Anda di halaman 1dari 16

ISLAM KONTEMPORER DALAM MENGHADAPI FENOMENA KEMODERNAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Dr. Abdul Majid, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Dimas Angga Prasetya Widodo
16534445348

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2021

0
A. Latar Belakang
Islam dan modernism dipahami sebagai kaitan, hubungan, dan ketidakberhubungan Islam
dan modernism sebagai sebuah madzhab sosial atau pemikiran Islam dan modernitas hampir
sama artinya dengan Islam dan modernism, tetapi modernitas biasanya dipahami sebagai fakta-
fakta atau realitas yang muncul dari realisasi modernism. Modernism Islam dipahami sebagai
pemikiran atau madzhab kemodernan yang ada dan berkembang dalam Islam modern. Sementara
itu, Islam modern dimaknai sebagai fakta keislaman di era modern.
Islam dalam kemodernan tidak memasukan Islam dalam madzhab modernism atau
menyifati Islam dengan kemodernan, tetapi melihat realitas, menggali potensi, dan menemukan
serta merumuskanya secara konseptual sumber-sumber yang ada dalam Islam atas dinamika
perubahan sesuai dengan perkembangan dan atau dinamika internal penganutnya yang
merupakan satu kesatuan dalam Islam. Oleh Arkoun hal tersebut dipahami bahwa kalangan umat
Islam itu sendiri berusaha untuk mendefinisikan kembali identitas mereka, seperti halnya mereka
menghadapai tantangan modernitas dan pengaruhnya di dunia. 1 Kemodernan adalah keniscayaan
yang tidak bisa dihindari dalam realitas masyarakat muslim. Kemodernan bukanlah sekularisasi,
modernisasi, apalagi westernisasi. Kemodernan merupakan konsep problematik karena saling
bertumpunya dua arus dalm pola material modernity dan intellectual modernity. 2
Untuk itu, pemahaman kemodernan tidak diwacanakan dalam konteks yang terpisah,
seperti sebagai objek, sehingga menghadirkan analisis yang terkesan memenangkan Islam dan
mengalahkan kemodernan atau sebaliknya sebagaimana ditulis, baik sarjana-sarjana muslim
maupun sarjana-sarjana Barat tentang Islam, termasuk Arkoun. Kemodernan adalah fakta yang
tidak terbantahkan di mana para pemikir studi Islam berpijak di bumi kehidupannya, baik di
negara Barat maupun di Negara muslim, baik mereka merasa tidak terpengaruh maupun mereka
merasa terpengaruh oleh kemodernan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemodernan, bagaimana
pun, tidak bisa terlepas dari akar sejarahnya. Bahkan, kemodernan selalu diwacanakan dan
diposisikan dalam fakta keteragantungan historis.

1
Zuhri, Studi Islam dalam Tafsir Sosial “Telaah Sosial Gagasan Keislaman Fazlur Rahman dan
Mohammed Arkoun,(Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), 177
2
Konsep material modernity dan immaterial modernity atau intellectual modernity sedikit banyak
terinspirasi dari Robert K. Merton, inisiator utama konsep kemodernan dalam konteks sosiologi modern Amerika.
Menurutnya struktur kemodernan terdapat dua dimensi, (1) dimensi manifest, dimensi yang nyata namun tidak
seluruhnya dan (2)dimensi latent, dimensi yang tersembunyi.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang mempengaruhi pemikiran intelektual Arkoun ?
2. Bagaimana pandangan Arkoun tentang kemodernan dan tantangannya ?
3. Bagaimana Islam menghadapi persoalan dan tantangan kemodernan ?
C. Pembahasan
1. Pengaruh Intelektual Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taurist-Mimoun, Grande
Kabilia, sebuaah daerah pegunungan berpenduduk Berber (Berbahasa Berber). Arkoun
adalah adalah anak dari keluarga pedagang rempah-rempah yag hidup sederhana. Meskipun
mayoritas masyarakatnya adalah penganut muslim sunni, tetapi budaya dan etnisnya
masyarakat Berber, bukan Arab. Keadaan itulah yang menghadapkannya sejak masa
mudanya pada tiga bahasa: bahasa Kabilia, bahasa Arab dan bahasa Perancis. Arkoun
mempererat pergaulanya akan pendidikan dengan berbagai bahasa dan tradisi pemikiran,
terutama tradisi Islam, yang sebagian besar diungkapkan dalam bahasa Arab, dan tradisi
Barat, terutama yang berkembang dalam bahasa dan di negeri Perancis. 3
Pengembangan intelektual Arkoun tampak pada pengaruh tradisi pemahaman dan
kajian keislaman klasik yang ia dapatkan dari lingkungan, pendidikan menengah, dan ketika
perkuliahan. Ada pula masukan-masukan pemikiran baru dari para ilmuan Perancis yang
datang ke universitas-universitas di Aljazair. Baik untuk memberikan kuliah umum maupun
kuliah regular. Kekuatan tiga bahasanya-pun merefleksikan muatan aspek kebudayaan dan
pengetahuan. Perkenalan tiga bangunan pemikiran ini tidak saling bertentangan dalam
pandangan dan pikiran Arkoun. Ketiganya saling mengisi dan melengkapi. Proyeksi
pengetahuan keislamanan Arkoun merupakan hamparan pengetahuan yang berkembang
dengan penuh tantangan. 4 Sementara itu, kontribusi pemikiran Perancis, bagi Arkoun,
dijadikan sebagai metodologi untuk kepentingan pemaknaan unsur-unsur kajian keislaman
tersebut .

3
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, (Jakarta:
INIS, 1994), 1
4
Zuhri, Studi Islam dalam Tafsir Sosial “Telaah Sosial Gagasan Keislaman Fazlur Rahman dan
Mohammed Arkoun, 129

2
Ada prinsip-prinsip yang mempertentangkan eksistensinya ketika disandingkan
dengan eksistensi yang lain. Prinsip ini terutama tercermin dari berbagai pergolakan yang
muncul, baik dalam ranah diskursus keilmuan maupun dalam ranah Aljazair. Semua itu
direkam dalam pikiran Arkoun sambil mencoba mengembalikannya pada keyakinan.
Menurut Arkoun, semuanya dapat memberikan kontribusi atas munculnya kesalahan dan
pergolakan tersebut.

2. Pandangan Arkoun tentang Kemodernan dan Tantangannya


Sebenarnya Arkoun tidak secara tegas merumuskan kemodernan dan tantangannya.
Tetapi pandangannya tentang persoalan ini dapat disimak dari berbagai tulisannya yang lain.
Sikap Arkoun untuk tidak memberikan batasan kemordernan itu cukup bijaksana, sebab jika
kita mendefinisikannya-sebagaimana ada umumnya dipahami sebagai “apa yang ada pada
masa kini”, maka kita tidak dapat menentukan secara pasti kapan dan di mana kemodernenan
itu terjadi. Karena itu, Arkoun cenderung membatasinya dengan masa. Arkoun menyatakan
bahwa istilah kemodernenan yang berasal dari kata latin modernus pertaama kali dipakai di
dunia Kristen pada masa antara tahun 490 dan 500 yang menunjukan perpindahan dari masa
romawi lama ke periode Masehi. Adapun kemodernenan masa”masa klasik” Eropa telah
berjalan sejak abad ke-16 hingga tahun 1950-an.5
Terlepas dari kapan kemodernan itu dimulai, Arkoun tidak memungkiri adanya
kesinambungan antara kemodernan tersebut dan kemajuan masa lalu: Masa kuno (Yunani –
Romawi) dan masa Abad Pertengahan (yang bertepatan dengan zaman keemasan Islam).
Karena itu, kata Arkoun, kemodernan sekarang tidak terputus dari kemajuan yang pernah ada
di lingkungan Yunani-Semit. Antara abad ke-7 dan ke-12 terdapat kemajuan pesat di dunia
Islam yang juga tidak lepas dari pengaruh kemajuan yang pernah ada di Yunani, yakni
melalui gelombang helenisme. Kemajuan tersebut kemudian pindah ke dunia Kristen pada
abad ke-12 hingga abad ke-15 (zaman kejayaan skolastik) dengan pemikir seperti Albertus
Agung, Thomas Aquinas, Bonaventura, dan lainya-pendapat yang juga diakui oleh pengamat
semacam Marshall G.S. Hodgson. Karena itu, tidak mustahil jika kemodernan itu bisa saja

5
Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tenatang Islam dan modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), 43

3
terjadi di tengah-tengah umat manusia manapun, termasuk umat Islam, di masa yang akan
datang, walaupun tentu saja tidak dari titik nol lagi. 6
Pemikiran Arkoun yang senang menggunakan metode sejarah dalam menguraikan
pandangannya sebagai seorang ahli ilmu sosial, ia mengatakan perlunya melihat latar
belakang kronologis materi evolusi sejarah yang dapat menjelaskan kemajuan suatu
masyarakat. Dalam metode ini tidak boleh ada suatu budaya atau peradaban yang dianggap
lebih tinggi atau lebih superior dari yang lain. Dengan demikian terlihat bahwa Arkoun ingin
mengatakan bahwa budaya atau peradaban Barat tidaklah lebih tinggi dari budaya Islam.
Dengan metode ini ia mengharapkan pembacanya akan dapat secara implisit menangkap
pengertian yang ia maksud dengan adanya latar belakang sejarah dan peristiwa. 7 Sayangnya,
bagi bangsa-bangsa Muslim, walaupun merupakan kelompok manusia yang sedikit banyak
memiliki kaitan historis dengan Barat yang melahirkan kemodernan itu, disebabkan oleh
berbagai pengalaman interaksi antara kedua kelompok itu (rasa permusuhan dan persaingan
yang berkepanjangan), proses modernisasi mengandung kesulitan psikologis (yakni rasa
seolah-olah menyerah pada bekas saingannya).
Karena itu, salah satu tantangan bangsa-bangsa Muslim dalam usaha mendorong
modernisasi adalah membebaskan diri dari suasana psikologis masa lalu yang serba
traumatis, dan menggantinya dengan kesanggupan melihat kemodernan seperti apa adanya,
tanpa ada pertentangan dan kesalahpahaman. Selanjutnya adalah sangat penting
mempertanyakan keabsahan pernyataan bahwa Timur itu sufistik sementara barat itu realis
dan rasionalis.8
Untuk memberikan kepercayaan diri bagi umat Islamlah, maka Arkoun menjelaskan
bahwa kemodernan, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat-Kristen, memiliki dua kutub
yang saling berkaitan: a) kutub lama: yang kuno, tradisional, klasik: dan kutub masa depan:
inovasi, orientasi masa depan, keputusaan dengan cakrawala yang jauh. Antara keduanya
ada keterkaitan sedemikian rupa, sehingga perubahan-perubahan yang menghasilkan
kemodernan sebenarnya merupakan kombinasi berbagai potensi masa lalu dan masa depan.
Dari yang tradisional akan menjadi tradisional kembali, dan seterusnya.

6
Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan metamodernisme, (Yogyakarta: LKiS, 1996), 99
7
Sihol Farida Tambunan, Antara Islam dan Barat: Pandangan Mohammed Arkoun Tenatang Kemodernan,
Jurnal Msyarakat dan Budaya, volume 5 no. 2, (2003): 83
8
Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tenatang Islam dan modernitas, 46

4
Menurut Arkoun kemodernan memiliki dua sisi: material dan intelektual/budaya.
Yang pertama adalah berbagai kemajuan yang terjadi pada bingkai luar dari wujud manusia,
sedangkan yang kedua mencakup berbagai metode, alat analisis, dan sikap intelektual yang
memberikan kemampuan untuk lebih memahami kenyataan.
Melihat banyaknya masyarakat kita yang disebut terbelakang atau tradisioanl berbeda
dengan masyarakat industri atau pasca industri yang lebih banyak dipengaruhi oleh
kemodernan material daripada oleh kemodernan budaya atau intelektual. Barangkali hal ini
terjadi karena proses modernisasi, khusunya di Negara-negara berkembang, selalu
mengandung pengertian perjuangan mencapai taraf hidup yang lebih tinggi atau lebih
makmur. Apalagi adanya suatu kenyataan bahwa kemakmuran material mempunyai akibat
pada bidang-bidang non ekonomi seperti sosial, politik, pertahanan, dan lainnya, sehingga
kemunduran ekonomi selalu berakibat kelemahan di bidang-bidang lain. Itulah faktor yang
kuat mendorong bangsa-bangsa bukan Barat untuk berusaha melakukan modernisasi.
Pernyataan di atas menunjukan bahwa Arkoun tidak memberikan secara tegas batasan
kemodernan, ia pun tidak secara tegas merinci apa saja problema dan tantangan kemodernan
yang harus dihadapi oleh umat Islam. Hal ini dapat dimaklumi karena Arkoun tidak
menawarkan suatu rumusan “siap pakai” tentang kemodernan dalam sebuah buku, misalnya.
Pandangan-pandangannya banyak tertuang dalam berbagai artikel yang terpisah-pisah, dan
untuk memahaminya, diperlukan usaha yang lebih dinamis. Jadi, 'modernitas' dan 'segala
masalah' yang ditimbulkannyalah yang sangat menggelisahkan Arkoun. Hanya saja, apakah
yang ia maksud sebagai 'modernitas'? Sayang sekali Arkoun tidak merasa perlu menjawab
pertanyaan semisal ini sebagaimana ia juga tidak pernah meluangkan kesempatan khusus-nya
untuk mengurai 'segala masalah' modernitas dengan tuntas. Tampaknya, itu terjadi karena
'modernitas' adalah tema besar pemayung seluruh ide Arkoun dan menjadi wilayah yang
ingin ia jelajahi lewat sejumlah tulisannya. 9

Barangkali kita bisa meminjam uraian pakar ahli yang lain. Jika kita merujuk kepada
pendapat para ahli seperti Harvey Cox dalam bukunya, Religion in the Secular City,atau
Lucian W. Pye dalam bukunya, Aspect of Political Development,maka setidaknya ada tiga
pilar yang menjadi saka guru kemodernan: a) ilmu pengetahuan yang berujung pada

Arif Maftuhin, “Dari Nalar Ushuli Ke N alar Interdisiplin: Studi Atas Implikasi Kritik Nalar Islami
9

Mohammed Arkoun”dalam Jurnal Kajian Islam Interdispliner, Vol. 3 No. 1 (Januari 2004): 127

5
rasionalisme b) Negara-bangsa yang bermuara kepada nasionalisme c) penyepelean peran
agama yang berujung kepada sekularisme. Ketiga masalah inilah pula yang menjadi
persoalan sekaligus tantangan bagi umat seiring dengan datangnya kemodernan ke dunia
Islam sejak abad ke-19, di samping berbagai persoalan turunan lainnya, seperti masalah
demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, status manusia, dan lain-lain10. Semua persoalan itu
tidak luput dari perhatian Arkoun dalam banyak tulisannya; tetapi untuk mempersingkat
tulisan ini, maka yang akan menjadi pokok bahasan adalah tiga persoalan utama tadi.

3. Islam Menghadapi Persoalan dan Tantangan Kemodernan


Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik dengan
pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola perpikir dan tata kerja
lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru
yang akliah. Kegunaanya adalah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal.
Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu
pengetahuan.11
Kemodernan memiliki berbagai problema dan tantangan yang harus dihadapi oleh
umat Islam, apalagi mengingat sekarang sudah terlalu banyak hal yang tak terpikirkan dari
berbagai kemajuan Barat dalam pemikiran Islam, dan tantangan tersebut akan bertambah
banyak sesuai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Problema tersebut juga akan semakin berat karena: tekanan demografis dalam
masyarakat Islam sejak tahun 1950-an yang tiadataranya; despotisme lembaga politik dan
ekses ideologi luar (liberalisme, komunisme, dan lainnya) yang tidak sesuai dengan
kebutuhan mereka; serbuan berbagai perubahan yang dicapai Barat terhadap masyarakat
Muslim, setelah sebelumnya menghadapi cengkeraman imperealisme yang begitu lama;
kenyataan bahwa pemikiran Islam tidak memiliki system, sumber daya, dan kekuatan
intelektual yang telah bertumpuk di Barat, sehingga munculah berbagai tindak kekerasan
sebagai wacana beberapa gerakan Islam kontemporer; dan ketercabutan kaum petani dari
akar budaya mereka yang menjadikan mereka kaum proletar di kota-kota serta monopoli

10
Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan metamodernisme, 104
11
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), 172

6
kekuasan di tangan satu partai atau penguasa. 12 Semua itu menjadi faktor yang menimbulkan
berbagai kesemrawutan di kalangan umat Islam dan sulit diatasi.

a) Ilmu Pengetahuan dan Rasionalisme


Sebagaimana para pemburu modernis Muslim abad ke 19/20. Arkoun juga
bersikap terbuka terhadap ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat.
Seperti yang kita keteahui, Arkoun hidup dilingkungan Barat, tempat ilmu
pengetahuan berkembang dengan berbagai keunggulannya dan keunggulan ilmu
pengetahuan Barat itu disebabkan oleh rasionalitasnya dan pengangkatan peran nalar
sebagai salah satu sendi komodernan. Arkoun ingin memainkan peran sebagai
cendekiawan Muslim yang mensinergikan dunia Barat dan Timur agar berdialektika
dengan hangat. Keinginannya menuai hujatan. Karena kritikannya lebih banyak
kepada nalar Islam daripada tradisi Barat, menyebabkan ia gagal menjadi suara Islam,
justru para pengkritiknya mengatakan ia bermain sebagai corong Barat. 13
Sementara itu, sejak tahun 1960-an, perkembangan ilmu pengetahuan di
Barat, terutama dibidang kemanusiaan dan kemasyarakatan, tidak terbendung lagi.
Memang perkembangan itu tidak begitu saja terputus dari capaian-capaian ilmu
pengetahuan yang lalu (pengetahuan tradisional). Tetapi, bagaimanapun juga, ada
perbedaan antara ilmu-ilmu tradisional dan ilmu-ilmu modern baik dalam
programma, metode maupun tujuan. 14 Arkoun berpendapat bahwa berbagai ilmu
pengetahuan itu harus dikuasai oleh umat Islam. 15 Penguasaan ilmu pengetahuan
Barat itu, lanjutnya bukan merupakan ancaman terhadap pemikiran dan umat islam,
bahkan akan merupakan bantuan yang sangat besar untuk melepaskan diri dari
kejumudan atau kebekuan.

12
Mohammed Arkoun,”kaifa natahaddas’an al harakat al-islamawiyyah”, dalam Mohammed Arkoun, Min
faisal at-tafriqah ila fasl al maqal, aina huwa al-fikr al-islami al-mu’asir, tarjim wa ta’liq Hasyim Salih (Beirut: Dar
as-saqi, 1993), 129
13
Kholili Hasib, Studi Agama Model Islamologi Terapan Mohamed Arkoun, Vol. 10 No. 2 (November
2014): 313
14
Mohammed Arkoun, al-Fikr al-Islami: qira’ah Ilmiah,(Beirut: al-Markaz ats-Tsaqofi al-Arabi,1996), 88
15
Pandangan untuk mengambil pengetahuan modern ini telah dilakukan oleh kaum modernis semacam
Abduh, Rida dan lainnya. Abduh misalnya memperkenalkan matematika, logika dan filsafat dalam pengajaran
azhar, serta menerapkan metode pengajaran modern, seperti dialog, di sana.

7
Sejalan dengan itu, Nurcholis Majid memandang bahwa rasionalisasi
merupakan alasan dasar bagi lahirnya modernisasi, oleh karena independensi rasio
telah mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
penemuan-penemuan baru di bidang iptek yang terus memacu perkembanganya.
Namun rasionalisasi yang dimaksudkan oleh Nurcholis bukan rasionalisme atas dasar
pemahaman kemutlakan rasio menurut pengertian Barat, tetapi rasionalitas menurut
pengertian Islam yang hanya membenarkan penggunanaan akal pikiran dalam
pencarian kebenaran yang bersifat relatif sehubungan dengan sifat kenisbian manusia
itu sendiri.16
Berbagai ilmu pengetahuan tersebut sangat diperlukan karena memungkinkan
kita untuk melakukan analisis kritis terhadap kebenaran transenden, apalagi
kebenaran yang teraktualisasi dalam kehidupan konkret melalui karya manusia seperti
mufasir, teolog, dan fuqaha. Terhadap Kitab Suci sendiri, kata Arkoun, dapat
dilakukan kritik “bukan untuk menyingkirkan syarat-syarat ilmiah dalam
membacanya secara benar.
Dari berbagai penegasan diatas, dapat dimengerti bahwa Arkoun
menghendaki terpadunya unsur yang sangat mulia dari pemikiran Islam (mitos dalam
arti sebenarnya, angan-angan sosial, dan spiritualitas) dengan unsur yang paling baik
dari pemikiran Barat modern. Ini lebih disebabkan karena, kata Arkoun,
penggabungan warisan lama dengan karya-karya kontemporer merupakan usaha
positif yang akan memperkaya peradaban.
Dari sana juga tidak mengherankan jika Arkoun sangat mendambakan
munculnya pemikir-pemikir rasionalis yang dahulu diwakili oleh kaum Muktazilah
yang menyatakan kemakhlukan Qur’an (bertentangan dengan pendapat
Ahlusunah[terutama Hanbaliyah dan Asyariyah] yang berpendapat Qur’an bukan
makhluk dan nalar harus membacanya bila kaif [apa adanya];tetapi kemudian
pendapat kelompok pertama diberangus oleh penguasa. “Seandainya perdebatan itu
berlanjut terus,” kata Arkoun “pastilah situasi nalar Islam tidak akan seperti sekarang,
yaitu dikuasai oleh ortodoksi dogmatis. Kaum Muktazilah pun, menurut Arkoun,

16
Singgih Basuki, Islam dan Tafsir Modernitas, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2006), 8

8
masih terkungkung dalam legosentrisme karena masih tunduk kepada kebenaran
Wahyu (dalam arti peran nalar tidak boleh keluar dari batas-batas yang ditentukan
Wahyu) taat kepada otoritas imam mujtahid, dan memandang alam semesta dengan
cara pandang Abad Pertengahan. 17
Jadi sebenarnya yang diharapkan oleh arkoun adalah kebebasan penggunaan
nalar yang lebih besar dibandingkan dengan yang sudah-sudah. Karena itu, sudah
semestinya kita mempelajari hasil pemikiran sejak Descartes, Spinoza, Hegel, hingga
ara filsuf mutakhir seperti Derruda, Foucault, dan sebagainya.
b) Agama dan Politik
Dalam konteks politik, problem pertama yang muncul dalam Islam adalah
soal kaitan antara agama dan politik. Kaum tradisionalis Muslim berpendapat bahwa
Islam tidak memisahkan antara agama dan politik. Karena itu Islam sebagai sebuah
agama membutuhkan suatu Negara sendiri. Pandangan yang menegaskan bahwa
Islam merupakan agama yang bersifat pribadi dianggap bertentangan secara diametral
dengan pandangan kaum tradisionalis.18 Sedangkan pendapat bahwa Islam dapat
berfungsi sebagai agama pribadi ditentang mereka. Pandangan demikian menurut
Arkoun, lebih disebabkan karena semua kekuasaan politik dalam Islam setelah tahun
632 (wafatnya Nabi saw.) menisbatkan diri kepada ajaran-ajaran Quran dan Nabi,
serta mengklaim bertanggungjawab untuk menjaga ajaran-ajaran tersebut. Semua itu
menimbulkan suatu pandangan yang dipaksakan bahwa Islam adalah agama dan
Negara (duniawi) yang tidak terpisah.
Pemaduan itu kemudian dilebih-lebihkan oleh pendapat sejumlah orientalis
bahwa Islam sejak semula telah mencampuradukan antara yang spiritual dan yang
temporal, yang religious dan yang duniawi. Pandangan itu dikemukakan terutama
oleh orientalis dan wartawan yang membahas berbagai peristiwa yang terjadi di
berbagai “Republik Islam”. 19 Namun, dalam kenyataan, terbentuknya Negara agama
tidak berarti lebih daripada perlunya Negara melaksankan ketentuan Syariah yang
dirumuskan oleh ulama, sedangkan ada kebijakan pemerintah tersendiri dalam
bidang-bidang yang lain. Karena itu, tidak dapat dibantah bahwa pendapat tentang

17
Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan metamodernisme, 106
18
Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tenatang Islam dan modernitas, 80
19
Mohammed Arkoun, “Madkhal li dirasah ar-rawabit dalam al-Fikr al-Islami: qira’ah Ilmiah, 145

9
keharusan disatukannya agama dan politik dalam Islam adalah kepentingan politis
dari institusi keagamaan.
Jadi terdapat kolaborasi-baik dikalangan Suni maupun Syiah- antara mayoritas
ulama dan Negara, sehingga hal-hal yang sebenarnya berdimensi politis sosiologis
telah diberi cap teologis keilahian dalam rangka usaha mencapai penguasaan atas
pengaturan Negara. Cap teoligis-keIlahian inilah yang kini dipakai kembali oleh
berbagai gerakan Islam untuk mewarnai slogan-slogan mereka dalam rangka
menyerang kekuasaan dan system yang ada. 20
Dari sini, Arkoun tidak setuju dengan pembentukan suatu Negara Islam, tetapi
lebih menyetujui suatu Negara demokratis berdasarkan kedaulatan rakyat dengan
segala jati dirinya (bahasa, wilayah, bangsa dan budaya) yang tidak mengenal
pertentangan antara nalar agama dan nalar filsafati. Ia pun tidak setuju dengan
wewenang yang didasarkan penafsiran skriptual terhadap teks, dan karena itu ia
mengkritik revolusi yang mengatasnamakan Islam.
Dalam kenyataan, kini tidak ada lagi di dunia Islam Negara yang bukan
Negara-bangsa-semuanya terkesima oleh kekuatan dan efektivitas model Negara-
bangsa modern sebagaimana Perancis, Italia, Inggris, dan lainya. Iran, yang
menyatakan diri sebagai Negara Islam, sebenarnya lebih berdasarkan atas kepersiaan
daripada atas keislaman; jadi, juga negara-bangsa.
Dengan diterapkannya model negara-bangsa ini, maka di dalam suatu Negara,
umat Islam hidup bersama dengan para penganut agama lain, dan untuk itu dituntut
adanya toleransi-persoalan yang juga banyak diuraikan oleh Arkoun.
c) Sekularisme
Sekularisme di dunia Islam merupakkan persoalan yang sangat peka. 21 Karena
itu, untuk membahas masalah ini diperlukan penanganan yang sangat hati-hati. Ketika
berbicara tentang sekularisme, seringkali kita menghubungkanya dengan suatu
ungkapan yang sangat popular dalam Injil, “Berikan milik Kaisar dan berikan milik

20
Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan metamodernisme, 111
21
Di Indonesia, kita tahu, masalah “sekularisasi” saja yang dilemparkan oleh Nurcholis Majid sekitar tahun
1970 mengundang kontroversi besar dikalangan umat. Sayangnya tetapi mungkin untuk meredakan kontroversi,
sekembalinya dari belajar AS, 1984, Nurcholis cenderung untuk menggunakan Istilah lain yang lebih teksnis dan
netral, seperti “desakralisasi” dan “devaluasi”.

10
Allah kepada Allah, sebab dari sanalah, menurut sebagian pendapat, terjadi
pemisahan total antara Gereja dan negara di dunia Barat.
Kita akan dapat mengerti ungkapan Almasih (Yesus Kristus) itu, tulis Arkoun,
jika kita megenal kondisi historis yang ada pada saatnya. Pada saat itu, palestina
berada di bawah kekuatan Romawi. Dalam keadaan demikian, cara satu-satunya bagi
seorang tokoh agama adalah berkiprah pada tataran spiritual keagamaan, dan tidak
pada politik. Untuk mengendalikan kekuasaan spiritual itulah tujuan ungkapan dalam
injil tersebut. Dengan demikian, secara tidak langsung Yesus menyerang kekuasaan
politik Romawi’ secara implisit ia mempertanyakan keabsahan kekuasaaan tersebut
karena tidak berdasarkan atas wewenang spiritual Ilahi.
Dengan alasan wewenang spiritual yang terwarisi dari yesus itu, Gereja
selanjutnya ikut campur tangan atas kekuasaan politik, sehingga terjadi berbagai
pertentangan yang menimbulkan revolusi Inggris (dan eksekusi atas Raja Charles I
tahun 1639) serta Revolusi Perancis (dan eksekusi atas Raja Louis XVI tahun 1791).
Terjadilah pemisahan antara Gereja (wewenang Ilahi) dan Negara (kekuasaan
politik).
Mengenai wewenang Ilahi ini, tidak ada perbedaan antara agama Yahudi,
Kristen dan Islam. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa ajaran Kristen
telah memisahkan bidang keagamaan dan keduniaan, sedangkan ajaran Islam sejak
semula menyatukan antara keduanya, adalah simplistik, dangkal, dan tidak dapat
diterima. Pandangan itu, kata Arkoun, muncul karena orang tidak memahami kondisi
historis kedua agama, konsep “utang makna”, 22 serta berbagai temuan ilmiah
mutakhir dalam antropologi politik dan antropologi agama.
Berkenaan dengan dunia Islam, pandangan yang umum dalam masyarakat
(terutama di Barat, khususnya Perancis) adalah bahwa Islam tidak membolehkan
sekularisme, karena keduanya tidak mungkin dipadukan. Pendapat seperti itu,
menurut Arkoun, adalah benar jika kita mengakui batasan-batasan tradisional Syariah
(al-Qanun al-Muqaddas) yang dilaksanakan oleh berbagai pemerintahan dalam
masyarakat Islam, terutama pada masa pemerintahan Bani Umayyah yang telah

22
Maksudnya , kita berutang “makna hakiki” kepada wewenang Ilahi, dan kita membayarnya dengan
ketaatan. Kita mengikuti semua kehendak dan kekuasaan wewenang tertinggi selama kekuasaan tersebut sejalan
dengan batas-batas “ makna” yang ditentukanya.

11
mengubah simbolisme keagamaan menjadi peraturan-peraturan hukum yang kaku
serta sekedar ideologi demi kekuasaan. Sejak masa itulah muncul apa yang disebut
Syariah, hukum agama Ideal; dan dari sini pula terjadilah “pengeramatan”
(sakralisasi) terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi (hukum, institusi Negara,
penguasa dan fungsinya).
Untuk memahami sekularisme ini secara benar, kita harus mengerti masalah
pengeramatan ini. Dan patut disayangkan, tulis Arkoun, akhir-akhir ini malah praktik
sakralisasi ini semakin menjadi-jadi dengan mempergunakan ayat-ayat Qur’an dan
hadits Nabi, terutama kaum “fundamentalis”. Mereka menggunakan bahasa agama
untuk menyatakan harapan-harapan mereka yang sebenarnya sekuler; keadilan,
tiadanya penekanan, kemungkinan partisipasi dalam berbagai bidang kehidupan,
demokrasi dan lainnya.
Pastilah bahwa kesadaran kolektif Muslim mutakhir tidak mengenal
pemutusan psikologis-budaya itu, dengan derajat yang sama yang teramati sejak
paling sedikit abad XIX, di dunia Barat yang disekularisasi. Namun kita harus
menghindari untuk mengatakan bahwa perbedaan itu adalah akibat dari perlawanan
terhadap gerakan sekularisasi yang lebih berhasil guna dalam Islam daripada dalam
dunia Nasrani.23 Menurut Arkoun, sekularisme lebih dari sekedar pemisahan secara
sederhana antara hal-hal yang spiritual dan yang temporal. Sekularisme bukanlah hal
yang baru dan bukan pula produk masyarakat Barat. De facto ia telah ada pada semua
masyarakat (kuno maupun modern, maju maupun terbelakang) di sepanjang sejarah,
walaupun ia disangkal atau disembunyikan dibalik bahasa keagamaan. Jadi, umat
Islam tidak boleh mengatakan bahwa Barat itu sekuler, sedangkan kita tidak.
Masalahnya, sakral menurut siapa dan sekuler menurut siapa. Sebab setiap
masyarakat, bahkan setiap orang, memiliki kerangka pemikiran masing-masing
tentang apa yang sakral dan apa yang sekuler. 24 Jadi tidak bisa digeneralisir
sedemikian rupa bahwa kaum Muslim menjunjung tinggi yang sakral sedangkan
Barat itu sekuler.

23
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, 304
24
Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tenatang Islam dan modernitas,78

12
Dalam Islam menurut Arkoun pengertian positif mengenai sekularisme pada
dasarnya akan terwujud dengan tumbuh dan tersebarnya “kemodernan intelektual”.
Tanpa ini berarti kehidupan akan dikuasai oleh kekosongan kultural dan sekularisme
pun pada akhirnya akan selamanya dinilai negatif. Dari sini, kemudian Arkoun
berpendapat bahwa sebenarnya sekularisme itu telah terkandung di dalam Qur’an dan
pengalaman Nabi di Madinah. 25 Dengan demikian, tidak ada alasan bagi umat Islam
untuk menolak sekularisme.
D. Kesimpulan
Salah satu tantangan bangsa-bangsa Muslim dalam usaha mendorong modernisasi adalah
membebaskan diri dari suasana psikologis masa lalu yang serba traumatis, dan menggantinya
dengan kesanggupan melihat kemodernan seperti apa adanya, tanpa ada pertentangan dan
kesalahpahaman. Barangkali untuk memberikan kepercayaan diri bagi umat Islamlah, maka
Arkoun menjelaskan bahwa kemodernan, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat-Kristen,
memiliki dua kutub yang saling berkaitan: a) kutub lama: yang kuno, tradisional, klasik: dan b)
kutub masa depan: inovasi, orientasi masa depan, keputusaan dengan cakrawala yang jauh.
Antara keduanya ada keterkaitan sedemikian rupa, sehingga perubahan-perubahan yang
menghasilkan kemodernan sebenarnya merupakan kombinasi berbagai potensi masa lalu dan
masa depan.
Kemodernan memiliki berbagai problema dan tantangan yang harus dihadapi oleh umat
Islam, apalagi mengingat sekarang sudah terlalu banyak hal yang tak terpikirkan dari berbagai
kemajuan Barat dalam pemikiran Islam, dan tantangan tersebut akan bertambah banyak sesuai
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Problema tersebut juga akan semakin berat
karena: tekanan demografis dalam masyarakat Islam sejak tahun 1950-an yang tiadataranya;
despotisme lembaga politik dan ekses ideologi luar (liberalisme, komunisme, dan lainnya) yang
tidak sesuai dengan kebutuhan mereka; serbuan berbagai perubahan yang dicapai Barat terhadap
masyarakat Muslim, setelah sebelumnya menghadapi cengkeraman imperealisme yang begitu
lama; kenyataan bahwa pemikiran Islam tidak memiliki system, sumber daya, dan kekuatan
intelektual yang telah bertumpuk di Barat, sehingga munculah berbagai tindak kekerasan sebagai
wacana beberapa gerakan Islam kontemporer; dan ketercabutan kaum petani dari akar budaya

25
Arkoun tidak memberikan Argumentasi terhadap pernyataanya ini sehingga tampak simplisit, Tetapi,
barangkali, alasanya adalah bahawa di dalam al-Qur’an dibahas berbagai persoalan yang duniawi (sekuler).

13
mereka yang menjadikan mereka kaum proletar di kota-kota serta monopoli kekuasan di tangan
satu partai atau penguasa

DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, Mohammed, al-Fikr al-Islami: qira’ah Ilmiah, Beirut: al-Markaz ats-Tsaqofi al-
Arabi,1996.
Arkoun, Mohammed, Min faisal at-tafriqah ila fasl al maqal, aina huwa al-fikr al-islami al-
mu’asir, tarjim wa ta’liq Hasyim Salih Beirut: Dar as-saqi, 1993.
Arkoun, Mohammed Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
Jakarta: INIS, 1994.
Basuki, Singgih, Islam dan Tafsir Modernitas, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2006.
Hasib, Kholili, Studi Agama Model Islamologi Terapan Mohamed Arkoun, Vol. 10 No. 2
November 2014.
Maftuhin, Arif, “Dari Nalar Ushuli Ke N alar Interdisiplin: Studi Atas Implikasi Kritik Nalar
Islami Mohammed Arkoun”dalam Jurnal Kajian Islam Interdispliner, Vol. 3 No. 1,
Januari 2004.
Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1998.
Meuleman, Johan Hendrik Tradisi, Kemodernan dan metamodernisme, Yogyakarta: LKiS, 1996.
Putro, Suadi, Mohammed Arkoun Tenatang Islam dan modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998.
Tambunan, Sihol Farida, Antara Islam dan Barat: Pandangan Mohammed Arkoun Tenatang
Kemodernan, Jurnal Msyarakat dan Budaya, volume 5 no. 2, 2003.
Zuhri, Studi Islam dalam Tafsir Sosial “Telaah Sosial Gagasan Keislaman Fazlur Rahman dan
Mohammed Arkoun, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.

14
15

Anda mungkin juga menyukai