Review
PROBLEM NAHDAH
Kata "resurgence" merupakan istilah yang tepat "Kebangkitan" sebagai "tindakan
membangkitkan kembali sehingga memiliki penerjemah jelas
1. Nahdah Konflik Pemaknaan. Menurut Abu Rabi' problem yang melingkupi terkait dengan
Islamic Resurgence adalah masalah keadaan mental masyarakat Arab. Pada problem
Pemikiran Arab Modern, Nahdah dapat menjadi gerakan historis dan sosial yang kuat
dengan cara Kontekstualisasi kebangkitan Islam dalam sejarah intelektual harus berjalan
secara dialektis, dimana reproduksi makna akan selalu berkembang dalam tahapan sejarah
manusia. Dalam Konstruk nalar orang Arab itu mempengaruhi dan dipengaruhi segala
macam faktor subyektif dan obyektif. Problematika kebangkitan Islam menurut Abu Rabi'
terdapat beberapa term esensial. Pertama, institusi agama resmi sebuah negara dan
paradigma pemikiran para tokoh intelektual. Kedua, terjadinya orientasi yang
bersinggungan dengan corak pembentukan suatu peradaban islam baru. Pada proses
akulturasi ini banyak dipengaruhi oleh budaya dan pemikiran Eropa mulai dari marxisme,
sosialisme bahkan sekularisme terhadap peradaban Islam.
2. Mode Wacana Nahdah. Secara teoritis, masalah dari Nahdah, dapat dilihat dalam tiga
komponen wacana utama diantaranya: 1).wacana doktriner (merupakan mode wacana
yang menempatkan aspek Pemurnian dasar-dasar agama), 2).wacana filosofis (adalah
untuk menunjukkan keaslian traditioiial wacana ftlsafat Islam, dan relevansinya dengan
kebutuhan masyarakat Muslim modern), dan 3). wacana sejarah (mengilustrasikan
hubungan agama dan negara). Pada abad sekitar 19 terjadi gejala yang beragam
tumbuhnya sikap kritis di kalangan umat Islam terhadap Barat, baik berupa gerakan
intelektual maupun social politik, sehingga barat sulit mencari istilah yang tepat dan
mencakup semua gejala kebangkitan Islam. Istilah dalam khazanah pemikiran Islam
adalah ishlah dan Tajdid.
1
agama. Ketiga yaitu pasca kolonialisme, munculnya revivalisme baik nasionalisme dan
agama. Dapat diilustrasikan sebagai berkut:
3) Tahapan Relasional-Interaksi. Pada tahap ini, perjumpaan nalar Islam dan Barat
sebagai konsekuensi langsung, pola hubungan keduanya berubah dari pola oposisi
biner, menjadi pola Relasional interaksi keduanya. Pada abad ke 20 keduanya berdiri
sejajar dengan paradigma nalarnya masing-masing. Islam dan Barat tidak lagi
dipandang secara dikotomis, tapi dipandang secara dialogis komunikatif. Bisa
dikatakan bahwa kehidupan intelektual lebih maju daripada abad sebelumnya. Hal ini
karena beberapa sebab. Pertama, dengan berakhirnya kolonialisme dan bangkitnya
negara bangsa merdeka. Kedua, pasca-kolonial masyarakat Muslim telah berjuang
dengan isu-isu identitas, terutama identitas agama dan tugas untuk menjelaskan
hubungan antara negara bangsa dan agama. Ketiga, berakhirnya kolonialisme tidak
berarti akhir dari pengaruh budaya Barat di dunia Muslim. Munculnya Liberalisme
Islam merubah arab dari "masyarakat tertutup" untuk "masyarakat terbuka."
Para pemikir islam dan Barat memaknai keduanya tidaklah utuh dan komprehensif dengan
memberikan makna linguistik. Seperti yang dijelaskan menurut Abu Rabi' diibaratkan sebuah
2
tanda, pemaknaannya hanya serpihan serpihan dari tanda yang retak, tidak akan utuh. Abu
Rabi' selanjutnya memandang adanya simplifikasi pemaknaan terminologi nahdah yang
diidentifikasi sebagai benturan peradaban secara diametral antara revitalisme Turath dan
upaya westernalisasi. Pada tanggal 11 September terjadi peristiwa pengeboman Menara
Kembar WTC di Washington DC dan dianggap sebagai tanda adanya perang salib baru.
Peristiwa ini merupakan sebuah tanda yang retak dari struktur budaya, politik, sosial maupun
intelektual.
2. Metode. Metode adalah golongan kelima dalam Wacana Nahdah. Yakni Metode
komprehensif yang diusulkan harus merinci hubungan yang mungkin antara ideologi dan
wacana. Terdapat beberapa macam metode diantaranya pertama Metode Kritis dan
radikal bentuk tersebut adalah rekonstruksi wacana keagamaan dengan cara tidak
melakukan pembacaan pada tataran permukaan teks-teks keagamaan saja akan tetapi harus
dengan pemahaman mendalam tentang konstruksi historis dinamika penyusunan hukum-
keadilan sosial serta berindependensi politik dan ekonomi. Yang kedua Metode kritik-
dialektik. Dalam proses ini kebangkitan hanya akan berkutat dalam lingkup wacana,
hingga pada akhirnya menjadi utopia belaka karena hal ini mereka merasa cukup dengan
kejayaan peradaban Islam klasik. Yang ketiga Metode intepretatif. Dengan cara
melakukan problematisasi dan kritik pembacaan naskah keagamaan secara ilmiah serta
objektif untuk menghadapi pola interpretasi terhadap warisan pemikiran Islam (turats).
Dalam hal ini kontribusi intelektual yang terpenting memberikan kerangka teori terhadap
kajian keislaman adalah metode kritik ideologi agar tidak terjadi reifikasi tradisi yang
mengarah pada taqdis al-afkr al dini. Disinilah secara epistemologis kita mempergunakan
paradigman Baru dalam pembacaan mengenai ideologis. Paradigma tersebut memberikan
sumbangan model pembacaan baru para pemikir ke-Islaman seperti halnya radikal dan tajam
terhadap tradisi Arab-Islam dengan memperkenalkan pendekatan hermeneutika dengan
melalui metode analisis interteks. Pendekatan lain pada kajian keislaman adalah dengan
adanya pendekatan strukturalisme melalui pembacaan semiotik.