Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH ISLAM, SAINS & TEKNOLOGI

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN


Di ajukan untuk memenuhi salah satu penilaian tugas mata kuliah Islam,
Sains, dan Teknologi yang ampu oleh :
Hafizhuddin, S.Pdi.,M.A

Disusun Oleh
KELOMPOK 7
Dina Ramdani (201851067)
Eva Nadia Rahma (201851085)
Farumayyah (201851090)
Lucki Cahyadiyanti (201851158)
Novitasari (201851203)

PROGRAM STUDI FARMASI


INSTITUST SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL
JAKARTA BARAT
2020
KATA PENGANTAR

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Seiring dengan perkembangan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai
agama berangsur-angsur bergeser bahkan bersebrangan dengan ilmu. Bagi kalangan ilmuwan
Barat, agama adalah penghalang kemajuan karena beranggapan jika ingin maju agama tidak
boleh lagi mengurus masalah-masalah yang berkaitan  dengan dunia seperti politik dan sains.
Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada paruh ke-dua
abad ke-18,  merupakan titik awal pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban
modern. Hal inilah yang  mengantarkan Barat mencapai sukses luar biasa dalam
pengembangan  teknologi masa depan. Sedangkan ummat Islam malah mengalami
kemunduran-kemunduran sistematik dalam alur peradabannya. Praktis dunia Islam dewasa
ini merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut-penganut agama
besar di dunia dikarenakan begitu rendahnya kemajuan yang diraih dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bahkan ummat Islam menjadi penonton bahkan terbuai oleh
kenikmatan semu yang disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan teknologinya.
Sejak terjadinya pencerahan di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua
bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oleh ahli sains dan
cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran filsafah
Barat yang dipengaruhi oleh sekularisme dan materialisme. Sehingga konsep, penafsiran dan
makna ilmu itu sendiri tidak bias terhindarkan dari pengaruh pemikirannya. Ummat Islam
mempelajari sains barat tanpa menyadari kaitan temali historis Barat dan ilmu-ilmu Barat,
sehingga ummat Islam pun terjatuh dalam hegemoni Barat dan proses ini mengakibatkan
esensi peradaban Islam semakin tidak berdaya di tengah kemajuan peradaban Barat yang
sekuler.
Menghadapi keadaan yang demikian itu, ummat Islam mencari sebab-sebabnya.
Sebab-sebab tersebut yang utama di antaranya karena ummat Islam tertinggal dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya perpecahan. Di kalangan ummat Islam paling
kurang timbul sikap menghadapi keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut
sebagai beriku

iv
1. Sikap  yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat
sebagai ilmu pengetahuan yang sekuler. Karena itu ilmu tersebut harus ditolak.
2. Sikap yang didasarkan pada asumsi bahw ailmu pengetahuan Barat sebagai ilmu yang
bersifat netral. Karenanya ilmu tersebut harus diterima apa adanya tanpa disertai rasa
curiga dan sebagainya.
3. Sikap yang diadasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat
sebagai ilmu yang bersifat sekuler dan materialisme. Namun diterima oleh ummat Islam
dengan terlebih dahulu dilakukan proses Islamisasi.[1]
          Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi tema dan term popular di kalangan
intelektual Islam, di Indonesia maupun di negara-negara lain. Hal tersebut tidak lepas dari
kesadaran ber-Islam di tengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di Ameriaka istilah ini telah menjadi simbol dari sebuah
keinginan besar untuk member warna Islam pada berbagai disiplin ilmu.      Dengan sebuah
konsep bahwa ummat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat mana kala mampu
mentransformasiakan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu atau memahami wahyu
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[2]
          Hal inilah yang memunculkan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara
keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat relegius dan
bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
          Berdasarkan paparan dari latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa pengertian Islamisasi ilmu Pengetahuan?
2. Apa yang melatar belakangi  adanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
3. Bagaimana prinsip-prinsip Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
4. Bagaimana pro-kontra dari Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
5. Bagaimana langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
6. Apa pengaruh gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
2. Mengetahui latar belakang adanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan
3. Memahami prinsip-prinsip Islamisasi Ilmu Pengetahuan
4. Mengetahui pro-kontra dari Islamisasi Ilmu Pengetahuan
5. Mengetahui langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
6. Mengetahui pengaruh gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Islamisasai ilmu pengetahuan terdiri dari tiga kata yaitu, kata Islamisasi, ilmu dan
pengetahuan. Islamisasi; artinya adalah pengIslaman, pengIslaman dunia, bisa juga usaha
mengIslamkan dunia.[1] Sedangkan ilmu adalah merupakan cara berfikir dalam
menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Ilmu
merupakan produk dari proses berfikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum
dapat disebut sebagai berfikir ilmiah.[ 2] Dan yang terakhir adalah pengetahuan. Didalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan disamakan artinya dengan ilmu. Ilmu
adalah pengetahuan.[3]

Akan tetapi dari berbagai referensi yang penulis baca bahwa ilmu dan pengetahuan
tidaklah sama persis, dimana ilmu lebih luas cakupannya, karna pengetahuan belum pasti
dikatakan ilmu sedangkan pengetahuan sudah barang tentu dikatakan ilmu. Dari pengertian
di atas jadi yang dikatakan Islamisasi pengetahuan adalah; berarti mengIslamkan segala ilmu
pengetahuan.
Pengertian di atas merupakan pengertian kata perkata dari Islamisasi ilmu pengetahuan,
sedangkan pengertian dari gabungan ketiga kata tersebut; sebagaimana menurut AI-Faruqi
dalam bukunya Budi Handrianto; menyebutkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan
(Islamization of knowladge) merupakan usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk
mendefenisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argument dan rasionalisasi,

1 Peter Salim & Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1986), hlm. 971.
2 H. Ahmad Syadaly, dan Mudzakir, Filsafat Umum, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 34
3 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa,
(Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hlm. 879.

vi
menilai kembali tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu
memperkaya visi dan perjuangan Islam. Islamisasi ilmu juga merupakan sebagai usaha yaitu
memberikan defenisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan
menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan
kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin
itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam. [4]
Islamisasi pengetahuan kata al-Faruqi adalah solusi terhadap dualism sistem pendidikan
kaum Muslimin saat ini. Baginyan dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan
disatukan dengan paradigm Islam. Paradigma tersebut bukan imitasi dari Barat, bukan juga
untuk semata-mata memenuhi kebutuhan ekonomis dan pragmatis pelajar untuk ilmu
pengetahuan profesional, kemajuan pribadi atau pencapaian materi. Namun, paradigma
tersebut bukan diisi dengan sebuah misi, yang tidak lain adalah menanamkan, menancapkan
serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu.
Dapat disimpulkan bahwa mengIslamkan ilmu pengetahuan modren adalah dengan cara
menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti dengan memberikan
dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan
kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam
strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya.
Sedangkan Syed M. Naquib al-Attas Secara teoritis dan ideologis, mendefenisikan
islamisasi ilmu pengetahuan sebagai: pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis,
animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler
terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang
cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam
wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak
adil terhadapnya.[5]
Setelah membahas pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan, maka disini perlu juga
disebutkan apa itu hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan, adapun hakikat Islamisasi ilmu
pengetahuan adalah:
1. Similiarisasi
Menyamaratakan konsep-konsep sains dengan konsep-konsep dari agama.
2. Paraleliasi
4 Isma’il Raji al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan, Cet ke-3, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2003), hlm.
38-39.
5 Budi Handrianto. Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modren, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 133.

vii
Konsep al-Qu`an sejalan dengan konsep sains, karena kemiripan konotasinya, tanpa
mengidentikkan keduanya.
3. Komplementasi
Antara al-Qur`an dan sains saling mengisi dan memperkuat satu sama lainnya, tetapi
tetap mempertahankan eksistensi masing-masing.
4. Komparasi
Membandingkan konsep atau teori sains dengan konsep atau teori agama mengenai
gejala yang sama.
5. Induktifikasi
Asumsi-asumsi dari teori ilmiah yang didukung dengan penemuan empiris, dilanjutkan
pemikirannya secara teoritis-abstrak kearah metafisik (gaib), kemudian dihubungkan
dengan prinsip-prinsip al-Qur`an.
6. Verifikasi
Mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menopang dan membenarkan
kebenaran al-Qur`an.[6]
Itulah yang disebut dengan hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan, dimana dijelaskan
bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan itu tidak terlepas dari ilmu-ilmu yang berkembang di
Barat, sehingga banyak ilmuan kita yang mengatakan bahwa pekerjaan Islamisasi ilmu
pengetahuan itu adalah pekerjaan orang bodoh, artinya mereka mengatakan bahwa Islamisasi
ilmu pengetahuan itu menciblak karya orang lain dengan menyebutnya dengan karya dia
sendiri. Akan tetapi yang disebut Islamisasi ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata
mengambil karya mereka dengan tanpa adanya penyaringan, karena ilmu yang diambil itu
harus disesuaikan dulu dengan kaidah-kaidah ajaran Islam.

B. Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Pandangan Islam terhadap ilmu menjadi landasan bagi pengembangan ilmu
disepanjang sejarah kehidupan ummat Islam, sejak dari zaman klasik sampai sekarang. Sejak
kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu dan
menawarkan cahaya untuk mengubah jahiliyah menuju masyarakat yang berilmu dan
beradab.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan
Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw secara

6 Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan
Islam di Dunia Islam dan di Indonesia, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), hlm. 109.

viii
jelas menegaskan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu ketika Allah menekankan
bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, proses
Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran dengan dilakukannya penerjemahan
terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi
ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali Tahafut al-Falasifah. Hal yang demikian
walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tetapi aktivitas yang sudah mereka
lakukan semisal dengan makna Islamisasi.
Ada dua tokoh yang dianggap sebagai pencetus gagasan Islamisasi Pengetahuan yaitu
Ismail Raji al-Faruqi (seorang sarjana yang mendirikan lembaga International Institute of
Islam Thought di Amerika Serikat) serta Syed M. Naquib al- Attas (seorang sarjana Budaya
Melayu yang membentuk lembaga International Institute of Islam Thought and
Civilization di Kuala Lumpur).[7] Gagasan ini timbul sejak dasawarsa 1970-an.
Munculnya ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan disebabkan adanya premis bahwa ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai. Ilmu-ilmu yang terkontaminasi oleh premis demikian dan telah
melalui proses sekularisasi dan westernisasi yang tidak lagi sesuai dengan kepercayaan, justru
ini akan membahayakan ummat Islam. Naquib al-Attas menegaskan bahwa ilmu itu tidaklah
bebas nilai tapi sarat akan nilai. Sedangkan al Faruqi menjelaskan bahwa akibat kemunduran
ummat Islam, karena adanya system pendidikan yang berusaha menjauhkan ummat Islam
dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan yang seharusnya dijadikan kebanggaan
tersendiri atas agama Islam. Oleh sebab itu ia memberikan solusi, yaitu perlunya perbaikan
system pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama sebagai langkah
membentuk peradaban Islam yang sempurna.
Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat kritikan dari
kalangan pemikir Muslim sendiri, seperti Fazlul Rahman, Muhsin Muhdi, Abdus Salam
Soroush, Bassam Taibi dan lainnya. Fazlul Rahman misalnya mengemukakan bahwa ilmu
pengetahuan tidak dapat di Islamkan karena tidak ada yang salah dalam ilmu pengetahuan.
Walaupun dalam perkembangannya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dikritik, tetapi
gagasan Islamisasi ini merupakan suatu revolusi epistemologis yang merupakan jawaban
terhadap krisis epistemology yang bukan hanya melanda dunia Islam tapi juga budaya dan
peradaban Barat Sekuler.

ix
C. Tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam menjalankan proses Islamisasi ilmu pengetahuan ini ada beberapa tujuan yaitu:
1. Menguasai disiplin ilmu modern
2. Menguasai warisan Islam
3. Menetapkan relevansi khusus pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern.
4. Mencari jalan untuk sintesis kreatif antara warisan (Islam) dan ilmu pengetahuan
modern.
5. Membangun pemikiran Islam pada jalan yang mengarah pada kepatuhan pada
hukum Tuhan. Islamisasi juga membebaskan manusia dari sikap tunduk kepada
keperluan jasmaninya yang cenderung menzhalimi dirinya sendiri, karena sifat
jasmani adalah cenderung lalai terhadap hakikat dan asal muasal manusia. Dengan
demikian, Islamisasi tidak lain adalah proses pengembalian kepada fitrah.
6. Bahwa di dalam Islamisasi ilmu pengetahuan terdapat pengakuan akan adanya
hirarki atau tingkatan-tingkatan ilmu pengetahuan
7. Meletakkan wahyu bukan saja sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan tetapi
juga standar tertinggi dalam menemukan kebenaran[7]
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif
terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang "terlalu"
religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya.
Kegiatan al-Faruqi dalam masalah Islamisasi didorong oleh pendapatnya bahwa ilmu
pengetahuan dewasa ini sudah sekuler, dan jauh dari kerangka tauhid. Untuk itu dia
menyusun kerangka teori, metode dan langkah-langkah praktis menuju Islamisasi ilmu
pengetahuan. Sebagaimana dapat disimak dalam bukunya Islamization of knowledge
(Islamisasi ilmu pengetahuan). Sejalan dengan itu, dia juga menyerukan adanya perombakan
sistem pendidikan Islam yang mengarah kepada Islamisasi ilmu pengetahuan dan terciptanya
paradigma tauhid dalam pengetahuan dan pendidikan.8 Sebagai panduan untuk usaha
tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka
Islamisasi ilmu, sebagai berikut :
1. Penguasaan disiplin ilmu modern

7 Zainal Habib. Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi Mendialogkan Perspektif, (Malang: UIN
Malang Press, 2007), hlm. 54.
8 Nina M. Armando. Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), hlm. 144.

x
2. Penguasaan khasanah warisan Islam
3. Membangun relevansi Islam dengan masing-masing bidang ilmu modern dan khazanah
warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modren.
4. Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu
modern.
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola
rencana Allah Swt.[9]

D. Langkah-langkah Islamisasi
Menurut al-Faruqi, sasaran atau tujuan bisa dicapai atau untuk mempermudah proses
Islamisasi ilmu pengetahuan adalah melalui 12 langkah sistematis yaitu;
1. Penguasaan disiplin ilmu modren: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat
kemajuannya sekarang di Barat harus dipisah-pisahkan menjadi kategori-kategori,
prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema- tema.
2. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis
dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan
metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran
yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan
pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
3. Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang
sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan
pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
4. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah
disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalah- masalah
masa kini.
5. Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan
dengan mengajukan tiga persoalan. Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam,
mulai dari al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan
masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar
sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil- hasil yang telah diperoleh oleh disiplin
modren tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan
atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim

9 Budi Handrianto. Op.cit., hlm. 140-141.

xi
harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-
masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
6. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia
harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
7. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap
bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus
dirumuskan.
8. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus
dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan
spritual dari kaum muslim.
9. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini
difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
10. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan
sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani
jurang kemandekan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus
disenambungkan dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus membuat batas ilmu
pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin
moderen.
11. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam.
Keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, ilmu moderen dan harus ditulis
untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
12. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diIslamkan. Selain langkah tersebut di
atas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat Islamisasi pengetahuan adalah dengan
mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat berbagai ahli di bidang-
bidang ilmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai
pengkotakan antar disiplin.[10]
Dua langkah pertama merupakan untuk memastikan pemahaman dan penguasaan umat
muslim terhadap disiplin ilmu tersebut sebagaimana yang berkembang di Barat. Dua langkah
seterusnya adalah untuk memastikan sarjana Islam yang tidak mengenali warisan ilmu Islam
karena masalah akses kepada ilmu tersebut mungkin disebabkan masalah bahasa akan

10 Juhaya S.Praja. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia,
(Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 73-74.

xii
berpeluang untuk mengenalinya dari antologi yang disediakan oleh sarjana Islam tradisional.
[11]
Al-Faruqi juga menjelaskan alat bantu lain untuk mempercepat proses islamisai ilmu
pengetahuan.
1. Melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah semacam konfrensi, seminar, lokakara, talkshow
dan lain-lain.

2. Pelatihan dan pembinaan instruktur-instruktur dan staf-staf pengajar.[12]

Sementara itu aturan-aturan implementasi dijelaskan oleh al-Faruqi dalam tiga hal.
1. Menyediakan honorarium yang setimpal dengan pekerjaan para ilmuwan.
2. Hanya ilmuwan yang kompeten yang ditugaskan untuk menulis baha-bahan pengajaran
yang direncanakan.
3. Memecah pekerjaan yang dianggap besar menjadi bagian-bagian kecil yang diserahkan
kepada imuwan lain.

4. Negara menangung pembiyaan islamisasi ini.[13]

Sedangkan menurut al-Attas Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini melibatkan dua proses
yang saling terkait:
1. Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan
peradaban Barat, dan setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam
bidang ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi
harus diIslamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan
formulasi teori-teori. Menurut al-Attas jika tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam,
maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan
teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, symbol dan ilmu modern beserta aspek-
aspek empiris dan rasional dan yang berdampak kepada nilai dan etika.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dan
ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan,
maka Islamisasi akan membebaskan manusia` dan magic, mitologi, animism, tradisi
budaya nasional yang bertentangan dengan Islam. Islamisasi akan membebaskan
manusia dan keraguan (syakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (mira`) menuju
11 Budi Handrianto. Op.cit., hlm. 142.
12 Isma`il Raji Al-Faruqi, Op.cit., hlm. 118-119.
13 Ibid., hlm. 119-121.

xiii
keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Islamisasi
akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dan ideology,
makna dan ungkapan sekuler. 14
Menurut al-Attas ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat justru
menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, ia berpendapat ilmu yang
berkembang di Barat tidak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan
alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu
kebudayaan. Karena menurut al-Attas ilmu bukan bebas nilai (value free), tetapi sarat nilai
(value laden). 15
Beberapa proses Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu:[16]
1. Menjadikan Islam sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan dapat di lakukan  dengan cara menjadilan Islamisasi
ilmu pengetahuanam sebagai landasan penggunaan Ilmu pengetahuan, tanpa
mempersalahkan aspek antologis dan epistemology ilmu pengetahuan tersebut. Dengan
kata lain ilmu dan teknologinya tidak di permasalahkan, yang dipermasalahkannya
adalah orang yang mempergunakannya. Cara ini melihat bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan hanya penerapan etika Islam  dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan  dan
kriteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya.
2. Memasukkan nilai-nilai Islam dalam konsep ilmu pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dengan cara
memasukkan nilai-nilai Islami kedalam konsep ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Asumsi dasarnya adalah ilmu pengetahuan tersebut tidak netral, melainkan penuh dengan
muatan-muatan nilai yang dimasukkan oleh orang-orang yang merangcangnya. Dengan
demikian Islamisasi imu pengetahuan dan teknologi harus di lakukan terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
3. Penerapannya dimulai dengan mengkaji dengan pendekatan antologi dan epistemology
Dengan antologi dapat dijelaskan  bahwa  sumber-sumber pengembangan ilmu
berupa ayat-ayat tuhan yang tertulis (al-Qur'an) dan ayat-ayat tuhan yang tidak tertulis
sebagaimana terdapat dijagat raya (ayat kauniyah) dan ayat-ayat tuhan yang terdapat
pada manusia dan prilaku sosial, semuanya itu adalah ayat-ayat tuhan. Oleh karena itu
ilmu pengetahuan, baik ilmu agama Islam yang dihasilkan melalui kajian terhadap ayat-
14 Muhaimin & Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 99.
15 Budi Handrianto. Op.cit., hlm. 131-136.
16 Isma`il Razi AL-Faruqi. Op.Cit., hlm. 131-137.

xiv
ayat al-Qur'an, ilmu-ilmu alam (sains) yang dihasilkan melalui kajian terhadap jagat
raya, dan ilmu-ilmu sosial yang dihasilakan melalui kajian terhadap fenomena sosial.
Namun pada hekekatnya berasal dari Allah SWT, karena semua ilmu tersebut sebagi
hasil dari pengkajian terhadap ayat-ayat Allah SWT.
Dengan epistemology dapat dijelaskan bahwa sebuah ilmu pengetahuan tersebut
disusun, ilmu agama Islam yang bertumpu pada kajian ayat-ayat yang ada dalam al-
Qur'an menggunakan metode kajian ijtihadiyah dengan syarat dan langkah-langkah yang
telah teruji dalam sejarah, melalui metode ijtihadiyah ini maka di hasilkan berbagai ilmu-
ilmu agama Islam seperti teologi, hukum Islam, tafsir, filsafat, pendidikan dan
sebagainya dengan berbagai mazhab dan aliran yang ada didalamnya.
Karena ilmu-ilmu tersebut menggunakan ayat-ayat Allah, maka seluruh ilmu
tersebut pada hakekatnya dari Allah, oleh karenanya, ia harus di abdikan untuk ibadah
kepada Allah melalui pengabdian terhadap kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
4. Pemberian pendidikan secara berjenjang dan berkesinambungan sejak kecil
Islamisasi imu pengetahuan, juga dapat diberikan melalui inisiatif pribadi melalui
proses pendidikan yang diberikan secara berjenjang dan berkesinambungan, dalam
prakteknya tidak ada ilmu agama dan ilmu umum yang disatukan. Yang terjadi sejak
kecil kedalam diri seseorang sudah ditanamkan jiwa agama yang kuat, praktek
pengalaman tradisi keagamaan dan sebagainya. Setelah itu  kepadanya diajarkan dasar-
dasar ilmu agama yang kuat, diajarkan al-Qur'an baik dari segi membaca maupun
pemahaman isinya. Selain itu juga diajarkan pula hubungan antara satu ilmu dengan ilmu
lainnya secara umum. Selanjutnya ia mempelajari beberapa bidang ilmu dan keahlian
sesuai dengan bidang yang di minatinya.
Dengan demikian akan melahirkan manusia yang ahli dalam bidang ekonomi,
industri, pertanian dan sebagainya, namun dalam waktu yang bersamaan ia dengan
kemampuannya sendiri mampu menghubungkan jiwa dan dasar-dasar keagaman yang
dimilikinya  itu untuk mengarahkan keahlian yang  dimilikinya, ia boleh saja menjadi
dokter misalnya tapi dokter yang Islami dan sebagainya. Hal ini dapat dilakukan dengan
memetakan anak didik didalam memasuki lembaga pendidikannya, tanpa harus
mengubah bentuk sekolah atau kurikulum atau lainnya, pendekatan ini pun sukup efektif
dan efesien.
5. Melakukan integrasi antara dua paradigma agama dan ilmu yang seolah-olah
memperlihatkan perbedaan.

xv
Agama mengasumsikan atau melihat sesuatu persoalan dari segi norma (bagaimana
seharusnya) sedangkan sains meneropongnya dari objektifnya (bagaimana adanya).
Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains
melalui eksperimen dan rasio manusia. Selain itu ajaran agama diyakini sebagai petunjuk
Tuhan, kebenarannya mutlak, sedangkan kebenaran sains bersifat relatif. Agama banyak
berbicara tentang yang gaib, sementara sains hanya berbicara mengenai hal empiris.

E. Pro-Kontra tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Diskursus seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama menebarkan
perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Semenjak dicanangkannya sekitar 30
tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus bermunculan. Satu
pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal
revivalisme (kebangkitan) Islam. Namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan
"Islamisasi" hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati "sakit hati" dan inferiority
complex karena ketertinggalan mereka yang sangat jauh dari peradaban Barat, sehingga
gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring
perjalanan waktu dengan sendirinya.
Pemikiran al-Faruqi dan al-Attas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan menimbulkan pro
dan kontra dikalangan ilmuan muslim. Meskipun demikian dalam hal ini mereka banyak
memperoleh pengikut di berbagai Negara. Untuk mempublikasikan dan menyebarkan
pemikirannya seperti al-Faruqi mendirikan the association of muslim social.17 Sedangkan al-
Attas dalam menggagas ide islmisasinya dia mendirikan sebuah institutsi pendidikan yang
prestius yaitu International Instituse of Islamic Thogth and Civilization, yang dikenal dengan
singkatan ISTAC.
Dalam berbagai pergolakan  keilmuan selalu ada penerimaan dan penolakan (pro-kontra)
dan hal inilah yang terjadi dalam gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, banyak alasan yang
dipaparkan oleh mereka yang kontra, begitu juga bagi yang pro berbagai alasan di
ketengahkannya untuk mendukung hal pembenaran atas konsep mereka. Adapun alasan dari
masing-masing tersebut sebagai berikut :
Orang-orang yang kontra dan alasan-alasannya
Tokoh pemikir Islam yang menolak gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan salah satunya
adalah Muhammad Arkoun, Guru besar Universitas Sorbonne Prancis, mengatakan bahwa
keinginan dari para cendikiawan muslim untuk  melakukan Islamisasi ilmu dan teknologi
17 Nina M. Armando. Loc.Cit.

xvi
merupakan kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak kita pada pendekatan yang menggap
bahwa Islam hanya semata-mata sebagai ideologi. Yang tidak bisa berbuat apa-apa selain
menciplak karya orang.
Sedangkan di Indonesia salah satu tokoh yang tidak sejalan dengan gagasan ini yaitu
Usep Fathuddin, yang mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan tidak perlu, karena
dengan Islamisasi bukanlah kerja ilmiah dan kreatif, karena yang dibutuhkan sekarang adalah
terlebih-lebih lagi bagai para cendikiawannya adalah menguasai dan mengembangkan ilmu.
Islamisasi ilmu pengetahuan hanyalah kerja kreatif atas karya orang lain saja, sampai tingkat
tertentu, dan hal itu tak ubahnya sebagai pekerja jalanan di pinggir jalan, manakalah orang
ilmuan berhasil menciptakan atau mengembangkan ilmu, maka orang Islam (sebagian) akan
mencoba menangkap dan berusaha mengIslamkannya.
Lebih lanjut Usep Fathuddin memberi komentar, bahwa seorang tukang yang sangat ahli,
barangkali akan mampu mengubah sesuatu sehingga berbeda dengan watak aslinya, atau
berbeda paradigmanya. Tapi kalau tukang yang kurang ahli, barangkali hanya cukup dengan
mengalungkan label. Islamisasi ilmu pengetahuan tidak ubahnya seperti pembuat label,
seperti  membuat kaligrafi pada suatu bangunan, supaya dikatakan bangunan Islami, lebih
lanjut dijelaskan bahwa semangat Islamisasi ilmu pengetahuan itu didasari  satu anggapan
tentang keilmuan dan Islam, klaim yang paling sering kita  dengar ialah adanya dua
kebenaran di dunia ini, kebenaran ilmu dan kebenaran agama. Ilmu dikatakan sebagai relatif,
spekulatif dan tak pasti, semantara agama dianggap absolute, transcendental dan pasti. Tapi
kalau kita lihat sejarah, ternyata Islam tidak menganal permasalahan antara “keagamaan” dan
“ilmu”. Bahkan sebaliknya, sering dianggap puncaknya sejarah dan perdaban Islam, justru
terjadi ketika menyatukan keagamaan dan ilmu itu.18
Selanjutnya yang kontra terhadap ide Islamsasi ilmu pengetahuan ini adalah Fazlur
Rahman, kritik Rahman diarahkan kepada beberapa konsep Islamisasi sains yang kurang
memahami tradisi intelektual Islam masa lampau. Rahman juga mengkritik rencangan
sistematis al-Faruqi mengenai langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan yang
dianggapnya terlalu mekanistis. Dalam sejarah Islam sendiri, para ilmuan muslim banyak
menyerap unsur-unsur baru dari peradaban non-Islam. Menurut Fazlur Rahman ilmu
pengetahuan tidak perlu disilamkan, karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan.
Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan, ia menyatakan ilmu pengetahuan akan
tergantung kepada cara menggunaannya.19
18 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 406-408.
19 Budi Handrianto. Op.cit., hlm.197-201.

xvii
Kritikan berikutnya datang dari Pervez Hoodbhoy, kritiknya mirip dengan pandangan
para instrumentalis bahwa tujuan agama adalah meningkatkan moralitas, dan bukan
menyatakan fakta-fakta ilmiah secara spesifik. Ia juga mengatakan bahwa usaha Islamisasi
sains itu tidak mungkin dan setiap upaya untuk membangunnya merupakan usaha mubazzir.
Selanjutnya dia juga mengajukan data-data historis bahwa; ketika masalah keyakinan religius
dibawa-bawa dalam praktek ilmu pengetahuan, maka yang kerap terjadi adalah eksekusi
ilmuan oleh kaum agamawan ortodoks, yang dikhawatirkan justru menghambat
perkembangan ilmu pengetahuan, sebagaimana telah terjadi dalam sejarah Kristen maupun
dalam sejarah Islam yang lebih awal.20
Selanjutnya adalah Abdus Salam yang merupakan orang yang mengkritik Islamisasi
sains, sebagaimana argumennya yang menyatakan bahwa; hanya ada satu sains universal,
problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti
sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kristen.21
Kritikan terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan juga diajukan oleh Abdul Karim Sorush.
Ia menyimpulkan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah tidak mungkin atau tidak logis,
alasannya; realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Para filosof terdahulu tidak
pernah menggunakan istilah filsafat Islam. Mengelaborasi ringkas argumentasinya, Abdul
Karim Sorush menyatakan bahwa; jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diIslamkan,
kebenaran adalah kebenaran, dan kebenaran tidak bisa diIslamkan, pertanyaan-pertanyaan
dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran sekalipun diajukan oleh non
muslim.[22]

Orang-orang yang pro dan alasan-alasannya :


Ilmuwan yang mendukung gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini salah satunya adalah
Mulyanto dengan argumennya bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai
proses penerapan etika Islam dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan kriteria pemilihan suatu
jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain, ilmu hanya berlaku
sebagai kriteria etis di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasarnya adalah bahwa ilmu
pengatahan adalah bebas nilai, konsekuensi logisnya mereka menggap mustahil munculnya
ilmu pengetahuan Islami, sebagaimana mustahilnya pemunculan ilmu pengetahuan
Marxisme. Dan Islam berserta ideology lainnya, hanya mampu memasuki subjek ilmu
pengetahuan dan tidak pada ilmu itu sendiri. Islam hanya berlaku sebelum dan sesudah ilmu
20 Ibid., hlm. 202-203.
21 Ibid., hlm. 204.
22 Ibid., hlm. 205.

xviii
pengetahuan beraksi, lalu menyerahkan kedaulatan mutlak pada metodelogi ilmu
bersangkutan. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan, tak lain dari
proses yang hakiki, yakni tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan ilmu pengetahuan.
[23]
Senada dengan hal tersebut di atas Haidar Bagir menjelaskan bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan secara implisit adalah penting, misalnya tentang perlunya di bentuk sains yang
Islami, hal ini didukung dengan dua argumentasi yang sangat mendasar yaitu : pertama,
Islam butuh sebuah sistem sains yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan material dan spiritual,
sistem sains yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, ini disebabkan
sains modern mengandung nilai-nilai khas Barat yang melakat padanya, nilai ini banyak
bertentangan dengan nlai-nilai Islam selain itu telah terbukti menimbulkan ancaman bagi
keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Kedua, ummat Islam pernah memiliki
peradaban Islami di mana sains berkembang sesuai dengan nilai dan kebutuhan-kebutuhan
umat Islam. Jadi sebetulnya, jika syarat-syarat untuk itu mampu dipenuhi, kita punya alasan
untuk tetap menciptakan kembali sebuah sains Islam dalam peradaban Islam pula.24
Ilmu pengetahuan perlu dibangun dengan dasar ajaran Islam yaitu al-Qur'an , yaitu ilmu
yang didasarkan atas ajaran tauhid, yang melihat bahwa antara ilmu pengetahuan modern
dengan ajaran Islam harus bergandengtangan. Ilmu pengetahuan adalah hasil teorisasi
terhadap gejala-gejala alam dengan menggunakan metode dan pendekatan ilmiah. Sedangkan
ajaran Islam juga hasil ijtihad terhadap ayat-ayat Allah yang terdapat didalam al-Qur`an, al-
Sunnah. Ayat-ayat Allah yang terdapat di jagat raya adalah berasal dari Allah. Demikian pula
ajaran agama juga berdasarkan pada ayat-ayat Allah. Dengan demikian antara keduanya
adalah ayat-ayat Allah. Satu dan lainnya berasal dari satu kesatuan (tauhid). [25]
Islam sebagai agama yang mendukung tentang ilmu tidak menghendaki pola fikir yang
sempit dan fanatik karena semua itu hanya akan mengantarkan pada kekendoran dan
kelemahan manusia dan menjadikannya terisolir dari dunia kehidupam yang sangat komleks,
dan yang lebih tegasnya lagi bahwa Islam tidak mau ummatnya berfikir dan bertindak dari
hal-hal yang siafatnya tradisional saja tetapi Islam membawa manusia supaya maju, dinamis,
dan peka terhadap perkembangan  zaman, mampu memahami kehidpan lingkungannya dan
masyarakatnya.

23 Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 409.


24 Ibid.,
25 Ibid., hlm. 409.

xix
Sebenaranya bagi mereka yang menolak gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan hanya
terkesan ada sedikit rasa gengsi mengambil ilmu pengetahuan dari barat kemudian
mengIslamkannya, bagi mereka bahwa Islam perlu memiliki pengetahuan yang Islami
sebagaimana dalam sejarah Islam. Namun caranya bukan dengan mengambil ilmu dari barat
dan mengIslamkannya, melainkan langsung saja membentuk dan mengembangakan ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada ciri dan sifat ajaran Islam. semantar itu bagi meraka yang
setuju dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini, bukan berari tidak setuju dengan
membentuk ilmu pengetahuan dengan corak Islam dengan mandiri melainkan bersamaan
dengan itu dipandang tidak ada salahnya bila kita mengambil ilmu pengetahuan dari barat
lalu mengIslamkannya sebagaiman misalnya barat juga pernah mengambil ilmu pengetahuan
dari Islam di zaman klasik lalu mensesuaikannya dalam ajaranya.[26]
Terlepas dari pro-kontra di atas, yang menjadi tantangan besar bagi kelanjutan proses
Islamisasi dan merupakan the real challenge adalah komitmen sarjana dan institusi
pendidikan tinggi Islam sendiri. Tantangan globalisasi yang terus berkembang seiring dengan
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi semakin membingungkan. Ilmu dianggap
sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya,
orientasinyapun ikut berubah, tidak lagi untuk meraih “keridhaan Allah” tetapi untuk
kepentingan diri sendiri. Universitaspun hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan
pragmatis, menjadi pabrik industri tenaga kerja dan bukan lagi merupakan pusat
pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan. Sehingga merupakan hal yang wajar jika al-Attas
mengungkapkan bahwa tantangan terbesar terhadap perkembangan gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri. Dan tantangan yang tak kalah
besarnya adalah akibat kedangkalan pengetahuan umat Islam terhadap agamanya sendiri. Hal
ini, menurutnya, bisa dilihat dari karya tulis yang mereka hasilkan yang mencerminkan
bahwa mereka belum memahami Islam dengan baik.[27]

F. Pengaruh Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Adapun pengaruh gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ada yang merupakan pengaruh
positif dan ada yang negatif, yaitu:
1. Adanya ilmuan muslim yang mengatakan bahwa gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan muncul sebagai reaksi adanya konsep dikhotomi antara agama dan ilmu
pengetahuan yang dimasukkan masyarakat Barat dan budaya masyarakat modern.

26 Ibid., hlm. 410.


27 Budi Handrianto. Op.cit., hlm.97.

xx
2. Selanjutnya dengan munculnya ide islamisasi ilmu pengetahuan maka mengakibatkan
pertentangan diantara ilmuan kita.
3. Yang menjadi pengaruh positifnya adalah melalui islamisasi ilmu pengetahuan
munculnya ilmu-ilmu dan juga perekonomian yang islami, seperti ilmu kedokteran
yang islami, Bank Syari`ah. Makanya mari menabung di Bank Syari`ah dan
berinvestasi agar instrumen ekonomi Islam membesar.
4. Dengan gagasan islamisasi sains tersebut maka sains dapat memproduk teknologi
yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid syariah dan bukan
dengan nafsu manusia.[28]
5. Gagasan atau gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan menggugah hati kaum muslimin
untuk sadar dengan keadannya, karena islamisasi ssains merupakan salah satu upaya
menjawab tantangan modernitas yang melanda umat Islam. Terwujudnya keadilan,
tersebarnya kedamaian dan kasih sayang kepada seluruh umat manusia, juga
terciptanya kesetaraan, kebersamaan, tolong menolong dan penghormatan hak asasi
antar umat manusia.[29]

BAB III
PENUTUP

28 Zainal Habib. Op.Cit., hlm. 55.


29 Muhaimin & Abdul Mujib. Op.cit., hlm. 101.

xxi
Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis berkesimpulan bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan perlu
ditindaklanjuti karena sesuai dengan konsep, prinsip metodologi yang jelas yaitu
berlandaskan ketauhidan dan keimanan serta memiliki rencana kerja mengingat keterpurukan
dunia Islam saat ini ditingkat yang paling parah. Sehingga perlu adanya pembaharuan salah
satunya adalah dibidang pendidikan. Dimana pendidikan kita harus diarahkan pada keimanan
yang merupakan core dari gagasan tersebut yang menyebutkan lima kesatuan yaitu kesatuan
tuhan, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan
kesatuan kemanusiaan.
Gerakan Islamisasi ilmu ini perlu diimplementasikan oleh para cendikia muslim sendiri
yang memiliki keluasan ilmu dan keahlian yang mantap terhadap ilmu -ilmu keIslaman dan
ilmu pengetahuan yang non Islam. Pada masa awal Islam sampai masa keemasannya
memang tidak ada labelisasi Islam pada setiap ilmu pengetahuan, karena saat itu umat Islam
mempunyai posisi yang kuat dan penguasa ilmu pengetahuan, walaupun tidak menggunakan
label Islam, tapi framework yang mereka miliki berlandaskan Islam sehingga kegiatan-
kegiatan yang mereka lakukan saat itu semakna dengan Islamisasi. Ini berbeda dengan
kondisi umat Islam saat ini, Islam berada pada posisi yang kalah, terhegemoni dan terdesak
oleh keilmuan dan peradaban Barat sehingga untuk membuatnya bebas dari hegemoni
tersebut perlu dimunculkan ciri keIslaman yang tegas dan jelas dalam bidang keilmuwan.

DAFTAR PUSTAKA

xxii
Al-Faruqi. Isma’il Raji Al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan, Cet ke-3, Bandung: Penerbit
Pustaka, 2003

Armando. Nina M. Ensiklopedi Islam Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.

Bagader. Abu Bakar A. Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, Yogyakarta: CV.Bayu Grafika Offset,
1989.

Habib. Zainal. Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi Mendialogkan Perspektif,


Malang: UIN Malang Press, 2007.

Handrianto. Budi. Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modren,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.

http://drmiftahulhudauin.multiply.com/journal/item/13, diakses pada hari kamis tanggal 29


September 2011.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa,
Jakarta : Balai Pustaka, 2002

M.Ridwan, dkk, Kamus Ilmiah Populer, Jakarta: Pustaka Indonesia, tt.

Muhaimin & Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Nasution. Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Dzambatan, 1992.

Nata. Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Praja. Juhaya S. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia,
Jakarta: Teraju, 2002.

Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia, Ciputat: Quantum Teaching,
2005.

Salim. Peter & Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1986

xxiii
Syadily. Ahmad, dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

xxiv

Anda mungkin juga menyukai