Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan kemajuan sains dan teknologi di Barat,
nilai-nilai agama berangsur-angsur bergeser bahkan bersebrangan dengan
ilmu. Bagi kalangan ilmuwan Barat, agama adalah penghalang kemajuan
karena beranggapan jika ingin maju agama tidak boleh lagi mengurus
masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia seperti politik dan sains.
Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi tema dan term popular di
kalangan intelektual Islam, di Indonesia maupun di negara-negara lain. Hal
tersebut tidak lepas dari kesadaran ber-Islam di tengah pergumulan dunia
global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dan dapat
menyusul Barat mana kala mampu mentransformasiakan ilmu pengetahuan
dalam memahami wahyu atau memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Hal inilah yang memunculkan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan
di antara keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap
bersifat relegius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan
istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan dari latar belakang masalah di atas, penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana defenisis dan sejarah integralisme Ilmu dalam Islam?
2. Apa konsep integrasi ilmu pengetahuan?
3. Ide integralisme ilmu dalam Islam?
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Integralisme Ilmu dalam Islam
1. Pengertian
Secara leksikal, term “integrasi” berasal dari bahasa inggris integration
dari kata kerja integrate yang berarti menggabungkan, menyatupadukan,
mempersatukan. Jadi integrasi adalah penggabungan atau penyatuan beberapa
hal menjadi satu kesatuan yang solid dan utuh dan tidak dapat dipisah-
pisahkan. Secara konsep keilmuan, tidak ada pemisahan antara satu disiplin
dengan disiplin keilmuan lainnya. Semuanya berjalan menurut konteksnya dan
saling melengkapi satu sama lain dan memberi manfaat dalam kehidupan
manusia.
Salah satu istilah paling populer dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu
agama adalah kata Islamisasi. Menurut Echols dan Hasan Sadiliy, kata
Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang berarti pengislaman.
Dalam kamus Webster, Islamisasi bermakna to bring within Islam. Makna
luasnya adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah
orang atau manusia, bukan Ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.1
Tokoh-tokoh islamisasi ilmu memberikan pengertian sendiri tentang
istilah islamisasi ilmu ini, diantaranya:2
a) Menurut Sayed Husein Nasr, Islamisasi ilmu adalah upaya
menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa
dipahami masyarakat muslim di mana mereka tinggal. Artinya, islamisasi
ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara berfikir dan
bertindak (epistimologis dan aksiologis) masyarakat Barat dengan muslim.
b) Menurut Hanna Djumhana Bastaman, Islamisas Ilmu adalah upaya
menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti

1
Abudin Nata, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Ciputat: UIN Jakarta Press
2003), Cet. I, hlm. 171
2
A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 240
3

menghubungkan kembali sunnatullah (hukum alam) dengan al-Qur’an,


yang keduanya sama-sama ayat Tuhan.
c) Menurut Naquib al-Attas, Islamisasi Ilmu adalah upaya membebaskan
ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan prinsip-prinsip sekuler,
sehingga membentuk ilmu pengetahuan baru yang sesuai fitrah Islam.
Berbeda dengan Nasr, Naquib berpandangan Islamisasi ilmu berkenaan
dengan perubahan ontologis dan epistimologis (perubahan cara pandang
dunia merupakan dasar lahirnya ilmu dan metodologi).
d) Menurut Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi ilmu adalah mengislamkan
disiplin-disiplin ilmu, atau menghasilka buku-buku pegangan di perguruan
tinggi dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin ilmu modern dalam
wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis terhadap kedua sistem
pengetahuan, Islam dan Barat.
Dari beberapa pengertian diatas, Islamisasi Ilmu berarti upaya membangun
paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, baik secara
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
2. Sejarah Islamisasi Ilmu
Mengingat kembali sejarah ketika Islam mengalami stagnasi keilmuan
pasca penghancuran kota Baghdad oleh Hulagu Khan (1258), orang-orang
Barat sedang sibuk mentransformasikan ilmu pengetahuan Islam ke dunia
Barat karya-karya Averoues dan mereka mulai menggugat tradisi dan ajaran-
ajaran gereja yang membelenggu daya berfikir. Mereka mulai
mendayagunakan akal dan mengembangkan semangat keilmuan dengan
ditandai dengan adanya renaissance.3
Setelah ilmu pengetahuan dan sains mengalami transformasi kepada sains
Barat yang sekuler, maka beberapa ilmuan atau intelektual muslim berupaya
untuk mengislamkan kembali. Pada kurun inilah dimulai kembali projek
Islamisasi yang biasa disebut dengan Islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer.4

3
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Gagasan-gagasan Besar para
Ilmuan muslim), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 633
4

Menghadapi keadaan yang demikian itu, ummat Islam mencari sebab-


sebabnya. Sebab-sebab tersebut yang utama di antaranya karena ummat Islam
tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya
perpecahan. Di kalangan ummat Islam paling kurang timbul sikap menghadapi
keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut sebagai berikut:5
1) Sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal
dari Barat sebagai ilmu pengetahuan yang sekuler. Karena itu ilmu
tersebut harus ditolak.
2) Sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan Barat
sebagai ilmu yang bersifat netral. Karenanya ilmu tersebut harus diterima
apa adanya tanpa disertai rasa curiga dan sebagainya.
3) Sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal
dari Barat sebagai ilmu yang bersifat sekuler dan materialisme. Namun
diterima oleh ummat Islam dengan terlebih dahulu dilakukan proses
Islamisasi.
Upaya untuk melakukan islamisasi ilmu, menurut beberapa sumber, kali
pertama diangkat oleh Sayyid Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekiar
tahun 1960-an. Saat itu, Nasr berbicara dan membandingkan antara
metodologi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu
alam, matematika, dan metafisika. Menurutnya, apa yang dimaksud ilmu
dalam Islam tidak berbeda dengan “scientia” dalam istilah Latin. Yang
membedakan di antara keduanya adalah metode yang dipakai. Ilmu-ilmu
keislaman tidak hanya menggunakan metodologi rasional dan cenderung
positivistik, tetapi juga menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual,
dan bahkan intuitif, sesuai dengan objek yang dikaji.6
Beberapa tahun kemudian, gagasan tersebut dikembangkan dan
diresmikan sebagai proyek Islamisasi Ilmu oleh Syed Muhammad Naquib Al-

4
Budi Handrianto, Islamisasi sains (Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern),
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 118
5
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet.
IX), hlm. 405
6
Khudori Soleh, Folsafat Islam (dari Klasik hingga Kontemporer), (Jogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), hlm.232
5

Attas tahun 1977. Ia menulis makalah tentang itu dengan judul Preliminary
Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of
Education, yang disampaikan di “First World Comference on Mosleem
Education” di Makkah, atas sponsor Universitas King Abdul Aziz. Kemudian
disempurnakan lewat bukunya yang berjudul The Consepts of Education in
Islam a Framework for an Islamic Philosophy of Education.
Naquib lebih berbicara persoalan ontologis dan epistemologi ilmu.
Menurutnya, islamisasi ilmu tidak bisa dilakukan hanya dengan
mempertemukan di antara keduanya, tetapi juga perlu dilakukan adanya
rekonstruksi ontologis dan epistemologis, karena dari sini inilah sebuah
keilmuan lahir. Adapun cara mengubah cara pandang dunia Barat yang sekuler
adalah lewat apa yang disebut Islamisasi bahasa, sebab semua bermula dari
pikiran dan perubahan pikiran paralel dengan perubahan bahasa.
Gagasan islamisasi ilmu ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari
para intelektual Muslim dunia. Karena itu, pada 1977 diadakan konferensi
internasional pertama di Swiss untuk membahas lebih lanjut ide Islamisasi
ilmu tersebut. Konferensi I ini ternyata memberi pengaruh besar bagi para
ilmuan Muslim dunia. Di Amerika, gerakan islamisasi ilmu disambut dan
dipelopori oleh Ismael Raji Al-Faruqi (1921-1986 M) sehingga didirikan
sebuah perguruan tinggi The International Institute of Islamic Thought (IIIT),
tahun 1981 di Washington.
Secara terperinci IIIT bertujuan : 1) meningkatkan pandangan Islam yang
universal dalam mengkaji permasalahan global Islam; 2) mengembalikan jati
diri intelektual dan kultural umat Islam lewat usaha Islamisasi ilmu;
3) mengembangkan pendekatan komprehensif yang Islami terhadap ilmu-ilmu
sosial dan kemanusiaan; 4) menghidupkan pemikiran Islam.
Kemudian, tahun 1983 diadakan konferensi II di Islamabad, Pakistan.
Setelah konferensi II menyusul konferernsi III yang diadakan tahun 1984, di
Kuala Lumpur. Tujuannya adalah untuk mengembangkan rencana reformasi
landasan berfikir umat Islam dengan mengacu secara lebih spesifik kepada
metodologi dan prioritas masa depan. Tiga tahun kemudian, tahun 1987
6

diadakan konferensi IV di Khortum, Sudan. Konferensi dengan mengambil


tema “Metodologi Pemikiran Islam dalam Islamisasi Ilmu-ilmu Etika dan
Pendidikan” yang menjadi hambatan dalam program islamisasi ilmu. Sebab,
para pakar muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat tidak mampu
menyajikan dan memberikan kontribusi positif bagi pemikiran di bidang etika
dan pendidikan.7
B. Konsep Integrasi Keilmuan
Konsep integrasi keilmuan bukanlah barang baru dikalangan umat Islam,
karena telah didiskusikan oleh ulama-ulama klasik Islam seperti Imam al-
Syafi’i dalam karyanya al-Umm, mendasari uraian master peace-nya dengan
memposisikan al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama keilmuan. 8 Istilah
yang sering dipadankan dengan integrasi keilmuan ini adalah “Islamisasi
Pengetahuan” (Islamization of Knowledge) yang meniscayakan dua prinsip
utama yaitu sumber utama dari semua ilmu dan pengetahuan adalah al-Qur’an
dan hadits; dan metode yang ditempuh untuk memperoleh ilmu dan
pengetahuan haruslah islami.
Lahirnya konsep integrasi dilatarbelakangi dikotomi antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum. Islam mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari
seribu tahun silam. Sekalipun dikotomi itu telah dikenal dalam karya-karya
klasik seperti yang ditulis al-Ghazali dan Ibn Khaldun, ia tidak mengingkari,
tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok
keilmuan tersebut.
Di masa lalu, para ilmuan muslim tidak menghadapi berbagai tantangan
dari sains-sains yang dikatakan “tak Islami”. Ada dua alasan utama untuk itu.
Pertama, dalam kenyataannya dahulu tidak ada sains “tak Islami” yang
penting untuk dibicarakan waktu itu, karena warisan-warisan sains kuno dan
kontemporer saat itu sesuai dengan perspektif Islam tentang tauhid. Kedua,
mereka sadar bahwa mereka adalah pemuka intelektual, secara praktis sains

7
Khudori Soleh, Filsafat..., hlm. 234
8
Syahrullah Iskandar, Studi al-Qur’an dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, (Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya I, Vol. I, 2016), hlm. 87
7

itu milik mereka sendiri. “Sains Islami” mereka adalah sains universal dan
global di zamannya.9
Namun bagi sains modern Barat sering menganggap rendah status
keilmuan ilmu-ilmu keagamaan.10 Ketika berbicara tentang hal-hal gaib, ilmu
agama tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah ilmu dapat dikatakan ilmiah
apabila objek-objeknya bersifat empiris. Padahal ilmu-ilmu agama tidak dapat
menghindari pembicaraan hal yang ghaib seperti Tuhan, malaikat, dan
sebagainya sebagai pembicaraan pokok.
Dikotomi ini menjadi sangat tajam karena telah terjadi pengingkaran
terhadap validitas dan status ilmiah yang satu dan yang lain. Pihak kaum
tradisional menganggap ilmu umum itu bid’ah atau haram karena berasal dari
orang-orang kafir, sementara para pendukung ilmu umum menganggap ilmu
agama sebagai mitologi yang tidak akan pernah mencapai tingkat ilmiah.
Padahal tidak semestinya begitu, contohnya dalam mempelajari fenomena-
fenomena alam, yang menjadi objek-objek umum, nilai-nilai agama dapat
sering dijumpai. Dalam pandangan ilmuan Islam, fenomena alam tidak akan
berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa Ilahi, karena alam ini
menurut Muhammad Iqbal merupakan medan kretif Tuhan, sehingga
mempelajari alam berarti juga mempelajari dan mengenal lebih dekat cara
kerja Tuhan. Dengan demikian, fenomena alam ini merupakan ayat-ayat atau
tanda-tanda Ilahi, sama halnya dengan kitab suci yang juga merupakan ayat-
ayat-ayat Tuhan. Hanya saja, fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat
kauniyyah, sedangkan kitab suci adalah ayat-ayat yang bersifat qauliyah,
tetapi keduanya bersatu dalam statusnya sebagai ayat-ayat Allah. Oleh karena
itu, di antara ilmu-ilmu agama dan umum, tidak seharusnya ada klaim
berlebihan karena keduanya sama-sama menempati posisi yang mulia sebagai
objek ilmu.
Menurut Kuntowijoyo, ada perbedaan paradigmatik antara ilmu-ilmu
sekuler dan ilmu-ilmu integralistik. Menurutnya, ilmu-ilmu sekular adalah
9
Budi Handrianto, Islamisasi..., hlm.122
10
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu (Sebuah Rekonstruksi Politik), (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2005), hlm. 19
8

produk bersama seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik adalah


produk bersama seluruh manusia beriman.
Pada gambar dibawah ini menjelaskan alur pertumbuhan ilmu-ilmu
sekuler.

Filsafat  Antroposentrisme  Diferensiasi Ilmu Sekular

Keterangan:
1) Filsafat. Tempat berangkat ilmu-ilmu sekuler adalah modernisme dalam
filsafat. Filsafat Rasionalisme yang mengagungkan manusia dan
menistakan wahyu Tuhan. Sumber kebenaran adalah pikiran, bukan whyu
Tuhan. Tuhan masih diakui kebenarannya, tetapi Tuhan yang lumpuh,
tidak berkuasa, tidak membuat hukum-hukum.
2) Antroposentrisme. Dalam Rasionalisme, manusia menempati kedudukan
yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan
pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-
produk manusia sendiri.
3) Diferensiasi. Ketika manusia menganggap bahwa dirinya menjadi pusat,
terjadilah pemisahan (diferensiasi). Etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan
tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan. Karena itu, kegiatan ekonomi,
politik, hukum dan ilmu harus dipisahkan dari agama.
4) Ilmu sekular. Mengaku diri sebagai objektif, value free, bebas dari
kepentingan lainnya. Tetapi ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu
yang semula adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasa atas manusia.
Ilmu menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk kehidupan.
Gambar ilustrasi di atas diambil dari Pragmatisme Amerika,
perkembangan ilmu dan filosofisnya. Dengan ilmu-ilmu pragmatis,
pertimbangan benar dan salah secara etis dan agama tidak ada; semuanya
benar, asalkan jalan.
9

Kemudian para intelektual muslim memulai gerakan ilmu-ilmu


integralistik untuk menunjukkan bahwa ilmu ini justru diperlukan untuk
mendukung keberlangsungan hidup danmasa depan manusia.

Agama  Teoantroposentrisme  Dediferensiasi Ilmu Integralistik

Keterangan:
1) Agama. Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, diri-sendiri, dan lingkungan. Kitab yang
diturunkan itu merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan.
2) Teoantroposentrisme. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan
manusia. Jadi, sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu berasal dari
Tuhan dan dari manusia.
3) Dediferensiasi. Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama
dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi ialah penyatuan
kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan
ilmu.
4) Ilmu Integralistik. Ilmu yang menyatukan wahyu Tuhan dan temuan
pikiran manusia. Tidak akan mengucilkan Tuhan atau mengucilkan
manusia. Diharapkan integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik
antara sekularisme ekstrim dan agama-agama radikal dalam banyak
sektor.11
C. Ide Integralisme Ilmu dalam Islam (Islamisasi ilmu)
Untuk dapat mengetahui secara tepat ide dan gagasan seseorang tentnag
islamisasi ilmu pengetahuan, tidak akan lepas dari pengkajian siapa orang
tersebut, serta landasan pemikiran apa yang melatarbelakangi gagasan yang ia
munculkan.12 Dalam makalah ini hanya akan membahasa pemikiran dua orang

11
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Epistemologi, Metodologi dan Etika), (Yogyakarta:
Toara Wacana, 2006), hlm. 51-55
12
Zainal Habib, Islamisasi Sains (Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Perspektif),
(Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 39
10

tokoh representatif untuk dapat menguraikan gagasan Islamisasi Ilmu


pengetahuan.
1. Pemikiran Sayid M. Naquib Al-Attas
Sayid M. Naquib Al-Attas lahir di Jawa Barat, 5 September 1931.
Ayahnya, Syed Ali ibn Abdullah Al-Attas adalah orang terkemuka di
kalangan Syed, dan ibunya Syarifah Raguan Al-Idrus adalah keturunan dari
raja Sunda Sukaparna. Pada usia 5 tahun, Naquib dibawa ke Johor, Malaysia
untuk dididik oleh saudara ayahnya, Encik Ahmad. Namun, pada masa
penjajahan Jepang, ia pulang ke Jawa Barat dan masuk di Pesantren al-Urwah
al-Wustha, Sukabumi. Empat tahun kemudian kembali lagi ke Malaysia.
Karier akademiknya adalah masuk University of Malay, Singapura (1957-
1959), kemudian ia melanjutkan ke McGill University, Kanada, untuk kajian
keislaman (Islamic Studies) dan memperoleh master tahun 1963. Selanjutnya,
menempuh program doktor pada School of Oriental and African Studies,
Universitas London, ia menekuni teologi dan metafisika.
Gagasan Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas, pada dasarnya adalah respons
intelektualnya terhadap efek negatif ilmu modern (Barat). Pandangan dunia
Barat bersifat dualistik akibat dari kenyataan bahwa peradaban Barat tumbuh
dari peleburan historis dari berbagai kebudayaan dan nilai-nilai. Yaitu
peleburan dari peradaban Yunani, Romaqi kuno dan perpaduannya dengan
ajaran Yahudi dan Kristen yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh
rakyat Latin, Jermania, Keltik dan Nordik.
Akibat dari cara pandang dualistik, konsep kebenaran Barat tidak
dirumuskan di atas pengetahuan yang diwahyukan atau kepercayaan
keagamaan, tetapi di atas tradisi kebudayaan yang diperkuat dengan dasar-
dasar pendapat filosofis yang berpusat pada manusia sebagai makhluk
rasional. Epistemologi Islam menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan.
Berdasarkan kenyataan tersebut, yaitu persoalan pandangan dunia tentang
realitas dan epistemologis, maka jika sarjana dan ilmuan muslim mengikuti
sistem pengetahuan Barat, berarti sama dengan ikut mengembangkan nilai-
nilai dan ketegangan batin dari kebudayaan dan peradaban Barat. Wadah
11

keilmuan seperti ini tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat muslim.


Karena itu diperlukan Islamisasi ilmuyang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Menurut Naquib, pengetahuan datang dari Tuhan yang kemudian
ditafsirkan dengan kekuatan potensi manusia sehingga pengetahuan yang
dimiliki manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Jadi, objek
pengetahuan bukan ada-nya melainkan makna dari ada-nya, atau makna dari
realitas objek. Artinya, manusianya yang lebih berperan danmenentukan apa
yang ada pada objek.
Naquib menyatakan bahwa Islamisasi konsep atau teori harus paralel atau
didahului oleh islamisasi bahasa, adalah sesuatu yang sangat membantu. Akan
tetapi, islamisasi bahasa tentu tidak sama dengan reislamisasi bahasa, karena
bahasa-bahasa atau kata-kata kunci dalam Islam telah selesai sejak abad
permulaan Islam. Karena itu, yang diperlukan saat ini bukan reislamisasi
bahasa tetapi aktualisasi bahasa-bahasa Islam. Kita harus meggali kembali
khazanah bahasa keilmuan Islam yang ada, kemudian menambah kosa kata
baru yang belum dikenal yang mencerminkan metafisika atau pandangan
dunia Islam.13
2. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir pada 1 Januari 1921 M, di Jaffa, Palestina,
sebelum wilayah ini diduduki Israel. Pendidikan awalnya ditempuh di College
des Ferese, Lebanon, kemudian di American University, Beirut, jurusan
Filsafat. Pada 1941, setelah mendapat gelar Bachelor of Arts (BA), ia bekerja
sebagai PNS Palestina di bawah mandat Inggris, empat tahun kemudian
diangkat sebagai gubernur di provinsi Galelia, Palestina pada usia 24 tahun.
Namun jabatan ini tidak lama diembannya, karena provinsi tersebut jatuh ke
tangan Israel sehingga ia hijrah ke Amerika.
Menurut Ismail R. Al-Faruqi, sains Barat bukan sekedar instrumen yang
netral tapi mempunyai dampak westernisasi dan deislamisasi. Karena itu
upaya membangkitkan kembali peradaban Islam tidak bisa dilakukan hanya
dengan mengakui sisi dan mengadopsi sains modern. Al-Faruqi melihat bahwa

13
Khudori Soleh, Filsafat..., hlm. 253
12

problem dasarnya terletak pada dunia pendidikan dengan pemisahan sekolah


agama dan non agama atau sekedar menambahkan pelajaran non agama ke
sekolah agama. Dengan demikian, usaha yang harus dilakukan adalah
islamisasi ilmu (islamization of knowledge) yang mengarah pada tiap disiplin
sains. Dalam hal ini Faruqi mengajukan 12 langkah konkrit islamisasi dengan
lima sasaran kerja Islamisasi Ilmu Pengetahuan:
1) Penguasaan disiplin ilmu modern
2) Penguasaan khazanah Islam
3) Penentuan relevansi Islam bagi tiap bidang sains modern
4) Pencarian sintesa kreatif
5) Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan yang sesuai pola rencana
Allah.14
Dalam merealisasikan gagasannya tersebut, ada beberapa tugas yang
harus dilakukan: Pertama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan
sistem pendidikan sekuler, perpaduan ini akan membuat sistem baru yang
terpadu yang dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistem-sistem
terdahulu.
Kedua, gagasan Islamisasi ilmu harus diikuti pelajaran-pelajaran wajib
mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian dari program studi mahasiswa.
Hal ini akan membuat mereka semakin yakin terhadap agama dan warisan
mereka.
Ketiga, memperbaiki metodologi. Karena, ilmu-ilmu Barat sudah
melanggar salah satu syarat yang krusial dari metodologi Islam, yaitu kesatuan
kebenaran.
Keempat, harus diadakan pertemuan-pertemuan yang membicarakan
tentang Islamisasi dan beberapa rencara strategis yang pada akhirnya
menuangkan kembali semua khazanah pengetahuan Barat terhadap Islam.15

14
Ach Maimun Syamsuddin. Integrasi Multidimensi Agama dan Sains, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 80
15
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran..., hlm. 647
13

Bagan
12 Langkah Islamisasi Islam al-Faruqi16

Penguasaan terhadap Penilaian atas Survei masalah-


disiplin-disiplin Survei disipliner disiplin-disiplin masalah umat
modern modern

Menentukan
relevansi Islam untuk Analisa dan sintesis
disiplin-disiplin ilmu

Penguasaan terhadap Analisa terhadap Penilaian terhadap Survei masalah-


khazanah Islam khazanah Islam khazanah Islam masalah umat

Perumusan kembali
disiplin buku teks

Penyebaran ilmu
yang sudah
diislamisasi

16
Khudori Soleh, Filsafat..., hlm. 269
14

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Islamisasi adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah
orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.
Paradigma integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu atau model
pendekatan tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan, disebut
paradigma integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma integrasi ilmu
integralistik yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari
keseluruhan.
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi
tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga
tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif. Sementara
ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif,
bersifat inklusif, dan objektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya
memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi
manusia.
15

DAFTAR PUSTAKA

Habib, Zainal, 2007, Islamisasi Sains (Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan


Perspektif), Malang: UIN Malang Press

Handrianto, Budi, 2010, Islamisasi sains (Sebuah Upaya Mengislamkan Sains


Barat Modern), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Iskandar, Syahrullah, 2016, Studi al-Qur’an dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, (Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial
Budaya I, Vol. I

Iqbal, Abu Muhammad, 2015, Pemikiran Pendidikan Islam (Gagasan-gagasan


Besar para Ilmuan muslim), Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kartanegara, Mulyadhi, 2005, Integrasi Ilmu (Sebuah Rekonstruksi Politik),


Jakarta: UIN Jakarta Press

Kuntowijoyo, 2006, Islam sebagai Ilmu (Epistemologi, Metodologi dan Etika),


Yogyakarta: Toara Wacana

Nata, Abuddin, 2004, Metodologi Studi Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
Cet. IX

Nata, Abudin, dkk, 2003, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Ciputat: UIN
Jakarta Press

Sholeh, A. Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Soleh, Khudori, 2016, Folsafat Islam (dari Klasik hingga Kontemporer),


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Syamsuddin, Ach Maimun, 2012, Integrasi Multidimensi Agama dan Sains,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai