(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan)
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
Kelas : 6B
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nya, kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Sumber Ilmu Pengetahuan (Ontologi)
dalam Pandangan Islam dan Barat”. Tak lupa juga Shalawat serta salam semoga tercurah
kepada nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari kegelapan menuju jalan yang
terang.
Adapun maksud dan tujuan kami menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Dr. Khalimi, M.Ag, selaku dosen mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dari makalah ini. Untuk itu kami
mengharapkan kritik serta saran bagi para pembaca untuk bahan evaluasi. Semoga dengan
adanya makalah ini dapat membantu pembaca dalam memahami materi yang termuat di
dalamnya. Terima kasih.
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang dapat klasifikasikan sebagai agama terbesar dan dianut
banyak umat manusia di dunia yang tersebar di berbagai kepingan dunia. Keberadaan umat
Islam dulu, kini dan seterusnya tidak terlepas dari sebuah pedoman hidup yang memiliki
keautentikan yang selalu terjaga hingga hari kiamat, diagungkan dengan kekuasaan Allah
SWT, kitab suci yang tidak pernah tercampur dengan kebohongan, dari mana pun asalnya.
Ilmu pengetahuan sebagai instrumen pembantu dalam menjelaskan isi kandungan Al-
Qur’an memperoleh tempat yang fundamental, dialog Al-Quran menggunakan konsep
universal seperti sains. Islam terutama dalam hal sains dan teknologi Ini adalah agama yang
selalu mendorong menjadi manusia berpengetahuan, kemudian Al-Qur’an melihat dengan
jelas pendidikan merupakan masalah terpenting dalam membangun, memperbaiki situasi
umat manusia dikehidupan ini.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penyusunan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, yang telah dipaparkan, penyusun
menyusun beberapa rumusan masalah yaitu:
1. Mahasiswa dapat mengetahui konsep ontologi.
2. Mahasiswa dapat mengetahui pandangan islam dan barat terkait ontologi.
3. Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam objek ilmu pengetahuan.
4. Mahasiswa dapat mengetahui hubungan antara objek ilmu pengetahuan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan ontologi dengan filsafat dapat diibaratkan seperti pohon dengan rantingnya.
Sebuah pohon tentu memiliki berbagai cabang mulai dari daun, batang, buah dan
sebagainya. Begitupun dengan filsafat ini memiliki cabang-caang berupa sub disiplin yakni
filsafat ilmu, etika, estetika, filsafat antropologi dan metafisika. Cabang disiplin filsafat
ilmu tersebut akhirnya memiliki ranting-ranting dan sub-sub disiplin yakni logika, ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Namun ruang lingkup filsafat ilmu dapat disederhanakan
menjadi tiga pertanyaan mendasar, yakni: apa yang ingin diketahui (ontologi), bagaimana
cara memperoleh pengetahuan-pengetahuan (epistemologi) dan apakah nilai pengetahuan
tersebut bagi manusia (aksiologi). Ketiganya saling berkaitan, dan jika ingin membicarakan
epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.1
1. Pengertian Ontologi
Ontologi berasal dari dua kata dasar yakni Ontos dan Logos. Ontos berarti ada,
sementara logis berarti ilmu. Sehingga dapat kita artikan secara umum, ontologi
merupakan sesuatu ilmu yang mengkaji mengenai hakikat sesuatu yang ada. Hakikat
dalam kajian ontologi ini merupakan kondisi sebenarnya dari sesuatu dan bukan
keadaan sementara yang selalu berubah-ubah. Ontologi adalah analisis mengenai suatu
objek materi dari ilmu pengetahuan, yakni hal-hal atau benda-benda empiris. Ontologis
membahas tentang apa yang ingin diketahui. Ontologi menganalisa tentang:
• Objek apa yang diteliti ilmu?
• Bagaimana wujud yang sebenar-benarnya dari objek tersebut?
• Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (misalnya:
berpikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan pengetahuan?
Suatu konsep ilmu pengetahuan memiliki ciri spesifik yang tersusun mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi). Jadi, jika kita
membicarakan epistemologi suatu konsep, maka kita harus mengaitkannya dengan
ontologi dan aksiologi.
1
Syah Budi, Epistemologi Perspektif Islam dan Barat, (TASAMUH: JURNAL STUDI ISLAM,Volume 8, Nomor 2,
2016), h. 174
2
Berangkat dari dasar ontologis tersebut, jika pendidikan Islam ingin dikembangkan
sebagai sebuah disiplin, maka harus mempunyai wilayah kajian khusus yang
membedakan dari ilmu-ilmu yang lain. Memang tidak mudah untuk menentukan batas-
batas wilayah kajian pendidikan Islam, karena wilayah pendidian Islam sangat luas,
seluas ajaran Islam itu sendiri. Maka, ontologi pendidikan Islam adalah menyelami
hakikat dari pendidikan Islam, meliputi:
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kajian ontologi mengacu pada hakikat yang dikaji,
epistimologi berhubungan dengan prosesnya yang mencakup sumber-sumber,
karakteristik, sifat, dan kebenarannya. Sedangkan aksiologi berkaitan dengan nilai
gunanya.
2
Muh. Mustakim, (ONTOLOGI PENDIDIKAN ISLAM (Hakikat Pendidikan dalam Perspektif Islam), (Jurnal Ilmu
Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012), h. 164
3
Ontologi dalam perspektif islam dan barat dapat kita lihat dari konsep fitrah
manusia. Dalam teori tabula rasa oleh Jhon Locke, manusia dipandang sebagai kertas
putih bersih yang terbebas dari coretan. Lingkunganlah yang mengisi coretan dalam
kertas putih tersebut. Artinya, manusia terlahir dalam keadaan pasif. Sebaliknya, fitrah
memandang manusia lebih dari ibarat kertas putih dan bersih, karena dalam diri
manusia terdapat potensi yang terbawa sejak lahir, yakni daya untuk menerima agama
atau tauhid.3
Jika objek material ilmu intelektual yaitu apa yang ada secara rasional (esensi)
dan apa yang ada secara empiric-sensual (eksistensi), maka objek material ilmu dalam
kajian keisalaman adalah apa yang ada secara tekstual yakni bersumber dari al-Qur’an.
Sehingga ontology kajian keislaman ini merupakan realitas dari teks al-Qur’an yakni
pengetahuan yang benar-benar memang diperoleh dari al-Qur’an. n. Hal ini karena
esensi Islam adalah ajaran Al-Quran, jadi suatu kajian dapat dinyatakan islami jika
dilakukan dari perspektif Al-Quran. Berbeda halnya dengan kajian intelektual yang
ontologinya adalah realitas fisik dan metafisik dalam artian kosmologis. Dari itu penulis
sependapat dengan al-Ghazzālī, bahwa ilmu terdiri dari ilmu intelek murni dan ilmu
keislaman.4
3. Ontologi dalam Perspektif Barat
Pada dasarnya, istilah ontologi pertama kali diperkenalkan oleh
RudolfGoclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada
yang bersifat metafisis. Dalam perkembanganya Cristian Wolff membagi metafisika
menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum
dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Bidang pembicaraan teori hakikat luas
sekali, segala yang ada yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan
nilai (yang dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk
teori hakikat ialah teori tentang keadaan. Hakikat ialah realitas, realitas ialah kerealan,
real artinya kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan yang
sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang
menipu, bukan keadaan yang berubah.5
3
Abdul Halik, ILMU PENDIDIKAN ISLAM: PERSPEKTIF ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI, (ISTIQRA’, Vol. 7,
No.2, 2020).
4
Jabbar Sabil, Masalah Ontologi dalam Kajian Keislaman, (Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 13. No. 2, 2014),
h.148-149
5
Ibid.
4
Dalam sains modern, ontologi mempelajari tentang objek apa yang ditelaah
ilmu, perwujudannya dan hubungannya dengan daya tangkap manusia, sehingga dapat
menghasilkan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ontologi tidak membahas mengenai
proses, prosedur dan manfaat dari suatu objek yang ditelaah oleh sebuah imu.
Melainkan ontologi lebih berfokus kepada perwujudannya.6
Dalam filsafat Barat, ada banyak sekali aliran di mana beberapa diantarnya
dapat dikategorikan ke dalam filsafat ontologi yang membahas mengenai hakekat
realistis. Adapun beberapa aliran tersebut antara lain:
1. Materialisme
Materialisme adalah aliran filsafat metafisika yang mengembalikan segala
sesuatu kepada dunia materi. Kenyataan sejati atau kenyataan sesungguhnya dari segala
sesuatu, termasuk manusia, adalah benda atau materi. Menurut materialisme manusia
itu memang merupakan kesatuan badan dan jiwa, namun yang penting adalah badannya
atau jasmaninya yang tiada lain adalah materi.
2. Vitalisme
Vitalisme atau filsafat hidup merupakan aliran filsafat ontology yang
memutlakkan kehidupan dunia, di mana memanang bahwa kehidupan merupakan
kenyataan sejati satu-satunya. Menurut vitalisme, yang primer bukanlah akal pikiran
atau rohani manusia, tetapi adalah kehidupan. Tak ada roh tanpa kehidupan, dan bahwa
berfilsafat tidak hanya menyangkut hal-hal yang dipikirkan dengan akal saja, atau yang
dapat dijangkau secara rasional saja, tetapi juga menyangkut hal-hal yang tidak dapat
dipikirkan.
Berfilsafat menyangkut pula hal-hal seperti kemauan, perasaan, hati nurani, dan
keimanan manusia. Karena itu vitalisme menekankan pada segi irrasional manusia
dimana peranan intuisi juga penting di samping peranan akal pikiran.
3. Humanisme
Aliran ini menekankan kepada kemanusiaan sebagai hakekat manusia. Menurut
humanisme, manusia merupakan suatu totalitas kepribadian, merupakan manusia
seutuhnya (a total person). Manusia mempunyai potensi-potensi dalam dirinya, yaitu
pikiran, perasaan, kemauan, spiritual, yang untuk menjadi manusia seutuhnya, semua
potensi itu harus dikembangkan atau diaktualkan. Manusia adalah subyek bukan objek.
6
Ace Nurasa, dkk., Tinjauan Kritis terhadap Ontologi Ilmu (Hakikat Realitas) dalam Perspektif Sains Modern,
JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan (2614-8854) Volume 5, Nomor 1, Januari 2022), h. 190
5
4. Eksistensialisme
Aliran filsafat yang membahas keberadaan manusia dalam hubungannya
dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia dan dengan Tuhan. Manusia yang
konkrit bukanlah manusia pada umumnya, tetapi adalah manusia yang bereksistensi.
Manusia yang bereksistensi ialah manusia yang berada (exist), yang merealisir diri,
yang mempraktekkan keyakinan dan kemauan bebas serta mengisi kebebasannya.7
Jadi, ontologi dalam perspektif barat ini lebih mengutamakan kepada ilmu empiris yang
dijadikan sebagai ilmu yang ilmua. Selain itu, sains barat juga menganggap bahwa ilmu-ilmu
kealaman sebagai ratu dari segala ilmu.
1. Yang pertama yakni objek material filsafat, objek material ini menjadi catatan
penelitian atau pembentukan pengetahuan itu sendiri, atau suatu hal yang di teliti,
dipandang oleh disiplin ilmu(ranah) yang mencakup segala hal yg berwujud ataupun
tidak berwujud (supranatural). Objek material ini ada yang bersifat umum dan ada yang
bersifat khusus.Yang bersifat umum biasanya menyelidiki atau mengkaji tentang hal"
umum, begitu juga dengan objek material yg bersifat khusus ini bersifat mutlak dan
tidak mutlak contohnya terdiri dari manusia dan alam.
2. Kemudian objek yang kedua yakni objek formal filsafat. Dari sudut pandang objek
formal filsafat ditujukan pada bahan-bahan dari penelitian atau pembentukan
pengetahuan / dari objek mana material itu dilihat. Disini saya akan mencontohkan
manusia sebagai salah satu objek materialnya, nah kemudian pada manusia ini sendiri
memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, sehingga dari hasil penelitian tentang
manusia ini , tercetuslah ilmu-ilmu yang mempelajari tentang manusia itu sendiri.
Perkembangan selanjutnya adalah filsafat sebagai hasil upaya pemikiran dan renungan
(contemplation) para ahli pikir (filsuf). Ada juga yang merupakan suatu ajaran atau sistem nilai,
baik berupa pandangan hidup (filsafat hidup) maupun sebagai cita-cita hidup atau ideologi.
7
Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam, (Aceh: Penerbit Bandar Lampung,
2019), h.57-61
6
Misalnya, paham-paham individualisme, kapitalisme, sosialisme, ideologi komunisme,
ideologi zionisme, ideologi pan-Islamisme, ideologi nasionalisme, dan sebagainya.
Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada
orang tertentu tanoa diketahui orang lain.Namun,terkadang juga bermaksud al-muha yaitu
pengertian isim maf'ul, maknanya yang diwahyukan. Dalam al-Qur’an term wahyu diulang
sebanyak 78 kali, yaitu dalam bentuk kata benda (isim) sebanyak 6 kali, dan dalam bentuk kata
kerja (fi’il) sebanyak 72 kali. Dengan kata lain, wakyu Allah kepada para nabi-Nya secara
syar’i didefinisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini
menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al muha (yang diwahyukan). Beda antara wahyu dengan
ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti
apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan
perasaan lapar, haus, sedih dan senang. Definisi seperti ini adalah definisi wahyu dengan
pengertian masdar.
Wahyu adalah tanzil/ munazzal, diturunkan langsung. Dalam artian, apa yang diterima
Nabi adalah murni sebagai firman Allah Swt.. secara utuh. Tidak terkandung di dalamnya
penafsiran dan pengalihan bahasa oleh malaikat atau oleh Nabi sendiri. Dari Allah Swt..-nya
sudah berbahasa Arab, bukan dialih bahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Nabi saw. Oleh
karenanya teks al-Qur`an, walau bagaimanapun, tidak akan sama dengan teks buatan penyair,
ataupun jampi-jampi paranormal.
Salah satu gambaran al-Qur’an yang paling jelas tentang mekanisme wahyu terdapat
dalam QS. al-Baqarah: 97 yang mengungkapkan bahwa “Jibril telah menurunkan (yakni pesan-
pesan ketuhanan) ke dalam hati Nabi dengan seizin Tuhan”. Di sini harus diperhatikan bahwa
dalam ayat tersebut, tidak terdapat penegasan bahwa Jibril muncul dalam bentuk yang dapat
dilihat; dan ayat tersebut dapat dipandang sebagai kepastian bahwa pewahyuan-pewahyuan
tidak mesti diperantarai atau disertai dengan suatu visi.8
8
Khoridatul Mudhiah. Konsep Wahyu Al-Q’an Dalam Perspektif Nasr Hamid Zaid. Jurnal Hermeneutik, Vol. 9,
No.1 Juni 2015
7
Alam sekarang sedang mengembang. Jika kita ingin melihat asal-muasalnya,
hendaknya kita kembali ke masa lalu hingga kita menemukan materi yang pertama. Materi ini
memiliki intensitas energi yang sangat tinggi sehingga membuatnya krisis, materi pertama itu
kemudian meledak dan berubah menjadi gumpalan asap. Dari gumpalan asap inilah Allah
menciptakan pusaran yang mengumpulkan sejumlah materi dan energi di sekeliling pusat
gravitasi (pusaran). Kumpulan materi dan energi itu berakumulasi di dalam dirinya hingga
dengan kekuasaan-Nya terbentuk menjadi beberapa benda angkasa yang beraneka rupa.
Teori Big Bang ini, yang oleh sains empiris dianggap sebagai fakta, hanya sebatas teori
saja. Petunjuk tentang hal ini telah ada di dalam Al-Quran sejak 1400 tahun yang lalu. Hal ini
menjadikan Al-Quran sebagai pelopor teori ini dan memberikan fondasi yang kukuh bagi teori
Big Bang sebagai suatu fakta karena adanya petunjuk di dalam Al-Quran. Atas dasar itu, alam
semesta pada mulanya adalah sebuah materi padat (periode masih ±bersatu), lalu materi itu
meledak (periode pemisahan), dan kemudian berubah menjadi gumpalan asap (periode asap).
Para ilmuwan empiris menyatakan bahwa alam berubah menjadi gumpalan debu, sedangkan
Al-Quran mengatakan,Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu
Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku
dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh.”(Fushshilat:
11).
Sudah menjadi kebenaran ilmiah setiap benda angkasa yang bergerak di angkasa,
berapa pun massanya, di control oelh kekuatan gravitasi dan kekuatan kontra gravitasi. Inilah
yang oleh Al-Quran dinamakan uruj. Kalau manusia tidak mengerti pergerakan benda- benda
di angkasa, tentu manusia tidak bisa meluncurkan satelit dan tidak pula menjelajahi antariksa.
Adapun masuk ke langit tidak mungkin dilakukan kecuali melalui suatau pintu yang
dibukakan. Sedanagkan pergerakan benda-benda angakasa hanya dalam lintasan berupa garis
melengkung, tidak lurus. Inilah yang oleh al-quran disebut uruj (naik ke langit). Itulah sebagian
kemukjizatan ilmia yang terdapat pada firman Allah SWT "Dan kalau Kami bukakan kepada
mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya,tentulah mereka
berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang
terkena sihir.” (Al-Hijr : 14-15).9
c. Fenomena Sosial
9
Heru Juabdin Sada. ALAM SEMESTA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS. Jurnal Pendidikan
Islam, Vol.7, November 2016
8
Secara harfiah kata fenomena berasal dari salah satu kata dalam bahasa Yunani yaitu
kata “phainomenon” yang berarti “apa yang terlihat”. Fenomena bisa diartikan sebagai fakta
sosial dalam kehidupan masyarakat yang dilakukan lantaran adanya bentuk-bentuk perubahan
sosial yang diakibatkan tindakan masyarakat itu sendiri.
Dalam permasalahan sosial mereka yang sabar maka akan mendapat ganjaran pahala
dari Allah, berbeda dengan yang tidak kuasa, maka senantiasa arogan dan putus asa terhadap
suatu masalah hingga nilai ibadah dan pahala tidak serta merta didapatnya. Maka dengan begitu
Al-Quran menjadi penolong dan tempat mencari jawaban dari permasalahan yang sedang
dihadapi. Al-Qur’an pula merupakan kalam Allah dan kitab suci yang diturunkan oleh Allah
SWT melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran diturunkan
untuk menyelasaikan semua persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia. Semua jawaban
terdapat di dalam al-Quran.
Tidak salah jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci
mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan petunjuk
kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah
atau sempurna. Secara garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu
Hablum Minallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas
9
(hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang
walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua bukan berarti lebih
mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih
komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam
dianggap sebagai agama transedental.10
Ayat Qauliyah adalah ayat yang menerangkan tanda-tanda kebesaran Allah melalui Al-
Qur’an dan hadist. Contoh : surat al-alaq ayat 1, perkataan Allah yang difirmankan kepada
malaikat Jibril.
Ayat Kauniyah adalah ayat yang menerangkan pengaturan Allah terhadap alam semesta.
Contohnya Allah telah menciptakan langit dan bumi, menurunkan hujan serta menumbuhkan
buah-buahan., dapat pula fenomena alam.
Ayat insaniyah adalah ayat yang mengatur keberadaan ataupun tingkah laku manusia.
Contohnya penciptaan manusia, tingkah laku manusia.
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur”.
Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra,
tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, misalnya dalam al- Qur’an surat
Yunus ayat 101 Allah swt berfirman:
Abdullah Sani Ritonga. Al-qur’an, Tafsir dan Fenomena Sosial Kemasyarakatan. Jurnal Kewahyuaan Islam,
10
10
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat
tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang member peringatan bagi orang-orang
yang tidak beriman".
2. Hati
Allah swt berfirman dalam surat al-Anfal 29 :
”Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan
kepadamu Furqaan. dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan- kesalahanmu, dan
mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”.
Maksud ayat ini adalah Allah swt akan memberikan cahaya yang dengannya
orang-orang yang beriman dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, atau
surat al-Baqarah ayat 282 :
”... dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu”.
Disis lain para filosof mengatakan sumber pengetahuan dapat berasal dari
Empirisme, Rasionalisme dan Intuisi-Wahyu.11
3. Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut
aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila
11
Henni Syafriana Nasution. “Epistemologi Question: Hubungan Antara Akal,
Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu dalam Bangunan Keilmuan Islam”. Almufida Vol. I No. 1
Juli-Desember 2016. Hal. 70-83.
11
dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman
inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia
mencicipinya.15
Empirisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang
logis dan ada bukti empiris. Pengetahuan inderawi bersifat parsial, itu sebabkan oleh
adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan
sifat khas psikologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya.
Setiap indera penangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang
menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan
terbatas pada skabilitas organ- organ tertentu.
Jadi, ketika kita mengindera sesuatu, kita dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya -
yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal-budi kita. Adapun gagasan yang
tidak terjangkau oleh indera, tidak dapat diciptakan oleh jiwa, tak pula dapat
dibangunnya secara esensial dan dalam bentuk yang berdiri sendiri. Selanjutnya
Muhammad Baqir Ash-Shadr, mengatakan akal budi, berdasarkan teori ini, hanyalah
mengelola konsepsi-konsepsi gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya dengan
menyusun konsepsi-konsepsi tersebut atau membaginya. Dengan begitu ia
mengkonsepsikan sebungkah gunung emas atau membagi-bagi pohon kepada
potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi.
Misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk
itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan
universal.
4. Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari
dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan
akal pula. Dicari dengan akal itulah dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal
artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis benar; bila tidak salah.
Dengan akal inilah aturan untuk manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa
kebenaran itu bersumber pada akal.
Selanjutnya Muhammad Baqir Ash-Shadr mengatakan dalam pandangan kaum
rasionalis, pengetahuan manusia terbagi menjadi dua, pertama, pengetahuan yang
mesti, yaitu bahwa akal mesti mengakui suatu proporsi tertentu tanpa mencari dalil atau
bukti kebenarannya. Akal, secara alami mesti mencarinya, tanpa bukti dan penetapan
12
apapun, kedua, informasi dari pengetahuan teoritis, akal tidak akan mempercayainya
kebenaran beberapa proporsi, kecuali dengan pengetahuan-pengetahuan pendahulu.
5. Intuisi-Wahyu
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba
saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas permasalahan yang
sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan
pintu. Suatu masalah yang kita pikirkan, dibenak kita yang lengkap dengan jawabannya
yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul.
Ketika beranjak dewasa, secara bertahap kita mulai menyadari bahwa tidak semua
pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera bisa dipercaya atau dipedomani.
Sebagai contoh, ketika kita melihat bintang, bulan dan matahari tampak kecil. Benarkah
demikian? Maka sejak saat ini kita mulai memfungsikan akal sebagai sumber
12
Miftakhul Munir. “INTEGRASI BIDANG-BIDANG ILMU (SUMBER ILMU DANOBYEKNYA)”. PANCAWAHANA:
Jurnal Studi Islam Vol.16, No.1, April 202. Hal 96-112.
13
pengetahuan.
Akal adalah alat berpikir, berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari
jawaban, mencari jawaban adalah usaha untuk menemukan kebenaran, sehingga
dengan demikian para filosof memandang bahwa akal adalah salah satu alat yang
ampuh untuk mencari hakekat kebenaran. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa
keistimewaan manusia, terletak pada akal yang merupakan potensi untuk berpikir.
Bertambah tinggi daya berpikir manusia, bertambah pula kemampuan untuk
memecahkan problema yang dihadapinya.
Namun, kita kemudian menyadari bahwa tidak semua kebenaran mampu kita
capai melalui pedayagunaan akal atau penalaran. Ketika akal mampu melakukan
penalaran dan mencapai kesimpulan bahwa Tuhan wajib al-wujud dan manusia wajib
berterimakasih kepada Tuhan, namun dengan akal atau penalaran rasional kita tidak
pernah mampu menemukan siapa sebenarnya Tuhan itu, apalagi sampai merasakan
kehadirannya. Maka dengan ini kita memerlukan wahyu sebagai pemberi pengetahuan
tersebut.
Disisi lain, Kebutuhan akal dalam agama Islam sangat penting, seperti diketahui
dalam Alquran banyak ayat yang memerlukan pembahasan akal. Karena tidak semua
kata dalam wahyu Allah itu, dapat diartikan menurut arti zhahirnya, tetapi kadang-
kadang harus diartikan menurut arti bathinnya. Hal tersebut menandakan betapa
pentingnya kebutuhan akal untuk menjelaskan wahyu sebagai pengantar kepada suatu
pengertian yang sulit dipahami. Akal sebagai alat utama untuk memahami ajaran yang
dibawa melalui wahyu. Sekalipun akal tidak mampu mencapai kebenaran mutlak,
banyak ayat Alquran yang membutuhkan penafsiran atau penjelasan agar ayat-ayat
tersebut dapat dipahami. Hal ini dipertegas oleh Allah dalam QS. An-Nahl: 44: Artinya:
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu
Alquran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
14
pemikiran berarti mempergunakan akal. Disinilah letak kebesaran akal manusia, yakni
kebesaran yang bukan tanpa batas.
Harifuddin Cawidu dalam makalanya “Alquran Kemukjizatan dan
Keistimewaannya”, mengemukakan bahwa “dalam Alquran ditemukan ayat-ayat yang
mempunyai isyarat-isyarat ilmiah. Di antara isyarat-isyarat tersebut adalah matahari
sebagai benda langit yang mengeluarkan cahaya sendiri sementara bulan adalah benda
langit yang bercahaya tetapi tidak memproduksi cahayanya sendiri, melainkan
memantulkan cahaya matahari. Isyarat ini dapat ditangkap dari penggunaan istilah
dhiyaan dan sirajan untuk matahari, sedangkan untuk bulan digunakan istilah muniran
(QS. 10: 5; 25: 61; 33: 46; 71: 16). Demikian pula isyarat tentang sistem tata surya yang
didasarkan pada teori heliosentris yang ternyata terbukti kebenarannya, dalam bukunya
teori qeosentris peninggalan astronom Ptolomeus yang diperpegangi selama berabad-
abad dan dianut secara fanatik oleh Bibel.
Selanjutnya Syekh Muhammad Abduh mengemukakan pendapatnya mengenai
kebutuhan wahyu terhadap akal dengan mengatakan, Islam adalah agama rasional.
Dalam Islam, agama dan akal buat pertama kali mengikuti tali persaudaraan. Islam
datang berbicara kepada manusia, bahwa Islamlah yang berteriak keras pada akal
manusia sehingga ia terkejut dan bangun dari tidurnya yang nyenyak. Islam
sesungguhnya datang dengan hal-hal yang tidak sulit untuk dapat dipahami, tidak
mungkin membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Jika ada teks ayat yang
zhahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, akallah wajib berkeyakinan bahwa
bukanlah arti yang dimaksudkan, dan selanjutnya akal boleh memilih antara memakai
ta’wil atau berserah diri kepada Allah. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa
wahyu sangat membutuhkan akal, baik untuk membuktikan kebenaran maupun untuk
menggali kebenaran serta mempertahankan kebenaran itu. 13
13
Muhammad Hatta. “Hubungan Antara Akal, Penginderaan, intuisi, Dan Wahyu Dalam Bangunan
Keilmuwan Islam”. Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015. Hal. 141-153.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ontologi adalah analisis mengenai suatu objek materi dari ilmu pengetahuan, yakni hal-
hal atau benda-benda empiris. Ontologis membahas tentang apa yang ingin diketahui.
Hubungan ontologi dengan filsafat dapat diibaratkan seperti pohon dengan rantingnya.
Sebuah pohon tentu memiliki berbagai cabang mulai dari daun, batang, buah dan
sebagainya. Begitupun dengan filsafat ini memiliki cabang-caang berupa sub disiplin yakni
filsafat ilmu, etika, estetika, filsafat antropologi dan metafisika. Cabang disiplin filsafat
ilmu tersebut akhirnya memiliki ranting-ranting dan sub-sub disiplin yakni logika, ontologi,
epistemologi dan aksiologi.
Namun ruang lingkup filsafat ilmu dapat disederhanakan menjadi tiga pertanyaan
mendasar, yakni: apa yang ingin diketahui (ontologi), bagaimana cara memperoleh
pengetahuan-pengetahuan (epistemologi) dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi
manusia (aksiologi). Ketiganya saling berkaitan, dan jika ingin membicarakan
epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu
B. Saran
Penelitian yang dilakukan oleh kami mengenai materi ontology dalam pandangan islam
dan barat ini masih belum menyeluruh. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
sekali kesalahan baik itu materi maupun segi kepenulisannya dan sangat jauh dari
kesempurnaan. Tentunya kami akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Syah Budi. (2016). Epistemologi Perspektif Islam dan Barat, (TASAMUH: JURNAL STUDI
ISLAM,Volume 8, Nomor 2)
Jabbar Sabil. 2020. Masalah Ontologi dalam Kajian Keislaman, (Jurnal Ilmiah ISLAM
FUTURA Vol. 13. No. 2, 2014).
Ace Nurasa, dkk. 2022. Tinjauan Kritis terhadap Ontologi Ilmu (Hakikat Realitas) dalam
Perspektif Sains Modern, JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan (2614-8854) Volume 5, Nomor
1).
Darwis A. Soelaiman. 2019. Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam, (Aceh:
Penerbit Bandar Lampung,)
Khoridatul Mudhiah. 2015. Konsep Wahyu Al-Q’an Dalam Perspektif Nasr Hamid Zaid. Jurnal
Hermeneutik, Vol. 9, No.1)
Heru Juabdin Sada. 2016. ALAM SEMESTA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN
HADITS. Jurnal Pendidikan Islam, Vol.7).
Abdullah Sani Ritonga. 2019. Al-qur’an, Tafsir dan Fenomena Sosial Kemasyarakatan. Jurnal
Kewahyuaan Islam, Vol. 5, No. 2).
17
Miftakhul Munir. “INTEGRASI BIDANG-BIDANG ILMU (SUMBER ILMU DAN
OBYEKNYA)”. PANCAWAHANA: Jurnal Studi Islam Vol.16, No.1.
Muhammad Hatta. 2015. “Hubungan Antara Akal, Penginderaan, intuisi, Dan Wahyu Dalam
Bangunan Keilmuwan Islam”. Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli – Desember.
18