Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

REVIEW BUKU “INTEGRASI ILMU”


KARYA MULYADHI KARTANEGARA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu (Studi Integrasi
Sains dan Islam)
Dosen Pengampu:
Dr. H. Ahmad Barizi, MA

Oleh:
Ahmad Riza Hendrawan
NIM: 200101220004

JURUSAN MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah,,i puji isyukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan limpahan rahmat,,i taufik,,i dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Komponen Kurikulum & Faktor Yang Mempengaruhi
Pengembangan Kurikulum dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Dr. H. Ahmad Barizi,
MA selaku Dosen mata kuliah Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Sains dan Islam)
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan dan pengetahuan tentang Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Sains dan Islam).
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,,i kami berharap adanya
kritik dan saran demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan
datang.
Semoga makalah ini dapat dengan mudah dipahami bagi pembaca.
Sekiranya makalah ini dapat berguna bagi kami dan juga para pembaca.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
di masa depan.

Malang,,i 11 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. i

Daftar Isi .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

A. Biografi & Karya-karya Mulyadhi Kartanegara ................................... 3

B. Bab-bab buku Integrasi Ilmu karya Mulyadhi Kartanegara................... 4

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 18

A. Kesimpulan ........................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dikotomi ilmu jadi ilmu agama serta ilmu non agama sesungguhnya
tidaklah perihal baru. Tradisi dikotomi ini terdapat dalam Islam lebih dari
seribu tahun yang kemudian. Tetapi dikotomi ini tidak memunculkan sangat
banyak permasalahan dalam sistem pembelajaran Islam sampai sistem
pembelajaran sekuler Barat diperkenalkan ke dunia Islam lewat imperialisme.
Sebabnya merupakan kalau walaupun dikotomi antara ilmu agama serta non-
agama diakui dalam karya- karya klasik, semacam yang ditulis oleh Al-
Ghazalî( meninggal 1111) serta Ibnu Khaldûn( meninggal 1406), tetapi dia
tidak menyangkal, melainkan mengakui. daya guna serta status ilmiah
kelompok ilmiah ini.
Nah, kala ilmu- ilmu sekuler empiris ini dipromosikan ke dunia Islam
lewat imperialisme Barat, di satu sisi ada dikotomi yang sangat ketat antara
ilmu agama serta ilmu yang dipertahankan serta dibesarkan di lembaga
pembelajaran Islam tradisional( pesantren), sebagaimana diajarkan di
sekolah- sekolah umurn yang disponsori pemerintah di pihak lain.
Imam Al- Ghazzali cenderung kepada ilmu- ilmu agama, dalam
pemikirannya ialah fardhu ain, serta dalam pemikirannya kepada ilmu- ilmu
umum ialah ilmu biasa, serta fardhu kifyah paling tidak butuh ditegaskan
kalau kedua ilmu ini dikira fardhu kifayah, yang pula ialah pengakuannya
terhadap ilmu- ilmu biasa tersebut. Validitas selaku ilmu ataupun sains.
Kenyataannya, umat Islam mendesak mata pelajaran universal semacam
logika serta matematika buat mempelajarinya. Demikian pula, Ibn
Khaldûn( Ibn Khaldûn) mengklasifikasikan ilmu selaku" naqliyyah" serta"
aqliyyah". Sebagian orang berkata kalau tujuan ilmu agama merupakan buat
menjamin terselenggaranya hukum Islam, sebaliknya tujuan ilmu
keilmuan( ilmu rasional) merupakan buat mempunyai pengetahuan teoritis
yang aktual tentang hal- hal tertentu. Walaupun begitu, pemilahan ini tidak

1
berarti keraguan sedikit juga, terlebih menolak status ilmiah dari tiap- tiap
kelompok keilmuan tersebut.1
Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa nilai pendidikan telah menurun dan
Peradaban Islam lebih diciptakan oleh umat Islam sendiri, bukan lagi mereka
Keyakinan bahwa ilmu pengetahuan itu utuh dan bahwa pemikiran tradisional
daripada pemikiran rasional harus diseimbangkan agar konsep-konsep ilmiah
yang dikembangkan oleh para filosof diambil alih oleh Barat (pemberontak),
sedangkan umat Islam sendiri telah mengalami kemunduran dan kemandekan.
Terlihat dari hal tersebut pendidikan dan kebudayaan Islam mengalami
kemunduran atau bahkan mengalami stagnasi. Karena kesenjangan antara
sains dan agama, banyak intelektual Muslim mencoba mengintegrasikan
dikotomi ini dari masa lalu hingga abad ini. 2
Antara lain merupakan Mulyadhi Kartanegara( Mulyadhi
Kartanegara), sebab yang membedakan ilmu agama serta ide sehat cumalah
klasifikasi, bukan pembelahan. Lagipula, pembelahan ini telah mendarah
daging. Perihal ini dibuktikannya dengan membuka kembali lipatan sejarah
cendikiawan muslim klasik. Contohnya, semacam Imam Alghazali( w. 505
H) serta Ibn Khaldûn( w. 808 H).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Mulyadhi Kartanegara?
2. Apa saja pembahasan Bab-bab buku Integrasi Ilmu karya Mulyadhi
Kartanegara?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Biografi Mulyadhi Kartanegara?
2. Menjelaskan Bab-bab buku Integrasi Ilmu karya Mulyadhi
Kartanegara?

BAB II
PEMBAHASAN

1
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, (Jakarta: Mizan Pustaka,2005), h. 45-46.
2
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2010), h. 109

2
A. Biografi & Karya-karya Mulyadhi Kartanegara
Mulyadhi Kartanegara lahir pada tanggal 11 Juni 1959 di Tangerang. Ia
pernah mengenyam bangku pendidikan dasar di SD Legok Tangerang dan
melanjutkan pendidikannya di PGAN selama 4 tahun di Tangerang juga.
Kemudian Ia melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Persiapan (SP)
IAIN Ciputat pada tahun 1978 dan mendapatkan gelar BA pada tahun 1984.
Setelah itu, ia mendapatkan tugas dari Departemen Agama RI untuk
melanjutkan pendidikannya di luar Negeri, tepatnya di Center for Middle East
Studies, The University of Chicago. Hal itu berlangsung pada tahun 1986 atas
dasar beasiswa dari Ford Foundation untuk English International Course di
Davis California dan Fullbright Foundation.
Hingga akhirnya program Master berhasil diraihnya pada tahun 1989
dengan thesisnya yang berjudul “The Mistical Reflection Of Rumi”. Begitu
juga dengan gelar Doktornya yang ia raih di universitas yang sama dan
mendapat gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dari Department of Near Eastern
Languages and Civilization (NELC), The University of Chicago (1996).
Sekarang ia menjadi guru besar filsafat Islam lulusan Chicago yang
menjabat sebagai staf ahli pada Yayasan Madania, serta sebagai dosen di
berbagai universitas dan perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ia juga
menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Indonesia
serta program Pascasarjana Islamic College for Advanced Studies (ICAS)
cabang London yang ada di Jakarta. Kini ia juga aktif sebagai direktur di
Center of Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) Jakarta.3
Sedangkan dari segi intelektual, Mulyadhi Kartanegara merupakan
salah seorang pemikir Muslim Indonesia yang dikagumi oleh banyak orang.
Karya-karyanya sebagian besar mengulas tentang keilmuan Islam beserta
permasalahannya. Kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya terlihat secara

3
https://docplayer.info/64331685-latar-belakang-keilmuan-mulyadhi-kartanegara-mulyadhi-
kartanegara-lahir-pada-tanggal-11-juni-1959-di-tangerang.html

3
jelas di buku-buku yang telah ia tulis. Berikut beberapa karya yang telah
diterbitkan diantaranya sebagai berikut.
Renungan Mistik Jalaluddin Rumi, diterbitkan oleh Pustaka Jaya,
Sejarah Filsafat Islam, (menerjemahkan buku Majid Fakhry A History of
Islamic Philosophy) diterbitkan oleh Pustaka Jaya, The Mystical Reflections
of Rumi (tesis master), The Siwan Al-Hikmah of Umar Sahlan Al-Sawi,
(desertasi), Translation of The Venture of Islam I, diterbitkan oleh
Paramadina, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago,
diterbutkan oleh Paramadina, Translation of The Venture of Islam II,
diterbitkan oleh Paramadina, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat
Islam, diterbitkan oleh Mizan, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar
Epistemologi Islam, diterbitkan oleh Mizan, Rumi, Guru Sufi Penyair Agung,
diterbitkan oleh Teraju.4Integrasi Ilmu: sebuah Rekonstruksi Holistik,
diterbitkan oleh Arasy, Seni Mengukir Kata: Kiat-kiat Menulis Kreatif dan
Efektif, diterbitkan oleh Mlc, The Best Chicken Soup of the Philosophers,
diterbitkan oleh, Reaktualisasi Tradisi ilmiah Islam, diterbitkan oleh BI,
Gerbang Kearifan: sebuah Pengantar Filsafat Islam (The Gate of Wisdom),
diterbitkan oleh Lentera Hati, Menyelami Lubuk Tasawuf, diterbitkan oleh
Erlangga Nalar religius: Mengembalikan Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia,
diterbitkan oleh Erlangga, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap
Modernitas, diterbitkan oleh Erlangga, Islam for Beginners, diterbitkan oleh
Erlangga Filsafat Islam, Tasawuf dan Etika, diterbitkan oleh Ushul Press
Sains dan Matematika dalam Islam, diterbitkan oleh Ushul Press Pengantar
Ilmu Kalam, diterbitkan oleh Masjid Sunda Kelapa 2009.5

B. Pembahasan buku Integrasi Ilmu karya Mulyadhi Kartanegara


1. Integrasi Ilmu

4
https://docplayer.info/64331685-latar-belakang-keilmuan-mulyadhi-kartanegara-mulyadhi-
kartanegara-lahir-pada-tanggal-11-juni-1959-di-tangerang.html
5
https://docplayer.info/64331685-latar-belakang-keilmuan-mulyadhi-kartanegara-mulyadhi-
kartanegara-lahir-pada-tanggal-11-juni-1959-di-tangerang.html

4
Integrasi antara sains dan agama berbeda dengan fakta bahwa sains
dan ilmu agama populer terbagi dalam berbagai kompartementalisasi,
spesialisasi, dan dikotomi. Ketika para ilmuwan Barat meragukan dan
kehilangan kepercayaan pada realitas metafisika, mereka akan menerima
sekularisme, sekularisme ini perlahan-lahan akan menembus sudut
pandang ilmiah dan menciptakan sistem ilmiah sekuler, yang mereka sebut
sains. Terakhir, ada sekularisasi sains, di mana objek sains dibatasi pada
alam.6
Perlu ditekankan bahwa perpaduan ilmu dan agama (ilmu umum dan
ilmu agama) menurut Mulyadhi bersifat umum, terutama integrasi ilmu
ilmu filosifis (metafisika, matematika, dan fisika). Oleh karena itu,
integrasi di sini difokuskan pada ilmu filosofis (al-'ulūmal-'aqliyyah)
daripada ilmu agama (naqliyyah), yang dapat dipelajari dari perspektif
nonfilsafat..7
Dari kaca mata agama disiplin ilmu umum seperti fisika,
matematika, biologi, dan lain-lain dianggap profan dan netral. Muatan
agama hanya terdapat pada, misalnya, tafsir, hadits, fiqih dan lainlain.
Mulyadhi dapat dengan mudah menemukan nilai religius ketika
mengamati fenomena alam (obyek umum ilmu pengetahuan). Ini tidak
berarti bahwa disiplin ilmu agama diremehkan dibandingkan dengan ilmu
umum. Keduanya harus dianggap luhur dan sederajat, yang satu adalah
kitab kauniyyah (akal sehat) dan yang lainnya adalah kitab qauliyyah (ilmu
agama), yang disatukan sepenuhnya sebagai kitab Allah dan digunakan
sebagai objek ilmu..8
Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan metodologi ilmiah.
Sains modern pada dasarnya hanya mengenal satu metodologi ilmiah yang
disebut observasi atau eksperimen indrawi yang ketat. Sedangkan metode
rasional maupun logis dianggap apriori, apalagi metode intuitif yang
dianggap subjektif bahkan halusinatif. Pengalaman intelektual, intuitif,
6
Ibid., h. 197-198
7
Ibid., h. 16
8
Ibid., h. 22

5
mistik, mimpi, dan religius tidak diperhitungkan sebagai data ilmiah.
Sebaliknya, penekanan yang terlalu kuat terhadap pengalaman mistik dan
religius, oleh sementara ulama sering mengabaikan pentingnya
pengalaman indrawi dan rasional. Untuk itu, Mulyadhi mengupayakan
sebuah integrasi (atau reintegrasi) ilmu pengetahuan, yang bersifat
rekonstruksi

2. Tauhid: Prinsip Utama Integrasi Ilmu


Tauhid Mulyadhi adalah asas terpenting di antara asas epistemologi
Islam, sekaligus merupakan asas kesatuan integrasi ilmiah. Bagi para
filosof muslim, keunikan Tuhan (tauhid) hendaknya tidak memberikan
kesan komposisi, apalagi dualisme dalam dirinya. Misalnya, bagi Ibn Sînā
(Ibn Sînā), hakikat dan keberadaan Tuhan itu tunggal karena Ia tidak
memiliki genera dan spesies seperti makhluk hidup lainnya.9
Tauhid tentunya tidak lepas dari syahadatl lā Ilāha Illallallah,
bagi para sufi kata “ilāh” di situ berarti “hakikat” (realitas), sehingga “lā
Ilāha Illallah” bisa berarti “tidak ada realitas yang betul-betul sejati
kecuali Allah” Mulyadhi menyimpulkan bahwa bagi sufi dan filosof
pemilik sejati wujud adalah Tuhan, realitas sejati yang al-Haqq menurut
para sufi dan wajib al-Wujūd menurut para filosof, yang wujud-Nya
senantiasa aktual.10
Menurut Mulyadhi, tauhid filosofis, terutama dalam konsep
Wahdahtual-Wujud (Wahdahtual-Wujūd), menjelaskan "keesaan tuhan ala
Mullā Shadrā", paling cocok sebagai dasar integrasi keilmuan, terutama
dasar dari status ontologis. Menurut Mulla Shadra, semua bentuk yang ada
pada dasarnya sama dan memiliki asal mula yang sama. Perbedaan hanya
terletak pada tingkat yang disebabkan oleh perbedaan esensial (Tasykîkal-
Wujūd). Oleh karena itu, segala bentuk (spiritual atau material) yang

9
M. Zuldin, ibid., h. 96
10
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op. cit., h.34

6
diketahui umat manusia memiliki status ontologis yang sama kuat dan
benar.

3. Basis Integrasi Ilmu-Ilmu Agama dan Umum


Mulyadhi meyakini bahwa dikotomi antara disiplin dan agama masih
bisa diatasi dengan mencari landasan bersama, yakni ilmu agama dan ilmu
umum mempelajari kitab-kitab Allah, dan hanya yang pertama
mempelajari Alquran. Teks. (Nash, The Quran and the Sunnah), buku lain
membahas puisi "kauniyyah" (alam). Dilihat dari posisi keduanya
mendalami kitab suci Allah, maka keduanya memiliki hubungan yang
sama dengan sumbernya, dan ulama (ilmuwan) menganggap alam sebagai
kitab. Quran besar adalah buku kecil, jadi setiap buku itu suci..11
Meski "qauliyyah" dan "kauniyyah" adalah sama sama ayat Tuhan,
Mulyadhi tidak menampik adanya perbedaan karakter di antara keduanya.
Karena perbedaan tersebut, kedua metode penelitian dan klasifikasi ilmiah
tersebut juga berbeda. Dari sudut pandang epistemologis, metode
pemahaman Alquran disebut bayānî, yang menekankan otoritas nash dan
dijustifikasi oleh naluri penarikan kesimpulan (istidhlāl). Ini bisa
dilakukan secara langsung (tidak dinalarkan) dan tidak langsung (perlu
dinalarkan). Dengan demikian, sumber pengetahuan bayānî adalah nash.12

4. Integrasi Objek-objek Ilmu


Objek ilmu pengetahuan adalah semua objek (entitas) yang diteliti
atau dipelajari oleh ilmuwan.13 Untuk sains modern, hanya objek fisik
yang dapat dipelajari dan dapat dipelajari secara objektif, sedangkan objek
nonfisik adalah kebalikannya dan dianggap tidak ilmiah. Bertentangan
dengan epistemologi Islam, objek kajiannya bukan hanya fisik, tetapi juga

11
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op. cit., h. 44-48
12
Ibid., h. 49
13
Mulyadhi Kartanegara, “Epistemologi Qur’ani; Sebuah Pengantar”, dalam Al-‘Alim; Al-Qur’an
danTerjemahannya; Edisi Ilmu Pengetahuan, Rosihan Anwar (ed), (Bandung: Al-Mizan Publising
House, cet. X. 2011), h. xlvi

7
karena empat tingkatan eksistensi (martabat al-Maujūdāt) sebagai berikut:
Pertama, Tuhan menjadi wujud eksistensi tertinggi dari nalar selain
dirinya. Di sini dikatakan bahwa Tuhan adalah penyebabnya, dan
penyebabnya tentu saja lebih penting daripada akibatnya. Berbeda dengan
akibat, penyebabnya adalah independen. Dalam Suhraward, penyebabnya
disebut al-Ghanî (tidak dibutuhkan orang lain), dan akibatnya disebut al-
Faqîr (tergantung orang lain).
Kedua, malaikat adalah yang kedua setelah Tuhan. Bagi filsuf
Muslim, fungsi malaikat jauh dari apa yang digambarkan agama.
Misalnya, Malaikat Tertinggi Gibril dianggap sebagai pemikiran yang
aktif, dan jika tidak diberi "bentuk" (shūrah). maka dunia materialnya tidak
ada. 14
Ketiga, benda langit atau benda langit. Benda langit ini dianggap
berada di lokasi yang berbeda dengan benda bumi. Dan status
ontologisnya lebih tinggi dan lebih istimewa dari pada bumi. Farabi, Ibn
Sinna, dan Ibn Rusyd semuanya meyakini bahwa keberadaan bintang atau
jiwa planet adalah benda langit yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap dunia di bawah bulan. Pandangan ini tentunya berbeda dengan
pandangan abad ini, karena Mulyadhi menjelaskan bahwa meskipun bumi
tidak jauh berbeda dengan planet lain secara ontologi, ia juga berbeda
dengan bintang, termasuk matahari.15
Keempat, benda-benda bumi. Benda bumi yang di bagi kepada
mineral, tumbuhan, dan hewan, menurut Mulyadhi tidak perlu berargumen
karena status ontologisnya telah diakui secara universal, baik di kalangan
pemikir Barat modern maupun dalam epistemologi Islam.

5. Integrasi Bidang Ilmu: Metafisika


Integrasi bidang atau disiplin ilmu merupakan hasil tak terelakkan
dari integrasi objek ilmiah. Karena cakupan objek ilmiah begitu luas dan
14
M. Sa’id Syaikh, Kamus Filsafat Islam, ter: Machnun Husein dari buku A Dictionari of Muslim
Philosophy, (Jakarta: Rajawali Pers, cet. I. 1991), h. 85-86
15
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op.cit., h. 60

8
beragam, maka bidang keilmuan yang bersangkutan juga sama. Misalnya,
Ibn Sîna (Ibn Sîna) dan Al Fārābi (al-Fārābi) membentuk tiga kelompok
pengetahuan utama, yang secara organik dan terkait erat dengan tiga
kelompok utama objek ilmiah (yaitu, metafisika, fisika, dan matematika).
Ibn Khaldūn (Ibn Khaldūn) membagi metafisika ini menjadi lima bagian:
Pertama, studi tentang wujud (ontologi) sebagai wujud. Kajian ini juga
dikenal sebagai filsafat pertama (alfalsafahal-ūlā), dan melahirkan dua
aliran utama filsafat Islam, eksistensialis dan esensialis. Yang kedua
adalah mempelajari bidang material umum yang mempengaruhi objek
material dan spiritual (seperti kuantitas, persatuan, keragaman, dan
kemungkinan). Ketiga, mempelajari asal-usul objek untuk menentukan
apakah itu entitas spiritual atau sebaliknya. Ini merupakan kajian
kosmologi filosofis Islam dengan persoalan utamanya adalah bagaimana
makhluk spiritual seperti akal, malaikat, dan jiwa muncul atau
berhubungan dengan Tuhan Yang Esa. Keempat, mempelajari bagaimana
benda-benda yang ada muncul dari entitasentitas spiritual dan mempelajari
susunan mereka. Kelima, mempelajari keadaan jiwa setelah berpisahnya
dari badan, dan
kembalinya ia ke asalnya. Kajian ini melahirkan teori-teori tentang jiwa
dari filosof Muslim, seperti sl-Farabi, Ibn Sina, al-Amiri, Ibn Bajjah, Ibn
Rusyd (w.1198), Rumi,16 Mulla Shadra, dan Iqbal.

6. Integrasi Bidang Ilmu: Matematika dan Fisika


Dalam penelitian ilmiah Muslim, matematika merupakan mata
pelajaran yang penting. Misalnya, menurut al-Kindî, untuk belajar filsafat
harus menguasai matematika, karena matematika merupakan alat ilmiah
untuk memahami filsafat.17 Selain itu, filsafat banyak berkaitan dengan

16
Mulyadhi Kartanegara, Jalal al-Dîn Rūmî; Guru Sufi Penyair Agung, terj: Ilham B. Saenong
dari buku The Mystical Reflections of Jalal al-Dîn Rūmî, (Jakarta Selatan: Teraju, cet. I. 2004), h.
87
17
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op.cit., h. 85

9
konsep-konsep abstrak, dan terkadang bahkan konsep-konsep abstrak ini
tidak ada hubungannya dengan dunia fisik.
Matematika yang merupakan bidang kedua setelah metafisika di bagi
oleh Ibn Khaldūn menjadi empat subdivisi: (1) geometri, mempelajari
kuantitas (pengukuranpengukuran) secara umum, yang bisa bersifat
terputus (discontinous) karena terdiri dari angka-angka, juga bisa
berkesinambungan seperti figur-figur geometris. (2) aritmatika,
mempelajari sifat-sifat esensial dan aksidental dari jumlah yang terputus
yang disebut bilangan (number). (3) musik, mempelajari proporsi suara dan
bentuk-bentuk (modusnya), dan pengukuran numerik mereka. Hasilnya
adalah pengetahuan tentang melodi-melodi musik. (4) astronomi, cabang
matematika yang menetapkan bentuk bola-bola langit, menentukan posisi
dan jumlah dari setiap pelanet dan bintang tetap.18
Selanjutnya bidang ketiga ilmu-ilmu rasional, yaitu fisika. Ilmu ini
menyelidiki benda-benda fisik dari sudut gerak dan diam. Kajian para
sarjana Muslim tentangnya, misalnya, bidang mineral oleh al-Bîrūnî dalam
karyanya al-Jawāhir (batu-batu permata), bidang mineral dan tumbuhan
di antaranya adalah Ibn Sînā dalam bukunya al-Qanūn fi al-Thibb,
khususnya pada bagian farmakologi. Adapun yang lebih komprehensif
mengkaji tumbuhan, baik dari sudut habitat, manfaat medis, dan nutrisi
adalah al-Jāmi’ li Mufradāt al-‘Adwiyyah wa al-Aghdziyyah karangan Ibn
Baithar.19
Selain mempelajari unsur dasar, mineral, tumbuhan, hewan, dan
manusia, fisika juga mempelajari mata air, gempa bumi (geologi), awan,
gas, halilintar, kilat, badaiyang ada di udara (meteorologi), dan lain-lain.
Sebagai tambahan, fisika juga mempelajari asal-usul gerak pada tubuh,
yaitu jiwa dalam bentuk yang berbeda, baik yang ada pada tumbuhan,
hewan, dan manusia, dan ini dibahas dalam disiplin ilmu psikologi (al-
Nafs).

18
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op.cit., h. 87
19
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op.cit., h.91

10
7. Integrasi Sumber Ilmu
Sumber pengetahuan merupakan alat yang memungkinkan manusia
memperoleh informasi tentang objek ilmiah yang berbeda sifatnya. Dalam
epistemologi Islam, ilmuwan Muslim mengenal tiga alat ilmiah yang dapat
mengungkap objek ilmiah fisik dan non fisik, yaitu indera, akal, dan intuisi
(intuisi). Bertentangan dengan neurologi modern, filsuf Muslim percaya
bahwa perasaan adalah kekuatan (kekuatan) jiwa yang dimiliki oleh setiap
hewan (termasuk manusia), bukan hanya kekuatan fisik yang dibayangkan
oleh para ilmuwan modern. Oleh karena itu, indera (perasaan) dan gerakan
(suara asli) bersama-sama merupakan kemampuan jiwa manusia..20
Setelah menguraikan fungsi dan kelebihan masing-masing indra
seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba,
Mulyadhi mengatakan bahwa selain memiliki unsur kognitif, (sebagai
sumber ilmu) indra juga memiliki fungsi lain yang barangkali lebih vital
daripada fungsi kognitif, yaitu sebagai instrumen kelangsungan hidup
(survival). Untuk bertahan hidup, manusia harus melakukan dua hal:
mendapatkan sesuatu atau menghindari sesuatu, dan untuk melakukan
keduanya, indra memainkan peran yang sangat penting. Oleh karena itu,
indra tidak hanya menjadi sumber pengetahuan manusia, tetapi juga alat
yang efektif untuk membantu manusia bertahan hidup..21
Terutama sumber pengetahuan kedua, yaitu rasionalitas. Menurut
filsuf Muslim, nalar adalah keahlian psikologis / psikologisnya yang unik.
Keuntungan unik dari perasaan mandiri atau berdasarkan perasaan adalah
dapat diekstraksi dari konsep umum yang diabstraksikan dari objek
konkret, sehingga hal-hal yang tidak terkait dengan objek fisik dapat
dipikirkan. Misalnya memahami perasaan sedih, gembira, kecewa,
sebagainya.

20
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op.cit., h. 100-102
21
Ibid., h. 102-105

11
Selain akal dan indera, kekuatan lain yang dimiliki manusia adalah
hati (intuisi), yang terkadang dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat
dilakukan oleh akal. Bagi Bergson dan Rumi, akal tidak dapat menembus
realitas karena ketergantungannya pada kata-kata (simbol).22 Melalui
“representasi”, pemahaman rasional terhadap objek dapat diperoleh.
“Representasi” terkadang benar (jika korelasinya positif) dan terkadang
salah (jika korelasinya negatif). Model pengetahuan ini tidak bisa
mengarah pada kepastian.
Ada contoh di mana intuisi lebih baik daripada akal, seperti
Matsnawi karya Jalālal-Dîn Rūmî (wafat 1273), yang berisi 36.000 bait,
yang merupakan akibat dari pengalaman misterius setelah mencapai
ekstasi setelah melakukan ritual sufi. Contoh lainnya adalah Ibn'Arabî
yang berjudul “Risalahal-AnwarfimaYumnah Shahibal Khalwaminal-
Asrar.” Ibn Arab memasuki dunia mineral dan tumbuhan melalui pietisnya
hingga ia menjadi Pengenalan membawa semua manfaat pengobatan dan
nutrisi.23

8. Integrasi Pengalaman Manusia


Menurut empirisme yang diikuti oleh positivisme, positivisme
kemudian menjadi dasar ilmu pengetahuan modern.Hanya pengalaman
inderawi yang dapat dibuktikan secara ilmiah, yaitu apakah secara obyektif
benar. Pada saat yang sama, pengetahuan dan pengalaman keagamaan
dikecualikan karena dianggap personal (subjektif) dan tidak dapat
dibuktikan. Menurut Mulyadhi, pengalaman indrawi, intelektual, dan
spiritual (religius atau misterius) memiliki aspek obyektif dan subyektif. 24
Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa pengalaman indrawi
tidak subjektif. Sekaligus misalnya, pengalaman nonindrawi adalah
mimpi.Menurut Mulyadhi, merupakan sumber ilmu yang efektif, karena

22
Mulyadhi Kartanegara, Jalal al-Dîn Rūmi, op.cit., h. 75
23
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op.cit., h. 114
24
Ibid., h. 116-118

12
meski mimpi bersifat subjektif, dunia mimpi itu sendiri ada secara obyektif
seperti dunia material, karena setiap pemimpi adalah Pengalaman secara
seragam. . Hanya mimpi yang perlu ditangani secara terpisah sebelum
dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan.25
Selain itu, pengalaman pengetahuan juga merupakan salah satu
pengalaman non-inderawi manusia. Menurut empiris, alasan (penyebab)
tidak valid sebagai sumber pengetahuan, karena bersifat apriori, sedangkan
indera bersifat posterior, yang didasarkan pada pengalaman langsung.
Sebagai pengetahuan apriori, pengetahuan tentang nalar bersifat universal,
tidak spesifik, dan bentuk nyata selalu istimewa..26

9. Integrasi Metode Ilmiah


Bagian ini menjelaskan bagaimana menggunakan alat-alat ini untuk
memperoleh pengetahuan (alasan, nalar, dan hati) agar dapat
menggunakannya dengan benar untuk tujuan masing-masing. Ini juga
merupakan cara untuk memahami Alquran. Oleh karena itu ilmu yang
diperoleh bersifat “ilmiah”, apalagi menurut yang disebut ilmuan muslim
sebagai ilmu. Untuk objek fisik, tidak cukup mengamati seperti yang kita
lakukan setiap hari. Selain kelebihan yang tidak kami rasakan, mereka juga
memiliki kekurangan.27
Agar pengamatan inderawi lebih obyektif, telah ada cara-cara untuk
menyempurnakan pengamatan inderawi, menurut Mulyadhi, langkah-
langkah tersebut adalah dengan mengukur, menggunakan alat dan
melakukan percobaan. Akan tetapi, pandangan ilmiah yang lengkap tidak
hanya membutuhkan objek fisik, tetapi juga objek non fisik dengan dua
cara, yaitu penelitian intelektual dan intelektual melalui pengalaman
misterius atau "observasi" (intuisi) hati.28

25
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op.cit., h. 118-121
26
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op.cit.,., h. 122
27
Ibid., h. 138
28
Ibid., h. 138

13
10. Integrasi Penjelasan Ilmiah
Ada empat penjelasan ilmiah Aristoteles, dan ilmuwan modern telah
merampingkannya dengan cara ini. Oleh karena itu, penjelasan ilmiah
hanya akan beredar di tempat yang terlihat. Empat alasan atau prinsip
penjelasan ilmiah Aristoteles adalah: Pertama, alasan efektif: sumber
perubahan (gerakan), atau menurut Muhammad Tazi Mizba Yazd, itu
adalah bentuk (Maujūd), yang melaluinya bentuk-bentuk lain (efek) dapat
diproduksi, termasuk zat alam yang mempengaruhi pergerakan dan
perubahan benda fisik.29
Kedua. penyebab utama, yaitu tujuan akhir penyebabnya adalah
untuk mencapai sesuatu untuk mencapai sesuatu. Berbeda dengan sains
modern, dalam epistemologi Islam terdapat beberapa jawaban atas
pertanyaan yang diciptakan oleh alam.
Ketiga, Ketiga, penyebab substantif, yaitu penyebab terjadinya
sesuatu atau penyebab perubahan. Karena materi berbicara tentang materi
yang menyusun benda tersebut. Karena materi pasti ada disetiap benda
yang akan dipelajari, namun materi sangat bergantung pada bentuk dan
wujudnya, sehingga bisa terlihat seperti sekarang ini. Menurut Aristoteles,
sebab material di alam semesta adalah "materi primer" (al-hāyūlā).
Masalah utamanya bukanlah, misalnya air, api, angin, dll., Tetapi potensi,
yaitu kemungkinan yang nyata, dan sebaliknya.30
keempat, yaitu sebab formal, yaitu sebab kemana sesuatu itu diubah,
yang dengannya berbagai objek memperoleh sifat khasnya masing-masing.
Tanpa diberi atau bergabungnya bentuk dan materi, materi alam tetap
menjadi potensi dan tidak mengaktual seperti sekarang ini. Pemberi bentuk
tersebut adalah akal aktif, yang sering disebut wāhib al-shuwar (pemberi
bentuk).

11. Integrasi Ilmu Teoritis dan Praktis

29
Ibid., h. 153-154
30
Ibid., h. 154

14
Mengenai pembagian rasionalitas teoritis dan rasionalitas praktis,
para filosof muslim membagi ilmu menjadi ilmu teoritis dan ilmu praktis.
Ditinjau dari segi objek, maka objek pengetahuan teoritis berupa entitas
fisik dan non fisik, sedangkan ilmu praktis adalah perbuatan bebas
manusia. Dari perspektif tugasnya, tugas utama nalar teoritis adalah
membangun sistem ilmiah yang komprehensif, sedangkan nalar praktis
mengatur nafsu manusia. Namun, ilmu teori dan ilmu praktis tidak dapat
dipisahkan secara jelas tanpa menyebabkan keruntuhan pemahaman. Filsuf
Muslim percaya bahwa ilmu praktis selalu memiliki landasan teoritis,
terutama landasan metafisiknya. Bagi para filsuf Muslim, ilmu praktis
secara kasar dapat dibagi menjadi tiga disiplin: etika, ekonomi dan ilmu
politik - tidak ada yang hanya penerapan ilmu teoritis yang dibahas dalam
karya-karyanya yang kaya dan mendalam tentang filsafat ilmu.31
Tokoh utama di bidang etika adalah Miskawaih (w. 1010). Kitab
berjudul alHikmah al-Khālidah disusunnya dari kata-kata hikmah dari
berbagai pemikir dunia Arab, India, Persia, dan Yunani. Sedangkan
karyanya Tahdzîb al-Akhlāq membahas banyak topik berkaitan dengan
etika dan psikologi, seperti tentang keberadaan jiwa, kaitan psikologi dan
etika, kebahagiaan, moral, persahabatan, dan kiat pemeliharaan kesehatan
mental dan pengobatannya. Menurut Mulyadhi, bagi para filosof Muslim,
etika adalah ilmu (seni) yang menunjukkan bagaimana seharusnya hidup
yang bukan hanya sekadar hidup, melainkan hidup bahagia.32
Ilmu praktis selanjutnya adalah ekonomi, ekonomi di sini adalah
dalampengertian “manajemen rumah tangga” yang tentunya bagian kecil
dari teori ekonomi makro. Adapun karya Nāshir al Dîn Thūsî yang
berjudul Akhlaq-i Nashiri bukan hanya membahas etika seperti
Miskawaih, juga kajian tentang ekonomi dan politik.
Berikutnya setelah etika dan ekonomi adalah politik. Pemikir
Muslim pertama yang melahirkan karya bidang ini adalah Abū Nashr al-

31
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op.cit., h. 164
32
ibid., h. 167-168

15
Fārābî (w. 950). Bahkan karya utama al-Fārābî adalah bidang filsafat
politik. Dua karyanya dibidang politik adalah Ârā’ Ahl al-Madînah al-
Fādhilah dan al-Siyāsah al-Madîniyyah.
Mengenai integrasi ilmu teoritis dan praktis, menarik bahwa
pertimbangan dan penilaian dalam ilmu praktis (etika, ekonomi, ilmu
politik) selalu berakar filosofis bahkan metafisik. Misalnya, sebelum
Farabi membahas politik, ia berbicara detail tentang metafisika, karena
politik sebagai bagian dari filsafat praktis adalah penerapan ilmu teoretis,
termasuk metafisika.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Buku Integrasi Sains Mulyadhi Kertanegara karangan adalah buku
yang mengungkap khasanah filsafat Islam yang sangat besar dan konkret
dalam integrasi ilmiah. Buku ini menunjukkan peran filsafat dalam upaya
penyatuan kembali antara Islam dan sains (sains modern). Dia menulis
buku berjudul "Integrasi". Pengetahuan ini disebabkan oleh fakta bahwa
ketika kita membedakan antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama, maka
kita akan melihat kejadian-kejadian yang telah kita alami. Persoalan
pemisahan ilmu umum dan ilmu agama dianggap sebagai ilmu Barat
modern yang seringkali meremehkan status keilmuan ilmu agama. Jika
berbicara tentang hal ghaib, ilmu agama tidak bisa dikatakan ilmiah,
karena ilmu bisa dikatakan ilmiah hanya jika tema utamanya adalah
pengalaman. Padahal, ilmu-ilmu agama tentu tidak dapat menghindar dari
pembicaraan hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, malaikat dan sebagainya
sebagai pembicaraan pokok mereka.
integrasi ilmu ini sangat penting agar ilmu itu sendiri dapat di
terimasecara utuh dan tidak ada dikotomi-dikotomi. Sehingga tidak akan
adapemisahan yang cukup terlihat antara ilmu-ilmu umum seperti fisika,
biologi,matematika, sosiologi, kimia, dan lain-lain, dan ilmu-ilmu agama,
seperti tafsir,hadis, fiqih, dan lain-lain seakan muatan religius tersebut
hanya ada pada matapelajaran agama saja, sementara ilmu-ilmu umum
netral dilihat dari segi religi.Padahal tidak seharusnya seperti itu. Karena

17
sebetulnya dalam mempelajarifenomena-fenomena alam yang menjadi
objek dari ilmu-ilmu umum, nilaiagama dapat dengan mudah kita jumpai
karena dengan mempelajari alam berarti juga mempelajari dan mengenal
dekat cara kerja Tuhan. Bukan sebaliknya seperti yang diajarkan di Barat
yang justru menolak Tuhan setelah mempelajari alam yang begitu kaya.
Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen,melainkan tanda-
tanda (signs/ ayat) Allah

DAFTAR PUSTAKA
Hadi Aminuddin, Luthfi. “Integrasi Ilmu dan Agama; Studi atas Paradigma
Integratif-Interkonektif UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta” Kodifikasia:
Jurnal Penelitian Keagamaan dan Sosial-Budaya. Volume 4 No. 1 Tahun
2010.
Iqbal, Muhammad, Rekonstrusi Pemikiran Agama Dalam Islam, terj: Ali Audah
dkk,Yogyakarta: Jalasutra, cet. I. 2002.
Mulyadhi Kartanegara, “Epistemologi Qur’ani; Sebuah Pengantar”, dalam
Al-‘Alim; Al-Qur’an dan Terjemahannya; Edisi Ilmu Pengetahuan,
Rosihan Anwar(ed), Bandung: Al-Mizan Publising House, cet. X. 2011.
Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika, dan Tasawuf; Sebuah Pengantar,
Agus Darmaji (ed), Jakarta: Ushul Press, cet. I. 2009.
Mulyadhi Kartanegara , Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam,
Jakarta: Lentera Hati, cet. I. 2006.
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung:
PT Mizan Pustaka, cet. I. 2005.
Mulyadhi Kartanegara , Jalal al-Dîn Rūmî; Guru Sufi Penyair Agung, terj: Ilham
B.Saenong dari buku The Mystical Reflections of Jalal al-Dîn Rūmî,
Jakarta
Selatan: Teraju, cet. I. 2004
Mulyadhi Kartanegara _, Islam Buat yang Pengen Tahu, Achmad Ta’yudin, Lc.
MAdan Singgih Agung, S. Sos (ed), Jakarta: Penerbit Erlangga, cet. I.
2007.

18
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,2010

19

Anda mungkin juga menyukai