Anda di halaman 1dari 26

PENGETAHUAN, SAINS DAN FILSAFAT

Makalah ini diajukan untuk Memenuhi Tugas Berstruktur pada Mata Kuliah
Filsafat dan Sains Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Salamuddin, M.A.

Disusun oleh :
Mawan Rinaldi Silalahi (0332224043)
Faizal Luqman (0332224039)
Ade Putra (0332224015)
Taufik Hidayat (0332224013)

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
SEMESTER GANJIL TA. 2022-2023

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan mengiringi selesainya penulisan


makalah yang berjudul “Pengetahuan, Sains dan Filsafat” ini. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat dan Sains Islam.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Salamuddin, M.A.
selaku dosen Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam di Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan beliau.
Penulis mengharapkan bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
sehingga bisa menjadi perbaikan di masa yang akan datang.

Aceh Tenggara, 18 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL............................................................................................................iv
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Masalah......................................................................................................3
BAB II...............................................................................................................................4
PENGETAHUAN, SAINS DAN FILSAFAT..................................................................4
A. Pengetahuan............................................................................................................4
B. Sains.......................................................................................................................6
C. Filsafat....................................................................................................................7
D. Hakikat Pengetahuan, Sains dan Filsafat dalam Tradisi Islam.............................10
E. Pendorong Kemajuan dan Kemunduran Pengetahuan, Sains dan Filsafat Islam. 14
PENUTUP.......................................................................................................................19
A. Kesimpulan...........................................................................................................19
B. Saran.....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

iii
DAFTAR TABEL

Gambar 1 Pilar Filsafat Ilmu.......................................................................................................13

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara mengenai Hakikat Pengetahuan, Sains dan Filsafat dalam Tradisi
Islam untuk saat ini kenapa masih kurang diminati oleh banyak kalangan ummat Islam?
Perkembangan pemikiran filsafat Islam pasca penerjemahan atas buku-buku
Yunani mengalami pasang surut yang pertama kali dikenalkan al-Kindi (806-875M).
Dalam kata pengantar untuk buku ‘Filsafat Utama’ (al-Falsafahal-Ûla), yang
dipersembahkan pada khalifah al-Mu`tashim (833-842M), al-Kindi menulis tentang
objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang
anti filsafat. Meski demikian, karena begitu dominannya kaum fukaha ditambah masih
minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi
tidak begitu bergema. Akan tetapi, perkembangan pemikiran filsafat yang begitu pesat
berkat dukungan penuh dari para khalifah Bani Abbas (750-1258M) ini, khususnya
sejak al-Makmun (811-833 M), kemudian mengalami sedikit hambatan pada masa
khalifah al-Mutawakil (847-861M). Hambatan ini disebabkan oleh adanya penentangan
dari sebagian kalangan ulama salaf, seperti Imam Ibnu Hanbal (780-855M) dan orang-
orang yang sepikiran dengannya. Mereka menunjukkan sikap yang tidak kenal
kompromi terhadap ilmu-ilmu filosofis, usaha penentangan kaum salaf yang dipelopori
Ibnu Hanbal (780-855 M) terhadap ilmu-ilmu filosofis di atas mencapai puncak dan
keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861M). Tampilnya al-
Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum salaf menyebabkan kajian
dan pemikiran filosofis mengalami hambatan. Lebih dari itu, kalangan salaf yang saat
itu dekat dengan khalifah dan “berkuasa” melakukan revolusi: orang-orang Muktazilah
dan ahli filsafat yang tidak sepaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi
(801-878M) yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai
guru istana karena tidak sepaham dengan sang khalifah yang salaf. 350 tahun perjalanan
pasang surut filsafat berakhir pada masa Ibnu Rusyd (1126-1198M) yang berjasa untuk
mempertemukan antara agama dan filsafat. metode rasional burhani (demonstratif) yang
digunakan pada ilmu-ilmu filosofis tidak hanya monopoli milik filsafat, tetapi juga

1
dapat digunakan untuk menganalisis ilmu-ilmu keagamaan, jika agama dan filsafat
samasama mengajak dan ingin mencapai kebenaran, maka kebenaran yang satu tidak
mungkin bertentangan dengan kebenaran yang lain.
Dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam
seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali. Proses
sekularisasi ilmu itu dimulai pada masa Renaissance (kebangkitan kembali) dan
dilanjutkan pada masa Aufklarung (pencerahan), yaitu ketika tokoh Renaissance filosof
Perancis Rene Descartes (1596-1650) menklaim bahwa akal atau rasiolah sebagai satu-
satunya kreteria untuk mengukur kebenaran, yang terkenal dengan ucapannya cogito
ergo sum (saya berpikir maka saya ada).
Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya, apa pentingnya kita mempelajari
filsafat Islam. Setidaknya ada beberapa jawaban yang bisa kita kemukakan bagi
pertanyaan ini, terutama bila kita ingat bahwa tidak sedikit dan sudah sejak lama orang-
orang Eropa yang nota bene bukan Muslim pun dengan serius mempelajari dan
mengajarkan filsafat Islam. Begitu pula jika pertanyaan tersebut dibalik: Apa sebab
orang-orang Islam tertarik mempelajari filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan
dari peradaban Yunani, yang nota bene bukan Islam itu? Jawaban pertama, sebagai
kegiatan ilmiah, filsafat Islam merupakan bagian dari perjalanan intelektual manusia
mencari kebaikan, menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan, sebuah cita-cita
universal yang ingin dicapai oleh setiap bangsa apapun agamanya, budayanya, dan
bahasanya. Kedua, bagi mereka yang haus ilmu dan cinta kearifan, mempelajari filsafat
itu sama dengan mencari hikmah yang hilang atau tercecer di manapun adanya perlu
dikejar dan dari manapun datangnya perlu diambil. Ketiga, tidak sedikit yang mengkaji
filsafat Islam semata-mata didorong oleh rasa ingin tahu belaka, sebuah kecenderungan
alami pada setiap manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pengetahuan?
2. Apa pengertian Sains?
3. Apa pengertian Filsafat?
4. Bagaimana Hakikat Pengetahuan, Sains dan Filsafat dalam Tradisi Islam?

2
5. Bagaimana Pendorong Kemajuan dan Kemunduran Pengetahuan, Sains dan
Filsafat Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Pengetahuan
2. Mengetahui pengertian Sains
3. Mengetahui pengertian Filsafat
4. Memahami Hakikat Pengetahuan, Sains dan Filsafat dalam Tradisi Islam
5. Memahami Pendorong Kemajuan dan Kemunduran Pengetahuan, Sains dan
Filsafat Islam

3
BAB II
PENGETAHUAN, SAINS DAN FILSAFAT

A. Pengetahuan
Asal kata ilmu adalah dari bahasa Arab,‫َعِلَم َيْعَلُم ِعْلًم ا‬. Arti dari kata ini adalah

pengetahuan. Knowledge merupakan bentuk umum (genus) dan science merupakan


bentuk khususnya (species). Ada pula yang mengartikan knowledge sebagai “ilmu” dan
science sebagai “pengetahuan”. Bila ditinjau dari jenis katanya 'pengetahuan' termasuk
dalam kata benda, yaitu kata benda jadian yang tersusun dari kata dasar 'tahu' dan
memperoleh imbuhan 'pe-an', yang secara singkat memiliki arti 'segala hal yang
berkenaan dengan kegiatan tahu atau mengetahui. Pengertian pengetahuan mencakup
segala kegiatan dengan cara dan sarana yang digunakan maupun segala hasil yang
diperolehnya. Secara sederhana ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai pengetahuan
yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggung
jawabkan secara teoritis1. Pengetahuan merupakan hasil dari keingintahuan manusia
dengan suatu subjek yang ingin diketahuinya.
Ada beberaapa jenis pengetahuan seperti:
1. Pengetahuan Biasa
Disebut sebagai common sense, yaitu pengetahuan atas dasar aktivitas kesadaran
(akal sehat) baik dalam menyerap dan memahami suatu objek, serta
menyimpulkan atau memutuskan secara langsung atau suatu objek yang
diketahui. Common sense merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa harus
memerlukan pemikiran yang mendalam sebab dapat diterima keberadaan dan
kebenarannya hanya menggunakan akal sehat secara langsung, dan sekaligus
dapat diterima semua orang.

2. Pengetahuan Agama

1
Chris Verhaak and R Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu (PT
Gramedia, 1991).

4
Merupakan pengetahuan yang bermuatan dengan hal-hal keyakinan,
kepercayaan yang diperoleh melalui wahyu Tuhan. Pengetahuan agama adalah
bersifat mutlak dan wajib diikuti oleh para pengikutnya. Sebagian besar nilai
kandungan di dalam pengetahuan agama adalah bersifat mistis atau ghaib yang
tidak dapat dinalar sederhana melalui akal dan indrawi.
3. Pengetahuan Filsafat
Merupakan pengetahuan yang bersifat spekulatif, diperoleh melalui hasil
perenungan yang mendalam. Pengetahuan filsafat menekankan keuniversalitasan
dan kedalaman kajian atas sesuatu yang menjadi objek kajiannya. Pengetahuan
filsafat dapat ditandai dengan unsur rasionalistas, kritis dan radikal atas refleksi
maupun perenungan mendasar segala kenyataan dalam dunia ini. Pengetahuan
filsafat merupakan landasan pengetahuan ilmiah yang menjadi tumpuan dasar
untuk berbagai persoalan yang tidak bisa dijawab oleh disiplin ilmu. Filsafat
menjadi penjelas yang bersifat substansial dan radikal atas berbagai masalah
yang dihadapi.
4. Pengetahuan Ilmiah
Merupakan pengetahuan yang menekankan evidensi disusun dan secara
sistematis, mempunyai metode dan memiliki prosedur. Pengetahuan ilmiah
diperoleh dari serangkaian observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Pengetahuan
ilmiah disebut juga ilmu atau ilmu pengetahuan (science). Disebut ilmu
pengetahuan karena ia memiliki metode. Pengetahuan ilmiah didasarkan pada
prinsip empiris dalam arti menekankan pada fakta atau kenyataan yang dapat
diverifikasi melalui indrawi2.
Pada dasarnya manusia memperoleh pengetahuan dari empat sumber yakni
empirisme, rasionalisme, intuisi, dan wahyu.
Manusia, menurut al-Qur’an, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan
mengembangkannya dengan seizin Allah. Al-Qur’an menunjukkan betapa tinggi
kedudukan orang-orang yang berpengetahuan3 seperti dalam Q.S. al-Mujadalah ayat 11:

2
Welhendri Azwar Muliono, Filsafat Ilmu: Cara Mudah Memahami Filsafat Ilmu (Prenada Media, 2019).
3
M Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1996),” Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an 1 (2003).

5
‫َل‬K ‫َل َلُك ۡم َتَفَّس ُحوْا ِفي ٱۡل َم َٰج ِلِس َفٱۡف َس ُحوْا َيۡف َس ِح ٱُهَّلل َلُك ۖۡم َو ِإَذ ا ِقي‬K ‫َٰٓيَأُّيَه ا ٱَّل ِذ يَن َء اَم ُن ٓو ْا ِإَذ ا ِقي‬
‫ٱنُشُز وْا َفٱنُشُز وْا َيۡر َفِع ٱُهَّلل ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنوْا ِم نُك ۡم َو ٱَّلِذ يَن ُأوُتوْا ٱۡل ِع ۡل َم َد َر َٰج ٖۚت َو ٱُهَّلل ِبَم ا َتۡع َم ُل وَن‬
١١ ‫ر‬ٞ‫َخ ِبي‬
Artinya:
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

B. Sains
Sains berasal dari bahasa latin scientia yang berarti pengetahuan4. Dalam bahasa
Inggris equivalen dengan kata science yang berarti “mengetahui, memahami (to
know)”5. Namun pernyataan ini terlalu luas dalam penggunaannya sehari-hari.
Pengertian sains sebagai bagian dari pengetahuan ini tampaknya merupakan pengertian
paling dasar.
Sains dalam arti terminologi, adalah: Pertama, merupakan kumpulan
pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada
jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan; apakah yang ingin kita
ketahui, bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan dan apakah nilai pengetahuan
tersebut bagi kita. Kedua, Suatu hal yang bersifat aposteriori yaitu kesimpulan-
kesimpulannya ditarik setelah pengujian berulang-ulang dan untuk beberapa ilmu,
bahkan harus dilengkapi dengan percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan
esensinya. Ketiga, Pengetahuan yang bersifat umum dan sistematik, pengetahuan dari
mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah yang umum
Pandangan al-Qur’an tentang ilmu (sains)6 dapat diketahui prinsip-prinsipnya
dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, seperti dalam
Q.S. Al-‘Alaq ayat 1-5 :

4
Sidi Gazalba, “Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori Pengetahuan,” Kedua. Jakarta: PT Bulan
Bintang (1991).
5
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (PT Bina Aksara, 1995).
6
Shihab, “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996).”

6
‫ۡأ‬ ‫ۡأ‬
‫ ٱَّل ِذ ي َع َّلَم‬٣ ‫ ٱۡق َر َو َر ُّب َك ٱَأۡلۡك َر ُم‬٢ ‫ َخ َلَق ٱِإۡل نَٰس َن ِم ۡن َع َلٍق‬١ ‫ٱۡق َر ِبٱۡس ِم َر ِّبَك ٱَّلِذ ي َخ َلَق‬
٥ ‫ َع َّلَم ٱِإۡل نَٰس َن َم ا َلۡم َيۡع َلۡم‬٤ ‫ِبٱۡل َقَلِم‬
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”.

Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an
menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam
arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri
sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala
sesuatu yang dapat dijangkaunya7.

C. Filsafat
Filsafat secara etemologi berasal dari bahasa Arab ‫ فلسفة‬, falsafah dan philosophy

(bahasa inggris) philosophia (Bahasa yunani). Kata philosophia merupakan kata


majemuk dari philos yaitu kekasih, sahabat dan Sophia yaitu kebijaksanaan atau
kearifan. Dapat dijelaskan bahwasanya orang yang berfilsafat yang mencintai
kebijaksanaan yang berusaha dan mencari dengan menggunakan akalnya dalam
menemukan kebenaran.
Pandangan Zaprulkan bahwa filsafat Yunani memberikan motivasi yang luar
biasa kepada filsuf Islam, namun perlu harus diingat bahwasanya mereka tidak
meninggalkan agama dalam proses kajian filsafat. Penggunaan pemikiran Yunani
adalah membentuk kerangka metodologi baru yang sebelumnya tidak terbentuk di
negeri Yunani.

“kehadiran filsafat Yunani banyak memotivasi pengembangan filsafat Islam, walaupun hal ini
tidak berarti bahwa para pemikir Islam sepenuhnya mengikuti ide-ide orang Yunani. Sebab
sekiranya demikian, niscaya mereka akan menjadi pemikir-pemikir yang miskin mengenai teori-
teori pemikiran filosifis. Sebaliknya, mereka menerapkan pemikiran Yunani sebagai metodologi
untuk menelaah subjek-subjek ke-Islaman dan dalam tataran-tataran tertentu mereka

7
Ibid.

7
mengembangkan pula metodologi-metodologi baru sehingga membuahkan gagasan cemerlang
yang belum pernah ada sebelumnya di negeri Yunani”8.

Seyyed Hosein Nasr9 mengungkapkan bahwasanya dalam tradisi Intelektual


Islam istilah filsafat lebih dikenal dengan istilah Hikmah al-Ilahiyyah dalam perspektif
Seyyed Hosein Nasr ada enam disiplin keilmuan Islam menjadi pondasi filsafat Islam
yaitu: 1) Qur’an commentary (tafsir dan ta’wil; 2) Principle of religion (usul al-din); 3)
Principle of jurisprudence (ushu al-fiqh); 4) Sufism; 5) Natural Sciences; 6) The
Science of language. Maka tidak mengherankan jika seorang filsuf di samping dia
memiliki karya filsafat juga memiliki karya dalam bidang keagamaan sebagaimana Ibn
Rusyd.
Pernyataan Seyyed Hosein Nasr memberikan arti bahwa perjuangan panjang
para filsuf Muslim telah membuka jalan sebagai realitas yang membuka pikiran dan
jiwa, dimana pada akhirnya perjalanan panjang tersebut akan bermuara kepada jalan
tasawuf dalam menemukan Tuhan.
Perjalanan panjang tersebut memiliki berbagai macam rintangan baik sebagai
kemajuan dan kemunduran dalam filsafat Islam itu sendiri, diterima atau tidak para
filsuf muslim telah memberikan warna dalam pergelutan pemikiran dalam tradisi
Intelektual Islam dan perjuangan tersebut menjadi “jembatan” bagi tradisi Intelektual
Barat dalam memahami karya-karya dan warisan Yunani.
Filsafat sebagai disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang
kajian dimaksud adalah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan (epistemologi) dan
teori nilai (aksiologi).
1. Teori Hakikat (Ontologi)
Teori hakikat adalah cabang filsafat yang membicarakan hakikat sesuatu atau
hakikat benda. Ilmuan menyebut bahwa teori hakikat ini sama dengan ontology
yang tugasnya memberikan jawaban atas pertanyaan: apa sebenarnya realitas
sesuatu? Apakah sesuatu itu sesuai dengan penampakkannya atau tidak? Untuk
menjawab soal-soal tadi, maka filosof menyelesaikan dan memberikan jawaban
dengan menggunakan teori hakikat atau ontologi. Ilmuan kemudian membagi
dan mencabangkan teori ini pada paham-paham seperti berikut ini:

8
Filsafat Umum Zaprulkhan, “Sebuah Pendekatan Tematik” (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013).
9
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of
Prophecy (suny Press, 2006).

8
a. Aliran Idealism, aliran ini menganggap bahwa di balik realistic fisik pasti
ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru
terletak di balik fisik, berada dalam ide.
b. Aliran Materialism, aliran ini menganggap bahwa sejatinya realitas adalah
aspek materi, bagi aliran ini, apa yang dimaksuk dengan ide, justru akan
muncul dari realitas materi atau realitas benda.
c. Aliran Dualism, aliran ini tampaknya hendak menggabungkan (sintesis)
antara eksistensi yang fisik dengan eksistensi yang metafisik. Bagi aliran ini,
eksistensi sesuatu itu, bisa berupa yang fisik bisa juga yang bersifat
metafisik.
2. Teori Pengetahuan (Epistemologi)
Teori pengetahuan adalah cabang dari filsafat ilmu yang membicarakan atau
mengkaji tentang cara memperoleh pengetahuan. Cabang ini sering juga disebut
epistemology yang umumnya membicarakan tentang hakikat pengetahuan,yaitu
apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pengetahuan. Dalam bidang ini dikaji
soal sumber pengetahuan dan bagaimana manusia (bersifat metodologis) dalam
memperoleh pengetahuan serta norma berfikir seperti apa yang dimungkinkan
dapat melahirkan atau dapat memperoleh dan membentuk pengetahuan yang
benar.
3. Teori Nilai (Aksiologi)
Teori nilai keguanaan ilmu adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
orientasi atau nilai kegunaan buat perkembangan peradaban manusia. Cabang
filsafat ini sering disebut sebagai aksiologi, karena cabang ini dapat menjadi
sarana orientasi manusia dalam menjawab suatu pertanyaan yang fundamental.
Seorang ilmuan harus mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia
adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di
masyarakat, tetapi karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam keberlangsungan
hidup manusia, yaitu bagaimana manusia harus hidup dan bertindak berdasarkan
nilai yang dianggap benar baik dalam perspektif masyarakat maupun dalam
perspektif agama, untuk itu para ilmuan membagi bidang ini pada rupa yang
disebut dengan etika dan estetika.

9
Gambar 1 Pilar Filsafat Ilmu

D. Hakikat Pengetahuan, Sains dan Filsafat dalam Tradisi Islam


1. Ontologi
Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum dipakai
untuk “sophia”. Pertama, hikmah: istilah ini dipakai oleh generasi awal pemikir
Muslim sebagai padanan kata “sophia”. Lafaz “hikmah” ini tampaknya sengaja
dipilih supaya lebih mudah diterima oleh kaum Muslim dan terkesan bahwa
filsafat itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam akan tetapi justru berhulu dan
bermuara pada al-Qur’an. Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal
dari Allah, dan di antara manusia yang pertama dianugerahi hikmah oleh Allah
ialah Luqman al-Hakim10. Namun demikian, tidak semua orang setuju dengan
istilah ini. Di antara ulama yang menentangnya ialah Imam al- Ghazali.
Menurutnya, para filsuf telah menyalahgunakan kata “hikmah” untuk
kepentingan mereka, padahal “hikmah” yang dimaksud dalam kitab suci al-

10
Everett K Rowson, “A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al-ʻĀmirī’s Kitāb Al-Amad ʻalā L-
Abad” (1988).

10
Qur’an bukan filsafat, melainkan syariat agama yang diturunkan Allah kepada
para nabi dan rasul11.Yang kedua adalah falsafah, istilah yang dimasukkan ke
dalam kosakata Arab melalui penerjemahan karya-karya Yunani kuno. Al-Kindi
termasuk yang mempopulerkan istilah asing ini melalui karyanya Fî al-Falsafah
al-Ûlâ (Tentang Filsafat Utama). Menurut al-Kindi, filsafat adalah ilmu yang
mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Dengan
kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat adalah upaya
manusia mengenal dirinya, tambah al-Kindi12. Ketiga, istilah ulûm al-awâ‘il
yang secara harfiah berarti “ilmu-ilmu orang terdahulu”. Menurut Ibn Hajar
al-‘Asqalani, ilmu-ilmu semacam itu tidak hanya berseberangan dengan Sunnah
murni (yukhâlif mah al-sunnah), akan tetapi merupakan hasil rumusan para
filsuf ateis (al-hukamâ‘ al-dahriyyah) yang tidak perlu dipelajari13.
2. Epistomologi
Fisafat sains modern dan struktur ilmu pengetahuan yang dibangunnya tercermin
pada pengagungan terhadap rasionalisme, empirisme, positivisme, obyektivisme,
dan netralitas nilai etika. Inilah yang dikenal sebagai paradigma sains modern.
Di luar paradigma itu dipandang salah, atau tidak ilmiah. Hal-hal mengenai nilai
keilmuan yang berkaitan dengan agama dipandang tidak rasional dan tidak
objektif, dan karena itu harus ditinggalkan.
Dominasi barat atas iklim keilmuan dijelaskan A.F. Chalmers dimulai pada abad
ke-17 yang dikenal dengan Revolusi Ilmiah yang melahirkan sebuah
pemahaman tentang objektivitas ilmu dan diklaim sebagai pengetahuan yang
dapat dipercaya secara objektif.

“Revolusi Ilmiah pada abad ke-17 diperkenalkan oleh ilmuan-ilmuan besar seperti
Galileo dan Newton. Filsuf Prancis yaitu Bacon dan banyak rekan-rekan se-zamannya
telah mengikhtisarkan sikap ilmiah dan mengkemukakan ketika itu bahwa apabila kita
hendak memahami alam, seharusnya kita berkonsultasi dengan alam, dan bukan dengan
tulisan-tulisan Aristoteles. Kekuatan Progresif abad-17 telah menyadarkan para filsuf

11
M Al-Ghazali, “Ihya’‘Ulum Al-Din [The Revival of the Religious Sciences](with Commentary by Al-’Imam
Al-Zabidi)(Vols. 1-6),” Beirut, Lebanon: Dar Al-Khayr (1997).
12
Tamar Zahava Frank, AL-KINDI’S" BOOK OF DEFINITIONS": ITS PLACE IN ARABIC DEFINITION
LITERATURE. (Yale University, 1975).
13
F Krenkow, “Ibn Ḥajar Al-‘Asqalānī, Lisān Al-Mīzān. Six Vols. 8vo. 492, 514, 448, 494, 440, 868+ 12 Pp.
Haidarābād: Dā’Iratul Ma ‘ārif, 1329–31.,” Journal of the Royal Asiatic Society 58, no. 3 (1926): 541–542.

11
alam di zaman pertengahan yang berpegangan pada karya-karya kuno, terutama karya
Aristoteles dan juga kitab injil sebagai sumber pengetahuan yang salah” 14.

Pengaruh Revolusi Ilmiah sangat besar memberikan pengaruh kepada ummat


Islam saat ini, dimana secara perlahan model keilmuan Islam ditinggalkan
bahkan telah dianggap usang sebagaimana dijelaskan. Revolusi Ilmiah
mengahasilkan sebuah paradigma bahwa karya-karya kuno dan kitab suci bukan
sumber pengetahuan yang valid.
Sachiro Murata mengawali kajiannya dengan membahas Tradisi Intelektual
dalam Islam sebagai berikut:

“salah satu tanda yang memprihatinkan dari menurunnya kejayaan dunia Islam saat ini,
adalah raib atau hilangnya para tokoh intelektual. Banyak alasan untuk hal ini, yang
tidak kurang pentingnya adalah sebuah fakta bahwa orang Barat selalu menganggap
syaria’at sebagai Islam “Ortodoks”15.

Menurut Syed Naquib al-Attas, peradaban Barat modern telah membuat ilmu
menjadi problematis karena di samping juga menghasilkan ilmu yang
bermanfaat, namun juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan
manusia. Hal demikian disebabkan karena imu pengetahuan modern itu
tidak dibangun di atas kepercayaan agama, tetapi berdasarkan tradisi budaya
yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memandang manusia hanya sebagai
makhluk rasional16.
Rasionalisme Barat melahirkan para rasionalis yang bertuhankan akal,
sedangkan rasionalisme Islam melahirkan rasionalis yang yakin akan
keterbatasan akal. Rasionalisme Barat melahirkan falsafah humanisme yang
mengagungkan manusia, yang dapat menguasai atau berbuat apa saja. Paham
humanisme Barat itu, seperti dikatakan oleh Bertrand Russell dalam bukunya
The Impact of Science on Society, bahwa sains bukan saja dapat mengatasi
kepintaran Tuhan, tetapi sains dapat digunakan untuk mengalahkan Tuhan. Ini
menunjukkan kesombongan yang luar biasa17.
14
Alan Francis Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?: Suatu Penilaian Tentang Watak Dan Status
Ilmu Serta Metodenya (Hasta Mitra, 1983).
15
Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought (Suny
Press, 1992).
16
Muhammad Naguib Al-Attas, Knowledge, Language, Thought, and the Civilization of Islam: Essays in
Honor of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Penerbit UTM Press, 2010).
17
Bertrand Russell, The Impact of Science on Society (Routledge, 2016).

12
Dampak lain lagi dari sains modern ialah apa yang disebut Ziauddin Sardar
(1987) sebagai imperialisme epistemologis, yaitu dampak pada pola pikir
manusia dan perilakunya. Orang menganggap segala sesuatu yang datang
dari Barat adalah modern, malah oleh kebanyakan orang dinilai sebagai pasti
baik. Masyarakat dunia, termasuk masyarakat muslim, kata Ziauddin Sardar,
dibentuk dengan citra dunia Barat. Keadaan demikian sudah berlangsung lama
sekali, lebih dari 300 tahun, dan masih akan terus berlangsung kecuali ada
epistemologi alternatif.

3. Aksiologi
Para ilmuan muslim berpendapat bahwa harus dicari filsafat sains alternatif,
yaitu filsafat sains Islam (epistemologi Islam) dengan membangun paradigma
keilmuan yang didalamnya terkandung hukum-hukum normatif yang
berdasarkan filsafat Islam. Bagaimana ciri-ciri filsafat sains Islam itu telah
diusulkan oleh sejumlah ilmuan muslim, misalnya oleh Ziauddin Sardar (1973)
dan IFIAS (1981) (lihat bab 11 buku ini). Di samping itu oleh Nataatmadja
(1992) dan Syamsul Arifin dkk. (1999) diusulkan sejumlah ciri sains Islam,
antara lain sebagai berikut.
a. Rasionalisme yang berakar pada nilai spiritualisme Islam.
b. Empirisme yang tidak hanya berakar pada dunia fisik, tetapi juga dunia
metafisik.
c. Sains yang tidak tepisah dengan agama.
d. Sains tidak netral terhadap nilai moral, agama dan ideologi, karena itu sains
sarat dengan nilai, bukan bebas nilai.
e. Hukum kausalitas dalam sains itu merupakan keniscayaan dan Allah
merupakan prima causa yang harus ditegakkan dalam pemikiran ilmiah.
f. Nilai dan norma keilmuan inheren dalam seluruh struktur sains, termasuk
pada pengguna sains.

Dapat diambil sebuah intisari bahwasanya sains dalam tradisi Intelektual Islam
dikategorikan sebagai cabang dari filsafat, yang dikenal dengan istilah lain
sebagai filsafat teoritis. Para filsuf berkeyakinan mempelajari sains adalah

13
sebagai wadah untuk menyempurnakan jiwa dengan jalan mengetahuinya dan
memenuhi banyak kebutuhan rasional.

E. Pendorong Kemajuan dan Kemunduran Pengetahuan, Sains dan Filsafat Islam


Berkaitan tentang hakikat pengetahuan, sains dan filsafat dalam tradisi Islam
pada saat ini belum diminati dan dipandang oleh banyak kalangan, disebabkan karena
dominasi perspektif Barat atas iklim keilmuan. Belum adanya minat iklim keilmuan
dalam tradisi Islam menyebabkan berbagai macam faktor, seperti ditinggalkannya aspek
religisiusitas dalam dunia ilmiah dan munculnya anggapan bahwa menggunakan ayat-
ayat suci alquran tidak dapat digunakan karena dianggap tidak ilmiah.
1. Kemajuan Pengetahuan, Sains, dan Filsafat Islam
Harun Nasution membagi sejarah peradaban Islam ke dalam tiga periode, yaitu
Periode Klasik, di mana umat Islam mulai membina dan mencapai kemajuan dan
kegemilangan peradabannya; Periode Pertengahan, di mana peradaban umat
Islam mulai mengalami kemunduran, bahkan sampai pada titik nadir, dan;
Periode Modern, dimana umat Islam sadar dan bangkit dari keterpuruk18.
Kemajuan pengetahuan, sains dan filsafat tidak terlepas dari Dinasti Umayyah
dan Dinasti Abbasiyah yang mendukung serta mamfasilitasi kepada para
ilmuwan dan filosof dalam mengembangkan keilmuannya. "Dinasti Umayyah
mendirikan observatorium astronomi di damaskus awal tahun 700. Selama paruh
kedua abad ke-2 H/8 M, Khalifah Kedua Dinasti 'Abbasiyah, al-Manshur,
diriwayatkan telah mengumpulkan sejumlah ilmuwan, termasuk dokter-dokter
dari Jundisyapur di Persia dan para ahli astronomi dari India. Karya-karya abad
ke-2 H/8 M, Jabir ibn Hayyan membuktikan keakraban dengan banyak aspek
ilmiah pra-Islam".
Kemajuan tersebut terus berlangsung pada dua dinasti tersebut, namun
sebagaimana yang diungkapkan oleh Osman Bakar bahwa kemajuan tradisi
intelektual Islam dimulai dari kegiatan penerjemahan secara besar-besaran.
Dapat dilihat kemajuan tradisi intelektual Islam pada masa dua dinasti tersebut,
yaitu:
a. Dinasti Umayyah

18
Harun Nasution, “Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan Gerakan” (1982).

14
1) Perhatian lebih banyak tertuju pada kebudayaan Arab;
2) Pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu kelihatan;
3) Iklim keilmuan sudah terbentuk dengan terbentuknya lembaga
astronomi.
b. Dinasti Abbasiyah
1) Pengaruh kebudayaan Yunani saudah terlihat mereka yang berpengaruh
di pusat pemerintahan tidak lagi orang Arab, melainkan orang Persia;
2) Berdirinya Bait al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) pada masa
kekhalifahan al-Ma'mun, yaitu suatu lembaga dan perpustakaan rasional
untuk kegiatan penerjemahan dan penelitian.
Dibalik berbagai macam karakteristik dari dua dinasti tersebut, bahwa kemajuan
dari pengetahuan, sains dan filsafat yang sangat memberikan pengaruh yaitu
Bait al-Hikmah yang didirikan oleh Khalifah al-Ma'mun. Pendirian memberikan
dampak yang sangat berarti dan memberikan pengaruh yang cukup signifikan
terhadap perkembangan tradisi intelektual Islam. W. Montgomery Watt
menceritakan bagaimana sesungguhnya proses penerjemahan di Bait al-Hikmah
berlangsung, yaitu.
1) Mula-mula penerjemahan dilakukan dari bahasa Syria oleh orang Kristen
Irak, dan penerjemah yang terkemuka kala itu adalah Hunain Ibnu Ishaq;
2) Hunain telah mempelajari bahasa Yunani, dan sebelum melakukan
menerjemahkan melakukan dulu pengumpulan naskah;
3) Dalam perjalanannya, bahasa Arab berkembang dan pengetahuan
mengenai bahan pembahasan yang bersangkutan terus meningkat, maka
terjemahan-terjemahan tersebut diperbaiki kembali;
4) Didapatkan bahwa yang diterjemahkan lebih dari delapan puluh penulis
Yunani. Orang-orang seperti Aristoteles, Plato, Galen dan Euclid
masing-masing diterjemahkan beberapa karyanya;
5) Perlu diketahui bahwasannya karya yang diterjemahkan seluruhnya
adalah karya filsafat dan ilmiah, tidak ada syair-syair, drama atau
sejarah. Bahkan, untuk filsafat, hanya meliputi terjemahan karya-karya
yang dihargai dalam aliran-aliran Yunani akhir19.
19
W Montgomery Watt, “Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis/Montgomery Watt;
Penerjemah: Hartono Hadikusumo” (1990).

15
Melihat alur dari sebuah proses penerjemahan yang dilakukan pada masa Dinasti
'Abbasiyah menjadi sebuah polemik tersendiri, artinya para ahli berbeda
pendapat mengenai keadaan umat Islam ketika penerjemahan berlangsung. W.
Mongomery Watt berpendapat sangat tidak mungkin, keadaan umat Islam
bukanlah suatu tabula rasa yang dengan ruang kosongnya dapat diisi dengan
pemikiran Yunani80. Jika berbicara untuk ilmu-ilmu khusus, Montgomery
menjelaskan dapat dimungkinkan ketika itu umat Islam berada dalam ruang
kekosongan, namun perihal ilmu-ilmu khusus, beliau tidak dapat memastikan
secara jelas, masih meragukannya."Secara menyeluruh, telah terjadi kegiatan
intelektual yang gencar di kalangan orang-orang Islam sebelum munculnya
terjemahan tersebut, terutama mengenai masalah-masalah fiqh dan dalam
perbantahan doktrinal antara sekte-sekte. Kalau bukan karena kegiatan-kegiatan
intelektual keilmuan ini, maka orang-orang Islam tidak akan berada pada posisi
untuk menyerap sebanyak-banyaknya pemikiranYunani".
Dibalik ilmu-ilmu khusus yang masih disangsikan oleh Montgomery, namum
secara langsung membuktikan kehidupan umat Islam sudah terbentuk tradisi
intelektual yang sangat baik. Terbentuk iklim keilmuan seperti ini, Ashgar Ali
Engineer menyebutkan adanya spirit intelektualisasi dan liberalisasi manusia
dari keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan."Spirit intelektualisasi dan
liberalisasi menjadikan kaum muslim memburu ilmu-ilmu pengetahuan ke
berbagai negara dan peradaban dunia di antaranya ilmu pengetahuan Yunani dan
India, namun bukan berarti ilmu pengetahuan Islam belum berkembang sebelum
pengadopsian ilmu dari dunia luar. Setelah berinteraksi antara ilmu Islam
dengan ilmu pengetahuan yang lain, maka muncullah ilmuwa-ilmuwan baru dari
kalangan kaum muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina.
Para ahli berbeda pendapat mengenai siapa sesungguhnya orang yang berjasa
dalam pengembangan tradisi intelektual umat Islam ketika itu. Badri Yatim
menyebutkan bahwa pemerintahan al-Ma'mun yang menjadikan ilmu
berkembanga begitu pesat, sebab beliau merupakan seorang pengikut Mu'tazilah
(rasionalis) yang berusaha memaksakan pandangannya kepada rakyat melalui
mekanisme negara.

16
Selain Khalifah al-Ma'mun, bahwa Hunain al-Ishaq, seorang murid Masawayah
yang telah berjasa menterjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galenus,
Appolonius, dan Archimedes. Dibalik kedua orang tersebut, Montgomery
berpendapat bahwa orang pertama yang berusaha mempribumikan filsafat
Yunani dalam dunia Islam adalah alKindi yang dikenal sebagai Filsuf Arab.
Adapun sumbangsih dari al-Kindi dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Al-Kindi beberapa terjemahan dan memperbaiki terjemahan-terjemahan
lama, tetapi karya-karya utamanya adalah hasil tulisannya sendiri;
2) Sangat sedikit yang masih bisa dijumpai, tetapi daftarnya sampai 250
judul, dan sebagian karya-karya tersebut tidak lebih dari esa-esai saja;
3) Karangan-karangan itu meliputi keseluruhan bidang sains Yunani, dan
tentunya sangat memajukan penyebaran ide-ide Yunani;
4) Posisi teologisnya dekat dengan kaum Mu'tazilah, dan beliau juga
disukai oleh Khalifah al-Ma'mun20.
2. Kemunduran Pengetahuan, Sains, dan Filsafat Islam
Harus diakui bahwa pimpinan tertinggi pemerintahan yaitu Khalifah baik pada
masa Dinasti Umayyah maupun Abbasiyah adalah orang yang sangat
berpengaruh terhadap pendorong atas kemajuan atau kemunduran tradisi
intelektual umat Islam dan selain itu, posisi teologis juga memiliki peran yang
sentral. Sebagaimana yang dialami oleh al-Kindi, ketika masa pemerintahan Al-
Mutawakkil, dimana terjadi perubahan kebijakan, dan Al-Kindi mengalami
berbagai macam penderitaan, dipenjara, perpustakaannya disita dan lain-lain
sebagainya. Kemerosotan tersebut dapat dilihat dari dua faktor, yaitu.
a. Faktor Internal, Terlihat dari tidak berjalannya salah satu bentuk pola
pendidikan intelektual, sehingga tidak terciptanya keseimbangan antara
pengetahuan akal dengan naqli, di mana pengetahuan akal telah mengalami
stagnasi, seperti filsafat, dan bidang sains tidak dapat dipertahankan, bahkan
diharamkan;
b. Faktor Eksternal, menyebutkan bahwa penguasa atau khalifah yang
mempunyai kekuasaan absolut sangat menentukan kelembagaan pendidikan,
sehingga kemajuan pendidikan sangat ditentukan oleh khalifah yang

20
Salamuddin Salamuddin, “Filsafat Sains Islam” (2020).

17
berkuasa. Selain itu, penyerangan bangsa Tar-Tar dari luas Islam telah
menghacurkan pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, sehingga sulit
membutuhkan waktu untuk bisa membangun kembali pusat kebudayaan
baru.
Antara pemerintahan dan posisi teologis dianggap sebagai kemunduran tradisi
intelektual Islam dan terdapat satu nama yang sering dikaitkan bahwa dianggap
sebagai orang yang bertanggung jawab atas kemunduran tradisi berfikir
khususnya ilmu filsafat yaitu Imam al Ghazali. Madjid Fakhry mengutarakan.
"Serangan al-Ghazali terhadap filsafat sepanjang abad ke-11 memang cukup
telak dan mematikan. Namun, iktikad baiknya untuk tetap menggunakan nalar
dalam menangani kontroversi teologis dan penegasannya atas perbedaan antara
bagian filsafat yang 'bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental agama'
dan yang tidak, seperti logika, etika, dan matematika sangatlah berguna. Logika,
etika, dan matematika, menurut al-Ghazali hanya akan dipersoalkan oleh
'kawan-kawan Muslim yang bodoh, yang lebih berbahaya daripada musuh-
musuh yang pandai'. Pengecualian Al-Ghazali ini ternyata tetap saja
memperlebar jurang antara filsafat dan teologi pada tiga abad berikutnya,
bahkan hingga masa-masa sekarang"21.

21
Zuhairini DKK, “Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia” (Jakarta: Dirjen Bingais Depag RI, 1986).

18
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengetahuan merupakan hasil dari keingintahuan manusia dengan suatu subjek
yang ingin diketahuinya.
2. Pengertian sains sebagai bagian dari pengetahuan.
3. Bagi mereka yang haus ilmu dan cinta kearifan, mempelajari filsafat itu sama
dengan mencari hikmah yang hilang atau tercecer di manapun adanya perlu
dikejar dan dari manapun datangnya perlu diambil.
4. Filsafat sebagai disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang
kajian dimaksud adalah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan
(epistemologi) dan teori nilai (aksiologi).
5. Pemikiran filsafat Islam tidak didasarkan atas filsafat Yunani yang masuk ke
dalam tradisi keilmuan Islam lewat proses terjemahan melainkan dikembangkan
dari sumber-sumber khazanah Islam sendiri
6. Grafik perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam ternyata tidak senantiasa
naik dan mulus melainkan mengalami pasang surut; pertama-tama disambut
dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan menghadapi
pemikiran-pemikiran ‘aneh’ dan ‘menyimpang’, tapi kemudian dicurigai karena
ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang balik ajaran agama
Islam sendiri.
7. Dapat dilihat kemajuan tradisi intelektual Islam pada masa dua dinasti tersebut,
yaitu: Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah.
8. Kemunduran Pengetahuan, Sains dan Filsafat Islam dapat dilihat dari dua faktor,
yaitu:
a. Faktor Internal, Terlihat dari tidak berjalannya salah satu bentuk pola
pendidikan intelektual, sehingga tidak terciptanya keseimbangan antara
pengetahuan akal dengan naqli, di mana pengetahuan akal telah mengalami
stagnasi, seperti filsafat, dan bidang sains tidak dapat dipertahankan, bahkan
diharamkan;

19
b. Faktor Eksternal, menyebutkan bahwa penguasa atau khalifah yang
mempunyai kekuasaan absolut sangat menentukan kelembagaan pendidikan,
sehingga kemajuan pendidikan sangat ditentukan oleh khalifah yang
berkuasa. Selain itu, penyerangan bangsa Tar-Tar dari luas Islam telah
menghacurkan pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, sehingga sulit
membutuhkan waktu untuk bisa membangun kembali pusat kebudayaan
baru.

B. Saran
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi siapa saja
yang membacanya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, sebab keterbatasan ilmu yang penulis
miliki. Oleh karena itu, apabila pembaca sekalian menemukan beberapa kekeliruan atau
kejanggalan, hendaklah untuk kembali merujuk kepada buku-buku atau menanyakan
kepada para ahli di bidang ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Muhammad Naguib. Knowledge, Language, Thought, and the Civilization of


Islam: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Penerbit UTM Press,
2010.
Al-Ghazali, M. “Ihya’‘Ulum Al-Din [The Revival of the Religious Sciences](with
Commentary by Al-’Imam Al-Zabidi)(Vols. 1-6).” Beirut, Lebanon: Dar Al-Khayr
(1997).
Chalmers, Alan Francis. Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?: Suatu Penilaian Tentang
Watak Dan Status Ilmu Serta Metodenya. Hasta Mitra, 1983.
DKK, Zuhairini. “Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia.” Jakarta: Dirjen Bingais
Depag RI, 1986.
Frank, Tamar Zahava. AL-KINDI’S" BOOK OF DEFINITIONS": ITS PLACE IN
ARABIC DEFINITION LITERATURE. Yale University, 1975.
Gazalba, Sidi. “Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori Pengetahuan.” Kedua.
Jakarta: PT Bulan Bintang (1991).
Krenkow, F. “Ibn Ḥajar Al-‘Asqalānī, Lisān Al-Mīzān. Six Vols. 8vo. 492, 514, 448,
494, 440, 868+ 12 Pp. Haidarābād: Dā’Iratul Ma ‘ārif, 1329–31.” Journal of the
Royal Asiatic Society 58, no. 3 (1926): 541–542.
Muliono, Welhendri Azwar. Filsafat Ilmu: Cara Mudah Memahami Filsafat Ilmu.
Prenada Media, 2019.
Murata, Sachiko. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic
Thought. Suny Press, 1992.
Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in
the Land of Prophecy. suny Press, 2006.
Nasution, Harun. “Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan Gerakan” (1982).
Rowson, Everett K. “A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al-ʻĀmirī’s Kitāb
Al-Amad ʻalā L-Abad” (1988).
Russell, Bertrand. The Impact of Science on Society. Routledge, 2016.
Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. PT Bina Aksara, 1995.

21
Salamuddin, Salamuddin. “Filsafat Sains Islam” (2020).
Shihab, M Quraish. “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996).” Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an 1 (2003).
Verhaak, Chris, and R Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara
Kerja Ilmu-Ilmu. PT Gramedia, 1991.
Watt, W Montgomery. “Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh
Orientalis/Montgomery Watt; Penerjemah: Hartono Hadikusumo” (1990).
Zaprulkhan, Filsafat Umum. “Sebuah Pendekatan Tematik.” Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013.

22

Anda mungkin juga menyukai