Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pendidikan Islam


Dibuat untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah :
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu :
Dr. Saefrudin, M.Pd.I

Oleh :
1. Dadan Nurahman NIM 2281131380
2. Siti Wiwi Pertiwi NIM 2281131386
3. Dedeh Kurniasih NIM 2281131384
4. Ma’rifah DMS NIM 2281131371
5. Moh. Ali Mukhsin NIM 2281131379
6. Muh. Nursalim NIM 2281131392

PROGRAM STUDI PJJ PAI


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN ( FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEIKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat,
hidayah, serta kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
"Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pendidikan Islam." Makalah ini disusun sebagai
salah satu tugas akademik yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pemahaman tentang aspek-aspek mendasar dalam pendidikan Islam.
Pendidikan Islam merupakan bagian integral dari kehidupan umat Islam, yang
memiliki peran penting dalam membentuk karakter, moral, dan pemahaman agama.
Dalam makalah ini, kami mencoba untuk mengupas secara mendalam mengenai ontologi,
epistemologi, dan aksiologi dalam konteks pendidikan Islam. Pengetahuan tentang
ontologi akan membantu kita memahami eksistensi, tujuan, dan makna hidup dalam
pendidikan Islam. Epistemologi akan membantu kita merenungkan sumber pengetahuan,
metode pengajaran, serta proses pemahaman agama dalam pendidikan Islam. Sementara
aksiologi akan membawa kita ke dalam nilai-nilai, etika, dan prinsip-prinsip moral yang
harus menjadi dasar dalam pendidikan Islam.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, dan dorongan dari
berbagai pihak. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing kami yang
telah memberikan arahan dan panduan yang sangat berharga dalam proses penulisan
makalah ini. Kami juga ingin berterima kasih kepada teman-teman sejawat yang telah
memberikan inspirasi dan dukungan selama proses penelitian.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan dan keterbatasan,
namun kami berharap makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam
pemahaman dan pengembangan pendidikan Islam. Kami juga mengharapkan agar
makalah ini dapat menjadi bahan referensi yang berguna bagi pembaca yang tertarik
dalam bidang ontologi, epistemologi, dan aksiologi pendidikan Islam.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat dan dapat memberikan pemahaman
yang lebih mendalam tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam konteks
pendidikan Islam. Kami menerima dengan senang hati segala masukan dan kritik yang
membangun untuk perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.

Cirebon, 13 Oktober 2023


Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Pendahuluan ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah.................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
2.1 Ontologi................................................................................................................... 3
2.2 Epistemologi ........................................................................................................... 6
2.3 Aksiologi ............................................................................................................... 10
BAB III KESIMPULAN ................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 13

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Untuk bisa memahami ilmu pengetahuan kita harus melandasi kerangka berfikir
pada landasan yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang utuh tentang ilmu
pengetahuan. Landasan yang menjadi konstruksi dasar dalam ilmu pengetahuan ada tiga
yaitu Ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat
empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan,
binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling
kuno. Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu
diperhatikan yaitu asumsi pertama adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan
kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi.
Asumsi kedua adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam
periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu
menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan (Supriyanto, 2003).
Epistemologi atau teori pengetahuan yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya
serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan
ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan.
Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu
pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif,
diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya
dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini (Bakhtiar, 2005).
Dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat
manusia. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia karena
dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi terpenuhi secara lebih
cepat dan lebih mudah.

1
Berdasarkan aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua arti yaitu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan merupakan
suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau
manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena
disekelilingnya.1

1.2 Rumusan masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Apa yang dimaksud ontologi Pendidika Islam?
2. Apa yang dimaksud Epistemologi Pendidikan Islam?
3. Apa yang dimaksud Aksiologi Penidikan Islam?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah


1. Untuk menjelaskan apa itu Ontologi Pendidikan Islam
2. Untuk membahas dan menjelaskan Epistemologi Pendidikan Islam
3. Untuk Mendeskripsikan Aksiologi Pendidikan Islam

1
‘Dasar Ilmu Pengetahuan - Ilmu Pengetahuan’
<https://sites.google.com/site/blogilmupengetahuan/artikel-pengetahuan/dasarilmupengetahuan>
[accessed 18 December 2021].

2
BAB II
PEMBAHASAN

Kita akan mulai dari pengerian secara harfiah tentang landasan, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia landasan memiliki arti 1 alas; bantalan; paron (alas untuk
menempa, terbuat dari besi); 2 lapangan terbang: pesawat kami mendarat di ~ dengan
selamat; 3 ki dasar; tumpuan: ~ hukum negara kita ialah Pancasila dan UUD 45;~
gelinding jalan pesawat terbang untuk berhenti menunggu giliran terbang sebelum masuk
ke landasan pacu; ~ kata bukti atau keterangan sebagai penguat suatu kesaksian yang
diberikan; ~ luncur landasan miring di tepi laut atau perairan yang ujung bawahnya
berada di bawah permukaan air, untuk meluncurkan kapal; ~ pacu bagian lapangan udara
untuk memacu pesawat yang akan lepas landas (terbang)2
Sedangkan ilmu dalam KBBI memiliki sedikitnya 2 pengertian, pertama:
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu: dia memperoleh gelar doktor dalam – Pendidikan, kedua:
pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya)3
Kalau disatukan maka landasan ilmu memiliki arti dasar pengetahuan tentang
sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu.
Dalam filsafat dikenal 3 teori dasar ilmu yang lebih dikenal dengan grand teori
ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi:

2.1 Ontologi

Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos”yang berarti “berada (yang ada)”.
Ontologi seringkali diidentifikasikan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-
filsafat atau filsafat yang pertama.4
Pembahasan mengenai landasan ontologis dari ilmu pengetahuan berarti
pembahasan atau analisis tentang obyek material dari ilmu pengetahuan. Obyek material
ilmu pengetahuan adalah hal-hal atau benda-benda empiris. Pembahasan mengenai

2
‘Arti Kata Landasan - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online’ <https://kbbi.web.id/landasan>
[accessed 18 December 2021].
3
‘Arti Kata Ilmu - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online’ <https://kbbi.web.id/ilmu> [accessed
18 December 2021].
4
Vira Maulida and Fitria Ningsih, ‘Hubungan Epistemologi Dengan Ontologi Dalam Ilmu Pengetahuan’,
Jurnal Studi Keislaman Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018. Hlm. 85., 4 (2018), 7.

3
landasan epistemologis dari ilmu pengetahuan berarti pembahasan atau analisis tentang
proses tersusunnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan disusun melalui proses yang
disebut metode ilmiah. Pemba- hasan mengenai landasan aksiologis dari ilmu pengeta-
huan berarti pembahasan atau analisis tentang penerapan hasil-hasil temuan ilmu
pengetahuan. Penerapan ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk memudahkan pemenuh-
an kebutuhan-kebutuhan dan demi keluhuran hidup manusia.5
Dalam sumber lain, Susanto mendefinisikan ontologi yaitu suatu pemikiran
tentang asal usul kejadian alam semesta, dari mana dan ke arah mana proses kejadiannya.
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai atau disebut juga teori
nilai. Efistemologi yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan
manusia diperoleh: apakah dari akal pikiran (aliran rasionalisme), dari pengalaman panca
indra (aliran empirisme), dari ide-ide (aliran idealisme), atau dari Tuhan ( aliran
teologisme) 6
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan
munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan
mencari apa sesungguhnya hakikat ”yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia
berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air. Ontologi
merupakan azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek
penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika).
Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakekat kebenaran
dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan
tentang apa dan bagaiman yang ada (being) itu. Paham idealisme atau spiritualisme,
materialisme, dualisme, pluralisme dan seterusnya merupakan paham ontologis yang
akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan
bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu (Koento
Wibisono, 1988 :7). Louis O. Kattsoff (1987 : 192) membagi ontologi dalam tiga
bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan kualitatif, serta ontologi monistik.
Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya
dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakannya mengenai

5
Paulus Wahana, ‘Filsafat Ilmu Pengetahuan’, Pustaka Diamond, 211.9 (2016), 1689–99
<https://repository.usd.ac.id/7333/1/3. Filsafat Ilmu Pengetahuan (B-3).pdf>.
6
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis,
Keempat, Cetakan ke (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2014).

4
tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan:
apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika
dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan
perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik
melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme (lihat, Hery, 17-18). Ada beberapa
pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya pertanyaan:
Apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang ada itu (how is being?) dan
di manakah yang ada itu? (where is being?). A. Apakah yang ada itu (what is being ?)
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme,
dualisme, idealisme dan agnotisme. 1. Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa
yang ada itu hanya satu. Bagi yang berpendapat bahwa yang ada itu serba spirit, ideal,
serba roh, maka dikelompokkan dalam aliran monisme-idealisme. Plato adalah tokoh
filosuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide
merupakan kenyataan yang sebenarnya (lihat Kattsoff, 1997:17).
1. Aliran dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme dan materialisme
dengan mengatakan, bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai
sumber, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani. Descartes bisa digolongkan
dalam aliran ini.
2. Aliran pluralisme. Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang tidak hanya
terdiri dari jasmani dan rohani, tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang
merupakan unsur substansial dari segala wujud.
3. Aliran agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat materi maupun hakikat rohani. Mereka juga menolak suatu
kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden
Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari
objek ontologis keilmuan, sebagaimana dituturkan di atas. Penafsiran metafisik keilmuan
harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya (das sein)
dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara
metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Suatu peryataan diterima sebagai premis
dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan
epistemologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran peryataan tersebut maka langkah
pertama adalah, melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara
empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan fakta dan
diakhiri dengan fakta pula, apapun juga teori yang disusunnya. Menurut Jujun (1986:4),

5
metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das sein)
menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das sollen). Ilmu
justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujaun
yang mencerminkan das sein agar dapat menjelaskan, meramalkan dan mengontrol
fenomena alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke
dalam argumentasi ilmiah menurutnya hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang
(set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan
berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern.

2.2 Epistemologi

Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya


pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan
kesahihan pengetahuan. Oleh karena itu, sistematika penulisan epistemologi adalah
terjadinya pengetahuan, teori kebenaran, metode ilmiah, dan aliran teori pengetahuan. 7
Istilah Epistemology dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere yang maksudnya
untuk membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi
(metafisika umum). Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme
biasa díartikan pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori.
Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar, dan
lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi Theory
of Knowledge. 8
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-
metode dan sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff, 1987: 76). Terdapat tiga persoalan pokok
dalam bidang epistemologi:
1. Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang
benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2. Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar
pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya?
3. Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang
benar dari yang salah? (Harold Titus et.al., 1984: 187-188).

7
Maulida and Ningsih.
8
Maulida and Ningsih.

6
Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: pertama, kerangka pemikiran yang
bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan
sebelumnya yang telah berhasil disusun; kedua, menjabarkan hipotesis yang merupakan
deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan ketiga, melakukan verifikasi terhadap
hipotetis tersebut untuk menguji kebenaran peryataannya secara faktual. Secara akronim
metode ilmiah terkenal sebagai logico-hypotetico-verificative atau deducto-hypotetico-
verificative (Jujun, 1986: 6).
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi,
yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme
lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme), fenomenalisme, intuisionisme,
positivisme dan seterusnya. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang
menekankan pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indera dinomorduakan.
Pemikiran para filosuf pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini: rasio dan indera. Dari
rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealisme
atau spiritualisme; dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar
ontologik materialisme. Rasionalisme timbul pada masa renaissance yang dipelopori
oleh Descartes, seorang berkebangsaan Perancis yang dijuluki sebagai “Bapak filsafat
moderen”. Rasionalisme dikembangkan berdasarkan filsafat “ide” Plato. Dalam sejarah
kefilsafatan, nama Plato (427-347 S.M) dan Aristoteles (384-322 S.M)
merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara rasionalisme dan empirisme.
Plato berpendapat, bahwa hasil pengamatan inderawi tidak memberikan
pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yan selalu berubah-ubah. Menurutnya, ilmu
pengetahuan yang bersumber dari panca indera diragukan kebenarannya. Menurut Plato
alam ide adalah alam yang sesungguhnya yang bersifat tetap tak berubah-ubah (lihat
Harold H. Titus et-al., 1984:256). Menurut Plato, manusia lahir sudah membawa ide
bawaan yang oleh Descartes (15966-1650 M) dan para tokoh rasionalis yang lain
disebut innate ideas. Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami
segala sesuatunnya, dan dari situlah timbul ilmu pengetahuan (Titus et.al., 1984:256).
Menurut rasionalisme Descartes, untuk memperoleh kebenaran harus dimulai dengan
meragukan sesuatu. Seorang yang ragu berarti sedang berpikir, yang berarti ada.
Statemennya yang populer adalah “aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum).
Kebenaran adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly), artinya bahwa
ide-ide itu seharusnya dapat dibedakan dari gagasan-gagasan yang laim (Harun

7
Hadiwijono, 1990: 19, 21). Rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes disamping
dapat dukungan dari para pengikutnya, seperti Spinoza dan Leibniz tidak luput pula dari
tantangan. Tantangan utama adalah datang dari seorang filosuf berkebangsaan Inggris,
John Locke (1632-1704 M) dengan filsafat empirisme-nya. Filsafat empirisme kalau
dilacak adalah bersumber dari filsafat Aristoteles yang mengatakan, bahwa realitas yang
sebenarnya adalah terletak pada “benda-benda kongkret” yang dapat diindera, bukan pada
ide sebagaimana kata Plato (lihat Bertens, 1984: 153). Menurut Aristoteles karena realitas
adalah bendanya yang kongkret itu sendiri, bukan ide, maka ide tentang benda tidak
terdapat dalam kenyataan. Meski demikian Aristoteles juga mengakui adanya “ide”,
tetapi ide yang terletak pada benda itu sendiri, bukan seperti “ide” Plato yang berada pada
rasio. Menurut Plato, dengan ide terlahir ilmu pengetahuan “yang umum dan tetap”.
Aristoteles tidak menyangkal dalam hal ini, tetapi sesuatu “yang umum dan tetap” itu
tidak berada di dunia “ide” yang tidak kongkret, melainkan berada dalam bendanya yang
kongkret itu sendiri.
Teori Aristoteles ini disebut dengan teori helemorphisme, materi bentuk.
Artinya untuk bisa dikatakan benda, maka harus terdiri dari “materi dan bentuk” (lihat
Bertens, 1976: 12-13). Berdasarkan teori helemorphisme Aristoteles, John Locke
berpendapat, bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris. Menurut
Locke, ketika manusia dilahirkan didalam akalnya merupakan sejenis buku catatan yang
kosong yang lebih dikenal dengan teori tabularasa, dan di dalam buku inilah tercatat
pengalaman-pengalaman inderawi. Dia memandang akal sebagai tempat penampungan,
yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut (Kattsoff, 1987: 137).
Kebenaran yang diperoleh empirisme bersifat korespondensi, hasil hubungan antara
subjek dan objek melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan diuji. Kebenaran
didapat dari pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda lalu ditarik kesimpulan.
Menurut Locke pengalaman ada dua macam: pengalaman lahiriah (sensation) dan
pengalaman batiniah (reflexion) yang keduanya saling jalin-menjalin, karena menurutnya
segala sesuatu yang berada di luar diri kita menimbulkan ide-ide dalam diri kita (Harun
Hadiwijono, 1990: 36).
Filsafat empirisme dikembangkan oleh filosuf-filosuf Inggris: F. Bacon, T.
Hobbes, J. Locke, C. Berkeley dan D. Hume (Peurser, 1989: 81). Emperisme Locke juga
dikembangkan oleh Comte, seorang filosuf berkebangsaan Perancis dengan
teori Postivisme-nya. Menurut positivisme, yang ada adalah yang tampak, segala gejala
di luar fakta ditolak. Oleh sebab itu metafisika pun ditolak (Harun, 1990: 32). Beda

8
emperisme dengan positivisme adalah keduanya mengutamakan pengalaman, tetapi
positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman objektif, sementara emperisme
menerima pengalaman subjektif (batiniah) (Harun, 1990:109-110). Tesis rasionalisme
melahirkan antitesis yang berupa empirisme dan dari keduanya pada abad belakangan
memunculkan sintesis baru yang disebut dengan rasionalisme kritis yang dipelopori oleh
Immanuel Kant (1724-1804), seorang filosuf berkebangsaan Jerman. Rasionalisme kritis
memang tepat ketika mengatakan, bahwa rasionalitas suatu ilmu tidak pernah secara berat
sebelah dapat dicari pada kekuatan nalar ilmiah sendiri, melainkan justru pada
keterbukaan terhadap realitas empiris (Peursen, 1989 : 86). Kant membedakan empat
macam pengetahuan: pengetahuan analitis a priori, sintesis a priori, analitis a posteriori,
sintesis a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung
pada adanya pengalaman, atau yang ada sebelum pengalaman. Pengetahuan a
posteriori adalah terjadi sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan analitis apriori adalah
pengetahuan yang dihasilkan oleh analisis-analisis terhadap unsur-unsur a priori dan
pengetahuan sintesis a priori dihasilkan oleh akal terhadap bentuk-bentuk pengalaman
sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Pengetahuan
analitis a posteriori dan analisisnya diperoleh setelah ada pengalaman (Kattsoff,
1987:143-144).
Kembali kepada pertanyaan epistemologi, apakah kebenaran itu? Dalam hal
ini Jujun (dalam A.M. Saifuddin et.al., 1991: 16-17) menuturkan, bahwa ilmu dalam
upaya untuk menemukan kebenaran mendasarkan dirinya kepada beberapa kriteria
kebenaran: yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Koherensi merupakan teori
kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria kebenaran tentang konsistensi suatu
argumentasi. Sekiranya terdapat konsistensi dalam alur berpikir, maka kesimpulan yang
ditariknya adalah benar, sebaliknya jika terdapat argumentasi yang bersifat tidak
konsisten, maka kesimpulan yang ditariknya adalah salah. Landasan koherensi inilah
yang dipakai sebagai dasar kegiatan keilmuan untuk menyusun pengetahuan yang
bersifat sistematis dan konsisten.
Koresponden merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri pada kriteria
taentang kesesuaian antar materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek
yang dikenai pernyataan tersebut. Jika kita menyatakan “gula itu rasanya manis”, maka
peryataan itu benar sekiranya dalam kenyataanya gula itu rasanya memang manis.
Sebaliknya, jika kenyataanya gula itu rasanya tawar, maka peryataan itu salah. Jadi,
kebenaran harus sesuai dengan kenyataan setelah dibuktikan (verifikasi).

9
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada
kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu
tertentu. Jadi, bila suatu teori keilmuan secara fungsional mampu menjelaskan,
meramalkan dan mengontrol suatu gejala alam tertentu, maka secara pragmatis teori
tersebut benar, dan sekiranya dalam kurun waktu yang berlainan muncul teori lain yang
lebih funsional, maka kebenaran itu teralihkan kepada teori baru tersebut. Dengan
demikian, secara pragmatis, dunia keilmuan memberikan preferensi kepada teori yang
bersifat lebih menyakinkan dan lebih bersifat umun (universal) dibandingkan dengan
teori-teori sebelumnya. Penganut positivisme ilmu pengetahuan hanya mengakui satu
kebenaran, yaitu kebenaran inderawi, yang teramati dan yang terukur, yang dapat
dibuktikan ulang oleh siapa pun. Di luar itu tidak diakui sebagai kebenaran. Sementara
rasionalisme hanya mengakui kebenaran etik9.

2.3 Aksiologi

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai yang pada
umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai,
parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana
kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik
materiil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-
sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita
perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis 10. Pertanyaan mengenai aksiologi
menurut Kattsoff (1987:331) dapat dijawab melalui tiga cara: Pertama, nilai sepenuhnya
berhakekat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-
reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung kepada
pengalaman-pengalaman mereka; kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan
ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai
tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini
dinamakan objektivisme logis; ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik. Dalam
pendekatan aksiologis ini, Jujun (1986: 6) menyebutkan, bahwa pada dasarnya ilmu harus

9
Nani Widiawati, Pluralisme Metodologi: Diskursus Sains, Filsafat Dan Tasawuf, ed. by Miswari, 2nd
edn (Tasikmalaya: Edu Publisher, 2021).
10
Dr. Prasetya Irawan, ‘Kaidah Dasar Ilmu Pengetahuan Dan Penelitian’, Buku Materi Pokok (PMB),
2014, 1–28 <http://repository.ut.ac.id/4326/1/ISIP4216-M1.pdf>.

10
digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu
menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup
manusia dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau
keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang
diperoleh dan disusun di pergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti,
bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak
memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya sesuai dengan komunalisme. Universal
berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial sepertia: ras, ideologi atau agama.
Tidak ada ilmu Barat dan tidak ada pula ilmu Timur.11
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, ontologi adalah ilmu hakekat yang
menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Epistemologi
adalah ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses penyusunan pengetahuan
yang benar. Sedangkan Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat
nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Dengan demikian Ontologi adalah ilmu
pengetahuan yang meneliti segala sesuatu yang ada. Epistemologi adalah ilmu yang
membahas tentang teori, sedangkan Aksiologi adalah kajian tentang nilai ilmu
pengetahuan.12

11
‘ONTOLOGI’ <https://www.uin-malang.ac.id/r/131101/ontologi.html> [accessed 18 December 2021].
12
Dikutip dari laman <https://sengkala.com/2021/03/18/pengertian-landasan-onlologis-epistemologis-
dan-aksiologis-dalam-filsafat/> [accessed 18 December 2021].

11
BAB III
KESIMPULAN

Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa, epistemologi menjelaskan


pertanyaan bagaimana dan aksiologi menjelaskan pertanyaan untuk apa?.

Menurut pakar sosiologi sains, Roberto Merton, paling tidak ada lima norma
dalam ilmu pengetahuan sebagai kaidah atau pengikat, yaitu: orisinalitas, tanpa pamrih
(detachment), universalitas, skeptisisme dan terbuka untuk umum (public accessibility)
Empat kaidah dasar ilmu pengetahuan : Objektif, Metodis, Sistematis dan
Universal.
Cara memperoleh pengetahuan sains yaitu dengan mengajukan argumentasi
logis, mengajukan hipotesis berdasarkan logika tersebut, kemudian melakukan pengujian
secara empiris. Cara memperoleh pengetahuan filsafat adalah berfikir dengan mematuhi
kaidah logika. Cara memperoleh pengerahuan mistik adalah dengan menempuh latihan
yang disebut riyadoh untuk mendapatkan pencerahan.
Suatu metode hanya berkompeten untuk menela’ah wilayah yang sesuai dengan
karakterisitik metodisnya. Observasi hanya cocok untuk objek-objek empiris. metode
rasional hanya cocok untuk mengukur standar logis atau tidak logis yang disyaratkan oleh
logika. Dan metode intuitif hanya dapat diterapkan pada wilayah metafisis

12
DAFTAR PUSTAKA

‘Arti Kata Ilmu - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online’


<https://kbbi.web.id/ilmu> [accessed 1 Oktober 2023]
‘Arti Kata Landasan - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online’
<https://kbbi.web.id/landasan> [accessed 1 Oktober 2023]
‘Dasar Ilmu Pengetahuan - Ilmu Pengetahuan’
<https://sites.google.com/site/blogilmupengetahuan/artikel-
pengetahuan/dasarilmupengetahuan> [accessed 1 Oktober 2023]
Dr. Prasetya Irawan, ‘Kaidah Dasar Ilmu Pengetahuan Dan Penelitian’, Buku Materi
Pokok (PMB), 2014, 1–28 <http://repository.ut.ac.id/4326/1/ISIP4216-M1.pdf>
‘LANDASAN ONLOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS’
<https://sengkala.com/2021/03/18/pengertian-landasan-onlologis-epistemologis-
dan-aksiologis-dalam-filsafat/> [accessed 1 Oktober 2023]
Maulida, Vira, and Fitria Ningsih, ‘Hubungan Epistemologi Dengan Ontologi Dalam
Ilmu Pengetahuan’, Jurnal Studi Keislaman Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018. Hlm.
85., 4 (2018), 7
‘ONTOLOGI’ <https://www.uin-malang.ac.id/r/131101/ontologi.html> [accessed 1
Oktober 2023]
Paulus Wahana, ‘Filsafat Ilmu Pengetahuan’, Pustaka Diamond, 211.9 (2016), 1689–99
<https://repository.usd.ac.id/7333/1/3. Filsafat Ilmu Pengetahuan (B-3).pdf>
Susanto, A., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan
Aksiologis, Keempat, Cetakan ke (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2014)
Widiawati, Nani, Pluralisme Metodologi: Diskursus Sains, Filsafat Dan Tasawuf, ed. by
Miswari, 2nd edn (Tasikmalaya: Edu Publisher, 2021)

13

Anda mungkin juga menyukai