Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SEJARAH DAN URGENSI FILSAFAT ILMU ISLAMI

ANDI FAUZIAH AMALIAH


002104342022
MAKSI-1
KELOMPOK 1
FILSAFAT ILMU ISLAM DAN ETIKA PROFESI

MAGISTER AKUNTANSI – PASCASARJANA


UNIVERSUTAS MUSLIM INDONESIA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Filsafat pendidikan dipandang sebagai pembahasan yang sistematis tentang
masalah-masalah pendidikan pada tingkatan filosofis yaitu menyelidiki suatu persoalan
pendidikan hingga direduksi kedalam pokok persoalan metafisika, epistemologi, etika,
logika, estetika maupun dari kombinasi dari semuanya itu.
Dalam pembahasan filsafat pendidikan, persoalan-persoalan tersebut dapat
disederhanakan kedalam ketiga persoalan pokok yaitu :
1. Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian metafisika atau ontologi
bahwa dalam penyelenggara pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai
pandangan dunia, manusia atau masyarakat yang bagimanakah yang diperlukan oleh
pendidikan Islam.
2. Pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh epistemologi, antara lain dalam
penyusunan dasar-dasar kurikulum, terutama dalam usahanya mengenai dan
memahami hakikat pengetahuan menurut pandangan Islam.
3. Pandangan mengenai nilai yang dipelajari oleh aksiologi, seperti masalah etika yang
mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat dekat dengan pendidikan
Islam, karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam
dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH FILSAFAT ILMU ISLAMI


Dalam lintasan sejarah, umat islam pernah mengukir masa keemasan dan
mencapai puncak peradaban dan kemajuan islam. Pendidikan islam dalam teori dan
praktik selalu mengalami perkembangan, hal ini disebabkan karena pendidikan islam
secara teoritik memiliki dasar dan sumber rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar,
melainkan juga wahyu. Kombinasi nalar dengan wahyu ini adalah ideal, karena
memadukan antara potensi akal manusia dan tuntunan firman Allah SWT. Terkait
dengan masalah pendidikan. Kombinasi ini menjadi ciri khas pendidikan islam yang
tidak dimiliki oleh konsep pendidikan pada umumnya yang hanya mengandalkan
kekuatan akal dan budaya manusia.
Harusnya dengan keterjalinan antara sumber akal dan wahyu tersebut dapat
menghasilkan konsep dan pemikiran pendidikan islam yang sempurna. Hal itu
dibuktikan secara historis melalui upaya pengembangan konsep dan pemikiran
pendidikan islam yang telah berjalan sejak dahulu dengan banyaknya karya tulis para
ulama tentang pendidikan yang sebagian besar masih bisa diakses hingga saat ini.
Hanya saja teori pendidikan mereka seakan tenggelamkarena masuknya tema-tema
baru yang muncul belakangan ini terutama yang berasal dari referensi barat,
sedemikian rupa sehingga timbul kesan seolah-olah perintis penemuan keilmuan
pendidikan itu seluruhnya dari barat.[1]
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peradaban islam
selalu dimasukkan dLm topik-topik khusus. Di bukunya histiry of the arabs, penulisnya
philip K. Hitti (2006)mengungkapkan secara rinci mengenai peradaban islam dalam
periodisasi kesejarahannya. Buku yang berjudul pijar peradaban manusia: denyut
harapan revolusi yang disusun oleh franz dahler dan eka budianta, mengungkapkan
zaman keemasan islam sebagai puncak kedua dalam penggunaan kesadaran rasional
yang dicapai oleh kebudayaan islam abad pertengahan. Selain itu juga diketengahkan
sosok –sosok kepribadian tersohor yang telah menyatukan filsafat yunani dengan ilmu
alam, bumi, astrologi, matematika, kedokteran dan agama (franz dahler dan eka
buduanta: 282)
Buku dimensi kreatif dalam filsafat ilmu yang disusun oleh tiga penulis: conny R.
Semiawan, I made putrawan, dan TH. I. Setiawan, tidak melupakan kelahiran zaman
modern yang diawali oleh perkembangan ilmu pengetahuan pada permulaan abad ke-
14 di benua eropa. Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri terkait dengan tiga
sumber utamanya, yaitu dunia islam dan peradabannya (conny R. Semiawan: 21).
Demikian pula yang dikemukakan jerome R. Ravertz dalam bukunya filsafat ilmu:
sejarah dan ruang lingkupnya.
Diantara ungkapan dinyatakan bahwa kebudayaan islam paling relevan bagi
ilmu eropa. Sejak abad ke-7 hingga abad ke-10 bahasa arab menjadi bahasa kaum
terpelajar bagi bangsa-bangsa yang terentang dari peria hingag spanyol. Di baghdad,
pada abad ke-9 dilakukan penerjemahan terhadap sumber-sumber yunani ke bahasa
arab,. Lalu pada abad ke-12 karya berbahasa arab diterjemahkan kedalam bahasa latin,
dalam berbagai bidang keilmuan, dan akhirnya dalam bidang filsafat ilmu (jerome R.
Ravertz: 21). Diluar itu pengembangan ilmu pengetahuan juga ditopang oleh
perpustakaan. Keduanya berjalan seiring.
Dikemukakan oleh fazlur rahman , bahwa pertumbuhan yang tetap dan cepat
dari perpustakan-perpustakaan semi peblik adalah ciri dari pendidikan islam zaman
pertengahan. Para pejabat yang terkemuka dan mampu mengumpulkan buku-buku
dalam jumlah yang besar dan menyediakannya untuk diprgunakan oleh para pencari
ilmu pengetahuan. Kadang-kadang juga menyedekahkannya untuk dipergunakan oleh
umum. Perpustakaan tersebut berisi buku tentang segala macam masalah seperti,
kesusteraan, ilmu-ilmu keislaman yang spesifik, (fazlur rahman, 1984: 265-266).
Menurut jerome R. Revertz, perpustakaan cordova di spanyol memiliki 500.000
buah buku, pada saat bangsa-bangsa di pyrenia utara paling-paling hanya mempunyai
5.000 buah buku jerome R. Ravertz: 20) melalui terjemahan dan karya para ilmuan
muslim ini, perkembangan ilmuan eropa mulai menggeliat. Pengaruh tersebut dinilai
sangat besar perannya dalam mendorong ide-ide yang revolusioner dan bersifat
inovatif di eropa. Pengaruh yang mampu mendobrak pemikiran keliru yang sudah baku,
baik yang menyangkut penafsiran fenomena alam maupun dalam melakuakan
penalaran (conny R. Semiawan: 21). Adapun pendobrak pemikiran dimaksud adalah
teori copernicus.
Teori copernicus membuka jalan bagi terjadinya peristiwa kehebohan
intelektual atau lebih dikenal sebagai revolusi sains. Teori ini telah melahirkan tokoh-
tokoh utamanya seperti tycho brahe (1546-1601), johannes kepler (1571-1630), galileo
galilei (1564-1642), dan isac newton yang hidup antara tahun 1642- 1727 (john freely:
361). Menurut conny R. Semiawan tokoh-tokoh ini merupakan perintis dalam
membentuk mata rantai untuk meneruskan perkembangan ilmu. Termasuk meletakkan
dasar-dasar disiplin ilmu yang kemudian dikenal sebagai filsafat ilmu (conny R.
Semiawaan: 21-22). Meskipun demikian, teori capernicus itu masih terangkai dengan
karya para pendahulunya.
Menurut george saliba, metode matematika ibn al-shatir dan para pendahulunya
membuka jalan untuk teori copernican dengan memberikan kepadanya metode yang
seragam dengan menggeser model geosentris menjadi model heliosentris (john freely,
2002: 360).
Memang hampir seluruh publikasi yang terkait dengan masalah ilmu
pengetahuan dan para ilmuannya, sejarah, ataupun kebudayaannya, andil dunia islam
terhadap peradaban dunia, tampaknya takpernah terlewatkan oleh penulisnya. Fakta
sejarah ini setidaknya membuktikan bahwa islam bukan semata-mata teramu dari
ajaran-ajaran yang bersifat normatif. Islam tidak hanya sebatas nama sebuah agama.
Pemahaman terhadap islam, sebagai agama samawi yang muatan ajarannya dianggap
hanya berisi norma-norma yang mengacu kepada kewajiban mematuhi perintah dan
larangan tuhan semata.
Memisahkan nilai-nilai ajaran islam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah suatu pandangan yang keliru. Apalagi kalau sampai menganggap bahwa islam
hanya sebagai sebuah agama an sich. Lebih nyasar lagi kalau pemahaman ini semakin
dipersempit, hingga memberi kesan bahwa ajaran islam hanya mengakomodasi
kepentingan hidup di akhirat, padahal al-quran dan al-hadis sebagai sumber utama
ajaran islam, kandungannya tidak hanya berisi masalah ibadah semata.[2]
Demikianpula hanya dengan praktik pendidikan islam. Prektik pendidikan islam
selalu mengalami dinamika dan pasang surut. Teori perkembangan sejarah menyatakan
bahwa hubungan anatra masa lalu, sekarang, dan akan datang memiliki siklus yang
saling bertautan. Julian marias (filosof spanyol) menyatakan bahwa masa sekarang
memuat pengaruh unsur-unsur masa lampau, termasuk didalamnya adalah masa depan,
unsur-unsur saat ini mempengaruhi perjalanan arah masa depan. Ibn khaldun
menyatakan teori perkembangan sejarah berdasarkan pengamatannya pada kekuasaan
raja-raja arab sejalan dengan pertumbuhan manusia yang mengalami masa kelahiran,
pertumbuhan, dan kematian. Arnold toynbee menyebutkan bahwa tiap peradaban
senantiasa mengalami masa pertumbuhan (rise), puncak kejayaan (peak), dan
kemunduran (decline).tidak asalah kalau ada pepatah menyatakan bahwa hidup ini
ibarat roda sekali di atas, lain kali di bawah. Atau, betapapun tingginya burung terbang,
tentunya akan turun kepermukaan juga. Namun demikian, teori siklus perkembangan
tersebut bisa kita teruskan satu lagi periode pasca kemunduran, yaitu periode
pembaruan dan upaya kebangkitan kembali untuk mencapai puncak kejayaan.
Renaissance yang terjadi di barat merupakan contoh yang tepat untuk menjelaskan hal
ini.
Teori-teori perkembangan diatas dapat digunakan untuk memahami dinamika
pendidikan islam. Terkait dengnan perkembangan pemikiran umumnya dan
perkembangan islam khususnya, dapat dikemukakan periodisasi sebagai berikut: 1)
periode pertumbuhan (rise) yang terjadi pada awal kemunculan islam sejak lahirnya
nabi muhammad SAW. Sampai akhir masa umayah; 2) periode kemajuan (peak) yang
berlangsung pada masa khilafah abbasiyah; dan 3) periode kemunduran (decline) yang
terjadi setelah jatuhnya kota baghdad oleh tentara tartar pada 1258 M; serta 4) periode
pembaruan yang berkembang secara intensifsejak abad ke-18 M.[3]

1. PERIODE PERTMBUHAN
Masa ini merupakan masa awal pertumbuhan dan persemaian nilai-nilai ke-
islam-an, dimana karakteristik pendidikan islam berpusat pada sumber al-qur’an dan
hadis secara murni. Ketika nabi muhammad SAW. Masih hidup, praktik pendidikan
islam mengikuti tuntunan firman Allah SWT. Dan teladan beliau. Tujuan pendidikan
islam waktu itu adalah untuk membentuk sikap takwa serta penanaman nilai akhlak
mulia. Pada saat ini, pendidikan islam belum terwujud dalam bentuk konsep dan
pemikiran yang tertuang dalam karya tulis atau disiplin ilmu secara spesifik, namun
praktik pendidikan yang dilakukan oleh nabi muhammad Saw. Baik keluarga maupun
masyarakat, menunjukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan yang terus
menerus menjadi sumber inspirasi untuk dipelajari.
Setelah wafatnya nabi muhammad SAW., tampuk kepemimpinan umat dipegang
oleh khulafa’ al-rasyidin. Abu bakar (632-634 M) merupakan halifa pertama yang
melakukan konsolidasi kekuasaan terhadap semenanjung arabia hingga masuk ke irak
dan syria. Khalifah ke dua, umar bin al-khattab (634-644 M) melanjutkan
perkembangan islam sampai ke mesopotamia, mesir, syria, palestina, dan sebagian
besar wilayah persia, tabristan, azerbaijan, armenia, serta beberapa bagian wilayah
turki.
Usman bin Affan (644-656 M), merupakan khalifah ke tiga dengan latar belakang
pedagang kaya dan termasuk diantara mereka yang pertama kali masuk islam. Ali bin
abi talib (656-661 M), keponakan dan menantu nabi muhammad Saw., merupakan
khalifah ke empat yang populer dengan ketakwaan, keluasan pengetahuan, keberanian,
dan kedekatannya dengan nabi muhammad saw. [4]

2. PERIODE KEJAYAAN
Masa pertumbuhan diatas menuai hasilnya terutama pada masa khalifah
abbasiyah yang merupakan masa kedua, yaitu peride kejayaan. Pada masa ini islam
mengalami masa keemasan (golden ages).
Dubidang keilmuan, ilmu-ilmu ke-islam-an yang bersumber dari wahyu tumbuh
menjadi disiplin ilmu-ilmu agama yang sangat rinci sehingga menjadi ilmu-ilmu cabang
dan raningna. Munculnya ilmu-ilmu al-Quran, ilmu-ilmu hadis, hukum islam, teologi,
tasawuf, dan lain-lain, benar-benar menandai bangkitnya ilmu pengetahuan dikalangan
umat islam.
Pada masa keemasan ini banyak bermunculan para tokoh dan cendekiawan
muslim yang produktif dalam keilmuan. Dapat disebutkan sebagian kecil dari tokoh
yang kajiannya terkait langsung dengan pendidikan adalah ibnu miskawaih dan al-
ghazali.
Menurut ibnu miskawaih, syariat agama merupakan faktor penentu bagi
lurusnya karakter manusia, karena rujukan utamanya adalah al-qur’an dan hadis.
Dalam bidang astronomi, umat islam dahulu telah berhasil memadukan tradisi
bangsa india, persia, timur dekat kuno khususnya yunani, menjadi sebuah sintesis yang
mengukur babak baru dalam sejarah astronomi sejak abad ke-8 dan seterusnya. Di
bidang kelembagaan, lembaga pendidikan yang ada pad periode kemajuan ini juga
bersifat integral, artinya tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama saja melainkan
menyatu dengan ilmu-ilmu umum yang kita sebut sekarang dengan ilmu modern.
Kegemilangan masa abbasiyah mulai menurun seiring dengan munculnya konflik
politik, perebutan kekuasaan, gaya hidup mewah para penguasa, dan krisis ekonomi
umat, sehingga memperlemah kemajuan yang telah dicapai selama kurang lebig 5 abad
sebelumnya.

3. PERIODE KEMUNDURAN
Masa kemunduran terjadi setelah jatuhnya kekuasaan abbasiyah akibat berbagai
faktor yang saling berkaitan. Diantaranya adalah:
a. Persaingan antar bangsa
b. Kemerosotan ekonomi
c. Konflik sosial-keagamaan
d. Ancaman dari luar[5]

4. PERIODE PEMBARUAN
Pembaruan pemikiran pendidikan islam sebenarnya telah dilakukan para ulama
dan cendekiawan muslim terdahulu, tanpa dibatasi oleh periode terdahulu, tanpa
dibatasi oleh periode tertentu.
Bila dicermati, kondisi umat dan negara-negara islam saat ini masih dilanda oleh
ketegangan politik, masalah kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dibidang sains dan
teknologi, sekteranianisme, serta ketergantungan dengan negara asing, maka gerakan
pembaruan ini harus dilakukan secara intensif.

B. URGENSI FILSAFAT ILMU ISLAMI


Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang pada saat ini baik
dalam pendidikan Islam pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa
pelaksanakan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh
landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan
ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanakan pendidikan itu sendiri.
Abdurrahman (1995) misalnya, mengemukan bahwa pelaksanakan pendidikan
agama Islam selama ini berjalan melalui cara didaktis-metodis seperti halnya
pengajaran umum, dan lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasa dari
filsafat pendidikan model barat, sehingga lebih menekankan pada transmisi
pengatahuan agama.” Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu
rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.
Ma’arif (1993) setelah menyajikan dialog antara Iqbal dan Rumi dalam konteks
pendidikan Islam, berkesimpulan bahwa pondasi filosofis yang mendasari sistem
pendidikan Islam selama ini masih rapuh, terutama pada tampak pada adanya bentuk
dualisme dikotomis antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang menduduki
fardu ‘ain, dan ilmu-ilmu sekuler yang paling tinggi berada pada posisi fardu kifayah,
yang sering kali terabaikan dan bahkan tercampakan. Di samping itu, kegiatan
pendidikan Islam yang seharusnya berorentasi ke langit (orientasi transedental),
tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan filsafat pendidikan
Islam, dan bahkan belum dimilikinya. Karena itu penyusunan suatu filsafat pendidikan
Islam merupakan tugas strategis dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Buchori (1994) juga berkesimpulan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia dewasa
ini tampaknya mulai kehilangan jatih diri yang antara lain di sebabkan karena
penelitian-penelitian lebih concern pada persoalan praktis operasional dan formal yang
terdapat di sekolah. Sedangkan pemikiran ilmu pendidikan yang lebih bersifat
fondasional, termasuk didalamnya filsafat pendidikan mengalami stagnasi, demikian
pula riset-riset di dalamnya.
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia, dan seluruh
proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan. Atau meminjam terma
Lodge (1947) bahwa “Life is education and education is life”. Sebagai persoalan hidup
maka pendidikan dalam pengembangan konsep-konsepnya perlu menggunakan sistem
pemikiran filsafat tersebut di atas menyangkut metafisika, epistemologi, aksiologi dan
logika, karena problema yang ada dalam lapangan pendidikan juga berada dalam
lapangan filsafat tersebut. Karena itu hubungan antara filsafat dan pendidikan adalah
sangat erat.
Dengan demikian, filsafat dan mendidik adalah dua tahap kegiatan tapi dalam
satu usaha. Berfilsafat ialah memikirkan dengan seksama nilai-nilai dan cita-cita yang
lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu
dalam kehidupan dan dalam kepribadian manusia.
Sistem pemikiran filsafat tersebut jika dikaitkan dengan pendidikan, maka
sebagai berikut:
1. Dalam lapangan metafisika, antara lain diperlukan adanya pendirian mengenai
pandangan dunia yang bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan
pendidikan[6].
2. Dalam lapangan epistemology, antara lain diperlukan dalam penyusunan dasar-dasar
kurikulum. Kurikulum yang biasa diartikan sebagai serangkaian kegiatan atau sarana
untuk mencapai tujuan pendidikan, diibaratkan sebagai jalan raya yang perlu dilewati
oleh peserta didik dalam usaha mengenal dan memahami pengetahuan. [7]
3. Dalam lapangan aksiologi, yakni yang mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat
dengan pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan,
karena dunia nilai (etika dan estetika) juga menjadi dasar pendidikan, yang selalu
dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan. Di samping itu, pendidikan
sebagai fenomena kehidupan social, kultual, dan keagamaan tidak dapat lepas dari
sistem nilai.
4. Dalam lapangan logika, sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai
ajaran berpikir yang benar dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan kecerdasan.
Pelaksanaan pendidikan menghendaki seseorang mampu mengutarakan pendapat
dengan benar dan valid sehingga diperlukan penguasaan logika.
Karena itu, hubungan antara filsafat dan pendidikan merupakan keharusan,
terutama dalam menjawab persoala-persoalan pokok dan mendasar yang dihadapi oleh
pendidikan. Brubacher (1955) sebagaimana dikutip oleh Ozmon dan Craver (1995)
menyarankan agar persoalan-persoalan yang mendasar tentang pendidikan dibahas
dan dipecahkan menurut teori filsafat. Sebagai implikasinya diperlukan bangunan
filsafat pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Jika tidak
demikian, dikhawatirkan akan terjadi :
1. Pendidikan akan terapung-apung (tanpa tujuan).
2. Tujuan-tujuan pendidikan akan samar-samar (meragukan), bertentangan, dan tidak
menunjang kesetiaan.
3. Ukuran-ukuran dasar pendidikan menjadi sangat longgar.
4. Ketidakmenentuan peranan pendidikan dalam suatu masyarakat.
5. Sekolah-sekolah akan memberikan banyak kebebasan kepada peserta didik dan tidak
mampu memupuk apresiasi terhadap otoritas dan kontrol.
6. Sekolah akan menjadi sangat sekular dan mengabaikan agama.
Ibarat sebuah bangunan rumah, maka bangunan filsafat pendidikan Islam itu
mencakup berbagai dimensi, yaitu :
a. Dimensi bahan-bahan dasar yang menentukan kuat atau tidaknya suatu fondasi
bangunan. Dalam konteks filsafat pendidikan Islam berarti sumber-sumber atau
semangat pemikiran dari para pemikir pendidikan Islam itu sendiri.
b. Dimensi fondasi bangunan itu sendiri, yang berupa prinsip atau dasar dan asas
(kebenaran yang menjadi pokok dasar) berpikir dalam menjawab persoalan-persoalan
pokok pendidikan yang termuat dalam sistem (komponen-komponen pokok aktivitas)
pendidikan Islam.
c. Dimensi tiang penyangga yang berupa struktur ide-ide dasar serta pemikiran-
pemikiran yang fundamental yang telah dirumuskan oleh pemikir pendidikan Islam itu
sendiri dalam mengembangkan, mengarahkan dan memperkokoh bangunan sistem
pendidikan Islam.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Terkait dengnan perkembangan pemikiran umumnya dan perkembangan islam
khususnya, dapat dikemukakan periodisasi sebagai berikut: 1) periode pertumbuhan
(rise) yang terjadi pada awal kemunculan islam sejak lahirnya nabi muhammad SAW.
Sampai akhir masa umayah; 2) periode kemajuan (peak) yang berlangsung pada masa
khilafah abbasiyah; dan 3) periode kemunduran (decline) yang terjadi setelah jatuhnya
kota baghdad oleh tentara tartar pada 1258 M; serta 4) periode pembaruan yang
berkembang secara intensifsejak abad ke-18 M..
Sistem pemikiran filsafat tersebut jika dikaitkan dengan pendidikan, maka :
1. lapangan metafisika, diperlukan adanya pendirian mengenai pandangan dunia yang
bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan.
2. Dalam lapangan epistemology, diperlukan dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum.
3. Dalam lapangan aksiologi, yakni mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat dengan
pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan, karena
dunia nilai (etika dan estetika) juga menjadi dasar pendidikan, yang selalu
dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan.
4. Dalam lapangan logika, sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai
ajaran berpikir yang benar dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan kecerdasan.
DAFTAR PUSTAKA
Assegat Assegat, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011,
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013
Mustansyir Rizal Dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Celeban Timur: Pustaka
Pelajar,2002,
Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara,
2007,

Anda mungkin juga menyukai