PENGEMBANGAN ILMU
PENDIDIKAN PANCASILA
Disusun oleh :
Annisa Nurinzani Islamiyah
1892041034
Pendidikan Akuntansi/B
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
limpahan Rahmat, Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat
manusia.
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila dan juga untuk
khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga
bermanfaat.
Makalah ini penulis susun dengan segala kemampuan penulis dan semaksimal mungkin.
Namun, penulis menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna
dan masih banyak kesalahan serta kekurangan.
Wa’alaikumsalam Wr.Wb
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................... ................................................................... ii
Daftar Isi ................................................ ................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................... ................................................................... 1
1. Latar Belakang ........................... ................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ...................... ................................................................... 2
BAB II ISI ................................................................... 3
1. Pancasila Dan Ilmu Pengetahuan ................................................................... 3
2. Pancasila Sebagai Landasan
ETIK Pengembangan Ilmu Di
Indonesia .................................... ................................................................... 7
3. Pancasila Sebagai Paradigma
Ilmu Pengetahua Di Indonesia ................................................................... 11
4. Pancasila Sebagai Genetivus
Objectivus Dan Genetivus
Subjektivus..................................
. ................................................................... 13
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Jadi, nilai Pancasila dapat diaktualisasikan pada bidang keilmuan. Lebih lanjut
dikatakan, kontekstualisasi nilai-nilai Pancasila dalam suatu bidang keilmuan dapat
dilakukan dengan 2 (dua) hal, yakni; nilai nilai Pancasila sebagai paradigma ilmu
pengetahuan dan Pancasila sebagai landasan etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan. M.
Sastrapartedja (2006) menyatakan ada 2 (dua) peran Pancasila dalam hubungannya dengan
ilmu pengetahuan. Pertama, Pancasila merupakan landasan bagi kebijakan pengembangan
ilmu pengetahuan. Kedua, Pancasila menjadi landasan bagi etika pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Melalui pembelajaran bab ini, mahasiswa nantinya diharapkan
mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu
yang ditekuninya.
1
2. Rumusan Masalah
Berpijak dari pernyataan di atas, bahasan dalam bab ini meliputi sebagai berikut:
1. Apa kaitan pancasila dan ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana pancasila sebagai landasan etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan?
4. Bagiamana fungsi pancasila sebagai genetivus objektivus dan genetivus
subjektivus?
2
BAB II
ISI
Pengetahuan (knowledge) itu berbeda dengan ilmu (science). Sedangkan istilah ilmu
pengetahuan merupakan terjemahan dari science itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia, kata
ilmu dilanjutkan dengan istilah ilmu pengetahuan. Istilah ilmu pengetahuan” biasa dan
umum digunakan, padahal istilah tersebut dapat dikatakan sebagai "pleonasme", suatu
pemakaian kata yang lebih dari yang diperlukan (Sapriya, 2012).
Setiap ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak setiap pengetahuan adalah ilmu.
Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil pekerjaan manusia menjadi
tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi pikiran manusia yang merupakan hasil dari
proses usaha manusia untuk tahu. Ilmu berada setingkat di atas pengetahuan. Ilmu adalah
pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan bersifat ilmiah. Ilmu bukan sekadar
pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-
teori yang disepakati dan didapatkan secara sistematik diuji dengan seperangkat metode
yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Lebih lanjut dikatakan terdapat 3 (tiga) pengertian
ilmu (Gie dalam Sapriya, 2012). Pengertian pertama lebih menekankan bahwa ilmu
merupakan pengetahuan yang sistematis. Pengertian ini telah dianut begitu luas dalam
berbagai ensiklopedia dan kepustakaan yang banyak membahas tentang ilmu. Pengertian
kedua, menekankan bahwa ilmu sebagai metode penelitian ilmiah. Pengertian yang ketiga
menekankan bahwa ilmu merupakan suatu proses aktivitas penelitian.
Tiga sudut pandang pengertian ilmu ini pada dasarnya saling melengkapi pengertian
ilmu secara utuh bahwa ilmu seyogianya merupakan pengetahuan yang bersifat sistematis,
diperoleh melalui langkah berpikir metode ilmiah, dan perolehan tersebut harus melalui
kegiatan penelitian. Dengan kata lain, ilmu dihasilkan melalui proses penelitian sesuai
dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh komunitas keilmuan masing-masing
untuk membangun struktur keilmuan.
3
Ada beberapa persyaratan pengetahuan dapat meningkat menjadi paradigma ilmu
ilmu alam yang telah ada lebih dahulu. Persyaratan itu adalah sebagai berikut.
a. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri atas satu golongan masalah
yang sama sifat hakikatnya, bentuknya tampak dari luar maupun dari dalam.
Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji
keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni
persesuaian antara tahu dengan objek sehingga disebut kebenaran objektif bukan
subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian
b. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada
cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Secara umum metodis berarti
metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
c. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan men- jelaskan suatu
objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis
sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu,
dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.
Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat
merupakan syarat ilmu yang ketiga.
d. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat
umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Oleh karena
itu, universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial
menyadari kadar keumuman (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu
ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Oleh karena itu, untuk
mencapai tingkat universalitas dalam ilmu- ilmu sosial, harus tersedia konteks
tertentu pula.
Ilmu dibagi menjadi 3 (tiga) bidang utama, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu
budaya (humaniora). Ilmu alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun
ilmu dimana objeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan
umum, berlaku kapan pun di mana pun. Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & non
manusia tentang bumi dan alam sekitarnya. Istilah ilmu alam juga digunakan untuk
mengenali “ilmu” sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah, berbeda dengan filsafat
alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari secara umum di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA). Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat objeknya yang konkret.
4
Beberapa contoh yang termasuk kategori ilmu alam adalah Astronomi, Biologi, Ekologi,
dan Fisika.
Ilmu sosial (social science) atau Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah sekelompok
disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan
lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan
penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metode kuantitatif dan
kualitatif. Istilah ini juga termasuk menggambarkan penelitian dengan cakupan yang luas
dalam berbagai lapangan meliputi perilaku dan interaksi manusia pada masa kini dan
masalalu. Berbeda dengan ilmu sosial secara umum, IPS tidak memusatkan diri pada satu
topik secara mendalam melainkan memberikan tinjauan yang luas terhadap masyarakat.
Beberapa cabang dari ilmu sosial, meliputi Antropologi, Ekonomi, Geografi, Hukum,
Linguistik, Pendidikan, dan Politik.
Membicarakan ilmu pengetahuan dapat ditinjau dari 3 (tiga) cabang dalam filsafat
yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani,
yang terdiri atas dua kata, yaitu ontos berarti ada, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau
ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan
Menurut Suriasumantri (1998), ontologi membahas tentang apa yang ingin kita
ketahui seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain, suatu pengkajian mengenai
teori tentang "ada". Telaah ontologis tentang ilmu pengetahuan akan menjawab pertanyaan
pertanyaan pokok, yakni
5
b. Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, dan
c. Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu
yang berharga, dan logos artinya akal, teori. Aksiologi artinya teori nilai, penyelidikan
mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Aksiologi sebagai cabang filsafat
ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut
pandangan kefilsafatan.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Jadi, aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang
sebenarnya dari pengetahuan. Sebenarnya, ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia
kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di
jalan yang baik pula. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu
tidak bebas nilai. Artinya, pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan
nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, dan
bukan sebaliknya.
6
memiliki kaitan dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial di Indonesia. Pemikiran
ini sudah dimulai sejak ma, hanya saja sekarang ini tidak sekuat pemikiran Pancasila di
bidang kenegaraan.
Ilmu pengetahuan tidak diabdikan untuk manusia, ia bisa membawa bencana bagi
manusia itu sendiri. Penting pula dilakukan penyelidikan ilmu pengetahuan dengan sifat
gotong royong sebagai jiwa dari Pancasila. Gotong royong mengandaikan pendekatan dari
berbagai jurusan (multiple approach) dalam mencari kebenaran ilmu. Melalui ilmu
pengetahuan khususnya Ilmu Pengetahuan Sosial, unsur-unsur Pancasila atau gotong
royong ini dapat kita jalinkan atau sisipkan. Filsafat Pancasila dapat digunakan sebagai
pangkal tolak pembahasan keadaan alam dan masyarakat Indonesia. Demikian pula pada
cabang-cabang Ilmu Pengetahuan Sosial lainnya dapat juga kita masukkan unsur-unsur
Pancasila secara sistematis, dengan tidak menyimpang dari kebenaran yang menjadi tujuan
ilmu pengetahuan (Soepardo, et al., 1960). Pemikiran berikutnya yang mengkaitkan adalah
karya Prof. Notonagoro yang berjudul Pantjasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia,
terbit pertama tahun 1974. Beberapa bahasan terkait adalah butir 6, berjudul “Pancasila
sebagai pegangan dan pedoman bagi ilmu pengetahuan"; butir 7, "Pancasila sebagai
pangkal sudut pandangan dalam penyelidikan"; butir 8, “pertanggungjawaban ilmiah bagi
sila Ketuhanan"; butir 9, “Pancasila terhadap soal-soal fundamentil ilmu pengetahuan"; dan
butir 10, “Pancasila sebagai objek ilmu pengetahuan tentang negara dan hukum.
7
Banyak ahli yang telah mewacanakan bahwa Pancasila dapat menjadi landasan etik
bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, seperti dicontohkan oleh Notonagoro
dan para pembicara di simposium tahun 2006. Merujuk pada pendapat Kaelan (2007),
menghubungkan Pancasila dengan ilmu pengetahuan bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara,
yaitu (1) Pancasila menjadi landasan etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan (2)
nilai-nilai Pancasila menjadi paradigma ilmu pengetahuan di Indonesia.
Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat mengacu pada beberapa jenis
pemahaman (Tim dosen Pancasila, 2014). Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikembangkan di Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Kedua, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai- nilai Pancasila sebagai faktor
internal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Ketiga, bahwa nilai
nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia, artinya mampu mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi
agar tidak keluar dari cara berpikir dan cara bertindak bangsa Indonesia. Keempat, bahwa
setiap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus berakar dari budaya dan
ideologi bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indigenisasi ilmu
(mempribumian ilmu).
Pengertian ketiga bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengasumsikan bahwa ada aturan main
yang harus disepakati oleh para ilmuwan sebelum ilmu itu dikembangkan. Namun, tidak
8
ada jaminan bahwa aturan main itu akan terus ditaati dalam perjalanan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Sebab, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi terus
berkembang, aturan main seharusnya terus mengawal dan membayangi agar tidak terjadi
kesenjangan antara pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan aturan main.
Dalam hal ini, nilai-nilai Pancasila menjadi panduan etik pengembangan ilmu karena
aksiologi berbicara tentang nilai atau moral. Pancasila menjadi kaidah moral perihal untuk
apa dan bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan itu. Merujuk pada pendapat Slamet
Sutrisno di atas, maka konfigurasi nilai-nilai Pancasila sebagai aksiologi ilmu tersebut
adalah sebagai berikut.
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai fundamen moral Pancasila menempatkan realitas
spiritual religius sebagai nilai tertinggi, termasuk dalam konteks kegiatan ilmiah. Manusia
dan masyarakat sebagai subjek dan objek penelahan ilmu sosial tidak dapat mengabaikan
realitas spiritual ini.
Sama dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab menekankan pada pesan keadilan dalam interaksi antar manusia. Realisasi pesan
sila ini akan mengantarkan manusia dan masyarakat Pancasila membangun keadaban dan
peradaban spiritual. Acuan materialis ditekankan lebih pragmatis pada sila Keadilan Sosial
9
bagi Seluruh Masyarakat Indonesia sehingga keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai
dijiwai oleh semangat keadaban dan peradaban.
Postulat kekeluargaan ada pada sila Persatuan Indonesia dan sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Postulat
kekeluargaan dimaksudkan se- bagai prinsip integralistik holistik dan prinsip tata diri
dinamik dalam sistem kemasyarakatan dan kebudayaan Indonesia.
Dalam kapasitas aksiologi ilmu, nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila
merupakan merupakan sumber nilai, kerangka pikirserta asas moralitas bagi pembangunan
ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Apabila kita melihat sila demi sila, Pancasila
menunjukkan adanya panduan etika dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai berikut (T. Jacob, 1986).
Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, implementasi ilmu pengetahuan, perlu
menciptakan perimbangan antara rasional dan Irrasional, antara akal, rasa, dan kehendak.
Berdasarkan sila pertama ilmu pengetahuan tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan,
dibuktikan, dan diciptakan, tetapi juga mempertimbangkan maksud dan akibatnya, kerugian
dan keuntungan untuk manusia dan sekitarnya. Pengolahan diimbangi dengan pelestarian.
Sila pertama menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai posisi sentral
melainkan sebagai bagian yang sistematika dari alam yang diolahnya.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa
manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah secara beradab.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari proses budaya manusia yang beradab
dan bermoral. Oleh karena itu, pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
berdasarkan kepada usaha-usaha mencapai kesejahteraan umat manusia. Ilmu pengetahuan
dan teknologi harus dapat diabadikan untuk peningkatan harkat dan martabat manusia,
bukan menjadikan manusia sebagai makhluk yang angkuh dan sombong akibat dari
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
10
rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan selanjutnya dapat dikembangkan dalam hubungan
manusia Indonesia dengan masyarakat internasional.
11
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan,
tetapi pada bidang lain, seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma
kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan,
orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan
Paradigma keilmuan sebagai suatu contoh, model, atau pola berpikir, misalnya,
merupakan hasil kesepakatan dari komunitas keilmuan yang berdasarkan pada kode etik
dan tradisi keilmuan. Hasil kesepakatan yang telah menjadi paradigma ini seyogianya telah
menjadi kerangka pikir, cara pandang, dan prosedur kerja dari anggota komunitas keilmuan
yang sama.
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai
acuan, kerangka acuan berpikir, pola acuan berpikir atau sebagai sistem nilai yang
dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah tujuan bagi yang
menyandangnya.Yang menyandangnya itu di antaranya: (1) pengembangan ilmu
pengetahuan, (2) pengembangan hukum. (3) supremasi hukum dalam perspektif
pengembangan HAM, (4) pengembangan sosial politik, (5) pengembangan ekonomi, (6)
pengembangan kebudayaan bangsa, dan (7) pembangunan pertahanan (Pipin Hanapiah,
2001).
Pancasila memberikan dasar nilai-nilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. yaitu didasarkan moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan diletakkannya pengembangan ilmu pengetahuan di atas Pancasila sebagai
paradigmanya, maka perlu dipahami dasar dan arah peranannya dari nilai Pancasila sebagai
berikut
1. Aspek ontologi, bahwa hakikat ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya
untuk mencari dan menentukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan
harus dipandang secara utuh dalam dimensinya sebagai:
a. Masyarakat, menunjukkan adanya suatu academic community yang dalam
hidup keseharian para warganya untuk terus menggali dan mengembangkan
ilmu pengetahuan,
b. Proses, menggambarkan suatu aktivitas masyarakat ilmiah yang melalui
abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi
dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan,
c. Produk, adalah hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya
karya ilmiah beserta implikasinya yang berwujud fisik ataupun nonfisik.
12
2. Aspek epistemologi, bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya dijadikan metode berpikir.
3. Aspek aksiologi, dengan menggunakan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila sebagai metode berpikir, maka kemanfaatan dan efek pengembangan
ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan ideal dari Pancasila
dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
13
Pancasila bisa dikaji secara teoretis akademik menurut sudut pandang aliran- aliran filsafat
tertentu. Misalnya, nilai-nilai Pancasila dikaji dari sudut pandang filsafat pragmatisme,
eksistensialisme, fenomenologis, dan lain-lain. Pemikiran ini bisa menghasilkan keragaman
pendapat karena menggunakan perspektif filsafat yang berbeda-beda.
Sebagai genetivus subjectivus, Pancasila dijadikan subjek yang mengkaji dan menguji
berbagai aliran filsafat yang lain. Pancasila dijadikan pisau analisis, pokok pangkal, dan sudut
pandang untuk mencari jawaban atas masalah-masalah fundamental, seperti masalah
hubungan manusia dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan diri sendiri. Contoh dari metode
ini adalah apa yang dilakukan oleh Notonagoro dalam menelaah hukum Indonesia berdasar
filsafat Pancasila, pemikiran Mubyarto dalam menelaah ekonomi Indonesia menurut
perspektif Pancasila, dan pemikiran Mohammad Noer Syam dalam menelaah pendidikan
Indonesia melalui perspektif Pancasila.
14
BAB III
KESIMPULAN
1. Kesimpulan
2. Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
16