Anda di halaman 1dari 3

Nama : Alghaniy Pramudya Rizasawan

Nim : 07010320006

Kelas : C1

Dekolonisasi Studi Qur’an :

Tawaran Joseph Lumbard Dan Sajjad Rizvi

Lahirnya dekolonisasi studi Qur’an dilatarbelakangi serta distimulus oleh kritik post
modern. Kritik disini merupakan gabungan dari 2 keilmuan yaitu filsafat Islam dan
dekolonisasi pengetahuan. Dekolonisasi merupakan tanggapan terhadap filsafat Islam yang
terhubung dengan Sayyed Hosein Nashr sebab Lumbard sendiri memiliki hubungan yang
erat dengannya.

Kemudian didalam Amerika latin terdapat sebuah arus berfikir baru yang disebut
dengan MCD (modernity/ coloniality/ decoloniality). Adapun gagasan utama dekolonisasi
adalah muncul dari so-called “native” , “global south discourse “dan ide lainya yakni
egalitianisme modus pengetahuan maksudnya kata beliau yang bisa berfikir filsafat bukan
hanya orang utara eropa amerika saja tetapi orang Asia juga mampu berfikir filsafat. Dan
tujuan dekolonisasi ini beranjak dari dari “universall” ke “pluriversal”.

Dalam artikelnya yang berjudul Euro-Centrik system of knowledge production. Disini


menjelaskan tentang produksi pengetahuan tentang Al-Qur’an yang berupa hegemoni
intelektual yang memposisikan superioritas modus pengertahuan kesarjanaan Eropa –
Amerika diatas pengetahuan lainya. adanya hegemoni bisa dilihat dari indikasinya yakni
adanya penghalang analitycal tools yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam klasik
untuk dioperasikan dalam perbincangan kesarjanaan studi Qur’an global dewasa ini.

Adapun implikasi dari hegemoni daripada Euro-Centrik system of knowledge


production yakni invalidasi modus berpengetahuan diluar kesarjanaan modern Eropa-
Amerika. Jadi Euro centrik ini menvalidasi cara berpengetahuan yang berkembang dalam
tradisi tradisi pemikiran Islam klasik. Dan ia memiliki kuasa untuk mendenifisikan native
melalui kategori yang direkonstruksikannya dan native hanya diizinkan untuk menjelaskan
dirinya melalui katagori yang dibentuk tersebut. dalam study Al-Qur’an Euro-Centrik
menuntut seseorang sarjana untuk tunduk kepada hiera epistemologis universal yang berbasis
kepada pendekatan sekular atas teks suci.

Modus berpengatahuan dalam hal ini banyak sarjana eropa –Amerika tidak
menganggap aspek metedologis dalam tafsir, ulumul Qur’an, hadist dan sirah nabawiyah.
Lumbard sec. Mengkritisi tokoh revisinonis wansbrough dan Rippin yang menganggap
materi didalam tafsir dan sirah bukan merupakan rekaman sejarah. Modus berpengatuan
divalidasi lalu implikasinya adalah marjinalisasi penggunaan literatur tafsir untuk rekontruksi
tafsir dalam konteks historis teks Al-Qur’an.
Adapun implikasi dilevel kajian antara study Qur’an dan study tafsir adalah
pemisahan antara studi Qur’an dan study Tafsir secara disiprinier karena kitab-kitab tafsir
modus berpengatahuanya tidak valid tidak bisa menjelaskan historis teks Al-Qur’an .
sehingga Reynold lebih menganggap materi sebelum Qur’an sebagai teman dialog yang tepat
untuk mengetahui konteks historis teks dibandingkan dengan tafsir. Pada akhirnya, lumbard
menyatakan bahwa pukulan terakhir dari prosis kolonisasi ini adalah bukan hanya pemisahan
disipliner antara study Qu’an tafsir dan ulumul Qur’an tapi juga deklarasi bahwa tafsir dan
ulumul Qur’an adalah alat yang tidak legitimatif dalam kajian sejarah teks Qur’an.

Dalam Pembacaan teologis secara non-cognitive dan unthinking conformity, secara


alternatif cara berpengetahuan di luar akademi Eropa-Amerika, jatuh dalam kategori pious
reading, theological, apologist, essentialist, tradisionalist, romantic, dll. Teologis dihadapan
kerangka ini adalah sesuatu yang tidak terpercaya, non-kognitif dan tidak mungkin menjadi
produk dari proses objektif rasional, sebagaimana kesarjanaan modern. Lumbard melihat
pemikiran teologis dipandang sebagai unthinking conformity. Pantulan Enlightenment sangat
terasa dalam hal ini. Padahal menurutnya, sarjana Muslim awal dengan didasari motif
teologis, telah berupaya melakukan kajian kritis untuk memahami konteks bagi teks Al-
Qur’an dan sampai kepada point bahwa teks memiliki konteks.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan Terdapat gerakan – gerakan dekolonisasi yakni


dikolonisasi itu modus pengetahuan kesarjanaan yang berbasis logika kolonialisme yang
dapat menvalidasi berpengetahuan diluar eropa –Amerika dan Dekolonisasi atas modus
berpengetahuan Islam yang berbasis kepada Imperialisme yang menghasilkan
sekretarianisme.

Selanjutnya mengenai Sajjad Risvi yang kurang lebih sama dengan Lumbard, ia
memperkenalkan gerakan double movement of Decolorization yakni gerakan ganda dalam
berkolonisasi. Diawali dengan kritik post-kolonial terhadap agama dan teks sucinya serta
dekolonial. Bagi Rizvi dekolonial adalah untuk menumbuhkan pluralisme, modernitas,
dengan beranjak universal (isu global), pluriversal (budaya lokal), dan intraversal (tidak
hanya barat dengan islam tetapi dalam tubuh islam sendiri yang masih terdapat kolonialisasi).

Dua gerak dekolonisasi

1. Dekolonisasi atas modus berpengetahuan ala barat yang berbasis logika


kolonialisme.
2. Dekolonisasi atas modus berpengetahuan Islam yang berbasis pada imperialisme
yang menghasilkan sektarianisme.

Alasan Rizvi menyadari ini adalah berangkat bahwa dia adalah seorang Syiah yang minoritas
dalam islam. Sebab kolonialisasi tidak terjadi hanya antar barat dengan islam, tapi antar
islampun masih terjadi praktik demikian.

Lalu ditutup dengan ada beberapa hal studi Qur’an yang bisa dilakukan di indonesia:
- Membuka ruang intercivilization studies
- Memanggil kembali bios-theorikos
- Melampaui isu yang ada
- Egalitarisme (pluriversalisme)
- Recall sisi ethic dalam produksi ilmu pengetahuan

Anda mungkin juga menyukai