Anda di halaman 1dari 7

Review Buku History of the Arabs

Oleh: Alghaniy Pramudya Rizasawan (07010320006)


(Bab 14 : Warisan Peradaban Dinasti Umayyah dan Akhir Kekuasaannya)
Hal 300-357 Karya Philip Khuri Hitti

Kehidupan Intelektual di Bashrah dan Kufah


Selama periode kekuasaan Dinasti Umayyah Mekah dan Madinah menjadi tempat
berkembangnya musik, lagu dan puisi. Sementara itu, Bashrah dan Kufah berkembang
menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam. Di kedua kota inilah kajian ilmiah tentang
bahasa dan tata bahasa Arab dimulai dan dilakukan terutama oleh, dan untuk para mualaf.
Motif awalnya adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk Islam baru
yang ingin mempelajari Al-Qur’an, menduduki posisi di pemerintahan, dan bisa berinteraksi
dengan para penakluk. Selain itu percampuran beragam dialek bahasa menjadi pemicu
munculnya minat pengkajian bahasa. Dibuktikan dengan al-Khalil ibn Ahmad (W. 786),
seorang Ulama Bashrah sebagai orang pertama yang menyusun kamus bahasa Arab, Kitab al-
Ayn. Lalu muridnya dari Persia Sibawayh (W. 793) menyusun buku teks sistematis pertama
tentang tata bahasa Arab, al-Kitab (Buku) yang menjadi landasan bagi kajian penting bahasa.
Kajian historiografi Arab yang tumbuh pada masa ini, dimulai dari kajian hadis.
Diperlihatkan dengan Mu’awiyah yang mengundang ‘Abid (‘Ubayd) ibn Syaryah, seorang
tokoh semi legendaris dari Arab Selatan untuk memberitahu khalifah tentang “raja-raja Arab
masa lalu dan suku mereka.” selain itu juga untuk keluarga kerajaan, ‘Abid menyusun
sejumlah buku dalam bidang yang ia geluti, yang salah satunya, Kitab al-Muluk wa Akhbar
al-Madin (Buku tentang Para Raja dan Sejarah Bangsa-Bangsa Terdahulu), telah tersebar luas
pada masa sejarawan al-Mas’udi (w. 956).
Meskipun Dinasti Umayyah hampir tidak mewariskan literatur apapun, ada beberapa ahli
hadis dan pakar hukum, yang paling terkenal di antaranya adalah Hasan al-Bashri dan Ibn
Syihab al-Zuhri (W.742). al-Zuhri yang tekun mengkaji hadis-hadis Nabi dan hukum Islam
hingga melupakan urusan duniawinya.
Kontribusi orang Kufah nonortodoks, yang kebanyakan merupakan orang Syiah, terhadap
filologi Arab dan tradisi intelektual Islam hampir sama besarnya dengan kontribusi orang
Bashrah. persaingan antara kedua kelompok ulama di kedua kota itu berkembang menjadi
dua mazhab terkenal dalam tata bahasa dan literatur Arab.

Perkembangan Gerakan Keagamaan


Di Masa Dinasti Umayyah inilah lahirlah gerakan filosofis keagamaan yang berusaha
menggoyahkan fondasi agama Islam. Tumbuhnya gagasan dan pemikiran filosofis di Arab
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tradisi Kristen dan filsafat Yunani. Salah satu agen utama
yang memperkenalkan Islam dengan tradisi Kristen dan filsafat Yunani saat itu adalah St.
John (Santo Yahya) dari Damaskus. Pengaruhnya terhadap pembentukan mazhab Qadariyah
sebagai filsafat Islam paling awal sangatlah jelas. Terlihat pada karyanya sebuah dialog
apologis Kristen dengan “Saracen” tentang ketuhanan Isa dan kebebasan kehendak manusia.
1. Muktazilah
Paham ini didirikan oleh Washil ibn ‘Atha (W.748) yang tinggal di Bashrah pada paruh
pertama abad ke-8. Muktazilah mempelopori gerakan rasionalisme dengan doktrin kebebasan
berkehendak yang saat itu dianut oleh golongan Qadariyah dan juga doktrin penolakan
terhadap kesatuan antara Tuhan dan sifat-sifatnya. Julukan yang disukai oleh kaum
muktazilah adalah “pendukung keadilan dan keesaan.” Besar pengaruh dari doktrin
Qadariyah dapat disimpulkan dari dua khalifah Umayyah, Mu’awiyah II dan Yazid III yang
merupakan pengikut Qadariyah.
2. Khawarij
Kelompok ini menjadi pendukung utama puritanisme Islam serta sekte politik keagamaan
paling awal. Berangkat dari pendukung Ali yang malah berbalik menjadi penentang Ali yang
paling berbahaya, mereka berulang kali melancarkan pemberontakan bersenjata yang telah
menumpahkan banyak darah selama tiga abad pertama sejarah Islam untuk menuntut hak
istimewa orang Quraisy untuk menduduki jabatan kekhalifan. Selama ini, mereka melarang
praktik kultus terhadap orang suci, dan memberangus kelompok-kelompok persaudaraan sufi.
3. Murjiah
Sekte ini mengusung doktrin irja’, yaitu penangguhan hukuman terhadap orang beriman
yang melakukan dosa dan mereka tetap dianggap muslim. Lebih spesifik lagi, orang Murjiah
tidak menganggap pemaksaan hukum agama oleh khalifah-khalifah Umayyah sebagai alasan
yang sah untuk menolaknya sebagai pemimipin de facto umat Islam. Secara umum, ajaran
pokok Murjiah berkisar pada toleransi. Abu Hanifah (w. 767) pendiri pertama dari empat
mazhab hukum islam Sunni merupakan representasi paling nyata dari sayap moderat mazhab
ini.

4. Syiah
Para pengikut setia Ali ini membentuk kelompok yang solid pada masa Dinasti Umayyah.
Syiah dengan Sistem Imamahnya yang menjadi pembeda dengan kaum Sunni memiliki
keyakinan utama terhadap Ali dan putra-putranya sebagai Imam sejati. Pada paham ini para
imam keturunannya yang menjadi penghubung utama antara Tuhan dan manusia atau wahyu
Tuhan yang turun dalam wujud manusia. mereka beranggapan seorang imam adalah
pemimpin komunitas Islam satu-satunya yang sah dan ditunjuk oleh Tuhan untuk memegang
kekuasaan tertinggi, memiliki jalur keturunan langsung dari Nabi Muhammad melalui
Fathimah dan Ali. Dalam komunitas Syiah sendiri memiliki beragam sekte kecil yang tak
terhitung jumlahnya.

Tradisi Literer pada Periode Umayyah


Pada saat itu, pidato, korespodensi dan puisi berkembang dan mencapai puncaknya selama
Dinasti Umayyah. Pada masa itu berpidato menjadi sarana utama untuk menyebarkan
gagasan, propaganda dan membangkitkan emosi. Dibuktikan dengan Pidato Ali yang sarat
nilai etika, dengan sajak-sajak dan kata-kata mutiaranya, kuliah-kuliah al-Hasan al-Bashri
(w.728), yang disampaikan di depan khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dan direkam oleh para
penulis biografi, pidato militer yang patriotis dari Ziyad ibn Abihi dan al-Hajjaj.
Menurut Ibn Khallikan, ‘Abd al-Hamid al-Katib (w.750) yakni sekretaris khalifah-
khalifah Umayyah terakhir, adalah orang yang memperkenalkan gaya tulisan bersayap dan
panjang disertai pilihan ungkapan yang konvensional dan santun, tidak seperti gaya penulisan
orang Persia. Gaya penulisan ini menjadi model bagi para penulis sesudahnya.
Sedangkan penulisan puisi sebagai kemajuan intelektual paling penting selama periode
Dinasti Umayyah. Penyair seperti Umar ibn abi Rabi’ah (w.719) yang mewakili puisi
bernuansa kebebasan cinta, Banu ‘Udzrah mewakili puisi bernuansa cinta murni tanpa hasrat,
cinta platonis, Miskin al-Darimi yang membuat puisi pertama yang bernuansa politik yang
saat itu ia diminta untuk menggubah dan membacanya untuk merayakan pengangakatan
Yazid sebagai Khalifah. Lalu pada masa ini timbul upaya penghimpunan puisi pra-islam oleh
Hammad al-Rawiyah (seorang perawi hadis, 713-772). Lalu ada pula sekolah puisi provinsi
yang dikepalai oleh al-Farazdaq (640-728) dan Jarir (w.729) dan sekolah puisi di ibukota
kerajaan yang dikepalai oleh al-akhtal (640-710). Mereka adalah para penggubah puisi satir
dan puisi pujian. Para penyair ini memiliki peran seperti media massa dewasa ini. seperti al-
Farazdaq dan Jarir yang sering menyerang satu sama lain dengan bahasa yang sangat pedas
dan kasar, dan al-Akhthal biasanya berpihak pada yang pertama.
Perkembangan Lembaga Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani
Umayyah biasanya akan disekolahkan ke badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa
Arab murni, dan mendalami puisi. Ke sanalah Mu’awiyah mengirimkan putranya yang
kemudia menjadi penerusnya, Yazid.
Setelah Masa Abd al-Malik, seorang guru (mu’addib) -biasanya mantan budak dan beragama
Kristen- merupakan figur penting istana. Guru para putra Khalifah menerima perintah dari
ayah murid-muridnya agar, “mengajarkan mereka berenang dan membiasakan mereka untuk
tidak banyak tidur.” Bahkan Umar II sedemikian keras menghukum anaknya jika melanggar
tata bahasa Arab, diriwayatkan ia menerapkan hukuman cambuk padanya. Dan ia berpesan
kepada guru dan murid-muridnya bahwa untuk menjauhi senda gurau yang dapat
mendatangkan murka Tuhan.
Sedangkan, Masyarakat luas masa itu akan menggunakan masjid untuk mempelajari Al-
Qur’an dan Hadis. Pada awal 638 M. Khalifah Umar mengirimkan para qurra’ (pembaca Al-
Qur’an) ke berbagai tempat dan menginstruksikan agar masyarakat belajar kepada mereka di
masjid setiap hari Jum’at. di Kufah, al-Dhahhak ibn Muzahim (w. 723), mendirikan sekolah
dasar (kuttab) dan tidak memungut bayaran dari para siswa. Pada kedua abad Hijriah, seorang
Badui di Bashrah mendirikan sekolah dengan memungut bayaran dari para siswa.
Untuk tolak ukur pada masa itu, masyarakat luas memandang orang yang dapat membaca dan
menulis Bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, dan pandai berenang, sebagai
seorang terpelajar atau disebut al-kamil yang sempurna. Nilai-nilai utama Pendidikan yakni,
keberanian, daya tahan saat tertimpa musibah (shabr), menaati hak dan kewajiban tetangga
(jiwar), menjaga harga diri, kedermawanan, dan kerahamtamahan.
Dalam ilmu pengobatan, seorang dokter Yahudi dari Persia, Masarjawayh yang tinggal di
Bashrah pada masa-masa awal pemerintahan Marwan ibn-al-Hakam, menerjemahkan (683)
ke dalam bahasa Arab sebuah naskah Suriah tentang pengobatan yang awalnya di tulis dalam
bahasa Yunani oleh seorang pendeta Kristen di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku
ilmiah pertama dalam bahasa Arab. Khalifah al-Walid membuat tempat terpisah untuk para
penderita lepra, dan mengeluarkan perintah untuk memberikan perawatan khusus bagi
mereka. Umar II diriwayatkan telah memindahkan sekolah kedokteran dari Iskandariyah,
tempat tumbuh suburnya tradisi Yunani, ke Antiokia dan Harran.
Khalid (w. 704 atau 708), putra Khalifah Umayyah kedua dan seorang filsuf [Hakim]
Keluarga Marwan, menurut Fihrist (sumber informasi tertua dan terbaik), merupakan orang
Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik tentang kimia,
kedokteran, dan astrologi. Hal ini membuktikan fakta bahwa orang Arab menggali tradisi
ilmiah mereka dari sumber-sumber Yunani, dan dari sanalah mereka memperoleh tenaga
penggeraknya. Naskah-naskah astrologi dan kimia yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq
(700-765), seorang keturunan Ali, dan salah satu dari 12 imam Syiah, telah diragukan
keasliannya oleh para sarjana modern yang kritis. Namun kenyataan yang paling tidak
menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada masa Umayyah adalah bahwa ia tidak
mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen yang bisa dijadikan bahan
kajian.

Perkembangan Arsitektur
Di Damaskus, Katedral Santo Yahya dialihfungsikan menjadi masjid oleh al-Walid I. Begitu
pula di Hims, bangunan serupa biasanya dijadikan sebagai masjid atau gereja. Mihrab yang
menjadi penunjuk arah shalat, ditambahkan meniru arsitektur gereja. Al-Walid dan
gubernurnya, Umar ibn Abd al-Aziz, biasanya dipandang sebagai orang pertama yang
memperkenalkan struktur tersebut, ada pula yang menisbatkan kepada Mu’awiyah. Masjid
pertama yang memiliki Mihrab adalah Masjid Madinah. Struktur tersebut segera menjadi
karakteristik umum di semua masjid, dan seperti halnya altar Kristen dipandang sebagai
lokasi paling sakral.
Pembuatan maqshurah, sebuah ruangan berpagar di dalam masjid sebagai tempat khusus
untuk khalifah. Maqshurah biasanya digunakan oleh para khalifah untuk mengasingkan diri
dan beristirahat atau untuk bermusyawarah. Inovasi sekuler ini dinisbatkan kepada
Mu’awiyah yang tujuan utamanya adalah untuk melindungi khalifah dari usaha pembunuhan
oleh kelompok Khawarij.
Menara masjid juga baru diperkenalkan pada masa Dinasti Umayyah. Suriah merupakan
tempat kelahiran menara masjid. Di sana menara mengambil bentuk menara jam setempat,
atau menara gereja, yang berbentuk segi empat. Tokoh otoritatif secara eksplisit menyatakan
menara di masjid Umayyah di Damaskus pada mulanya adalah merupakan menara jam
(nathur) milik Katedral Santo Yahya. Konsep menara ini pula diterapkan di berbagai masjid
yang tersebar di beberapa daerah seperti di Mesir dan Irak. Al-Walid, khalifah Dinasti
Umayyah yang dianggap telah membangun banyak Menara di Suriah dan Hijaz, dan setelah
beliau jumlah dan jenis Menara masjid semakin banyak. Menara masjid tersebut
dikembangkan mengikuti bentuk Menara tradisional di tiap wilayah kekuasaan Islam.
Lalu ada Kubah Baru yang didirikan pada abad 691 oleh Abd al-Malik berlokasi di
Yerusalem. Arsitektur bangunan tersebut merupakan sebuah perubahan radikal dari bangunan
berpola la,a, yang melibatkan penggunaan mosaik dan motif dekorasi lainnya. Pembangunan
kubah itu dimaksudkan untuk mengungguli atap gereja Sepulchre Suci yang indah. Hasilnya,
sebuah monument arsitektur yang keindahannya tak bisa ditandingi, yang bagi umat Islam
memiliki nilai arkeologis, artistik, serta simbol keimanan.
Dalam bidang arsitektur, selain tempat-tempat ibadah, Dinasti Umayyah hanya meninggalkan
beberapa monumen arsitektur. Bangunan yang paling penting di antaranya adalah istana-
istana padang pasir yang didirikan oleh para putra mahkota keluarga khalifah. Di ibukota
sendiri, pada saat ini tidak ada yang tersisa dari bangunan megah Qashr al-Khadra, istana raja
yang terletak berdampingan dengan masjid besar. Bangunan terkenal Qushayt (istana kecil)
‘Amrah, yang terletak di sebelah timur Yordana, yang dibangun antara 712 dan 715 mungkin
oleh al-Walid I, yang membuat bangunan itu mengagumkan adalah lukisan-lukisan
dindingnya yang sangat indah.

Perkembangan Senirupa dan Musik


Pada masa Dinasti Umayyah, Mekah, lebih khusus lagi Madinah merupakan tempat yang
kondusif bagi perkembangan lagu dan music. Kedua kota itu memunculkan generasi-generasi
biduan baru yang terus meningkat dan meneruskan karier mereka di ibukota kerajaan
Damaskus. Upaya-upaya protes yang dilakukan para Ulama dan kalangan konservatif tidak
membuahkan hasil. Alunan nada itu tidak bisa dihentikan, para seniman sangat diagungkan
dan dijunjung tinggi oleh masyarakat, sehingga pengaruh mereka tidak bisa diredam hanya
oleh serangan verbal. Para pendukungnya juga membela idola mereka dengan berargumen
bahwa puisi, music, dan lagu tidak selamanya merendahkan martabat, bahwa mereka
memberikan kontribusi terhadap perbaikan hubungan sosial dan hubungan antara laki-laki
dan perempuan.
Khalifah Umayyah kedua, Yazid, seorang penulis lagu yang memperkenalkan nyanyian dan
alat music ke istana Damaskus. Ia memulai penyelenggaraan festival-festival besar di istana
yang menyuguhkan minuman anggur dan nyanyian, yang sejak saat itu tidak bisa dipisahkan
dari pesta kerajaan. Abd al-Malik menyokong Ibn Misjah dari Hijaz. Putranya, al-Walid
pendukung kesenianm memanggil Ibn Surayj dan Ma’bad ke ibukota dan di sana mereka
diterima dengan penuh penghormatan.
Yazid II, penerus Umar yang tegas dan puritan, Kembali mengembangkan puisi dan music ke
khalayak umum melalui Hababah dan Sallamah. Hisyam mendukung Hunayn dari Hirah.
Walid yang suka bersenang-senang, yang juga seorang pemain gambus dan penulis lagum
mengundang para penyanyi-musisi, termasuk Ma’bad ke istananya. Masa pemerintahannya
berbarengan dengan perkembangan music di dua kota kembar Hijaz. Sedemikian
menjamurnya seni music pada masa akhir pemerintahan Umayyah, sehingga fenomena itu
dimanfaatkan musuh mereka kelompok Abbasiyah, yang melontarkan hujatan dalam setiap
propaganda mereka dan mengdiskreditkan keluarga istana sebagai “Pembajak kekuasaan
yang cacat moral.”
Kemunduran dan Akhir Dinasti Umayyah
Buruknya peradaban, terutama menyangkut minuman keras, perempuan, nyanyian
menjangkiti putra gurun dan masyarakat Arab yang berusia muda. Kebobrokan moral yang
bersifat umum ini, menjadi cikal bakal runtuhnya peradaban Dinasti Umayyah. Di mulai dari
khalifah Yazid I, berfoya-foya dalam kemewahan, lebih suka berburu, pesta minum,
tenggelam dalam alunan musik dan puisi, ketimbang membaca Al-Qur’an atau mengurus
persoalan negara. Pada periode Umayyah,
kelemahan klasik sosial masyarakat Arab yang individualisme, semangat kesukuan, dan
pertikaian Kembali menampakkan wujudnya, setelah sebelumnya sempat teratasi oleh
hadirnya Islam.
Potensi perpecahan antara suku, etnis, dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat
menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang menganggu stabilitas
negara. Lalu diperkeruh lagi dengan perebutan kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang
pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun-temurun menghasilkan gangguan
yang serius di tingkat negara. Pengakuan masyarakat menjadi satu-satunya cara yang pasti
menuju puncak kekuasaan. Di buktikan dengan di antara 14 khalifah Umayyah hanya empat
khalifah -Mu’awiyah I, Yazid I, Marwan I, dan Abd al-Malik- yang berhasil mewariskan
kekuasaan kepada anak-anaknya. Hingga akhirnya tiap anggota keluarga saling senggol demi
kursi kekuasaan.
Selain itu, faktor kemunduran lainnya adalah munculnya berbagai kelompok yang
memberontak dan merongrong kekuasaan mereka. Kelompok Syi’ah tidak akan pernah
memaafkan apa yang disebut “perebutan kekuasaan” oleh Dinasti Umayyah terhadap Ali dan
al-Husayn. Pengabdian mereka yang tulus kepada keturunan Nabi menarik simpati publik.
Dari kaum Sunni sekalipun, mereka mengecam pemerintahan yang mementingkan duniawi
dan melupakan hukum Al-Qur’an dan Hadis.
Kejatuhan dinasti Umayyah semakin dekat tatkala terbentuk koalisi antara kekuatan Syi’ah,
Khurasan, dan Abbasiyah, yang dimanfaatkan oleh kelompok terakhir untuk kepentingan
mereka sendiri. Koalisi ini dipimpin oleh Abu al-Abbas, cicit al-Abbas, Paman Nabi. Di
bawah kepemimpinannya, Islam revolusioner bangkit menentang tatanan yang ada dengan
menawarkan gagasan teokrasi, dan janji untuk Kembali kepada tatana ortodoksi. Koalisi ini
memanfaatkan pihak-pihak yang kecewa terhadap pemerintahan Umayyah. Seperti orang
Islam non-Arab, dan mawla (Mantan budak).
Setelah jatuhnya ibukota Khurasan, Marw, diikuti pada 749 dengan jatuhnya ibukota Irak,
Kufah. Pada hari Kamis 30 Oktober 749, pengakuan public diberikan di masjid kepada Abu
al-Abbas sebagai khalifah. Dengan demikian, Dinasti Umayyah pertama telah tumbang,
pasukan berbendera putih Umayyah telah dikalahkan oleh pasukan berbendera hitam Dinasti
Abbasiyyah dan sekutu-sekutunya. Satu per satu kota di Suriah membuka pintu mereka untuk
Abdullah dan pasukannya dari Khurasan.
Orang Abbasiyah kini berencana memusnahkan keluarga Dinasti Umayyah. Para agen mata-
mata disebar ke seluruh dunia Islam untuk memburu dan membunuh keturunan keluarga
Umayyah yang melarikan diri. Bahkan jasad yang sudah tak bernyawa sekalipun tidak luput
dari kemarahan dan pembalasan dendam orang-orang Abbasiyah. Jasad para Khalifah di
Damaskus, Qinnastin dan tempat-tempat lainnya digali dari kuburannya, lalu dirusak.
Dengan jatuhnya Dinasti Umayyah, kejayaan dan kekuasaan Suriah berakhir. Periode Arab
murni dalam sejarah Islam telah berakhir dan era kerajaan Arab murni sedang bergerak cepat
menuju titik akhir. Dinasti Abbasiyah menyebut diri mereka sebagai dawlah, menandai
sebuah era baru. Orang Irak terbebas Kembali dari orang Suriah, Dendam orang Syi’ah
dianggap telah terbalaskan, Para mawla (mantan budak) telah terbebas. Kufah, di perbatasan
Suriah, dijadikan sebagai ibukota pemerintahan yang baru. Orang Khurasan menjadi pasukan
pengawal khalifah, dan orang Persia menduduki posisi penting dalam pemerintahan,
Aristrokasi Arab murni telah tergantikan dengan hirarki pejabat yang di ambil dari beragam
bangsa di dalam wilayah kekuasaan khalifah. Orang islam Arab dann para pemeluk Islam
baru mulai melakukan koalisi dan saling melindungi.
Komentar : Buku ini merupakan opsi litelatur yang baik bagi kalangan awam, maupun pada
bidangnya yang ingin mengetahui sejarah arab secara objektif, dan menyeluruh. Dikarenakan
Philip K. Hitti yang merupakan orientalis dan islamolog ternama sehingga ia melakukan studi
Islam dengan apa adanya. Dibuktikan dengan menampilkan besarnya Dinasti Umayyah
diwarnai dengan aksi perebutan keuasaan, peperangan antar umat islam, dan pertumpahan
darah. Dan juga kehancuran kekhalifan Umayyah yang tidak disebabkan oleh faktor luar saja
tapi dari pemerintahannya itu sendiri telah mengalami keruntuhan moral.
Buku yang padat ini menjabarkan per sub babnya dengan analisis historis yang rinci,
mendalam serta meyakinkan sebab disertai referensi dari berbagai sumber yang beragam dan
terpercaya. dengan bahasa yang mudah dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun. Penulis
juga melampirkan kata asli dari Bahasa Arab yang telah diterjemahkan untuk mempermudah.
Seperti, para pembaca Al-Qur’an (qurra), mantan budak (mawla), terbebas dari kesalahan
(Ishmah), dsb. Selain itu penulis menceritakan latar belakang tokoh (siapa ia, apa perannya,
tahun wafatnya) dan kejadian dengan baik, cocok untuk pembaca muslim maupun non-
muslim yang ingin mengetahui dan belajar sejarah peradaban islam terutama Dinasti
Umayyah.
Beberapa pemikiran dan kebudayaan arab yang tumbuh dan berkembang juga dipengaruhi
kebudayaan di sekitarnya seperti, tradisi Kristen, filsafat Yunani, dsb. Dibuktikan dengan
hadirnya paham Qadariyah yang dipengaruhi Yunani Kristen.
Runtuhnya Dinasti Umayyah menunjukkan tiada sesuatu yang benar-benar abadi.
Pemerintahan yang dimulai dengan pertumpahan darah, diakhiri pula dengan terbalaskan
pertumpahan darah pula. Semacam karma buruk kepada Dinasti Umayyah, tentang apa yang
mereka lakukan terhadap pemerintahan sebelumnya. Namun terlepas dari hal tersebut,
prestasi yang dihasilkan pada masa ini, cukup besar. Seperti penambahan mihrab, dan
Menara pada struktur masjid, kajian tentang puisi dan music yang di masa Islam sebelumnya
sempat terhenti, dan toleransi yang cukup baik dibuktikan dengan pemerintahan Islam yang
banyak diisi oleh orang-orang Kristen, tanpa harus memeluk Islam terlebih dahulu. Namun
sayangnya sulit ditemukan literasi yang dihasilkan pada periode ini yang dapat diwariskan
kepada kita.

Anda mungkin juga menyukai