Anda di halaman 1dari 35

http://makinmaju.wordpress.

com/2013/09/03/interrelasi-agama-dan-ilmu/

INTERRELASI AGAMA DAN ILMU

(Prespektif dan Kritik Islam terhadap Sains Modern sebagai upaya Mempertemukan
Dikotomi Ilmu Pengetahuan)

1. A. Pendahuluan

Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh
kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari sebuah kesadaran beragama. Secara totalitas
ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-
orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu
pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]

Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara
barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak,
atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan
pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari
pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt telah kehilangan dimensi spiritualitasnya,
maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama.
Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat
yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang
digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka
yang merugikan manusia.[2]

Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya
bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap
proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia
seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.[3]

Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-
ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas
nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu
agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Bukan
masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan
intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.[4]

Pada masa klasik diskursus keilmuan Islam mencapai tingkat yang tinggi sehingga kemudian
dapat disumbangkan pada berkembangnya ilmu pengetahuan di masa-masa sesudahnya.
Yang demikian ini disebabkan oleh adanya beberapa hal, yang di antaranya motivasi internal
Islam sendiri,[5] untuk menuntut ilmu dengan tanpa batasan waktu. Beberapa wahyu (nash)
penting mengenai ilmu telah menjadikan alasan bagi dukungan dan respon Islam terhadap
ilmu pengetahuan dan peradaban. Oleh sebab itu, tak heran jika tradisi keilmuan dalam Islam
lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya.[6]
Hal serupa yang tak dapat dielakkan adalah adanya faktor eksternal, yaitu terjadinya kontak
antara orang-orang Islam dan kalangan non-Islam atau lebih tepatnya dengan kebudayaan
lain yang jauh lebih maju jika dibandingkan dengan kebudayaan yang dimiliki Islam sendiri,
seperti di Bizantium, Persia, dan India.[7] Stabilitas sosial, ekonomi, dan politik.[8] setelah
kaum muslimin dapat mengembangkan kekuasaannya ke daerah-daerah sekitarnya juga turut
menyumbangkan semaraknya kondisi keilmuan ini. Kecuali yang telah dikemukakan, sikap
terbuka dan toleransi kaum muslimin untuk mempelajari dan menerima budaya-budaya
taklukan dan daerah lainnya ikut andil dalam menyemarakkan ilmu pengetahuan di
lingkungan Islam.

Perhatian terhadap ilmu pengetahuan di kalangan Islam telah terjadi sejak dini; al-Haris bin
Qaladah, sahabat Nabi, misalnya telah belajar kedokteran di Jundishapur, sedangkan Khalid
bin Yazid dan Ja‘far al-Shadiq mempelajari ilmu Kimia.[9] Adapun ilmu yang dikembangkan
Islam tidak mengenal dikotomi dan diskriminatif, tetapi mencakup aneka ragam ilmu
pengetahuan alam, humaniora, dan social bahkan pada matematika dan juga kedokteran.
Keilmuwan yang dibangun oleh para ilmuwan muslim dengan berbagai keilmuwan yang
dikuasai tidak lepas dari landasan keimanan (tauhid) yang kuat pada dirinya. Prinsip tauhid di
dalam Islam, menegaskan bahwa semua yang ada berasal dan atas izin Allah SWT. Konsep
yang mengatakan bahwa Allah SWT lah yang mengajarkan manusia disebutkan dalam Al-
Quran (2:31, 55:2, 96:4-5, 2:239). Di dalam ayat lain 5:1-4 disebutkan bahwa “Dia telah
mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia dan mengajarinya penjelasan (bayan)”.

Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya


dualisme atau dikhotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-
ilmu agama di sisi lain. Dikhotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikhotomi
institusi pendidikan—antara pendidikan umum dan pendidikan agama—telah
berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern.[10] Dikhotomi
keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di
lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan
pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat
pada umumnya.

Dampak yang tidak kalah seriusnya dari dikotomi keilmuan antara ilmu-
ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu-ilmu di sisi lain adalah terhadap kerangka
filsafat keilmuan Islam. Kendati dikotomi keilmuan Islam telah terjadi semenjak
beberapa abad yang lampau,[11] namun dampaknya terhadap kerangka filsafat keilmua
n Islam dirasakan semakin serius pada masa-masa kemudian. Salah satu kerangka
keilmuan Islam yang kurang “lazim” bila dibandingkan dengan kerangka filsafat
keilmuan “sekuler” adalah kurang dikenalnya konsep paradigma, normal science,
anomali, dan revolusi sains.[12] yang selama ini “mengatur” perkmebangan dan
pertumbuhan sains modern. Kerangka keilmuan Islam justru dihinggapi romantisime
yang menjadikan masa lalu justru sebagai kerangka utama pola berpikir umat Islam.
Romantisisme dalam arti yang sederhana memang diperlukan, terutama untuk menghindari
terjadinya proses pencabutan pemikiran kontemporer dengan sejarah keilmuan masa
lampau. Tetapi apabila romantisisme mendominasi
kerangka berpikir keilmuan umat Islam, maka dinamika dan revolusi keilmuan Islam
tidak akan pernah terwujud.

Implikasi lain dari dikotomi keilmuan terhadap kerangka filsafat keilmuan


Islam adalah berkembangnya pemikiran yang mempertentangkan secara diametral
antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah. Di
kalangan umat Islam berkembang pemikiran bahwa wahyu adalah sumber utama ilmu
sembari mendiskriminasikan fungsi dan peran rasio sebagai sumber ilmu. Di kalangan
umat Islam juga berkembang suatu kesadaran untuk menjadikan ayat-ayat qauliyah
sebagai objek kajian pokok, tetapi mengabaikan ayat-ayat kauniyah yang justru
menyimpan begitu banyak misteri dan mengandung khazanah keilmuan yang kaya.[13]

Menyadari bahwa dampak dualisme atau dikotomi keilmuan Islam telah begitu
besar, para pemikir Muslim mulai menggagas konsep integrasi atau
bahkan keilmuan Islam, yang
mencoba membangun suatu keterpaduan kerangka keilmuan Islam, dan berusaha
menghilangkan dikotomi ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu umum di
pihak lain. Namun, konsep ini pun menghadapi kondisi dimana dunia Barat dengan system
dan struktur keilmuwannya yang sudah mapan sangat sulit untuk digoyahkan.

Atas dasar hal di atas, maka diperlukan suatu formula yang dapat menjadi jembatan idealisme
intelektual Islam pada abad pertengahan dengan segala keagungan ajaran dan keilmuwannya
dan kenyataan bahwa saat ini Barat-lah yang telah memiliki dominasi sains modern yang
mapan dengan segala dampak yang ditimbulkan. Konsep, klasifikasi dan akar-akar
pengetahuan pada periode pertengahan, kritik Islam terhadap ilmu Modern; Al qur’an dan
Filsafatnya mengenai ilmu serta model interrelasi merupakan sebuah tawaran yang mencoba
dicari formulasinya dalam tulisan ini.

1. B. Prespektif Islam Abad Pertengahan tentang Ilmu

Sejarah perkembangan peradaban Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: priode klasik (650
-1250 M), priode pertengahan (1250 – 1800 M) dan priode modern (1800 – sekarang).[14]
Namun, dalam pandangan Mehdi Nakotseen, abad pertengahan adalah antara 750 – 1350 M.
[15] pada abad ini, spirit skolatikisme muslim yakni berupaya menyelaraskan akal dengan
agama dalam pola pendidikan, pengetahuan skolastik, logika dan metode yang dilakukan
untuk mempertemukan pengetahuan sekuler dan dogma religious. Suatu sebab yang
menjadikan Islam dapat menghasilkan Ilmu yang begitu banyak dan varian dalam waktu
singkat yang kemudian menjadi steril sedemikian cepat dapat diketahui melalui sifat dasar
skolatikisme Islam. Bersifat kreatif dan dinamus di satu sisi tetapi juga reaksioner dan
finalistic di sisi lain. [16]

1) Konsep Pengetahuan

Dalam membahas konsep ilmu pengetahuan dalam ranah filsafat, epistemology merupakan
pembahasan yang secara khusus membahas tentang ilmu pengetahuan. Harun Nasution
menjelaskan bahwa pengertian epistemologi berakar dari episteme, yang bermakna
pengetahuan. Epistemology diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang apa itu
pengetahuan, dan bagaimana memperolehnya.[17] Epistemologi adalah cabang filsafat yang
secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan.[18] Epistemologi berasal dari bahasa
Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Epistemologi menjangkau permasalahan-
permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal
yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-
hari.[19]
Dalam menjelaskan ilmu secara terminology, al-Attas menggunakan dua definisi, pertama,
ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu adalah
datangnya (hushul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua,
sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai
datangnya jiwa (wushul) pada makna sesuatu atau obyek ilmu.[20] Hal ini berimplikasi ilmu
itu mencakup semua hal.

Selain kata ilmu, ada kata lain yang sering disamaartikan dengan ilmu, yaitu sains. Pada
kenyataannya, keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya keduanya memang berbeda.
Dalam menjelaskan definisi sains, Mulyadi kartanegara mengutip Kamus Webster’s New
World Dictionary, sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian,
dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau dari sesuatu yang
dikaji.[21]Definisi ini dari hari ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakins
sempit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala obyek pengetahuan, baik itu fisik, metafisik,
maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian fisik empirik saja, tanpa menghiraukan
adanya entitas-entitas metafisika yang merupakan bagian dari epistemologi. Dari pembatasan
ini, akan muncul anggapan bahwa sains adalah kajian yang langsung bisa dibuktikan dengan
kongkrit dan jelas, dan itu hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik saja. Di sinilah
letak kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi keilmuan Barat.[22]

Menurut al-Ghazali, terdapat empat kelompok manusia pencari kebenaran. Masing-masing


kelompok mempunyai ciri-ciri khas sendiri. Pertama, kelompok mutakallimun (ahli
teologi), yaitu mereka yang mengakui dirinya sebagai eksponen pemikir intelektual (ra’y)
dan nazar. Menurut pandangan ini, hakikat pengetahuan dapat diperoleh melalui
penyelidikan. Kedua, kelompok bathiniyah, terdiri dari para pengajar yangmempunyai
wewenang (ashab al ta’lim) menyatakan bahwa hanya merekalah yang mendapat kebenaran
yang datang dari seorang guru yang memiliki pribadi sempurna. Ketiga, para filosof yang
menyatakan diri sebagai kelompok logikus (mantiq) dan burhan, dan orang yang dapat
menjangkau kebenaran melalui logika tersebut. Dan keempat adalah kelompok sufi yang
menyatakan bahwa hanya merekalah yang dapat mencapai tingkat kebenaran terhadap Allah
melalui penglihatan (musyahadah) dalam pengertian secara bathiniah dan pembukaan tabir
(mukasyafah)dan dengan kedua hal itulah hakikat pengetahuan dapat diraih. [23]

Al Kirmani dalam Hunzai mendefinikan knowledge dan ‘ilm sebagai sesuatu yang rumit. ‘Ilm
dengan “ to find out things according to their term” (untuk menemukan sesuatu sesuai
dengan bentuknya (term)”.[24] Ia mengkategorikan eksistensi pengetahuan kedalam fisik dan
non fisik. Yang dhohir dengan yang batin. Semua ilmu yang berkembang dalam Islam (secara
umum ilmu-ilmu alam dan kosmologi yang berkembang pada zaman pertengahan)
menunjukkan kepada suatu kesatuan yang saling berhubungan. Karena itu, di dalam
memandang kesatuan alam atau kosmos, seseorang harus mengakui pula asas ketuhanan.[25]

2) Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana dikemukakan Nash, berbagai cabang ilmu dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan
dipandang dari perspektif Islam pada akhirnya adalah satu. Dalam Islam sebenarnya tidak
dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dengan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu
dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki
tertentu, tetapi hierarki itu pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang Hakikat Yang
Maha Tunggal yang merupakan substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan
kenapa para pemikir dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang
dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim ke dalam hierarki ilmu pengetahuan
menurut Islam. Dan ini pulalah alasan kenapa para ulama, pemikir, filosof, dan ilmuwan
Muslim sejak dari Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, sampai Al-Ghazali, Nashir Al-Din Al-
Thusi, dan Mulla Shadra sangat peduli dengan klasifikasi ilmu-ilmu.[26]

Klasifikasi ilmu yang diberikan para ahli bukan bertujuan untuk medikotomi ilmu yang pada
perkembangannya lebih banyak menimbulkan mudhorot daripada kemaslahatan dalam
kehidupan manuasi itu sendiri. Klasifikasi ilmu sendiri dimaksud untuk lebih mempermudah
manusia dalam mempelajari ilmu agar manusia memiliki keahlian tertentu dalam disiplin
keilmuan, tapi tidak menafikkan ilmu lain sehingga terjadi keseimbangan dalam dirinya yang
membawa kemanfaatan.

Dasar epistimologis yang digunakan cukup kuat. Selama ini, telah muncul pandangan dan
keyakinan bahwa Islam menuntun agar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dilakukan
secara utuh, yaitu bersumberkan pada ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan
sekaligus ayat-ayat kauniyah (hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis). Kedua
sumber itu harus dipandang sama pentingnya. Melalui al-Qur’an, umat manusia disuruh
untuk memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bumi dihamparkan, langit ditinggikan, dan
bagaimana gunung ditegakkan. Perintah seperti ini adalah sangat erat terkait dengan
pengembangan sains yang bermanfaat untuk membangun sebuah peradaban.[27]

Berikut adalah klasifikasi ilmu pengetahuan oleh beberapa ilmuwan Muslim:

a) Klasifikasi Al Farabi[28]

Al-Farabi menyitir tiga kriteria yang menyusun hierarki ilmu. Pertama, kemuliaan materi
subjek (syaraf al-maudhu’), berasal dari prinsip fundamental ontologi. Kedua, kedalaman
bukti-bukti (istqsha’ al-barahin), didasarkan atas pandangan sistematika pernyataan
kebenaran dalam berbagai ilmu yang ditandai perbedaan derajat kejelasan dan keyakinan
(basis epistemologi). Selama gagasan tentang kedalaman bukti berhubungan secara langsung
dengan permasalahan metedologis, kriteria kedua dapat dianggap menetapkan basis
metodologis penyusunan hierarki ilmu. Kertiga, tentang besarnya manfaat (’izham al-jadwa)
dari ilmu yang bersangkutan (basis etis).[29]

Klasisifikasi ilmu menurut Al Farabi secara garis besar terbagi menjadi 5 hal yakni: 1). Ilmu
Bahasa (syntac, grammer, pronounciation and speech dan puisi); 2). Logika; 3). Ilmu
propaedetik yang terdiri dari ilmu aritmatic, geometri, optik, astrologi, music, astronomi, dll;
4).ilmu fisika (kealaman) dan metafisika; 5). Ilmu Sosial yakni Yurisprudensi dan
retorika.[30] Sedangkan menurut Oesman Bakr, klasisifikasi imu Al Farabi dapat dibagankan
sebagai berikut:[31]

Bagan 1 : Klasifikasi Ilmu Al Farabi

b) Klasifikasi Ibnu Khaldun.


Nama lengkapnya adalah Waliyuddin ’Abd al Rahman Ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Abi Bakr Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Khaldun. Dia lahir di Tunisia tanggal 1 Ramadhan
732 H / 27 Mei 1333M dan wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H / 19 Maret
1406M.[32] Namanya adalah Abdurrahman, Kuniyah-nya (nama panggilan) dari nama
panggilan keluarga yaitu Abu Zaid, laqob-nya (gelar) adalah Waliyuddin, dan panggilan
terkenalnya adalah Ibnu Khaldun.[33] Ia adalah Sejarawan Muslim, Filosof, ekonom, politisi
dan juga seorang pendidik, dari semua prediket yang diberikan, Ia lebih dikenal sebagai
Bapak Ilmu Sejarah dan salah satu peletak ilmu sosial.

Beliau memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada
otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu yang
berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk yang pertama adalah ilmu-ilmu al-Quran,
hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf, dan ta’bir al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah
filsafat (metafisika), matematika, dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.[34]

Pandangan Ibnu Khaldun berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris.[35] Melalui
pendekatan ini memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan
praktis. Pemikiran Ibnu Khaldun yang demikian, Menurut Andi Hakim layak disebut sebagai
Sains Falsafiyah yang telah dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626 M) dua setengan
abad kemudian.[36] Dan sebagai seorang Ilmuwan, Ibnu Khaldun berhasil membuat
pemikiran sintesis antara aliran pemikiran idealisme dengan aliran realisme.[37] Perpaduan
antara kedua pemikiran inilah yang pada saat ini disebut dengan Metode Ilmiah. Atau dengan
kata lain, corak pemikiran Ibnu Khaldun dapatlah dikatakan “sangat Modern” pada masanya.
Menurut Muhammad Iqbal, Ibnu Khaldun adalah satu-satunya muslim yang telah memasuki
dunia tasawwuf yang sepenuhnya berjiwa ilmiah.[38]

Bila kita lihat pengelompokan di atas, barangkali bisa disederhanakan menjadi: 1). Ilmu
aqliyah , dan 2). Ilmu naqliyah. Dalam penjelasan selanjutnya Ibnu Khaldun menyatakan:

“Kelompok pertama itu adalah ilmu-ilmu hikmah dan falsafah. Yaitu ilmu pengetahuan yang
bisa diperdapat manusia karena alam berpikirnya, yang dengan indra—indra
kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek-objeknya, persoalannya, segi-segi
demonstrasinya dan aspek-aspek pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikannya
itu menyampaikan kepada mana yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya
sebagai manusia berpikir. Kedua, ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i. Ilmu itu secara
keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat konvensi syara “ [39]

Dalam klasifikasipertama, iaitu al-Ulum` al-Hikmiyyah al-Falsafiyyah (akal) terdapat


beberapa jenis ilmu, yaitu :(1) Logika; (2) Ilmu-ilmu alam atau fisik meliputi pengobatan,
pertanian, (3) ilmu yang diluar ilmu alam atau meta fisik seperti ilmu sihih, alchemy, dan3)
ilmu yang ada kaitannya dengan data kuantitatif; sedangkan pada pembagian ke dua adalah
yang ditransmisikan yakni: Al qur’an dan tafsirnya, hadits dan tafsirnya. fiqih, teolog, sufi
(tasawuf), dan Ilmu bahasa (grammer, lexicography dan literature).[40]

c) Klasifikasi Imam Al Ghazali [41]

Selain Ibnu Khaldun, sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua jenis, ‘ilm
syar’iyyah dan ‘ilm ghair syar’iyyah.[42] Yang pertama digolongkan sebagai ilmu fardhu
‘ain untuk menuntutnya, sedangkan yang kedua sebagai ilmu fardhu kifayah. Sekalipun al-
Ghazali membedakan antara keduanya dalam hal penuntutannya, beliau menggunakan
konsep integral dalam memandang ilmu secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat dari
penggolongan kedua ilmu tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.

Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah artikulasi terbaik mengenai epistemologi ilmu


pengetahuan yang diperolehnya dalam karya Imam abu Hamid Muhammad al Ghazali (1058-
1111). Al Ghazali adalah seorang guru besar akademi Nizamiyah Baghdad. Al Ghazali
menganalisis pengetahuan berdasarkan tiga kriteria, yaitu:[43]

1. Pengetahuan dilihat dari sumbernya[44]


2. Pengetahuan dilihat dari sisi kewajiban melaksanakannya[45]
3. Pengetahuan dilihat dari fungsi sosialnya.[46]

Secara bertingkat, Al Ghazali melihat bahwa ilmu pengetahuan tidak saja hanya dapat dilihat
dari nilai manfaatnya, melainkan juga dari kewajiban mempelajarinya. Di sini tampak
kecenderungan al Ghazali untuk mengemukakan nilai-nilai tanggung jawab individu dan
masyarakat secara hukum. Pemikiran ini setidak tidaknya akan memberi dorongan kepada
masyarakat untuk menguasai ilmu pengetahuan. Al Ghazali berpendapat bahwa ilmu sebagai
obyek tidak bebas nilai. Setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari harus dikaitkan dengan nilai
moral dan nilai manfaat. Karena itu selanjutnya ia melihat ilmu dari sudut pandang nilai dan
membaginya menjadi dua kelompok.[47] Pembagian yang didasarkan atas nilai manfaat bagi
yang mempelajarinya dan bagi kepentingan masyarakat ini akan dipaparkan dalam table
berikut:

Bagan 2 : Klasifikasi Ilmu menurut Al Ghazali

d) Klasifikasi Quthb Al Din Al Syirazi

Seperti Al-Farabi, Ibnu Khaldun dan Al-Ghazali, Quthb Al-Din Al-Syirazi mempunyai minat
universal pada hampir setiap cabang ilmu di samping filsafat dan teologi.Dia menghasilkan
banyak karya tulis tentang kedokteran, geometri, optika, astronomi, geografi, ilmu bahasa,
filsafat dan ilmu-ilmu religius termasuk komentar-komentar atas Al-Qur’an. Berdasarkan
bibliografi-bibliografi tradisional, ditetapkan ada sekitar lima puluh risalah yang dinisbahkan
kepada Quthb Al-Din Al-Syirazi termasuk beberapa syair yang ditulisnya dalam bahasa arab
maupun Persia.[48]Tetapi dalam bidang ilmu dan filsafat, ada beberapa karya ensklopedik
atas namanya.Dalam abad-abad berikutnya karya-karya ini menjadi salah satu di antara yang
paling banyak dibaca di dunia Islam. Karya-karya ini juga merupakan sumber yang sangat
diperlukan bagi pemahaman akan perkembangan ilmu dan filsafat Islam kemudian.

Penulis mencoba menggolongkan tulisan-tulisan Quthb Al-Din Al-Syirazi menurut klasifikasi


ilmu yang telah dikemukakannya dalam Durrat al-Taj.Dalam Durrat al-Taj, Quthb Al-Din
Al-Syirazi membagi pengetahuan menjadi dua jenis, yakni yang filosofis (al-hikmi) dan yang
non filosofis (ghair al-hikmi).Selanjutnya kategori kedua dibagi menjadi yang religius dan
yang non religius.

Konsep kunci dalam klasifikasi Quthb Al-Din Al-Syirazi adalah hikmah (filosofi atau
filsafat). Perbedaan antara bentuk hikmah dan bentuk bukan hikmah pengetahuan merupakan
basis dasar klasifikasinya. Karena itu, beberapa penjelasan atas pandangan Quthb Al-Din Al-
Syirazi mengenai hikmah, sangat diperlukan jika kita hendak memahami landasan filosofis
klasifikasinya.

Menurut Quthb Al-Din Al-Syirazi, pandangan bahwa hikmah (kebijaksanaan) merupakan


bentuk pengetahuan tertinggi dan termulia dianut oleh segenap kaum Muslim. Dalam Durrat
al-Taj, dia mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk memperlihatkan bahwa kepercayaan kaum
Muslim pada keunggulan hikmah memperoleh dukungan eksplisit dan kuat dalam wahyu
Islam.[49] Tetapi, kita sama-sama mengetahui bahwa definisi hikmah maupun perbedaan dari
sesuatu yang bukan hikmah masih menjadi perdebatan di kalangan kaum Muslimin karena
tidak ada ayat Al-Qur’an maupun hadist Nabi yang memberikan jawaban eksplisit untuk
persoalan ini. Karena alasan tersebut, Quthb Al-Din Al-Syirazi menjelaskan bahwa dalam
pemahamannya tentang hikmah dia mengikuti tradisi ahl ma’rifah (arti harfiah: orang-orang
yang mempunyai pengetahuan yang benar).

Berikut ini adalah klasifikasi ilmu menurut al Sirazi:

Bagan 3 : Klasifikasi Ilmu Quthb Al-Din Al-Syirazi

Dari pembagian ini, bisa kita simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya meliputi ilmu-
ilmu ‘aqidah dan syari’ah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk
menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita akan mempelajari
tanda Allah dari ayat qauliyyah, yang bisa disebut dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu
ghair syra’iyyah, kita akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat
raya ini, yang disebut dengan tafakkur.

Berdasarkan pembagian ilmu yang telah disebutkan sebelumnya, secara garis besar objek
ilmu dapat dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu alam materi dan non-materi. Sains
mutakhir yang mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia
membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya
realitas yang tidak dapat dibuktikan di alam materi. Oleh karena itu, objek ilmu menurut
mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapan yang dapat berkembang secara kualitatif
dan penggadaan, variasi terbatas, dan pengalihan antarbudaya.

Obyek ilmu dalam Islam -sebagaimana telah disinggung di atas-tidak hanya terbatas pada
kajian fisik empirik saja, tetapi mencakup alam materi dan nonmateri, karena itu, sebagian
ilmuwan Muslim-khususnya kaum sufi melalui ayat-ayat Al-Quran- memperkenalkan ilmu
yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-Khams (lima kehadiran Ilahi) untuk
menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud. Kelima hal tersebut adalah: (1) alam
nasut (alam materi), (2) alam malakut (alam kejiwaan), (3) alam jabarut (alam ruh), (4) alam
lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan (5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).[50]
Tentu ada tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang
kelima hal tersebut. Dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Nahl [16] ayat 78:

َ‫ار َواأل ْفئِدَة َ لَعَله ُك ْم تَ ْش ُك ُرون‬


َ ‫ص‬َ ‫س ْم َع َواأل ْب‬ َ َ‫ون أ ُ هم َهاتِ ُك ْم ال ت َ ْعلَ ُمون‬
‫ش ْيئًا َو َجعَ َل لَ ُك ُم ال ه‬ ِ ‫ط‬ُ ُ‫َّللاُ أ َ ْخ َر َج ُك ْم ِم ْن ب‬
‫َو ه‬

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur (menggunakannya sesuai dengan petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan).

Dan juga di dalam surat Al-Israa’ [17] ayat 36

‫ص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل أُولَئِكَ َكانَ َع ْنهُ َم ْسئُوال‬


َ ‫س ْم َع َو ْال َب‬
‫ْس لَكَ ِب ِه ِع ْل ٌم ِإ هن ال ه‬ ُ ‫َوال ت َ ْق‬
َ ‫ف َما لَي‬

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.

Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu; pendengaran, mata


(penglihatan), dan akal serta hati dalam mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan. Trial and
error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan (probability) merupakan
cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung juga oleh
Al-Quran, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir tentang alam
raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya kendatipun hanya berkaitan dengan upaya
mengetahui alam materi.[51] Seperti yang ada pada:

a) Q.S. Yunus [10]: 101

َ‫ض َو َما ت ُ ْغنِي اآليَاتُ َوالنُّذُ ُر َع ْن قَ ْو ٍم ال يُؤْ ِمنُون‬


ِ ‫األر‬
ْ ‫ت َو‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ُ ‫قُ ِل ا ْن‬
‫ظ ُروا َماذَا فِي ال ه‬

Katakanlah: “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda
kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak
beriman”.

b) Q.S. Al-Ghasyiyah [88]: 17-20

‫ض‬ ْ ‫﴾ َو ِإلَى‬19﴿ ‫ت‬


ِ ‫األر‬ َ ‫﴾ َو ِإلَى ْال ِج َبا ِل َكي‬18﴿ ‫ت‬
ِ ُ‫ْف ن‬
ْ ‫ص َب‬ ْ ‫ْف ُر ِف َع‬
َ ‫اء َكي‬ ‫﴾ َو ِإلَى ال ه‬17﴿ ‫ت‬
ِ ‫س َم‬ َ ‫ظ ُرونَ ِإلَى اإل ِب ِل َكي‬
ْ ‫ْف ُخ ِل َق‬ ُ ‫أَفَال َي ْن‬
﴾20﴿ ‫ت‬ ْ ‫س ِط َح‬ُ ‫ْف‬ َ ‫َكي‬

Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit


ditinggikan, bagaimana gunung-gunung ditancapkan, dan bagaimana bumi dihamparkan?

c) Q.S. Al-Syu’ra’ [26] : 7


‫ض َك ْم أ َ ْنبَتْنَا فِي َها ِم ْن ُك ِِّل زَ ْوجٍ ك َِر ٍيم‬ ْ ‫أََ َولَ ْم يَ َر ْوا ِإلَى‬
ِ ‫األر‬

Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapakah banyak Kami tumbuhkan di bumi itu
aneka ragam tumbuhan yang baik?

d) Q.S. Yusuf [12] : 109

‫ْف َكانَ َعا ِق َبةُ الهذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم‬ ُ ‫ض فَ َي ْن‬


َ ‫ظ ُروا َكي‬ ِ ‫ألر‬ ُ ‫وحي ِإلَ ْي ِه ْم ِم ْن أَ ْه ِل ْالقُ َرى أَفَلَ ْم َي ِس‬
ْ ‫يروا ِفي ا‬ ِ ُ‫س ْلنَا ِم ْن َق ْبلِكَ ِإال ِر َجاال ن‬
َ ‫َو َما أ َ ْر‬
ُ َ ‫ه‬
َ‫اآلخ َرةِ َخي ٌْر ِللذِينَ اتهقَ ْوا أفَال تَ ْع ِقلون‬
ِ ‫ار‬ ُ َ‫َولَد‬

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu
kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu
melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan
Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka
tidakkah kamu memikirkannya?

e) Q.S. Al-Ankabut [29] : 20

‫ِير‬ َ ‫َّللاَ َعلَى ُك ِِّل‬


ٌ ‫ش ْيءٍ قَد‬ ِ ‫ئ النه ْشأَةَ ا‬
‫آلخ َرة َ إِ هن ه‬ ‫ْف بَدَأ َ ْالخ َْلقَ ث ُ هم ه‬
ُ ‫َّللاُ يُ ْن ِش‬ ُ ‫ض فَا ْن‬
َ ‫ظ ُروا َكي‬ ِ ‫األر‬ ُ ‫قُ ْل ِس‬
ْ ‫يروا فِي‬

Katakanlah (hai Muhammad): “Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana


Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi
(membangkitkannya sesudah mati kelak diakhirat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.

Dari ayat-ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk memahami suatu ilmu, Al-
Quran telah memberikan suatu metode, yaitu melalui pengamatan dan penelitian.[52]
Dimulai dengan pengamatan dan penelitian yang bersifat umum menjadi suatu kesimpulan
yang bersifat khusus. Metode tersebut sekarang lebih populer disebut dengan “metode
induktif”.

Allah telah memberikan manusia hidayah inderawi. Yang paling tampak dari hidayah ini
adalah pendengaran dan penglihatan, ini diberikan agar manusia berinteraksi dengan alam
semesta yang ditempatinya, dengan sesuatu yang di atasnya dan dengan orang yang
mendiaminya. Lalu ia menggunakannya dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang sengaja
dicipta untuknya.[53]

Namun demikian, indera mempunyai batas lapangan sendiri yang tidak bisa dilampuinya. Ia
mungkin sekali melakukan kesalahan. Penglihatan sekalipun dianggap sebagai indera paling
kuat mungkin melakukannya. Ia melihat bayang-bayang diam padahal sebenarnya bergerak,
melihat fatamorgana yang dikiranya air dan ketika ia mengejar ke tempatnya ia tidak
menemukan apa-apa. Sesuatu yang kelihatannya kecil padahal sebenarnya besar karena
begitu jauhnya. Oleh karena itu, Allah mengaruniai manusia hidayah yang lebih tinggi yaitu
akal, yang dapat meluruskan kesalahan indera. Wilayah garapannya adalah hal-hal yang
noninderawi seperti ilmu hitung, perkara-perkara yang abstrak, aturan-aturan umum dan
segala yang tidak dapat diinderakan.[54]
Struktur keilmuan Islam sebagaimana tersebut diatas tentunya bisa dilihat dari klasifikasi
ilmu yang dibuat Oleh Para ilmuwan atau sarjana Muslim. Pada umumnya mereka membagi
ilmu ke dalam dua kelompok utama: ilmu agama dan non-agama. Al Farabi menyebutnya
filosofis dan non filosofis, Al-ghazali menyebut kedua kelomopok tersebut sebagai ilmu-
ilmu syar’iyyah” dan ghayr syar’iyyah,” Menurut Ibn Khaldun, menyebut mereka “al-‘ulum
al-naqliyyah” (transmitted sciences) dan “al-‘ulum al-‘aqliyyah” (rational sciences).
Sementara Quthb al-Din Syirazi menyebut mereka, ‘ulum hikmi (philosophical sciences)
dan ‘ulum ghayr hikmi (non-philosophical sciences).

3) Akar-Akar Ilmu Pengetahuan (Science)

Kehadiran alam fisika sebagai realitas menjadi jembatan untuk melihat sesuatu yang bersifat
metafisika yakni Yang Ada di balik fisik dan ciptaan-ciptaan itu. Keragaman alam semesta
yang tak terhingga oleh manusia merupakan kenyataan-kenyataan yang tak bisa ditolak
begitu saja tanpa argumentasi yang logis, yang berangkat dari kesadaran tentang realitas yang
diperoleh dari pendengaran, penglihatan dan hati.

Alam semesta adalah sumber ilmu yang kedua yang merupakan ciptaan Allah SWT karena
sebelum adanya alam semesta, Allah lebih dahulu ada yang tidak berpermulaan dan tak
berakhir. Sedangkan alam memiliki permulaan dan masa akhir. Oleh karena itu ilmu dari
Allah yang bersifat langsung bersifat absolut, sedangkan ilmu lewat alam semesta bersifat
relatif.

Menurut Al Qur’an, mempelajari kitab alam akan mengungkapkan rahasia-rahasianya


kepada manusia dan menampakkan koherensi (keterpaduan), konsistensi dan aturan di
dalamnya. Ini akan memungkinkan manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantara
untuk menggali kekayaan-kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan
mencapai kesejahteraan material lewat penemuan-penemuan ilmiahnya.[55]

Al Qur’an sebagai “kitab tertutup” dan alam semesta sebagai “kitab terbuka” saling
memperkuat kedudukannya masing-masing. Artinya, Al Qur’an memuat informasi-informasi
tentang material dan struktur alam semesta, sedangkan rahasia-rahasia alam semesta bisa kita
cari informasinya lewat Al Qur’an dan alam semesta itu sendiri, karena Al Qur’an merupakan
wahyu Allah dan alam adalah ciptaan Allah. Dengan demikian, realitas kebenaran bisa
ditemukan di dalam Al Qur’an sekaligus juga bisa ditemukan pada alam semesta karena
berasal dari satu sumber yakni Allah SWT Maha Kreatif alias Pencipta.

Selain alam semesta dan Al Qur’an, masih ada satu sumber lagi yakni Hadits yang berupa
petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, berdasarkan pemberitahuan atau aplikasi dari petunjuk
wahyu kepada Nabi SAW terutama pengetahuan dan ilmu tentang tata cara beribadah
mahdhah yang kita lakukan selama ini seperti; shalat, zakat, puasa, dan haji, lebih banyak kita
mendapat model atau contoh langsung dari Rasulullah SAW, yang secara esensial tidak bisa
diubah atau ditukar dengan cara-cara yang lain.

Di dalam kitab As-Sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifah wa Al-Hadharah, dijelaskan bahwa


“Sunnah merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an bagi fikih dan hukum Islam. Sunnah
juga merupakan sumber bagi da’wah dan bimbingan bagi seorang muslim, ia juga merupakan
sumber ilmu pengetahuan religius (keagamaan), humaniora (kemanusiaan), dan sosial yang
dibutuhkan umat manusia untuk meluruskan jalan mereka, membetulkan kesalahan mereka
ataupun melengkapi pengetahuan eksperimental mereka”[56]
Prinsip tauhid di dalam Islam, menegaskan bahwa semua yang ada berasal dan atas izin Allah
SWT. Konsep yang mengatakan bahwa Allah SWT lah yang mengajarkan manusia
disebutkan dalam Al-Quran (2:31, 55:2, 96:4-5, 2:239). Di dalam ayat lain 5:1-4 disebutkan
bahwa “Dia telah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia dan mengajarinya penjelasan
(bayan)”. Tauhid memiliki implikasi tidak hanya sebagai kerangka keimanan (frame of faith)
tetapi juga sebagai kerangka pemikiran (frame of tought) dalam menenukan hakikat
kebenaran yang ada di semesta ini. Tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan dimensi
filosofis yang sangat relefan dalam upaya memahami hakikat ilmu pengetahuan.[57] Ia
merupakan akar tradisi para intelektual muslim pada masa keemasannya.

Kehadiran tauhid ditengah pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi mengandung makna
bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan dengan pendekatan
interdisipliner atau multidisipliner, diamalkan secara etis dan tidak bebas nilai. [58] Tauhid
menghendaki umat Islam melihat segala sesuatunya melampui yang bersifat fisik, sebab pada
realitasnya, yang fisik tersebut masih terdapat hal lain yang justru dapat melengkapi
pemahaman mengenai realitas apa adanya (das ding an sich).[59]

1. C. Kritik Islam terhadap Ilmu Modern

Ketika modernisme meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih dominan


dari yang lain, serta agama justru diletakkan pada jenjang terendah dalam struktur
pengetahuannya, maka sebagai konskuensi logisnya terjadilah pergeseran nilai-nilai yang
terkandung di dalam pandangan hidup, sikap dan perilaku hidup masyarakat, dari derajat
yang bersifat kualitatif-spiritual menjadi kuantitatif-material. Pada saat kebenaran
pengetahuan agama ditempatkan sedemikian rupa, sehingga kedudukan dan fungsinya
dianggap kurang signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal timbulnya kesulitan-
kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam hidup dan kehidupan
manusia dewasa ini.

Pada era millennium ketiga ini, perkembangan sains berlangsung begitu sangat mengesankan
dan bahkan sangat spektakuler di hampir semua bidang kajian. Sebuah kemajuan yang pada
abad sebelumnya bahkan tak pernah terbayangkan. Namun kemajuan diberbagai bidang sains
itu kebanyakan masih dipelopori oleh para ilmuan dan cendikiawan Barat, dan karenanya
menjadikan sains berada dalam kerangka filosofis pemikiran mereka yang sekuler, pragmatis,
positivistik dan materialistik. Paradigma pemikiran ini pada gilirannya akan mempengaruhi
konsep, interpretasi, makna-makna, dan idiom-idiom ilmu pengetahuan. Thomas Khun dalam
The Structure of Scientific Revolution mengungkapkan bahwa dalam pembentukan suatu teori
selalu terdapat factor-faktor lain seperti citarasa estetis, nilai moral, dan ikatan-ikatan sosial
tertentu. Dimensi subyektif ini memang tidak bersifat eksplisit sehingga tidak dapat diukur
secara kuantitatif dan empiris, tetapi secara implisit hal tersebut sangat menentukan dalam
proses penemuan sebuah teori.[60]

Di satu sisi, perkembangan sains yang sedemikian hebat tersebut membawa berbagai
kemudahan dan kenyamanan dalam kehidupan manusia. Hal-hal yang pada masa sebelumnya
hanya merupakan hayalan belaka kemudian pada zaman sekarang diwujudkan keberadaannya
oleh perkembangan sains tersebut. Manusia benar-benar dimanjakan oleh kemajuan sains dan
anak keturunannya, yakni teknologi.
Tapi di sisi yang lain, perkembangan tersebut membawa dampak negatif yang sangat
mengkhawatirkan, terutama bila bila dipandang dari perspektif nilai-nilai etis agama. Dari
segi hubungan antar manusia, sains telah mengantarkan manusia pada kehidupan yang
sedemikian individualistis bahkan apatis terhadap manusia yang lain. Praktek kanibalisasi
model hewani sudah menjadi sarapan pagi manusia dengan sains sebagai pendukung
utamanya. Sains telah menyebabkan patologi social berupa alienasi, anomali, schizophrenia,
split of personality, kenestapaan dan menangis dalam bingkai tawa.

Kemajuan ilmu dan teknologi yang semula bertujuan untuk mempermudah pekerjaan
manusia, tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakuran baru
bagi kehidupan manusia. Ibarat Raja Midas yang menginginkan setiap yang disentuhnya
berubah jadi emas, ternyata ketika keinginannya dikabulkan, dia tidak semakin senang, tetapi
semakin gelisah bahkan gila. Sebab tidak saja rumah dan isi rumahnya yang berubah jadi
emas, tetapi istri dan anak yang disentuh pun menjadi emas sehingga sang Raja meratapi
nasibnya yang kesepian tanpa ada makhluk hidup yang mendampinginya. Begitupun dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semula untuk memudahkan urusan manusia, namun
ketika urusan itu semakin mudah malah memunculkan rasa kesepian dan keterasingan yang
baru.[61] Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan
hidup.[62]

Dari segi hubungan manusia dengan alam tidak kalah buruknya dengan dua segi hubungan di
atas. Alam telah menjadi komoditas utama untuk dieksplorasi dan direduksi sedemikian rupa
semata-semata untuk memuaskan hasrat dan keinginan manusia. Alam hanya diperlakukan
sebagai sebuah komoditi yang seutuhnya menjadi hak manusia untuk diapakan dan
dibagaimanakan saja tanpa memperhatikan ekosistem, keseimbangan hayati dan
keanekaragamannya serta keberlangsungannya. Bencana-bencana dahsyat yang disinyalir
disebabkan oleh rusaknya keseimbangan alam tetap tidak mampu mengerem apalagi
menghentikan nafsu manusia untuk merusak alam demi sains dan teknologi.

Dari segi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia telah tercerabut dari akar-akar
spiritulitasnya yang fitrah. Agama telah menjadi sampah karena Tuhan telah mati di hati para
manusia pemuja sains tersebut.[63] Oleh karenanya, maka agama dan Tuhan sama sekali
tidak menjadi pertimbangan utama dalam menjalani kehidupan ini sehingga tidak heran jika
manusia-manusia tersebut mengalami ketidakbermaknaan dalam kehidupannya sebagai
akibat dari pengingkaran mereka akan kebutuhannya pada agama dan Tuhan. Sains pada segi
tertentu telah menghantarkan manusia pada kehampaan spiritual. Sains telah mencerabut diri
dari maksud utama kelahirannya sendiri, yakni memanusiakan manusia, oleh karena filsafat
sekuler yang membidani lahirnya sains tersebut telah kontradiktif dengan fitrah manusia.
Bahkan, pada taraf tertentu, sains harus mampu menafikan peran agama dan sama sekali
tidak menyertakan Tuhan agar agar sains bisa semakin maju.

Dalil tersebut bisa dilacak pada pendapat Auguste Comte ketika mengkategorikan sejarah
perkembangan intelektual manusia dengan membaginya pada tiga tahapan. Pertama, tahap
teologis, yaitu tahapan dimana manusia selalu mencari dan menemukan sebab dan rujuan
akhir dari segala sesuatu yang ada. Tahap awal perkembanga intelektual masyarakat ini
disebut juga dengan tahap fiktif, karena segala fenomena yang menarik perhatian manusia di
alam semesta selalu dikaitkan dengan atau diletakkan dalam konteksnya dengan sesuatu yang
mutlak. Kedua, tahap metafisik, yakni suatu tahap peralihan menuju perkembangan jiwa yang
paling akhir karena manusia mulai berubah cara berpikirnya dalam usahanya mencari dan
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan fenomena alam.
Pada tahap metafisik ini, meskipun jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang tidak
berbeda dengan apa yang dilakukannya pada tahap teologi, namun di sini manusia sudah
mampu melepaskan diri dari kekuatan yang adikodrati dan beralih pada kekuatan
abstraksinya. Ketiga, tahap positif, merupakan tahap akhir dari perkembangan jiwa di mana
manusia tidak lagi berkepentingan pada hal-hal yang berkaitan dengan sebab pertama dan
tujuan akhir. Manusia pada tahap ini merasa lebih dekat dan memerlukan penjelasan tentang
fenomena alam secara jelas, pasti, dan bermanfaat melalui observasi, dan pada tahap ketiga
inilah perkembangan sains berlangsung.[64]

Dalam pandangan Islam, kekeliruan paling mendasar dari sains modern dari perspektif
filosofis, dapat dipandang paling tidak dari tiga aspek, yakni ontologi, epistemology dan
aksiologi.[65] Kekeliruan dalam aspek ontologi, terkait dengan yang ada (being) sebagai
obyek kajian dalam sains. Dalam konteks ini, sains modern hanya membatasi diri
pada obyek-obyek empiris, fisik, materi, dan eksternal. Dengan kata lain, sains modern
hanya akan berurusan dengan obyek-obyek yang teramati oleh indra. Hal-hal abstrak yang di
luar jangkauan panca indera dan pengalaman manusia dianggap sebagai bukan urusan sains.
Dengan demikian, berdasarkan perspektif positivisme tersebut, sifat utama sains modern
adalah berorientasi pada fenomena empiris. Sedangkan hal-hal yang tidak dapat dibuktikan
secara empiris, meskipun sebenarnya ada seperti Tuhan, ruh atau jiwa, malaikat, dan
seterusnya dikeluarkan dari wilayah kajian sains. Sebagai konsekwensinya, maka wahyu,
moral, ruhani, dan spiritual yang tidak dapat diukur dan dibuktikan secara empiris-kuantitatif
menjadi tidak berarti dan dianggap lebih rendah derajatnya. Pada gilirannya segala ilmu yang
bersumber agama mengenai masalah-masalah moral, kehidupan setelah mati, surga, neraka,
dan seterusnya yang tidak bisa diobservasi, diukur, dan dibuktikan dikategorikan sebagai
tahayul, rendahan, tidak bermuatan ilmu, serta tidak ada nilainya sama sekali. Inilah sebagian
indikasi sedang berlangsungnya proses sekularisasi terhadap ilmu pengetahuan yang telah
berlangsung sejak lama di Eropa.

Ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas paradigm filsafar Barat yang sekuler
tersebut jelas tidak memberikan tempat bagi pemahaman tauhid. Filsafat materialism
misalnya yang menganggap materi merupakan satu-satunya kejadian di alam dan merupakan
tujuan dari gerak-gerak alam semesta sangat jelas telah menafikan dunia spiritual, rohani, dan
persoalan supranatural yang mendasari segala keberadaan benda-benda material di alam
jagad. Pemikiran seperti ini sama artinya dengan menempatkan alam semesta sebagai realitas
yang independen dari pencipta. Singkat kata, berdasarkan filsafat ini maka alam semesta
tidak dipandang sebagai ciptaan Tuhan. Alam semesta dianggap terjadi begitu saja secara
kebetulan—meminjam istilah dalam teori Darwin: sebagai hasil dari sebuah proses evolusi.
Dengan demikian sains modern telah meniadakan pemaham tauhid tentang asal usul dan
tujuan alam semesta ini sebagai berasal dan akan kembali pada Tuhan. Disinilah filsafat Barat
sebagai landasan sains modern yang memiliki watak materialism tersebut dapat
mendiskreditkan sendi-sendi keimanan masyarakat muslim.

Kekeliruan mendasar lain dari filsafat materialisme dan positivisme dapat pula dipandang
dari sudut epistemologi, yaitu bagaimana seseorang dapat memperoleh sesuatu pengetahuan
yang benar. Secara epistemologis sains Barat hanya membenarkan pengetahuan yang
diperoleh melalui metode ilmiah, dengan melibatkan proses verifikasi dan pengukuran secara
matematis, verbal, empirisnya. Mereka memandang metode ilmiah dalam pengertiannya yang
positivistic itu, sebagai satu-satunya jalan untuk mengetahui dan memperoleh pengetahuan.
Berdasarkan anggapan itu, sains modern dengan demikian menolah secara tegas metode-
metode lain sebagai cara yang abash untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan Islam
merekomendasikan penggunaan berbagai cara untuk mencapai ilmu pengetahuan seperti
observasi, eksperimen, intuisi, dan pemikiran rasional. Sumber sains Barat yang
berlandaskan positivism dan materialism hanya terpaku pada fenomena alam atau realitas
empiris dan menolah wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Islam di lain pihak,
menyatakan bahwa disamping fenomena alam, wahyu (Al-Qur’an dan Hadits) yang sahih
juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang abash.

Kesalahan dan kerancuan yang lebih mendasar dari filsafat positivistik ini dapat ditinjau dari
sudut pandang aksiologi. Persoalan aksiologi di sini terkait dengan nilai-nilai yang melandasi
dan menentukan tujuan dirumuskan dan digunakannya ilmu pengetahuan. Sains Barat
mengklaim bahwa ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai, sehingga kaum akademisi Barat
mempertahankan ide “sains untuk sains”. Mereka menolak dan mengabaikan nilai-nilai moral
dan menganggapnya sebagai relatif, subyektif dan personal. Mereka juga menolak agama
sebagai sumber ilmu pengetahuan.[66] Akan tetapi, tatkala Barat menolak nilai-nilai moral
mereka sesungguhnya menggantinya dengan nilai-nilai lain, yakni yang sarat dengan muatan
nilai-nilai positivistik, pragmatis, utilitarian, dan materialistis, oleh karenanya tidak bebas
nilai. Jadi, sesungguhnya tujuan dari sains Barat adalah untuk memuaskan kebutuhan materi
yang bersifat duniawi dengan mengabaikan pemenuhan kebutuhan rohani, moral, dan
spiritual. Sains tanpa nilai-nilai moral benar-benar akan membawa ke jurang kehancuran
yang massif. Sedangkan tujuan sains menurut pandangan Islam, disamping untuk
memperoleh manfaat bagi kebahagiaan hidup di dunia, juga untuk memenuhi kebutuhan
rohani, moral, dan spiritual demi kebahagiaan akhirat yang justru menjadi tujuan utama.
Dengan ungkapan lain, tujuan akhir untuk mencari ilmu pengetahuan adalah mengetahui dan
mengabdi kepada Allah dalam rangka mencari keridhaan dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Dengan jalan ini, maka kebutuhan fisik yang bersifat materi dan kebutuhan rohani yang
bersifat spiritual dapat terpenuhi sehingga manusia mampu mencapai kebahagiaan di dunia
dan akhirat.

Dengan demikian peradaban modern yang berkembang di Barat sejak zaman Pencerahan
adalah sebuah eksperimin yang telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya, sehingga
umat manusia menjadi ragu akan pertanyaan apakah mereka menemukan cara-cara yang lain
di masa yang akan datang. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hossein Nasr , karena
manusia modern yang memberontak melawan Allah, telah menciptakan sains yang tidak
berdasarkan cahaya intelek, jadi berbeda dengan yang kita saksikan di dalam sains Islam pada
masa kejayaan klasik, tetapi berdasarkan kekuatan akal (rasio) manusia semata untuk
memperoleh data melalui indera, sehingga peradaban modern hanya ditegakkan di atas
landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling esensial dari
manusia itu sendiri.[67]

1. D. Al qur’an dan Filsafatnya mengenai Ilmu

Berusaha memahami konseps ilmu-ilmu ke-Islam-an, pertama-tama harus


dilacak terlebih dahulu pengertian dan hakikat ilmu secara umum. Pengertian dan
hakikat ilmu sejak lama menjadi bahan polemik di kalangan filosof dan ilmuwan.
Bahkan dalam konteks bahasa Indonesia, istilah “ilmu” seringkali dikacaukan dengan
istilah “pengetahuan”. Itulah sebabnya menjadi tidak mudah memberikan definisi
“ilmu”. JuJun Suriasumantri, mengartikan ilmu sebagai pengetahuan yang memiliki tiga
karakteristik, yaitu: rasional, empiris, dan sistematis.[68]
Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Amsal Bachtiar, yang
menyatakan bahwa ilmu
merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktika
n kebenarannya secra empiris.[69]
Dengan mempertimbangkan maksud dan tujuan penggunaan kata ilmu serta
karakteristik yang dimilikinya, istilah ilmu merupakan padanan dari bahasa Inggris,
“science”. Ilmu yang berasal dari kata bahasa Arab, ‘ilm ( ‫ﻢ‬-‫ـﻠ‬-
‫ )ﻋ‬adalah sinonim dengan “science” dalam bahasa Inggris. Itulah sebabnya Mulyadhi
Kartanegara menyatakan:

Menurut saya, istilah ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan isti
lah
science dalam epistemologi Barat. Sebagaimana sains dalam epistemologi Barat dibeda
kan dengan knowledge, ilmu dalam epistemologi Islam dibedakan dengan opini (ra’y).
Sementara
sains dipandang sebagai any organized knowledge, ilmu didefinisikan sebagai “pengeta
huan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Dengan demikian, ilmu bukan sembarang
pengetahuan atau sekadar opini, melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.[70]

Di dalam Ensiklopedi Islam kata ilmu berasal dari bahasa Arab, ilmu yang berarti
pengetahuan, merupakan lawan kata dari jahil ketidaktahuan atau kebodohan.[71] Kata ilmu
dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti
proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas
tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan ’arafa (mengetahui), ‘arif
(yang mengetahui) dan ma’rifah (pengetahuan).”[72] Karena kata ‘ilm lebih mengandung arti
kejelasan.

Allah Swt. tidak dinamakan arif, tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lam (Dia mengetahui),
dan biasanya Al-Quran menggunakan kata itu-untuk Allah-dalam hal-hal yang diketahui-
Nya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Seperti; ya’lamu ma yusirrun (Allah
mengetahui apa yang mereka rahasiakan) [Q.S. Al-Baqarah: 77], ya’lamu ma fi al-arham
(Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim) [Q.S. Luqman : 34], ya’lamu ma
tahmil kullu untsa (Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan)
[Q.S. Al-Ra’d: 8], ya’lamu ma fi anfusikum (Allah mengetahui apa yang di dalam hatimu)
[Q.S. Al-Baqarah: 235], ya’lamu ma fissamawat wa ma fil ardh (Allah mengetahui apa yang
ada di langit dan di bumi) [Q.S. Al-Hujarat: 16], khainat al-‘ayun wa ma tukh fiy ash-shudur
(kedipan mata dan yang disembunyikan di dalam dada) [Q.S. Al-Mu’min:20]. Demikian juga
‘ilm yang disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.[73]

Ini menunjukkan bahwa makna dasar akar kata ‘ain-lam-mim adalah diambil dari kata
‘alamah, yang berarti ‘tanda’, ‘simbol’ atau ‘lambang’, yang dengan itu seseorang atau
sesuatu dapat dikenal. Juga berarti pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk atau gejala.
Karenanya, ma’lam (jamak ma’alim) berarti petunjuk jalan, atau sesuatu yang menunjukkan
dirinya, atau dengan apa yang seseorang ditunjukkan. Hal yang sama, alam juga berarti
rambu jalan sebagai petunjuk.[74]

Di dalam al-Mu’jam al-Mufahras li-alfaz Al-Qur’an al-Karim yang dinukil oleh Yusuf al-
Qardhawi, kata ‘ilm (ilmu) baik dalam bentuk definitive (ma’rifah) maupun dalam bentuk
indefinitif (nakirah) terdapat 80 kali. Sedangkan kata yang berkait dengan itu seperti kata
‘allama (mengajarkan), ya’lamun (mereka mengetahui), ya’lamu (ia mengetahui), ‘alim
(sangat tahu) dan sebagainya disebut beratus-ratus kali.[75] Hal ini belum termasuk kata al-
‘aql, al-Albab dan an-Nuha, al-Fiqh, al-Hikmah dan al-Fikr yang mana semuanya memiliki
keterkaitan dengan kegiatan ilmiah.

Selain dalam Al-Qur’an, dalam al-Hadis juga banyak dijumpai tentang diskursus ilmu. Hal
ini dapat dilihat dari berbagai kitab Hadis yang secara spesifik menampilkan bab tentang
ilmu. Misalnya dalam kitab Hadis al-Jami’ Al-Sahih karya Imam Muhamad Bin Isma’il al-
Bukhari -sebagaimana dinukil oleh al-Qardawi – didapati bab ilmu sesudah hadis-hadis
permulaan yang menjelaskan tentang turunnya wahyu dan iman. Demikian pula dikatakan
oleh al-Hafiz Ibn Hajar dalam kitabnya al-Fath, hadis-hadis tersebut dengan katagori marfu’
sejumlah 102 hadis.[76] Demikian pula kitab Hadis lainnya seperti Sahih Muslim, sunan al-
Turmudhi, sunan Abi Daud, Al-Nasa‘i dan Ibn Majah terdapat pula bab ilmu baik yang
mengupas secara luas maupun singkat dengan berbagai tipologi faliditasnya yang sahih,
dha’if maupun hasan.

Di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi,
‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali,[77] Delapan bentuk
ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah
Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan
keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui,
mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau
fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.

Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian
ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki
kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional
dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36). “Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu
persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat “suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang
tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal
adalah hal itu” [78] “Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya kekuatan intelektual yang
menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu
melampaui yang konkrit” .[79]

Dalam bahasa Arab, pengetahuan digambarkan dengan istilah al-ilm, al-ma’rifah dan al-
syu’ur. Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia
merupakan salah satu sifat Allah SWT. Al-ilm berasal dari akar kata ‘ilm dan diambil dari
kata ‘alamah, yang berarti “tanda”, “simbol”, atau ”lambang”, yang dengannya sesuatu itu
dapat dikenal. Tapi alamah juga berarti pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk dan
gejala. Karenanya ma’lam (jamak ma’alim) berarti petunjuk jalan, atau sesuatu yang
menunjukkan dirinya atau dengan apa seseorang ditunjukkan. Hal yang sama juga pada kata
alam berarti rambu jalan sebagai petunjuk. Di samping itu, bukan tanpa tujuan al-Quran
menggunakan istilah ayat baik terhadap wahyu, maupun terhadap fenomena alam. Pengertian
ayat (dan juga ilm, alam, dan ’alama) di dalam al-Quran tersebut yang menyebabkan Nabi
SAW mengutuk orang-orang yang membaca ayat 3:190-195 yang secara jelas
menggambarkan karakteristik orang-orang yang berfikir, mambaca, mengingat ayat-ayat
Allah SWT di muka bumi tanpa mau merenungkan (makna)nya.

Dalam al qur’an kata ilm ternyata disebut sebanyak 105 kali lebih banyak dari penyebutan
kata al dien sebanyak 103 kali, tetapi dengan kata jadianya ia disebut tidak kurang dari 744
kali untuk menyebutnya secara terinci sebagi berikut; alima (35), ya’lamu (215), I’lam
(31),yu’lam’u (1) ilm (105), alim (18), ma’lum(13), almiin (73), ’alam (3), a’lam (49), alima
atau ulama’ (163), allam (4), a’lama (12) Yu’limu (16), ulima (3), Mu’alam (1), ta’lama (2),
dari kata jadian itu timbul berbagai pengertian. [80]

Dari sudut bahasa Indonesia Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ilm kata jadian dari ‘alima,
ya’lamu, ‘ilman,menjadi ilmun, ma’lumun, alim’un, dalam bahasa arab alima sebagai kata
kerja, berarti tahu atau mengetahui yang berarti juga mengetahui.[81] ‘Alima, ya’lamu,
‘ilman, menjadi ilmun, ma’lumun, alim’un dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti:
mengerti, memahami benar-benar. Kata al ilmu dikenal dengan ummu sifaat (sifat-sifat)
tertingggi oleh karena itu kata al ilmu merupakan termasuk dalam tujuh sifat penting Allah
yang bersifat melingkupi (Komprehensif). Jadi pengertian yang terdapat dalam kamus
bahasa indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu. [82]

Berdasarkan ayat pertama kali yang diturunkan dalam Al Qur’an, Ada yang merasa heran
mengapa kata pertama dari ayat yang pertama kali turun tersebut adalah iqra’ atau perintah
membaca. Padahal beliau tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Quran.
Keheranan ini akan sirna jika disadari arti ‘iqra dan disadari pula bahwa perintah ini tidak
hanya ditunjukan kepada pribadi Rasulullah Saw. semata-mata, tetapi juga kepada umat
manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Relasi perintah tersebut merupakan kunci pembuka
jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.[83]

Kata iqra’ (‫ )اقرأ‬terambil dari kata kerja qara’a (‫ )قرأ‬yang pada mulanya berarti
“menghimpun”.[84] Dari menghimpun, lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.

Dengan demikian wahyu pertama ini tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-
Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam
arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-
ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis
maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkaunya.[85]

Di dalam tafsir Ibnu Katsir di jelaskan bahwa Ayat Al-Quran yang pertama turun (surat Al-
‘Alaq: 1-5) adalah ayat-ayat yang mulia lagi penuh berkah. Ayat-ayat tersebut merupakan
rahmat pertama yang dengannya Allah menyayangi hamba-hamba-Nya sekaligus nikmat
yang pertama yang diberikan kepada mereka. Di dalam ayat-ayat tersebut juga memuat
peringatan mengenai permulaan penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan bahwasanya
diantara kemurahan Allah Swt. adalah dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. Dengan demikian, Dia telah memuliakannya dengan ilmu.[86]

Hal tersebut tentunya merupakan suatu penghargaan yang sangat mulia bagi ilmu
pengetahuan dan bagi para ilmuwan. Jadi, jelaslah, bagaimana pandangan Al-Quran terhadap
ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan hal yang istimewa yang menjadikan manusia unggul
daripada makhluk-makhluk Allah yang lainnya guna menjalankan fungsi kekhalifahan di
muka bumi ini. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan di dalam
Al-Quran surat al-Baqarah ayat [2] 30-33.[87]
Selanjutnya, dalam pandangan Al-Quran-seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama-ilmu itu
terdiri dari dua macam, yaitu; pertama ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, ini disebut
‘ilm ladunni, seperti diinformasikan antara lain dalam surat al-Kahfi ayat 65:

‫فَ َو َجدَا َع ْبدًا ِم ْن ِعبَا ِدنَا آتَ ْينَاهُ َرحْ َمةً ِم ْن ِع ْن ِدنَا َو َعله ْمنَاهُ ِم ْن لَدُنها ِع ْل ًما‬

Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba
Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, ini disebut ‘ilm kasbi. Ayat-ayat tentang
‘ilm kasbi ini jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang ‘il ladunni. Pembagian ini
disebabkan dalam pandangan Al-Qur’an terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat
diketahui melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana
ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain dalam surat Al-Haqqah ayat 38-39:

ِ ‫فَال أ ُ ْق ِس ُم بِ َما تُب‬


ِ ‫) َو َما ال تُب‬٣٨( َ‫ْص ُرون‬
)٣٩( َ‫ْص ُرون‬

Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu lihat.

Dengan demikian, objek ilmu di dalam Islam meliputi materi dan non materi, fenomena dan
non fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun
tidak.[88] Hal ini seperti diterangkan di dalam surat Al-Nahl [16]: 8:

َ ‫َو ْال َخ ْي َل َو ْال ِبغَا َل َو ْال َح ِم‬


َ‫ير ِلت َْر َكبُوهَا َو ِزينَةً َو َي ْخلُ ُق َما ال تَ ْع َل ُمون‬

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan
(menjadikannya) perhiasan, dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.

Dari sini jelaslah, bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas, karena itu wajar sekali Allah
menegaskan di dalam surat Al-Isra [17] : 85

‫الرو ُح ِم ْن أَ ْم ِر َر ِبِّي َو َما أُوتِيت ُ ْم ِمنَ ْال ِع ْل ِم إِال قَ ِليال‬ ُّ ‫َويَسْأَلُونَكَ َع ِن‬
ُّ ‫الروحِ قُ ِل‬

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Sifat penting dari konsep pengetahuan dalam al-Quran adalah holistik dan utuh (berbeda
dengan konsep sekuler tentang pengetahuan). Pembedaan ini sebagai bukti worldview tauhid
dan monoteistik yang tak kenal kompromi. Dalam konteks ini berarti persoalan-persoalan
epistemologis harus selalu dikaitkan dengan etika dan spiritualitas.

Tujuan filsafat dan ilmu dalam presepsi al qur’an yakni sama-sama mencari kebenaran.
Hanya saja filsafat tidak berhenti pada satu garis kebenaran, tetapi ingin terus mencari
kebenaran kedua, ketiga dan seterusnya sampai habis energinya. Sedangkan ilmu kadang
sudah merasa cukup puas dengan satu kebenaran dan bila ilmu itu disuntik dengan filsafat
alias pemikiran maka ia kan bergerak maju untuk mencari kebenaran yang lain lagi.
Dalam filsafat illuminasi, “Tuhan kosmos ini adalah Sumber Cahaya, yang dari-Nya wujud
diri yang beradiasi memancarkan suatu cahaya yang menyingkap semua wujud, dan ketika
tiada lagi dunia privasi, non-wujud, dan kegelapan bersanding dengan dosa. Menurut
epistimologi illuminasi, pengetahuan diperoleh ketika tidak ada rintangan antara keduanya.
Dan hanya dengan begitu, subyek mengetahui dapat menangkap esensi obyek”[89]

1. E. Model Hubungan Ilmu dan Agama; Sebuah Tawaran Konseptual

Konsep ilmu-ilmu ke-Islam-an, oleh beberapa pemikir Muslim juga biasa disebut
dengan “sains Islam”. Ketika mencoba menjawab pertanyaan: mengapa sains Islam, Nasim
Butt mengatakan bahwa jika sains memang sarat nilai dengan komponen penting yang
bersifat subjektif (juga objektif), maka tentunya ia bisa dikembangkan melalui selera dan
penekanan kultural yang khas. Artinya, di dalam sebuah masyarakat Islam, nilai yang
membentuk upaya sains dan teknologi haruslah nilai Islami, yang dalam istilah singkatnya
disebut sebagai konsep sains Islam.[90]

Untuk memberikan pemahaman yang memadai tentang konsep integrasi


keilmuan, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah memahami konteks munculnya
ide integrasi keilmuan tersebut. Bahwa selama ini di kalangan umat Islam terjadi suatu
pandangan dan sikap yang membedakan antara ilmu-ilmu ke-Islam-an di satu sisi,
dengan ilmu-ilmu umum di sisi lain. Ada perlakukan diskriminatif terhadap dua jenis
ilmu tersebut. Umat Islam seolah terbelah antara mereka yang berpandangan positif
terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an sambil memandang negatif yang lainnya, dan mereka
yang berpandangan positif terhadap disiplin ilmu-ilmu umum sembari memandang
negatif terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an.

Dari konteks yang melatari munculnya ide integrasi keilmuan tersebut, maka
integrasi keilmuan pertama-tama dapat dipahami sebagai upaya membangun suatu
pandangan dan sikap yang positif terhadap kedua jenis ilmu yang sekarang berkemba
di dunia Islam. M. Amir Ali sebagaimana dikutip Nasim
Butt kemudian memberikan pengertian integrasi keilmuan Integration of sciences means
the recognition that all true knowledge is from Allah aall sciences should be treated with
equal respect whether it is scientific or revealed.[91]

Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua
pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah). Dalam
pengertian yang lain, M. Amir Ali juga menggunakan istilah all correct theories are
from Allah and false theories are from men themselves or inspired by Satan.[92] Dengan
pengertian yang hampir sama Usman Hassan menggunakan istilah “knowledge is the
light that comes from Allah “.[93]

Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan Allah (tawhîd),
sebagaimana dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, the arts and sciences in Islam
are based on the idea of unity, whichh is the heart of the Muslim revelation.[94] Doktrin
keesaan Tuhan, atau iman dalam pandangan Isma’il Razi al Faruqi, bukanlah semata-
mata suatu kategori etika. Ia adalah suatu kategori kognitif yang berhubungan dengan
pengetahuan, dengan kebenaran proposisi-proposisinya. Dan karena sifat dari
kandungan proposisinya sama dengan sifat dari prinsip pertama logika dan
pengetahuan, metafisika, etika, dan estetika, maka dengan sendirinya dalam diri subjek
ia bertindak sebagai cahaya yang menyinari segala sesuatu.
Merumuskan model-model integrasi keilmuan secara konsepsional memang tidak mudah.
Hal ini terjadi karena berbagai ide dan gagasan integrasi keilmuan muncul
secara sporadis baik konteks tempatnya, waktunya, maupun argumen yang
melatarbelakanginya. faktor yang terkait dengan gagasan ini juga tidak tunggal. Ada
beberapa faktor yang terkait dengannya, yakni (1) sejarah tentang hubungan sains
dengan agama ; (2) kuatnya tekanan dari kelompok ilmuwan yang menolak doktrin
“bebas nilai”-nya sains 2; (3) krisis yang diakibatkan oleh sains dan teknologi
; dan (4) ketertinggalan umat Islam dalam bidang ilmu dan teknoilogi.[95]

Kontribusi Barbour untuk menjelaskan bagaimana model hubungan ilmu dan agama adalah
empat tipologinya yang mengkategorikan relasi sains dan agama: konflik, independensi,
dialog, dan integrasi. Teolog Katolik, John Haught, menyebutkan empat tipologi yang serupa:
konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi—dua yang pertama hampir identik dengan
Barbour.[96] Model atau tipologi hubungan antara agama dan sains tersebut menurut Barbour
adalah sebagai berikut: [97]

1. a. Model Konflik.

Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal
kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan
berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-
penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak
gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil
penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja.[98]

Identifikasinya adalah bahwa yang riil yaitu dapat diukur dan dirumuskan dengan hubungan
matematis. Mereka juga berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipaham. Pada akhirnya, penganut paham ini
cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi
kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan
terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji
dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains. Agama tidak lebih dari cerita-cerita
mitologi dan legenda sehingga ada kaitannya sama sekali dengan sains.[99]

Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan
dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan
kerangka makna yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap
rentang yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-
kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh
agama.[100]

Dalam modus ini, sains dan agama bertentangan—“musuh”, jika Anda akan— di mana
masing-masing pihak menganggap yang lainnya salah dan tidak benar. Model ini
berpendirian bahwa agama dan sains adalah dua hal yang tidak sekedar berbeda tapi
sepenuhnya bertentangan. Karena itu, seseorang dalam waktu bersamaan tidak mungkin
dapat mendukung teori sains dan memegang keyakinan agama, karena agama tidak bisa
membuktikan kepercayaan dan pandangannya secara jelas (straight forword), sedang sains
mampu. Sebagaimana halnya agama mempercayai Tuhan tidak perlu menunjukkan bukti
kongkrit keberadaannya, sebaliknya sains manuntut pembuktian semua hipotesis dan teori
dengan kenyataan. Keduanya dianut oleh kelompok biblical literalism, dan kelompok
scientific materialism.[101]

Agama Sains

Bagan 4: Model Relasi Konflik Antara Agama dan Sains

Sehubungan dengan konflik, Barbour dan Haught mendiskusikan pandangan yang disebut
“harmoni”. Dalam pendekatan ini, teks kitab suci ditafsirkan sesuai—sering harfiah—dengan
ilmu pengetahuan modern, seolah-olah menghadirkan abad pengetahuan ilmiah sebelum ilmu
pengetahuan menemukannya. Contohnya banyak ditemukan dalam agama dunia, biasanya di
kalangan pemeluk agama yang konservatif. Islam, menafsirkan Al-Quran untuk
mengungkapkan pengetahuan ilmiah pertama kali dilakukan untuk menumbuhkan kembali
minat umat Islam kepada ilmu pengetahuan modern. [102]

1. b. Model Independen.

Pandangan yang lebih netral daripada konflik adalah independensi, dimana sains dan agama
seperti “dua orang asing”. Keberadaan mereka terpisah secara mandiri, mengajukan
pertanyaan yang berbeda, mengacu ke domain yang berbeda, dan berbicara dalam bahasa
yang berbeda. Domain dari agama adalah alam yang lebih tinggi dimana “Tuhan bekerja
dengan cara yang misterius”, dunia bersifat subjektif dimana ia menyatakan dirinya kepada
manusia, dan individu membuat komitmen pribadi melalui keimanan.

Apa yang terjadi di alam tidak ada hubungan dengan-Nya, sains bekerja untuk mendapatkan
kebenaran tentang dunia fisik yang cukup independen dari agama dengan menggunakan
observasi dan akal. Pandangan independensi juga mencirikan teologi Katolik modern dari
neo-Thomisme (berdasarkan pemikiran dari teolog abad pertengahan, Thomas Aquinas) yang
memisahkan wilayah Tuhan “kausalitas primer” dari ranah “penyebab sekunder”, seperti
hukum alam yang dapat dipelajari secara ilmiah. Pandangan Independensi disuarakan dengan
kuat oleh agamawan dan ilmuwan terkemuka. Di antara mereka adalah paleontolog
terkemuka, Stephen Jay Gould, yang berpendapat bahwa sains dan agama termasuk dalam
“Non-Overlapping MAgesteria (NOMA), atau terpisah “otoritas domain mengajarnya”.[103]

Perbedaan bahasa yang digunakan ilmu pengetahuan dan agama mencerminkan mereka
sangat berbeda fungsi dalam kehidupan masyarakat. Bahasa di dalam Kitab Kejadian I
dimaksudkan untuk mengungkapkan dan menginspirasi orang supaya percaya mengenai
hubungan mereka dengan Tuhan dan penciptaan, dan bukan memberikan informasi rinci
tentang alam semesta fisik. Hal ini sebenarnya bisa merugikan keyakinan keberagamaan
apabila terlalu dekat menyamakan dengan penjelasan ilmiah, karena tahun depan teori ilmiah
bisa berubah![104]

Barbour juga memasukkan hubungan “independensi” yang saling melengkapi, dimana sains
dan agama yang terlihat hidup berdampingan secara terpisah memiliki aspek kontradiktif
keseluruhan yang lebih besar. Argumentasi model ini diantaranya dikemukakan oleh Lang
dan Gilhey, bahwa sains berusaha menjelaskan data obyektif, umum, dan berulang-ulang,
sementara agama berbicara tentang masalah eksistensi tatanan dan keindahan dunia dan
pengalaman seseorang seperti pengampunan, makna, kepercayaan, keselamatan dan lain
sebagainya. Tujuan model ini adalah untuk menghindari konflik antara keduanya dan sebagai
konsekuensi munculnya ilmu pengetahuan baru (new knowledge) seperti penjelasan biologis
atas organisme organ.[105]

Agama Sains

Epistemologi Epistemologi

Bagan 5: Model Relasi Independen Antara Agama dan Sains

1. c. Model Dialog (Contact).

Hubungan ini membangun jembatan antara sains dan agama seperti “persahabatan”. Di sini
ada persamaan dan kesejajaran dalam metodologi keduanya. Dialog juga muncul karena sains
memiliki batas dan tergantung pada penyelidikan alam di luar dirinya. Untuk satu hal, akar
sejarah dan asumsi dasar datang dari luar sains itu sendiri. Banyak yang telah ditulis tentang
pengaruh pemikiran Yunani terhadap munculnya sains, dan dapat dikatakan bahwa peran dari
ide-ide tradisi mereka mengenai alam semesta yang tertib, dimengerti, dan patuh hukum
adalah pengandaian inti dari sains. Sains tidak dapat dilakukan—terutama dalam
kosmologi—apabila tanpa asumsi awal yang diambil dari keimanan, bahwa hukum bekerja di
seluruh ruang dan waktu. Pengaruh ide-ide keagamaan terjadi di awal Islam, dimana
kepercayaan dalam kesatuan pengetahuan dan memelajari alam merupakan “kewajiban
agama” untuk mendekatkan kepada Pencipta menyebabkan kegiatan ilmiah berkembang
dengan pesat.[106]

Model ini bermaksud mencari persamaan atau perbandingan secara metodis dan konseptual
antara agama dan sains, sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Upaya ini dilakukan dengan cara mencari konsep dalam agama yang analog, serupa atau
sebanding dengan konsep dalam sains atau sebaliknya. Suatu model yang berbeda dengan
model kedua yang menekankan perbedaan ansich. Menurut Barbour, kesamaan antara
keduanya bisa terjadi dalam dua hal, kesamaan metodologis dan kesamaan konsep.
Kesamaan metodologis terjadi, misalnya, dalam hal sains tidak sepenuhnya obyektif
sebagaimana agama tidak sepenuhnya subyektif. Secara metodologis, tidak ada perbedaan
yang absolut antara agama dan sains, karena data ilmiah sebagai dasar sain yang dianggap
sebagai wujud obyektifitas, sebenarnya juga melibatkan unsure-unsur subyektifitas. Lebih
dari itu, subyektifitas sains terjadi pada asumsi teoritis yang digunakan dalam proses seleksi,
penafsiran data dan pelaporan. Barbour bahkan menambahkan bahwa persamaan metodologis
ini terletak pada prinsip hubungan antara teori dan pengalaman. Tujuan model ini adalah agar
agama dan sains dapat saling memperluas wawasan dan pengetahuan tentang alam.

Agama Sains
Ontologi

Epistemologi

Aksiologi

Persamaan

Perbedaan

Bagan 6: Model Relasi Dialog Antara Agama dan Sains

d. Model Integrasi (Confirmation)

Relasi terakhir Barbour adalah yang paling dekat dari semuanya dan menyerupai dekatnya
kemitraan atau bahkan pernikahan. Dalam pandangan ini sistem teologis atau keyakinan
agama dapat disintesis dengan pemahaman ilmiah modern menjadi kesatuan visi realitas. Dia
mengidentifikasi tiga pendekatan: teologi alamiah, teologi alam, dan sintesis sistematis.[107]

Alternatif hubungan antara agama dan sains yang dipandang paling ideal adalah model
integrasi. Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah-masalah yang dianggap
bertentangan antara keduanya. Contoh model ini adalah pada bidang Natural Theology yang
menyatakan bahwa bukti adanya desain pada alam semesta membuktikan adanya Tuhan,
sementara Drees menyodorkan sample tentang konsep teologi evolusi ala Piere Teilhard da
Chardin dan filsafat proses Alfred N. Whitehead yang dianggap telah menghasilkan konsep
metafisika yang inklusif. Pada model ini posisi sains adalah memberikan konfirmasi
(memperkuat atau mendukung) keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam semesta,
Kendati Haught mengingatkan agar agamawan tidak membiarkan agama terlibat (intrude)
dalam kerja-kerja aktual sains (the actual work of science). Lebih dari itu, posisi agama
menurut Haught lebih sebagai akar epistemologis bagi penemuan ilmiah. Dengan demikian
agama memberikan dasar bagi keyakinan saintis akan adanya rasionalitas dalam sains.[108]

Ontologi O
ntologi

Epistemologi Epistemologi

Aksiologi Aksiologi

Bagan 7: Model Relasi Integrasi antara Agama dan Sains

1. F. Penutup

Konsep ilmu pada masa abad pertengahan dan para ilmuwan Muslim diantaranya Al Farabi,
Ibnu Khaldun, Al Ghazali maupun Al Siraziy yang dibawanya pada dasarnya masih belum
ada klasifikasi ilmu disatu sisi dan agama disisi lain. Klasifikasi ilmu yang diberikan para ahli
pada masa ini bukan bertujuan untuk lebih mempermudah manusia dalam mempelajari ilmu
agar manusia memiliki keahlian tertentu dalam disiplin keilmuan, tapi tidak menafikkan ilmu
lain sehingga terjadi keseimbangan dalam dirinya yang membawa kemanfaatan. Dan inilah
falsafah yang dikandung al qur’an terkait dengan ilmu sebagaimana tercermin dalam wahyu
pertama surat al ‘Alaq: 1-5.

Berbagai konsep hubungan antara ilmu dan sains yang pada intinya mengericut pada empat
tipologi yakni: konflik, independensi, dialog, dan integrasi merupakan sebuah pilihan yang
masing-masing membawa konsekwensi dalam konseptualnya.

Tipe dialog (interelasi) merupakan upaya konsolidatif ini dilakukan agar diantara keduanya
tidak menjadi instrumen dan medium percekcokan dan sumber konflik bagi kehidupan
manusia, tetapi sebaliknya diupayakan menjadi sumber inspirasi untuk meningkatkan
kearifan dan kesadaran dinamis dalam diri manusia dalam hubungannya dengan alam
(makrokosmos) dan dalam hubungannya dengan sesama manusia (mikrokosmos) dan dalam
hubungannya dengan yang Ilahy (transcendental). Dengan demikian, baik agama maupun
sains sama-sama mengabdi untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran manusia.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, 2002. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar)

______________. 2007. Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Cet I;


Yogyakarta: Penerbit SUKA Press

al-Attas, Syed Mohd. Naquib .1984, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir,
Bandung: Mizan)

Al-Ghazali, Imam. t.t.. Ihya’u Ulum al-Dien, (Beirut: Dar al-Fikr.)

al-Qardhawi, Yusuf. 1989. Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. ter.
Hasan Bahri. )Bandung: Rosda Karya)

_______________. 2001. ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifah wal Hadharah” diterjemahkan


oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya).

Arief, Armai. 2005. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I, Jakarta: CRSD Press

Arifin, Zainul. Model-Model Relasi Agama dan Sains dalam http://ejournal.uin-


malang.ac.id/index.php/psikologi/article/view/353 (Diakses 15 Desember 2011)

Audah, Ali. 1997. Konkordasi Qur’an, (Bandung: Litera antar Nusa)


Azra, Azyumardi. 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan
Demokratisasi,(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara)

Baali, Fuad dan Ali Wardi, 1989. Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka
Firdas)

Bagir, Zainal Abidin dkk. 2009. Integrasi ilmu dan agama: interpretasi dan aksi. (Bandung:
Mizan)

Bakar, Osman .1997. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung:
Mizan)

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Radjawali Press,). Cetakan Kedua.

Barbour, Ian. 2004. Bumi yang Terdesak, (Bandung: Mizan)

Butt, Nasim. 1996. Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung,Pustaka Hidayah).

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 1997. ‘The Concept of Knowledge in Islam and its Implication
for Education in a Developing Country” diterjemahkan oleh Munir, Konsep Pengetahua
dalam Islam, (Bandung: pustaka Amani)

Ensiklopedi Islam, t.th. Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Lehtiar Baru
Vanhoeve,), cet. 4

Ghulsyani, Mahdi. 1989. Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,), Cetakan
Kedua.

Hadi, Hardono .1994. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) (Yogyakarta: Kanisius)

Hassan, Usman. 2003. The Concept of Ilm and Knowledge in Islam, (The Association of
Muslim Scientists and Engineers).

http://id.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille (Diakses pada 12 Desember 2011)

Hunzai, Faquir Muhammad. 2005. “The Concept of Knowledge According to Al Kirmani” in


(ed) Todd Lawson, Reason and Inspiration in Islam: Theology, Philosophy, and Mistism in
Muslim Tought , (London: I.B. Tauris Publishers).

Ibn Ishaq, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman. 2004.“Lubbabu al-Tafsir min Ibnu
Katsir” diterjemahkan oleh, M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid (Bogor: Pustaka
Imam Asy-Syafi’I)

Iqbal, Muhammad. 1986. Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali
Audah dkk, (Jakarta: Tintamas)

Jalaluddin, dan Usman Said. 1994. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan
perkembangan pemikirannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,)
Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Menyibak Teori Kejahilan: Pengantar
Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan )

kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung:


Mizan)

Khaldun, Ibnu. 2000. Mudaddimah, Penerj. Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Firdaus)

Kuhn, Thomas. 1988. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: CV Rosda Karya,)

Lapidus, Ira. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Erlangga).

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina)

Mahmud, Musthafa. 2000. “Min Asraril Qur’an” diterjemahkan oleh Imron Rosadi, Rahasia
dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azam)

Majid, Nurcolis. 1984. Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang).

Masruri, M. Hadi dan Rossidy, Imron, 2007, Filsafat Sains Dalam Al-Qur’an Melacak
Kerangka Dasar Integrasi Sains Dan Agama, Malang: UIN-Malang Press, Cet. Pertama

Mustofa, M. Luthfi dkk. 2007. Intelektualisme Islam: Melacak Akar-Akar Integrasi Ilmu dan
Agama (Malang: LKQS UIN Malang)

Muthahari, Murtadha. 2003. Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Muharram, dkk.,
(Jakarta: Pustaka Zahra)

Nakosteen, Mehdi. 2003. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam. (Surabaya: Risalah Gusti) Cet. 2

Nasr, Seyyed Hossein, 1983, Islam Dan Nestapa Manusia Modern, ter. Anas Mahyudin,
Bandung: Penerbit Pustaka

Nasution, Andi Hakim. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains, (Jakarta: Lentera Antar Nusa)

Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang)

_____________. 1979. Filsafat Islam (Jakarta: UI Press)

_____________. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press)

Nizar, Samsul. 2002.Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press)

Nurdyansyah, Andi. Empat Tipologi HUbungan Sains dan Agama dalam


http://andinurdiansah.blogspot.com/2010/10/empat-tipologi-hubungan-sains-dan-agama.html
(Diakses 15 Desember 2011)
Qardhawy, Yusuf, 1998, As-Sunnah Sumber IPTEK dan Peradaban, penerj. Setiawan Budi
Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)

Raharjo Mujia dkk, 2009. Filsafat ilmu, (Malang: UIN Malang Pres)

Raharjo, M.Dawam. 1996. Ensiklopedi Al qur’an,ilm dalam al qur’an.(Jakarta: Paramadina)

Rahimah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Dalam Islam: Suatu Tinjauan Terhadap
Pandangan Sayid Hussien Nasr. Dalam http://library.usu.ac.id/download/fs/arab-
rahimah7.pdf (Diakses pada 20 Desember 2011)

Said, Nurman. dkk,. 2005. Sinergi Agama dan Sains, (ed) Cet I; Makassar: Alauddin Press

Sardar, Ziauddin. 1989. Sains, Teknologi Dan Pembangunan Di Dunia Islam, terj. Rahmani
astuti, (Bandung, Penerbit Pustaka)

Shihab, M. Quraish. 1997. Quraish Tafsir Al-Quran Karim; Tafsir Ayat-Ayat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah)

_______________. 2007. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Teoritik atas Pelbagai Persoalan


Umat, (Bandung: Mizan)

_______________. 2001, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan,)

Sholeh, Ahmad Khudlori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Pelajar),

Sidik, Abdullah, 1984, Islam dan Filsafat (Jakarta: Triputra Masa)

Stanton, Charles Michael .1990. Higher Learning in Islam (Maryland: Rowman & Littlefield
Publishers, INC.)

Sudjana, Eggi, 2008, Islam Fugnsional, Jakarta: PT Rajawali Press

Suprayogo, Imam. 2003, Problem Relasi Agama dan Sains di Perguruan Tinggi Islam,
Telaah Sosiologi pengetahuan, Reflektika, Jurnal Keislaman IDIA Prenduan, IDIA Prenduan
Sumenep Madura

Suriasumantri, Yuyun. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar
Harapan)

Syaifuddin, Helmi, 2007, Problem dan Prospek Perkembangan Sains, dalam M. Luthfi
Musthofa dan Helmi Syaifuddin (ed.), Intelektualisme Islam Melacak Akar-Akar Integrasi
Ilmu Dan Agama, Malang: LKQS UIN Malang

Wafi, Ali Abdul Wahid. 1984. ‘Abqariyaat Ibnu Khaldun, (Saudi Arabia: Mamlakah Al-
Arabiyah As-su’udiyah).

Wibisono, Koento, 1983, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August Comte,
Yogyakarta: Gadjahmada University Press
Yatim, Badri . 1996. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu, Perspektif Pemikiran Islam (Jakarta. Lintas Pustaka)

Ziai, Hossain. 1990. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, Penerj. Afif Muhammad dan Munir,
(Bandung: Zaman Wacana Ilmu)

[1] Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), hlm.124.

[2] Nurman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri (ed), Sinergi Agama dan Sains,
(Makassar: Alauddin Press, 2005), Cet I. hlm. xxxvi.

[3] Ibid., hlm. xxxvii

[4] H.M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi,
(Cet I; Yogyakarta: Penerbit Suka Press, 2007), hlm. 33.

[5] Diakui oleh Stanton, motivasi ini dapat menantang pelakunya untuk memahami ilmu
secara universal. Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam (Maryland: Rowman &
Littlefield Publishers, INC., 1990) Hlm. 96-97.

[6] M. Zainuddin. Filsafat Ilmu, Perspektif Pemikiran Islam (Jakarta. Lintas Pustaka. .
2006) Hlm 96

[7] Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Erlangga, 2000). Hlm. 123

[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), hal. 68

[9] Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992), hal. 223.

[10] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka


Muhammadiyah, 1960), hlm. 237.

[11] Imam Al-Ghazali, Ihya’u Ulum al-Dien, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 19

[12] Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: CV Rosda Karya,
1988). Hlm.

[13] Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989), Cetakan
Kedua, hal. 78-82.

[14] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya…. Hlm. 23


[15] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam. (Surabaya: Risalah Gusti, 2003) Cet. 2. Hlm. vii

[16] Ibid., Hlm. xi

[17] Harun Nsution, Filsafat Islam (Jakarta: UI Press, 1979). Hlm. 10

[18] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 243.

[19] Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm.
6-7.

[20] Syed Mohd. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir,
Bandung: Mizan, 1984, hal. 43.

[21] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,


Bandung: Mizan, 2003, hal. 2.

[22] Murtadha Muthahari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Muharram, dkk.,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 314. Penjelasan senada juga bisa dibaca dalam Islam
dan Sekularisme, (Bandung: Mizan, 2001). hlm. 46.

[23] Faquir Muhammad Hunzai, “The Concept of Knowledge According to Al Kirmani” in


(ed) Todd Lawson, Reason and Inspiration in Islam: Theology, Philosophy, and Mistism in
Muslim Tought , (London: I.B. Tauris Publishers, 2005). Hlm. 128

[24] Ibid., Hlm. 133

[25] Rahimah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Dalam Islam: Suatu Tinjauan Terhadap
Pandangan Sayid Hussien Nasr. Dalam http://library.usu.ac.id/download/fs/arab-
rahimah7.pdf (Diakses pada 20 Desember 2011). Hlm. 3

[26] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan


Demokratisasi, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta: 2002, hal. 110.

[27] Imam Suprayogo, Problem Relasi Agama dan Sains di Perguruan Tinggi Islam, Telaah
Sosiologi pengetahuan, Reflektika, Jurnal Keislaman IDIA Prenduan, IDIA Prenduan
Sumenep Madura: 2003, hal. 23

[28] Nama lengkap Al Farabi adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij,
suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam
lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Ia berasal dari keturunan Persia.
Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan
menetap di Damsyik Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia
atau orang Turki. Lebih lengkap tentang biografi beliau, lihat dalam Harun Nasution,
Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hlm. 26. Osman Bakar,
Hierarki Ilmu …Ibid., hlm. 26. Dan Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra
Masa, 1984), hlm. 89
[29] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung:
Mizan, 1997,), hlm. 65

[30] Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilitation in Islam (Chicago: ABC International
Group, inc., 2001) Hlm. 60-62

[31] Oesman Bakar, Hierarki Ilmu … Ibid., Hlm. 64-66

[32] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). Hlm.
139.

[33] Ali Abdul Wahid Wafi, ‘Abqariyaat Ibnu Khaldun, (Saudi Arabia: Mamlakah Al-
Arabiyah As-su’udiyah, 1984). Hlm. 19.

[34]Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan,


2005), hal. 46.

[35] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002) Hlm. 93

[36] Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 1999)
Hlm.55

[37] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka
Firdas, 1989) Hlm. 41.

[38] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam. Alih bahasa
oleh Ali Audah, dkk. (Jakarta: Tintamas, 1966) Hlm. 139

[39] Nurcolis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Hlm. 310).

[40] Setted Hissen Nasr (Science and civilitation in Islam (Chicago: ABC Internati Grpup ,
2001) Hlm 15

[41] Al Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Ibnu Muhammad At Thusi Al Ghazali,
lahir di Thus, dekat Masyhad, Khurasan, tahun 450 H/ 1058 M, dari seorang ayah penenun
wool (Ghazzal) sehingga ia dijuluki Ghazali. Lihat dalam Ahmad Khudlori Sholeh, Wacana
Baru Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 80

[42]Al-Ghazali, Ihya` ‘Ulum al-Din, jil. I, hal. 17

[43] Ziauddin Sardar, Sains, Teknologi Dan Pembangunan Di Dunia Islam, terj. Rahmani
astuti, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1989), hlm. 32

[44] Sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu Pengetahuan yang diwahyukan, misalnya
Pengetahuan yang diperoleh oleh para nabi dan rasul, dan pengetahuan yang tidak
diwahyukan, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengamatan, percobaan, dan
akulturasi (penyesuaian).
[45] Dari sisi ini ada dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan yang diwajibkan kepada
seseorang (fardlu ‘ain) dan pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardlu
kifayah).

[46] Dilihat dari fungsi sosialnya, pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitu ilmu yang terpuji,
dan ilmu yang tercela

[47] Jalaluddin, dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan
perkembangan pemikirannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 142

[48]Daftar yang paling lengkap dan juga laporan terbaik tentang karya-karya Quthb Al-Din
Al-Syirazi yang pernah diberikan sejauh ini adalah daftar dan laporan dari J. T. Walbridge
III. Lihat Philosophy of Quthb Al-Din Al-Syirazi:A Study in the Integration of Islamic
Philosophy, tesis PhD, Harvard University (Mei, 1983), Apendiks C, hlm. 236-276

[49]Ayat yang berulang-ulang dikutip adalah ayat berikut: Dia (Allah) menganugerahkan
kebijaksanaan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barang siapa yang dianugerahi
kebijaksanaan itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak (Q.S. Al-
Baqarah: 269).

[50]Ibid., h. 574

[51]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, Ibid. Hlm. 575-576

[52]Musthafa Mahmud, “Min Asraril Qur’an” diterjemahkan oleh Imron Rosadi, Rahasia
dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azam, 2000), hlm. 108

[53]Yusuf Al-Qardhawi, ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifah wal Hadharah” diterjemahkan


oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2001), hlm. 118

[54]Ibid., h. 119

[55] Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, penerj. Agus Efendi, (Mizan,
Bandung: 1990). Hlm. 54

[56] Yusuf Qardhawy, , As-Sunnah Sumber IPTEK dan Peradaban, penerj. Setiawan Budi
Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998). Hlm. 101

[57] M. Luthfi Mustofa, Tauhid: Akar Tradisi INtelektual Masyarakat Muslim dalam M.
Lutfi MUsthofa, dkk (ed) Intelektualisme Islam: Melacak Akar-Akar Integrasi Ilmu dan
Agama, (Malang: LKQS UIN Malang, 2007). Hlm.12

[58] Ibid., Hlm. 13

[59] Ibid. Hlm. 18

[60] M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains Dalam Al-Qur’an Melacak
Kerangka Dasar Integrasi Sains Dan Agama, (Malang: UIN-Malang Press, Cet. Pertama,
Agustus 2007), hlm. 1
[61] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 223-224

[62] Helmi Syaifuddin, Problem dan Prospek Perkembangan Sains, dalam M. Luthfi
Musthofa dan Helmi Syaifuddin (ed.), Intelektualisme Islam … Ibid., hlm. 145

[63] Hal tersebut sebenarnya dapat dipahami bila dipandang dari perspektif awal mula
perkembangan sains sejak masa Renaissance yang merupakan upaya pembebasan akal dari
kekangan dan belenggu Gereja dan menjadikan fakta empiric sebagai sumber pengetahuan.
Lihat Eggi Sudjana, Islam Fugnsional, (Jakarta: PT Rajawali Press, 2008) hlm. 6

[64] Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August Comte,
(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1983), hlm. 11-13

[65] M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains Dalam Al-Qur’an Melacak
Kerangka Dasar Integrasi Sains Dan Agama, (Malang: UIN-Malang Press, Cet. Pertama,
Agustus 2007), hlm. 3-5

[66] Eggi Sudjana, Islam Fugnsional, (Jakarta: PT Rajawali Press, 2008) hlm. 10

[67] Seyyed Hossein Nasr, Islam Dan Nestapa Manusia Modern, ter. Anas Mahyudin
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), hlm. 55

[68] Yuyun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,( Jakarta: Sinar
Harapan, 1998), hlm. 147.

[69] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Radjawali Press, 2005). Cetakan Kedua, hal. 57-
65

[70]
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Teori Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Ban
dung: Mizan , 2003), hal. 1

[71]Ensiklopedi Islam, Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Lehtiar Baru
Vanhoeve, t.th), cet. 4, h. 201

[72]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Teoritik atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 2007), h. 571

[73]Ibid., h. 571-572

[74]Wan Mohd Nor Wan Daud, ‘The Concept of Knowledge in Islam and its Implication for
Education in a Developing Country” diterjemahkan oleh Munir, Konsep Pengetahua dalam
Islam, (Bandung: pustaka Amani, 1997), h. 66

[75]Yusuf al-Qardhawi, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. ter.
Hasan Bahri. )Bandung: Rosda Karya, 1989), h. 1

[76]Ibid

[77] Ali Audah, Konkordasi Qur’an, (Bandung: Litera antar Nusa, 1997). Hlm. 278-279
[78] Ibnu Khaldun, Mudaddimah, Penerj. Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).
Hlm. 669.

[79] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah
dkk, (Jakarta: Tintamas, 1986). Hlm. 129.

[80] M.Dawam raharjo,Ensiklopedi Al qur’an,ilm dalam al qur’an.(Jakarta: Paramadina,


1996),,hlm:531

[81] Ibid, hlm:528

[82] Mujia raharjo dkk, Filsafat ilmu, (Malang: UIN Malang Pres,2009). ,hlm:5

[83]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran Karim; Tafsir Ayat-Ayat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 77

[84]Ibid.,

[85]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit., h. 569

[86]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Ala Syaikh, “Lubbabu al-Tafsir
min Ibnu Katsir” diterjemahkan oleh, M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid (Bogor:
Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004), h. 96

[87]Q.S. Al Baqarah: 30-33 yang artinya “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para
Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku
lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam
Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat
lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah
kepada mereka Nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka
Nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa
Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu
lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”

[88]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, op.cit., h. 572-573

[89] Ziai, Hossain, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, Penerj. Afif Muhammad dan Munir,
(Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1990). Hlm. 13

[90] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung,Pustaka Hidayah, 1996), hal. 59.

[91] Ibid., Hlm.75

[92] Ibid.
[93] Usman Hassan, The Concept of Ilm and Knowledge in Islam, (The Association of
Muslim Scientists

and Engineers, 2003), hal. 3.

[94] Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American
Library, 1970), hal. 21-22.

[95] Nasim Butt, op-cit, hal. 67

[96] http://id.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille (Diakses pada 12 Desember 2011)

[97] Barbour, Ian, Bumi yang Terdesak, (Bandung: Mizan, 2004). Hal. 26

[98] M. Quraish Sihab,1994, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 2001) hal: 53.

[99] Andi NUrdyansyah, Empat Tipologi HUbungan Sains dan Agama dalam
http://andinurdiansah.blogspot.com/2010/10/empat-tipologi-hubungan-sains-dan-agama.html
(Diakses 15 Desember 2011)

[100] Ibid.,

[101] Ian Barbour, Bumi yang Terdesak... hal. 26

[102] Zainul Arifin, Model-Model Relasi Agama dan Sains dalam http://ejournal.uin-
malang.ac.id/index.php/ psikologi/article/view/353 (Diakses 15 Desember 2011)

[103] Ian Barbour, Bumi yang Terdesak... hal. 26

[104] Ian Barbour, Bumi yang Terdesak... hal. 27

[105] Zainal Abidin Bagir, dkk. Integrasi ilmu dan agama: interpretasi dan aksi. (Bandung:
Mizan, 2009). Hal.22

[106] Ian Barbour, Bumi yang Terdesak… hal. 30

[107] Zainal Abidin Bagir,Jarot Wahyudi,Afnan Anshori, Ibid. Hlm. 22.

[108] Ian Barbour, BUmi yang terdesak. hlm. 26

Share this:

http://makinmaju.wordpress.com/2013/09/03/interrelasi-agama-dan-ilmu/

Anda mungkin juga menyukai