BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan kemajuan sains dan teknologi di Barat,
nilai-nilai agama berangsur-angsur bergeser bahkan bersebrangan dengan
ilmu. Bagi kalangan ilmuwan Barat, agama adalah penghalang kemajuan
karena beranggapan jika ingin maju agama tidak boleh lagi mengurus
masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia seperti politik dan sains.
Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi tema dan term popular di
kalangan intelektual Islam, di Indonesia maupun di negara-negara lain. Hal
tersebut tidak lepas dari kesadaran ber-Islam di tengah pergumulan dunia
global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dan dapat
menyusul Barat mana kala mampu mentransformasiakan ilmu pengetahuan
dalam memahami wahyu atau memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Hal inilah yang memunculkan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan
di antara keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap
bersifat relegius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan
istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan dari latar belakang masalah di atas, penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana defenisis dan sejarah integralisme Ilmu dalam Islam?
2. Apa konsep integrasi ilmu pengetahuan?
3. Ide integralisme ilmu dalam Islam?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Integralisme Ilmu dalam Islam
1. Pengertian
Secara leksikal, term “integrasi” berasal dari bahasa inggris integration
dari kata kerja integrate yang berarti menggabungkan, menyatupadukan,
mempersatukan. Jadi integrasi adalah penggabungan atau penyatuan beberapa
hal menjadi satu kesatuan yang solid dan utuh dan tidak dapat dipisah-
pisahkan. Secara konsep keilmuan, tidak ada pemisahan antara satu disiplin
dengan disiplin keilmuan lainnya. Semuanya berjalan menurut konteksnya dan
saling melengkapi satu sama lain dan memberi manfaat dalam kehidupan
manusia.
Salah satu istilah paling populer dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu
agama adalah kata Islamisasi. Menurut Echols dan Hasan Sadiliy, kata
Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang berarti pengislaman.
Dalam kamus Webster, Islamisasi bermakna to bring within Islam. Makna
luasnya adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah
orang atau manusia, bukan Ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.1
Tokoh-tokoh islamisasi ilmu memberikan pengertian sendiri tentang
istilah islamisasi ilmu ini, diantaranya:2
a) Menurut Sayed Husein Nasr, Islamisasi ilmu adalah upaya
menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa
dipahami masyarakat muslim di mana mereka tinggal. Artinya, islamisasi
ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara berfikir dan
bertindak (epistimologis dan aksiologis) masyarakat Barat dengan muslim.
b) Menurut Hanna Djumhana Bastaman, Islamisas Ilmu adalah upaya
menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti
1
Abudin Nata, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Ciputat: UIN Jakarta Press
2003), Cet. I, hlm. 171
2
A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 240
3
3
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Gagasan-gagasan Besar para
Ilmuan muslim), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 633
4
4
Budi Handrianto, Islamisasi sains (Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern),
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 118
5
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet.
IX), hlm. 405
6
Khudori Soleh, Folsafat Islam (dari Klasik hingga Kontemporer), (Jogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), hlm.232
5
Attas tahun 1977. Ia menulis makalah tentang itu dengan judul Preliminary
Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of
Education, yang disampaikan di “First World Comference on Mosleem
Education” di Makkah, atas sponsor Universitas King Abdul Aziz. Kemudian
disempurnakan lewat bukunya yang berjudul The Consepts of Education in
Islam a Framework for an Islamic Philosophy of Education.
Naquib lebih berbicara persoalan ontologis dan epistemologi ilmu.
Menurutnya, islamisasi ilmu tidak bisa dilakukan hanya dengan
mempertemukan di antara keduanya, tetapi juga perlu dilakukan adanya
rekonstruksi ontologis dan epistemologis, karena dari sini inilah sebuah
keilmuan lahir. Adapun cara mengubah cara pandang dunia Barat yang sekuler
adalah lewat apa yang disebut Islamisasi bahasa, sebab semua bermula dari
pikiran dan perubahan pikiran paralel dengan perubahan bahasa.
Gagasan islamisasi ilmu ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari
para intelektual Muslim dunia. Karena itu, pada 1977 diadakan konferensi
internasional pertama di Swiss untuk membahas lebih lanjut ide Islamisasi
ilmu tersebut. Konferensi I ini ternyata memberi pengaruh besar bagi para
ilmuan Muslim dunia. Di Amerika, gerakan islamisasi ilmu disambut dan
dipelopori oleh Ismael Raji Al-Faruqi (1921-1986 M) sehingga didirikan
sebuah perguruan tinggi The International Institute of Islamic Thought (IIIT),
tahun 1981 di Washington.
Secara terperinci IIIT bertujuan : 1) meningkatkan pandangan Islam yang
universal dalam mengkaji permasalahan global Islam; 2) mengembalikan jati
diri intelektual dan kultural umat Islam lewat usaha Islamisasi ilmu;
3) mengembangkan pendekatan komprehensif yang Islami terhadap ilmu-ilmu
sosial dan kemanusiaan; 4) menghidupkan pemikiran Islam.
Kemudian, tahun 1983 diadakan konferensi II di Islamabad, Pakistan.
Setelah konferensi II menyusul konferernsi III yang diadakan tahun 1984, di
Kuala Lumpur. Tujuannya adalah untuk mengembangkan rencana reformasi
landasan berfikir umat Islam dengan mengacu secara lebih spesifik kepada
metodologi dan prioritas masa depan. Tiga tahun kemudian, tahun 1987
6
7
Khudori Soleh, Filsafat..., hlm. 234
8
Syahrullah Iskandar, Studi al-Qur’an dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, (Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya I, Vol. I, 2016), hlm. 87
7
itu milik mereka sendiri. “Sains Islami” mereka adalah sains universal dan
global di zamannya.9
Namun bagi sains modern Barat sering menganggap rendah status
keilmuan ilmu-ilmu keagamaan.10 Ketika berbicara tentang hal-hal gaib, ilmu
agama tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah ilmu dapat dikatakan ilmiah
apabila objek-objeknya bersifat empiris. Padahal ilmu-ilmu agama tidak dapat
menghindari pembicaraan hal yang ghaib seperti Tuhan, malaikat, dan
sebagainya sebagai pembicaraan pokok.
Dikotomi ini menjadi sangat tajam karena telah terjadi pengingkaran
terhadap validitas dan status ilmiah yang satu dan yang lain. Pihak kaum
tradisional menganggap ilmu umum itu bid’ah atau haram karena berasal dari
orang-orang kafir, sementara para pendukung ilmu umum menganggap ilmu
agama sebagai mitologi yang tidak akan pernah mencapai tingkat ilmiah.
Padahal tidak semestinya begitu, contohnya dalam mempelajari fenomena-
fenomena alam, yang menjadi objek-objek umum, nilai-nilai agama dapat
sering dijumpai. Dalam pandangan ilmuan Islam, fenomena alam tidak akan
berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa Ilahi, karena alam ini
menurut Muhammad Iqbal merupakan medan kretif Tuhan, sehingga
mempelajari alam berarti juga mempelajari dan mengenal lebih dekat cara
kerja Tuhan. Dengan demikian, fenomena alam ini merupakan ayat-ayat atau
tanda-tanda Ilahi, sama halnya dengan kitab suci yang juga merupakan ayat-
ayat-ayat Tuhan. Hanya saja, fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat
kauniyyah, sedangkan kitab suci adalah ayat-ayat yang bersifat qauliyah,
tetapi keduanya bersatu dalam statusnya sebagai ayat-ayat Allah. Oleh karena
itu, di antara ilmu-ilmu agama dan umum, tidak seharusnya ada klaim
berlebihan karena keduanya sama-sama menempati posisi yang mulia sebagai
objek ilmu.
Menurut Kuntowijoyo, ada perbedaan paradigmatik antara ilmu-ilmu
sekuler dan ilmu-ilmu integralistik. Menurutnya, ilmu-ilmu sekular adalah
9
Budi Handrianto, Islamisasi..., hlm.122
10
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu (Sebuah Rekonstruksi Politik), (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2005), hlm. 19
8
Keterangan:
1) Filsafat. Tempat berangkat ilmu-ilmu sekuler adalah modernisme dalam
filsafat. Filsafat Rasionalisme yang mengagungkan manusia dan
menistakan wahyu Tuhan. Sumber kebenaran adalah pikiran, bukan whyu
Tuhan. Tuhan masih diakui kebenarannya, tetapi Tuhan yang lumpuh,
tidak berkuasa, tidak membuat hukum-hukum.
2) Antroposentrisme. Dalam Rasionalisme, manusia menempati kedudukan
yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan
pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-
produk manusia sendiri.
3) Diferensiasi. Ketika manusia menganggap bahwa dirinya menjadi pusat,
terjadilah pemisahan (diferensiasi). Etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan
tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan. Karena itu, kegiatan ekonomi,
politik, hukum dan ilmu harus dipisahkan dari agama.
4) Ilmu sekular. Mengaku diri sebagai objektif, value free, bebas dari
kepentingan lainnya. Tetapi ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu
yang semula adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasa atas manusia.
Ilmu menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk kehidupan.
Gambar ilustrasi di atas diambil dari Pragmatisme Amerika,
perkembangan ilmu dan filosofisnya. Dengan ilmu-ilmu pragmatis,
pertimbangan benar dan salah secara etis dan agama tidak ada; semuanya
benar, asalkan jalan.
9
Keterangan:
1) Agama. Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, diri-sendiri, dan lingkungan. Kitab yang
diturunkan itu merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan.
2) Teoantroposentrisme. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan
manusia. Jadi, sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu berasal dari
Tuhan dan dari manusia.
3) Dediferensiasi. Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama
dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi ialah penyatuan
kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan
ilmu.
4) Ilmu Integralistik. Ilmu yang menyatukan wahyu Tuhan dan temuan
pikiran manusia. Tidak akan mengucilkan Tuhan atau mengucilkan
manusia. Diharapkan integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik
antara sekularisme ekstrim dan agama-agama radikal dalam banyak
sektor.11
C. Ide Integralisme Ilmu dalam Islam (Islamisasi ilmu)
Untuk dapat mengetahui secara tepat ide dan gagasan seseorang tentnag
islamisasi ilmu pengetahuan, tidak akan lepas dari pengkajian siapa orang
tersebut, serta landasan pemikiran apa yang melatarbelakangi gagasan yang ia
munculkan.12 Dalam makalah ini hanya akan membahasa pemikiran dua orang
11
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Epistemologi, Metodologi dan Etika), (Yogyakarta:
Toara Wacana, 2006), hlm. 51-55
12
Zainal Habib, Islamisasi Sains (Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Perspektif),
(Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 39
10
13
Khudori Soleh, Filsafat..., hlm. 253
12
14
Ach Maimun Syamsuddin. Integrasi Multidimensi Agama dan Sains, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 80
15
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran..., hlm. 647
13
Bagan
12 Langkah Islamisasi Islam al-Faruqi16
Menentukan
relevansi Islam untuk Analisa dan sintesis
disiplin-disiplin ilmu
Perumusan kembali
disiplin buku teks
Penyebaran ilmu
yang sudah
diislamisasi
16
Khudori Soleh, Filsafat..., hlm. 269
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Islamisasi adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah
orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.
Paradigma integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu atau model
pendekatan tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan, disebut
paradigma integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma integrasi ilmu
integralistik yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari
keseluruhan.
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi
tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga
tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif. Sementara
ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif,
bersifat inklusif, dan objektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya
memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi
manusia.
15
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar, Syahrullah, 2016, Studi al-Qur’an dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, (Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial
Budaya I, Vol. I
Nata, Abuddin, 2004, Metodologi Studi Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
Cet. IX
Nata, Abudin, dkk, 2003, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Ciputat: UIN
Jakarta Press