdi, dan khalifah kesembilan, al-watsiq dan lebih khusus lagi pada
masa Harun al-rasyid dan anaknya al-Ma’mun. Karen akedua khalifah
yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan
public, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam.14
Periode kemenangan pada masa al-Mahdi dan al-rasyid atas orang
Bizantium, begitu pula dengan kehidupan mewah yang tren pada masa itu
yang terkenal pada masa itu. Tetapi, yang membuat periode itu sangat
terkenal adalah kemunculan gerakan intelektual dalam sejarah Islam,
sehingga dikenal sebagi kebangkitan dalam sejarah pemikiran dan budaya.
Kebangkitan itu disebabkan oleh masuknya berbagai pengaruh Asing,
sebagian Indo-Persia dan Suriah, dan yang penting adalah pengaruh
Yunani. Gerakan intelektual itu ditandai oleh proyek penerjemahan karya-
karya berbahasa Persia, sanskerta, Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab.
Tiga perempat abad setelah berdirinya Baghdad, dunia literature Arab
telah memiliki karya-karya filsafat utama Aristoteles, karya para
komentator neo-Platonis, dan tulisan-tulisan kedikteran Galen, juga karya
ilmiah Persia dan India. Hanya dalam waktu beberapa puluh tahun para
sarjana Arab telah menyerpa ilmu dan buadaya yang dikembangkan
selama berabad-abad oleh orang Yunani. Selain Yunani, peradaban lain
yang banyak berpengaruh pada pembentukan budaya universal Islam
Persia adalah budaya India, yang terutama menjadi sumber inspirasi
pertama dalam bidanhg mistisisme dan matematika. Sekitar 154 H/1771 M
seorang pengembara India memperkenalkan naskah astronomi ke Baghdad
yang berjudul siddhanta (bahasa Arab, Sindhind), yang atas perintah al-
Mansur kemudian diterjemahkan oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari

14
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006)hal.
369.
18

yang kemudian menjadi astronom Islam pertama. Islam juga memberikan


rangsangan penting untuk mempelajari astronomi sebagai cara
menetapkan arah shalat, yang harus menghadap kiblat. Juga dikenalnya
system decimal dalam matematika. Selain India kebudayaan lain yang
dicatat adalah kebudayan Persia serta pengaruh Yunani yang melesat pada
zaman khallifah al-Ma’mun.15
Pada 830 H di Bahdad al-Ma’mun membangun Bayt al-Hikmah
(rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekalogus biro
penerjemahan yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan
paling penting sejak berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama
abad ke-3 S.M. dimulaipada masa al-Ma’mun dan berlanjut pada masa
penerusnya. Aktivitas intelektual berpusat di akademi yang baru yang
telah didirikan. Era penerjemahan oleh Dinasti Abbasiyah berlangsung
selama seabad dimulai pada 750 M. karena kebanykan penerjemah adalah
orang yang berbahasa Aramaik, amaka karya Yunanai pertama kali
diterjemahkan ke bahasa Aramaik (Suriah) sebelum akhirnya
diterjemahkan ke bahasa Arab. Ketika terbentur kalimat-kalimat yang sulit
dipahami dalam bahsa aslinya, terjemahannya dilakukan kata demi kata,
dan ketika tidak dijumpai atau dikenal padanannya dalam bahasa Arab,
istilah Yunani itu diterjemahkan secara sederhana dengan beberapa
adaptasi. Ketua penerjemah dalam kata orang Arab diantaranya: Huanym
ibn Ishaq (Joannitius, 809-873), Tsabith ibn Qurah (836-901), prestasi
Tsabith dilanjutkan oleh anaknya, Sinan (w. 943), dua cucunya, Tsabith
(w. 973), dan Ibrahim (w. 946), dan anak cucunya, Abu al-faraj, yang
semuanya dikenal sebagai penerjemah dan ilmuwan. Namun, orang Saba
yang paling terkenal setelah Tsabith adalah al-battani (w. 929) .16
Tiga abad pertama pemerintaha Abbasiyah (abad kedelapan smapai
kesebelas) menyaksikan kejayaan peradaban Islam abad pertengahan.
Literature, kesusastraan, teologi, filsafat, dan ilmu alam berkembang pesat,
sehingga masuklah pengaruh-pengaruh subur dari Persia dan dunia
Hellenistik. Kemajuan ekonomi dan perdagangan terlihat di mana-mana,
15
Ibid, hal. 381.
16
Ibid, hal.386.
19

terutama di negeri Persia, Irak dan Mesir, dan terbina hubungan


perdaganagan dengan wilayah luar seperti stepa-stepa Eurasia, Timur
Jauh, India dan Afrika hitam. Meskipun terjadi ketidakmenentuan dan
kegagalan politis pada abad kesepuluh, kemajuan di bidang material dan
cultural terus berlangsung, dan dalam hubungan ini amat tepat kalau
orientalis Swiss, Adam Mez, menyebut periode ini ‘renaisans Islam”.17
Kalau dasar pemerintahan Daulat Abbasiyah diletakkan dan
dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far al-mansur, maka puncak
keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu Al-
Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-rasyid (786-809 M),
al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847
M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). Pada masa al-Mahdi perekonomian
mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, melalui irigasi
dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan
besi. Dagang transit anatara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Popularitas daulat
Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-
809 M) dan puteranya al-ma’mun (813-833 M). kekayaan yang banyak
dimanfaatkan harun al-rasyid untuk keperluan social, rumah sakit,
lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 dokter. Disamping itu, pemandian-
pemandian umum juag dibangun. Tingkat kemakmuaran yang paling
tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan social, kesehatan,
pendiidkan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusteraan berada
pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan
dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti
al-rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada
masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk
menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah
dari golongah Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak
mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
17
G.E Bosworth, Dinasti-Dinasti islam, terjemahan buku The Islamic Dynasties
(Bandung: Penerbit Mizan, 1980.) hal. 30-31.
20

pembangunan Bait al-hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai


perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Padamasa al-Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu’tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar
kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan
mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulah
Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan system ketentaraan.
Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara
dibina secara khusus menjadi prajurit professional. Pengaruh dari
kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan
terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dan hidupnya keempat
imam-imam madzhab hukum. Mujtahid secara mutlak bebas untuk
mengeluarkan pendapatnya dan mendirikan madzhabnya. Pada masa itu
banyak terlahir ilmuwan-ilmuwan misalnya, nama al-Fazari sebagai
astronom islam yang pertama kali menyusun astrolabe, dalam lapanagan
kedokteran dikenal nama al-Razidan Ibn Sin. Dalam bidang optika dikenal
nama Abu Ali al-Hasan ibn Al-haytami dengan memaparkan pengiriman
cahaya ke mata. Dibidang kimia, dikenal nama Jabir Ibn Hayyan. Dalam
bidang sejarah dikenal nama al-Ma’udi. Tokoh yang terkenal dibidang
filsafat diantaranya: al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Dan masih banyak
ilmuwan muslim yang lahir pada masa tersebut.18
Upaya besar-besaran untuk menejemahkanmanuskrip-manuskrip
berbahasa asin, terutama bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab
mengalami masa keemasan pada masa Bani Abbasiyah. Terutama dalam
bidang ilmu filsafat dan kedokteran.pelopor gerakan penerjemahan ini
adalah khalifah al-Mansur yang juga membangun kota Baghdad. Ia
memperkerjakan orang Persia yang baru masuk Islam seperti: Nawbath,
Thrahim al-Fazari dan Ali ibn Isa untuk menerjemah bidang astronomi
(ilmu perbintangan) yang berguna bagi kafilah dagang baik melalui darat
maupun laut. Buku tentang ketatanegraan dan politik serta moral seperti
18
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013)hal. 49-59.
21

kalila wa dimmah dan Shindhind dalam bahasa Persia juga diterjemahkan


dalam bahasa Arab. Karena para khalifah menganggap penting usaha ini,
maka didirikan lembaga khusus untuk penerjemahan para sarjana dan
dokter, sehingga mereka dapat menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan
orang Yunani serta percobaan yang ditambahkan padanya dari pemikiran
Persia dan India. Pada masa Harun al-Rasyid didirikan Khizaha al-Hikmah
yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Sejak 815 M,
al-Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi
Bait al-Hikmah. Pada masa ini, Bait al-Hikmah dipergunakan secara lebih
maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat
dari Persia, Bizantiun, dan bahkan Etiopia dan India. Dibawah kekuasaan
al-Ma’mun, Bait al-Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan,
tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan
matematika. Demikian juga pada masa Bani Abbasiyah banyak melahirkan
ulama baik di bidang filsafat maupun bidang hukum Islam. Dalam bidang
filsafat, para filsuf kepercayaan dan pemikiran baik secara teoretis maupun
praktis, kemanusiaan maupun ketuhanan yang dianggap oleh umat Islam
perlu untuk dijawab sebagai pegangan hidup keseharian maupun untuk
keselamaatn yang lebih tinggi. Para ulama Islam berusaha menjawab
persoalan umat Islam yang berkaitan dengan filsafat seperti Ya’qub ibn
Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn Majah, Ibn Tufail dan
tim Rusyd menjelaskan pemikiran dengan menggunakan contoh,
metaphor, analogi, dan gambaran imajinatif. Dalam bidang hukum Islam,
karya pertama yang diketahui adalah Majmu’ al-fiqh karya Zeid bin Ali
yang berisi tentang Fiqih Syi’ah Zaidiyah. Hakim agung yang pertama
adalah Abu Hanifah, sebagai konseptor tunggal mazhab Hanafi. Beberapa
pendiri mazhab lain yaitu al-Auza’I Sufyan al-Thawri, Malik ibn Anas,
Muhammad ibn Idris as-syafi’I dan Ahmad ibn Hanbal. Menurut hasan
Abd al-ali, seorang pendidikan Islami alumni Universitas Thantha,
menyebutkan ada tujuh lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah,
lembaga tersebut sebagai berikut:
1. Lembaga pendidikan dasar (al-Kuttab)
22

2. Lembaga pendidikan masjid (al-masjid)


3. Lembaga pendidikan kitab (al-bawait al-waraqin)
4. Tempat tinggal para sarjana (Manazil al-Ulama)
5. Sanggar seni dan sastra
6. Perpustakaan (Daar al-kutub wa daar al-ilm)
7. Lembaga pendidikan sekolah (al-madrasah)
Dari lembaga pendidikan tersebut mempunyai kurikulum yang berbeda-
beda pada setiap tingkatnya. Misla pada jenjang dasar metode yang
digunakan adalah metode pengulangan dan hafalan, dimana guru
mengulang bacaan al-qur’an dan muridpun menirunya. Setiap tingkat
lembaga mempunyai metode yang berbeda-beda. Metode pengajaran
tersebut disesuaikan dengan materi yang bersangkutan. Seorang murid
yang telah menyelesaikan pendidikannya atau lulus ujian dan mapu
menjawab pertanyaan yang diajukan saat munaqasah, maka ia mendapat
ijazah berbentuk tulisan yang diberikan oleh guru yang mengajarinya.19
Segi politik, ekonomi, dan budaya pada periode Harun tercatat
sebagai The Golden Age Of Islam, sebagai berikut:
1. Administrasi, pada masa Umayyah adanya lima kementerian yang
pokok, disebut diwan. Semasa Abbasiyah mereka menambah jumlah
diwan di antaranya yang terkenaladalah sebagai berikut: (1) Diwan al-
Jund (war office). (2) Diwan al-kharaj (Departement Of Finance). (3)
Diwan al-rasal (Board Of Correspondence). (4) Diwan al-Khatam
(Board Of Signet). (5) Diwan al-Barid (Postal Depatement). Kelima
diwan yang terdapat di zaman Umayyah, disamping itu pada era
Abbasiyah ada penambahan Diwan diantaranya: (6) Diwan al-Azimah
(the Audit and Account Board). (7) Diwan al-Nazri fi al-Mazalim
(Appeals and Investigation Boards). (8) Diwan al-Nafaqat (the Board
of Expendititre). (9) Diwan al-Sawafi (the board of Crown Lands).
(10) Diwan al-Diya (the Boards of States). (11) Diwan al-Sirr (the
Board of Secrecy). (12) Diwan al-‘Ard (the Board of Military
Inspection) dan, (13) Diwan al-Tawqi’ (the Board of Request).
19
Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014)hal. 20-28.
23

2. Sosial, meskipun system perbudakan masih berlaku, namun


pemerintah bersikap terhadap mereka dengan penuh kemanusiaan,
bahkan sama dengan Arab. Hal ini factor utama adalah sebagian besar
istri para khalifah adalah dari Persia, Turki, Mesir dan sebagainya yang
awal karir mereka dimulai sebagai budak, kemudian mencapai posisi
sebagai ibu Negara. Orang Dzimmi mendapat kebebasan penuh dalam
menjalankan aktivitas keagamaan.
3. Kegiatan Ilmiah, telah disebut bahwa periode Abbasiah adalah era baru
dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari segi pendidikan,
ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban, dan kultur
pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam,
akan tetapi era ini mengukur dengan gemilang dalam kemajuan
peradaban dunia. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi
pegawai pemerintahan dan istana para khalifah Abbasiah, misalnya
Mansur yang banyak megangkat pegawai pemerintahan dan istana dari
cendekiawan-cendekiawan Persia. Yang terbesar dan banyak
berpengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak dan kemudian,
seperti jabatan wazir yang diberikan Mansur kepada Khalid ibn
barmak, kemudian ke anak dan cucunya. Mereka ini berasal dari
Bactra dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan
dan filsafat, yang condong pada paham Mu’tazilah. Disamping
menjadi wazir, mereka juga pendidik bagi anak khalifah.
4. Peran Pemerintah, pada akhir abad ke 10 M, kegiatan kaum muslim
bukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan syarahan
(penjelasan), dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya
muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas, lalu dalam wujud yang
leboh luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan,
analisis dan kritik yang disuusn dalam bentuk bab dan pasal. Dengan
kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya
teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka. Misalnya, apa yang
telah dilakukan oleh Muhammad ibn Musa al-khawarizmi dengan
memishkan aljabar dari ilmu hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu
24

terswndiri secara sistematis pada masa ininlahirlah karya ulama yang


telah tersusun rapi.20
Sudah sewajarnya zaman pemerintaha Abbasiyah pertama itu
merupakan zaman paling sesuai untuk kebangkitan kebudayaan. Di zamn
tersebut, temadun Islam telah mulai mantap setelah selesainya gerakan
perluasan dan penaklukan yang menjadi keistimewaan zaman
pemerintahan Bani Umayyah. Kebudayaan akan berkembang dengan luas
di kalangan suatu umat apabila umat itu berada dalam keadaan yang
tenteram dan ekonomi yang stabil. Umat Islam menikmati keadaan ini
setelah berdirinya kerajaan Abbasiyahdan khalifah Abu Abbas as-Saffah
dan khalifah Abu Ja’far berhasil mempertahankan serta menumpas musuh-
musuhnya. Setelah tercapai kemenangna di Medan perang, tokoh-tokoh
tentara membukakan jalan kepada anggota pemerintah, keuangan, undang-
undang, dan berbagai ilmu pengetahuan untuk bergiat dilapangan masing-
masing. Dengan demikian, maka muncullah di zaman itu sekelompok
penyair, filosof, ahli sejarah, ahli ilmu hisab, tokoh agama dan pujangga
yang memperkata perbendaharan bahasa Arab. Kebangkitan ilmiah di
zaman tersebut terbagi di dalam tiga lapangan:
1. Kegiatan menyusun buku ilmiah.
2. Mengatur ilmu-ilmu Islam, yaitu ilmu-ilmu yang muncul di tengah-
tengah suasana hidup keIslaman berkaitan dengan agama dan bahasa
al-Qur’an. Seperti kelahiran ilmu tafsir, ilmu fiqih, nahu dan lainnya.
3. Terjemahan dari bahasa Asing.21
Kemajuan ilmiah dan sastra yang terjadi pada masa bani
Abbasiyah, sebagai berikut:
1. Kajian dalam bidang kedokteran, minat orang Arab terhadap ilmu
kedokteran diilhami oleh hadis Nabi yang membagi pengetahuan ke
dalam dua kelompok: teologi dan kedokteran. Dengan demikian,
seorang dokter sekaligus merupakan seorang ahli metafisika, filosof,

20
M. Abdul karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher. 2007)hal.167-179.
21
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: PT Pustaka Al-Husna, 1993.hal.
185-198.
25

dan sufi. Dengan seluruh kemampuannya itu ia juga memperoleh gelar


hakim (orang bijak). Kisah tentang Jibril ibn Bakhtsu (w. 830), dokter
khalifah al-rasyid, al-Ma’mun, juga keluarga Barmak, dan
diriwayatkan telah mengumpulkan kekayaan sebanyak 88.800.000
dirham, hal ini memperlihatkan bahwa profesi dokter bias
menghasilkan banyak uang. Abu Bakr Muhammad ibn Zakariyya al-
Razi (Rhazes, 865-925)ia merupakan dokter muslim terbesar serta
penulis paling produktif.
2. Perkembangan Filsafat Islam, bagi orang Arab, filsafat
(falsafah)merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti
sebenarnya, sejauh hal itu bisa dipahami oleh pikiran manusia. Secara
khusus, nuansa filsafat mereka berakar pada tradisi filsafat Yunani,
yang dimodifikasi dengna pemikiran para penduduk di wilayah
taklukan, serta pengaruh Timur lainnya, yang disesuaikan dengan nila-
nilai Islam,dan diungkapkan dalam bahasa Arab. Nama-nama besar
dalam bidang filsafat Arab adalah al-Kindi, al-farabi, dan Ibn Sina.
3. Kajian Astronomi dan Matematika, para astronom kerajaan tidak saja
mengamati dengan seksama dan sistematis berbagai gerakan benda
langit, tapi juga menguji semua unsure penting dalam Almagest dan
menghasilkan amatan yang sangat akurat: sudut ekliptik bumi,
ketepatan lintas matahari, panjang tahun matahari dan sebagainya.
Astronom yang terkenal pada masa itu adalah Abu al-Abbas Ahmad
al-Farghani dari Fargana Transoxiana karya utamanya adalah al-
Mudkhil ila ‘Ilm hay’ah al-falak. Sedangkan dibidang matematika
Arab adalah Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi.
4. Perkembangan dalam bidang Kimia, bapak kimia bangsa Arabadalah
Jabir ibn hayyan (Geber), hidup di Kufah sekitar 776. Orang Arab
telah memperkenalkan tradisi penelitian objektif, sebuah perbaikan
penting terhadap tradisi pemikiran spekulatif Yunani.
5. Kajian Geografi, perkembangan geografi sehingga menjadi salah satu
disiplin ilmu banyak dipengaruhi oleh khazanah Yunani dalam bidang
ini, dalam buku Geography karya Ptolemius, yang menyebutkan
26

berbagai tempat berikut garis bujur dan lintang buminya,


diterjemahkan beberapa kali ke bahasa Arab langsung dari bahasa
aslinya, atau dari terjemahannya dalam bahasa Suriah, terutama oleh
Tsabit ibn qurrah (w. 901) dengan meniru buku itu, Khwarizmi
menyusun karyanya, surah al-ardh (gambar/peta bumi) yang menjadi
acuan bagi karya-karya berikutnya, dan berhasil menggairahkan kajian
geografi dan penulisan risalah geografis yang orisinal.
6. Kajian Historiografi, pada periode Abbasiyah, ilmu sejarah telah
matang untuk melahirkan karya tentang sejarah formal yang
didasarkan atas legenda, tradisi, biografi, geneologi, dan narasi. Model
ini ditulis dalam bahasa Persia, dan diwakili oleh karya berbahasa
Pahlawi, Khudzay-namah (buku tentang para raja) yang diterjemahkan
ke bahasa Arab oleh Ibn al-Muqaffa’ dengan judul Siyar Muluk Al-
‘Ajam. Konsep tentang sejarah dunia, tempat berlangsungnya
peristiwa-peristiwa masa lalu, yang merupakan pengantar sejarah
Islam, dapat dilacak asalnya dalam tradisi Yahudi-Kristen. Namun,
bentuk penyajiannya kemudian mengambil model tradisi Islam.
Diantara sejarawan formal pertama adalah Ibn Qutaybah, yang nama
lengkapnya adalah Muhammad ibn Muslimal-Dinawari.
7. Kajian Teologi, pekerjaan yang dilakukan dari aktivitas ini adalah
dengan memfokuskan bidang kajian pada hadis (sunnah) dimana pada
aktivitas ini banyak dilakukan penulisan-penulisan hadis Nabi yang
dilihat pada perawi (isnad) dan naskah hadis (matn). Dalam hal
penulisan hadis ini telah disebarkan 4000 hadist palsu yang ditulis oleh
Ibn abi al-Awja yang kemudian dihukum mati di Kufah pada tahun
772 H.
8. Kajian Hukum dan Etika Islam,
9. Perkembangan Sastra dan bidang kesenian lain, dukungan yang
diberikan oleh para khalifah, wazir dan gubernur Dinasti Abbasiyah
kepada para penyair yang mereka pekerjakan untuk menulis dan
membacakan pujian, tidak saja membuat ungkapan pujian (madih)
menjadi genre sastra yang paling disenangi, tapi telah mendorong para
27

penyair melakukan pelacuran sastra, dan pada akhirnya memunculkan


nuansa kemegahan palsu, dan kebohongan kosong yang sering
dikatakan sebagai unsure yang melekat dalam puisi Arab. Penulisan
puisi pada masa dinasti Abbasiyah, dan penulisan sastra pada masa-
masa lainnya, pad dasarnya bersifat subjektif dan territorial, sarat
dengan warna local, namun tidak mampu menembus batasan tempat
dan waktu sehingga tidak memperoleh tempat di tengah-tengah
generasi penyair dari setiap zaman dan tempat. Penyair yang paling
terkenal pada masa Bani Abbasiyah adalah Abu Tammam dan Abu al-
Ala.22
Para khalifah pada masa periode I dikenal sebagai tokoh yang
kuat, pusat kekuasaan politik, dan agama sekaligus. Kemakmuran
masyarakat pada saat ini mencapai tingkat yang tinggi dengan pusat
pemerintahannya di kota Baghdad. Betikut komponen yang mendukung
kemajuan pendidikan pada masa Bani Abbasiyah:
1. Kurikulum, yang diajarkan pada masa dinasti ini yang paling utama
adalah al-Qur’an dan al-Hadist.
2. Metode, yang digunakan pada masa ini adalah dikte (imla’), metode
ceramah serta hafalan al-Qur’an.
3. Murid, adalah Dari ciri-ciri sistem pendidikan Islam pada masa daulah
Abbasiyah ini dapat disimpulkan bahwa kehidupan murid ditandai
dengan integrasi ilmiah dan rohaniah. Kemajuan intelektual yang ada
didukung dengan ketekunan, sikap kritis, kreatif dan imajinatif.
4. Institusi Pendidikan, dengan berdirinya lembaga-lembaga pedidikan
serta perpustakaan yang ada dan semakin berkembang , dnegna
menghasilkan jumlah buku terjemahan yang semakin lengkap.
5. Konsep Pendidikan Islam, Konsep pendidikan yang ditemukan pada
masa Daulah Abbasiyah khususnya pada masa kekhalifahan Al-
Ma’mun, yaitu konsep dasar pendidikan multikultural. Penerapan
konsep ini di institusi Bayt al-Hikamah dengan institusi lain berbeda.

22
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2006)hal.454-511.
28

Adapun penerapan konsep dasar pendidikan multikultural di Bayt al-


Hikmah bersifat eksternal dan umum, yaitu semua orang bebas
berekspresi, terbuka, toleransi dan kesetaraan dalam mencari ilmu,
menerjemahkan, beribadah, bekerja, dan melakukan segala kegiatan
yang bermanfaat.
6. Tokoh dan Karyanya, pada masa dinasti ini banyak melahirkan tokoh-
tokoh ilmuwan misal, diantarnya: al-kindi tokoh filsafat, Imam
Bukhori dalam bidang Hadits, Abu Nawas dalam bidang sastra dan
lain sebagainya.23
Kemajuan pada dinasti bani Abbasiyahpaling tiodak ditentukan oleh dua
hal sebagai berikut:
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu
pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa
non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara
efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
2. Adanya gerakan terjemahan.24

Dari penjelasa-penjelasan yang telah dipaparkan diatas dapat kita


lihat bahwa pada masa dinasti Bani Abbasiyah ini telah terjadi masa
kemajuan yang sangat pesat, sehingga pada masa ini dinamakan dengan
zaman The Golden Age Of Islam. Dinasti ini dikenal dengan kemunculan
gerakan intelektual dalam sejarah Islam. Gerakan ini disebabkan karena
danya pengaruh Asing yang masuk sehingga memungkinkan adanya
terjadi asimilasi budaya dari non-Arab dengan Arab. Gerakan intelektual
itu ditandai oleh proyek penerjemahan karya-karya berbahasa Persia,
sanskerta, Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab. Kegiatan penerjemahan ini
sangat berkembang dnegan pesat. Gerakan ini terjadi secara besar-besaran

23
Sri Wahyuningsih, “Implementasi Sistem Pendidikan Islam pada Masa Daulah Bani
Abbasiyah dan pada Masa Sekarang,” Jurnal kependidikan, Vol. II, No. 2, November 2014. Hal.
110-121.
24
A. Najili Aminulloh, “Dinasti bani Abbasiyah, Politik, peradaban dan
Intelektual”,hal.26.
29

pada masa Harun ar-Rasyid. Ketika itu khalifah dinasti bani Abbasiyah
sangat mencintai ilmu, sehingga ia melakukan gerakan penerjemah dengan
member gaji yang ckup tinggi pada penerjemah tersebut, oleh karena
itulah banyak dari rakyat yang benar-benar belajar untuk menerjemahkan
karya-karya yang tertulis dalam bahasa Asing. Dengan adanya
penerjemahan yang besar tersebut maka lahirlah tokoh-tokoh ilmuwan.
Dan pada masa dinasti ini banyak melahirkan tokoh ilmuwan yang sangat
menguasai bidang tersebut, misal Jabir ibn Hayyan yang disebut sebagai
bapak kimia. Setelah ia belajar dan menjadi ilmuwan yang akhirnya
melahirkan bebrapa karya yang istimewa. Gerakan penerjemahan ini juga
tidak lepas dari unsure politik, seperti yang telah disebutkan bahwa “Dapat
dipastikan bahwa perjalanan umat Islam selalu didampingi oleh persoalan
politik, karena politik adalah bagian yang menyatu dengan segala bentuk
kemajuan peradaban Islam maupun kemundurannya, tidak terkecuali di
bidang pendidikan. Keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat dalam
perjalanan pemikiran dan keilmuan umat Islam. Pendidikan telah sukses
menjadi konstalasi politik untuk melanggengkan kekuasaan, sebaliknya
kekuasaan telah menjadi patronase gerakan keilmuan dan pendidikan
Islam hingga kepuncak kejayaannya.25 Jadi unsure politik juga
mempegaruhi masa keemasan pada masa tersebut.

E. Kemunduran Dinasti Bani Abbasiyah


Kemunduran Bani Abbasiyah dikarenakan adanya beberapa factor
diantaranya:26
1. Faktor Internal
Adanya wilayah kekuasaan Abbasiyah yang sama luasnya dengan
wilayah kekuasaan dinasti Monggol, tidak mudah dikendalikan oleh
para khalifah yang lemah. Disamping itu, system komunikasi masih
sangat lemah dan tidak maju, yang menyebabkan tidak cepat mendapat

25
Ali Murtopo,” Politik Pendidikan Pada Masa Daulah Abbasiyah (Kasus Madrasah
Nizhamiyah Di Baghdad)”, TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014 hal. 327
26
M. Abdul karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher. 2007)hal.162-166.
30

informasi akurat apabila suatu daerah ada masalah, konflik, atau terjadi
pemberontakan. Oleh karena itu, terjadinya banyak wilayah lepas dan
berdiri sendiri. Daerah yang melepaskan dari kekuasaan Abbasiah
misalnya di Barat seperti, diantaranya Syi’ah Idrisiah di Maroko,
Umayah II di Andalusia dan Fatimiah di Afrika. Karena tidak adanya
suatu system dan aturan yang baku menyebabkan gonta-gantinya
putera mahkota di kalangan istana dan terbelahnya suara istana yang
tidak menjadi kesatuan bulat terhadap pegangkatan para pengganti
khalifah. Disamping itu, tidak adanya kerukunan antara tentara, istana,
dan elit politik lain yang juga memacu kemunduran dan kehancuran
dinasti ini. Tidak terurusnya provinsi di daerah yang jauh yang tidak
dapat dikendalikan dengan baik. Tampilnya gerakan-gerakan
pembangkang yang berkedok keagamaan, seperti orang Qaramithah,
Asasin, dan pihak lain turut memporak-porandakan kesatuan akidah
maupun nilai-nilai Islam yang bersih disepanjang masa. Saat itu, kaum
muslim terbelah menjadi banyak kelompok seperti Khawarij, Syi’ah,
Ittsna Asy’ariah, Isma’illiah, Assasin, Qaramitah Sunni, Mu’tazilah
dan sebagainya. Selain agama juga factor ekonomi cukup dominan atas
lemahnya sendi-sendi kekhalifaan Abbasiah. Beban pajak yang
berlebihan dan pengaturan wilayah-wilayah (provinsi) demi
keuntungan kelas penguasa telah menghancurkan bidang pertanian dan
indrusti. Saat para wali, amir dan lainnya termasuk kalangan istana
makin kaya, rakyat justru semakin lemah dan miskin.
Watt (1990: 165-167) menyimpulkan, bahwa di antara factor dalam
negeri yang utama adalah tiga, yaitu luasnya wilayah dan system
komunikasi masih klasik (sangat buruk), meningkatnya ketergantungan
tentara bayaran, serta hal-hal lain mengakibatkan ekonomi Negara
sudah bangkrut. Hal terakhir ini memengaruhi pemerintahan menjadi
pincang, selanjutnya Watt mencatat pula, bahwa menyempitnya
wilayah kekuasaan, karena munculnya dinasti-dinasti kecil yang
memisahkan diri dari pusat. Akhirnya, pendapatan Negara berkurang
karena mereka yang semula membayar upeti kepada khalifah tidak lagi
31

membayar. Selain itu, pengeluaran pun bertambah banyak karena


kehidupan para khalifah semakin mewah. Disamping itu, mereka
terdorong untuk melakukan manipulasi dan korupsi. Disamping itu,
factor yang penting yaitu merosotnya moral khalifah Abbasiyah pada
zaman kemunduran, serta melalaikan salah satu sendi Islam,yaitu
Jihad.

2. Faktor Eksternal
Factor ekstren yang membawa nasib dinasti ini terjun ke jurang
kehancuran total. Yaitu, serangan Bangsa Mongol. Latar belakang
penghancuran dan penghapusan pusat Islam Baghdad, salah satu factor
utama adalah gangguan kelompok Asasin yang didirikan oleh Hasan
ibn Sabbah (1256 M) di pegunungan Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang
Syi’ah Isma’iliyah ini sangat meganggu di wilayah Persia dan
sekitarnya. Baik diwilayah Islam maupun diwilayah Mongol tersebut.
32

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendiri bani Abbasiyah adalah Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abass. Untuk mendirikan dinasti ini
mereka melakukan pemberontakan yang luar biasa terhadap Bani
Umayyah, yang di anggap bahwa Bani Umauyah menjadi khilafah
karena tragedy perang siffin. Masa kepemimpinan Dinasti ini cukup
lama sejak tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). selama dinasti
ini berdiri terdapat 37 khalifah dan telah di akhiri oleh khalifah Abu
ahmad Abdullah al-Musta’shim.
masa pemerintahan yang terjadi pada masa Bani Abbasiah beribah-
ubah antara khalifah satu dengan yang lainnya. Setiap khalifah
memiliki system pemerintahan yang berbeda-beda. Perbedaan dalam
system pemerintahan disebabkan oleh adanya perbedaan sifat, watak,
karakter, kecerdasan, pengabdian, serta pemikiran yang berbeda-beda
dari setiap khalifah. Oleh karena perbedaan tersebut melahirkan
system pemerintahan, politik yang betrbeda-beda pula.
Bani Abbasiyah ini telah terjadi masa kemajuan yang sangat pesat,
sehingga pada masa ini dinamakan dengan zaman The Golden Age Of
Islam. Dinasti ini dikenal dengan kemunculan gerakan intelektual
dalam sejarah Islam. Gerakan ini disebabkan karena danya pengaruh
Asing yang masuk sehingga memungkinkan adanya terjadi asimilasi
budaya dari non-Arab dengan Arab. Gerakan intelektual itu ditandai
oleh proyek penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, sanskerta,
Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab. Kegiatan penerjemahan ini sangat
berkembang dnegan pesat. Gerakan ini terjadi secara besar-besaran
pada masa Harun ar-Rasyid. Dengan adanya penerjemahan yang besar
tersebut maka lahirlah tokoh-tokoh ilmuwan. Dan pada masa dinasti
ini banyak melahirkan tokoh ilmuwan yang sangat menguasai bidang
tersebut, misal Jabir ibn Hayyan yang disebut sebagai bapak kimia.
Setelah ia belajar dan menjadi ilmuwan yang akhirnya melahirkan
33

bebrapa karya yang istimewa. Gerakan penerjemahan ini juga tidak


lepas dari unsure politik, seperti yang telah disebutkan bahwa “Dapat
dipastikan bahwa perjalanan umat Islam selalu didampingi oleh
persoalan politik, karena politik adalah bagian yang menyatu dengan
segala bentuk kemajuan peradaban Islam maupun kemundurannya,
tidak terkecuali di bidang pendidikan. Keduanya memiliki hubungan
yang sangat kuat dalam perjalanan pemikiran dan keilmuan umat
Islam. Pendidikan telah sukses menjadi konstalasi politik untuk
melanggengkan kekuasaan, sebaliknya kekuasaan telah menjadi
patronase gerakan keilmuan dan pendidikan Islam hingga kepuncak
kejayaannya.
Kemunduran pada dinasti ini adalah karena adanya dua factor,
yaitu: factor Internal yang terjadi akibat dalam kerajaan Bani
Abbasiyah seperti; kehidupan yang teramat mewah bagi kleuarga
kerajaan dan yang kedua yaitu factor eksternal yaitu adanya serangan
dari bangsa Monggol.
3.2 Saran
Setelah mempelajari sejarah ini diharapkan mahasiswa dapat
mengambil hikmah dari era keemasan yang dimiliki oleh dinasti
tersebut. Kritik dan saran untuk perbaikan dalam makalah ini sangatlah
kami butuhkan.
34

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahdudi, Abul A’la, pengantar M. Amien rais, Khilafah dan Kerajaan,


Konsep Pemerintahan islam serta Studi Kritis terhadap “Kerajaan” Bani
Umayyah dan Bani abbas, .Bandung: Mizan, 1994.
Amin, Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Bandung: PT Reamja Rosdakarya,
1993.
Aminullah, A. Najili, “Dinasti Bani Abbasiyah , Politik,peradaban dan
Intelektual”.
Engku, Iskandar dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2014.
Faruq, Ummu , Tarikh Islam, Jogjakarta: Pustaka Al-Haura’, t.th.
G.E Bosworth, Dinasti-Dinasti islam, terjemahan buku The Islamic Dynasties,
Bandung: Penerbit Mizan, 1980.
Hitti, Philip K., History Of The Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Karim, M. Abdul, Islam di Asia Tengah, Yogyakarta: Bagaskara, 2006.
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher. 2007.
Maarif, Ahmad Syafii & M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007.
Murtopo, Ali,” Politik Pendidikan Pada Masa Daulah Abbasiyah (Kasus
Madrasah Nizhamiyah Di Baghdad)”, TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi
November 2014.

Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam 3, Jakarta; Pustaka Al-Husna, 1993.


Wahyuningsih, Sri, “Implementasi Sistem Pendidikan Islam pada Masa Daulah
Bani Abbasiyah dan pada Masa Sekarang,” Jurnal kependidikan, Vol. II,
No. 2, November 2014.
Yatim, Badri , Sejarah Peradaban Islam Dirasah islamiyah II, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010.

Anda mungkin juga menyukai