Nim : 07010320006
Kelas : C1
Lahirnya dekolonisasi studi Qur’an dilatarbelakangi serta distimulus oleh kritik post
modern. Kritik disini merupakan gabungan dari 2 keilmuan yaitu filsafat Islam dan
dekolonisasi pengetahuan. Dekolonisasi merupakan tanggapan terhadap filsafat Islam yang
terhubung dengan Sayyed Hosein Nashr sebab Lumbard sendiri memiliki hubungan yang
erat dengannya.
Kemudian didalam Amerika latin terdapat sebuah arus berfikir baru yang disebut
dengan MCD (modernity/ coloniality/ decoloniality). Adapun gagasan utama dekolonisasi
adalah muncul dari so-called “native” , “global south discourse “dan ide lainya yakni
egalitianisme modus pengetahuan maksudnya kata beliau yang bisa berfikir filsafat bukan
hanya orang utara eropa amerika saja tetapi orang Asia juga mampu berfikir filsafat. Dan
tujuan dekolonisasi ini beranjak dari dari “universall” ke “pluriversal”.
Modus berpengatahuan dalam hal ini banyak sarjana eropa –Amerika tidak
menganggap aspek metedologis dalam tafsir, ulumul Qur’an, hadist dan sirah nabawiyah.
Lumbard sec. Mengkritisi tokoh revisinonis wansbrough dan Rippin yang menganggap
materi didalam tafsir dan sirah bukan merupakan rekaman sejarah. Modus berpengatuan
divalidasi lalu implikasinya adalah marjinalisasi penggunaan literatur tafsir untuk rekontruksi
tafsir dalam konteks historis teks Al-Qur’an.
Adapun implikasi dilevel kajian antara study Qur’an dan study tafsir adalah
pemisahan antara studi Qur’an dan study Tafsir secara disiprinier karena kitab-kitab tafsir
modus berpengatahuanya tidak valid tidak bisa menjelaskan historis teks Al-Qur’an .
sehingga Reynold lebih menganggap materi sebelum Qur’an sebagai teman dialog yang tepat
untuk mengetahui konteks historis teks dibandingkan dengan tafsir. Pada akhirnya, lumbard
menyatakan bahwa pukulan terakhir dari prosis kolonisasi ini adalah bukan hanya pemisahan
disipliner antara study Qu’an tafsir dan ulumul Qur’an tapi juga deklarasi bahwa tafsir dan
ulumul Qur’an adalah alat yang tidak legitimatif dalam kajian sejarah teks Qur’an.
Selanjutnya mengenai Sajjad Risvi yang kurang lebih sama dengan Lumbard, ia
memperkenalkan gerakan double movement of Decolorization yakni gerakan ganda dalam
berkolonisasi. Diawali dengan kritik post-kolonial terhadap agama dan teks sucinya serta
dekolonial. Bagi Rizvi dekolonial adalah untuk menumbuhkan pluralisme, modernitas,
dengan beranjak universal (isu global), pluriversal (budaya lokal), dan intraversal (tidak
hanya barat dengan islam tetapi dalam tubuh islam sendiri yang masih terdapat kolonialisasi).
Alasan Rizvi menyadari ini adalah berangkat bahwa dia adalah seorang Syiah yang minoritas
dalam islam. Sebab kolonialisasi tidak terjadi hanya antar barat dengan islam, tapi antar
islampun masih terjadi praktik demikian.
Lalu ditutup dengan ada beberapa hal studi Qur’an yang bisa dilakukan di indonesia:
- Membuka ruang intercivilization studies
- Memanggil kembali bios-theorikos
- Melampaui isu yang ada
- Egalitarisme (pluriversalisme)
- Recall sisi ethic dalam produksi ilmu pengetahuan