Anda di halaman 1dari 19

PANCASILA SEBAGAI DASAR

PENGEMBANGAN ILMU
PENDIDIKAN PANCASILA

Disusun oleh :
Annisa Nurinzani Islamiyah
1892041034
Pendidikan Akuntansi/B

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR
Assalamualikum Wr.Wb

Puji syukur  senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
limpahan Rahmat, Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat
manusia.

Makalah ini di  susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila dan juga untuk
khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga
bermanfaat.

Makalah ini penulis susun dengan segala kemampuan penulis dan semaksimal mungkin.
Namun, penulis menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna
dan masih banyak kesalahan serta kekurangan.

Wa’alaikumsalam Wr.Wb

Pallangga, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................... ................................................................... ii
Daftar Isi ................................................ ................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................... ................................................................... 1
1. Latar Belakang ........................... ................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ...................... ................................................................... 2
BAB II ISI ................................................................... 3
1. Pancasila Dan Ilmu Pengetahuan ................................................................... 3
2. Pancasila Sebagai Landasan
ETIK Pengembangan Ilmu Di
Indonesia .................................... ................................................................... 7
3. Pancasila Sebagai Paradigma
Ilmu Pengetahua Di Indonesia ................................................................... 11
4. Pancasila Sebagai Genetivus
Objectivus Dan Genetivus
Subjektivus..................................
. ................................................................... 13
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Membahas potensi Pancasila sebagai nilai dasar pengembangan ilmu di Indonesia


berarti membicarakan kemungkinan kontekstualisasi atau aktualisasi Pancasila dalam
bidang keilmuan. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional memang memiliki
implikasi etis, yuridis, maupun politis untuk diaktualisasikan, dikontekstualisasikan atau
diimplementasikan dalam kehidupan bernegara. Aktualisasi Pancasila dapat dilakukan
dengan berbagai cara, antara lain revitalisasi epistemologis, menjadikannya sebagai
landasan etik pengetahuan,sosialisasi lewat pendidikan, dan menjadikannya sebagai sumber
material hukum Indonesia (Kaelan, 2007).

Jadi, nilai Pancasila dapat diaktualisasikan pada bidang keilmuan. Lebih lanjut
dikatakan, kontekstualisasi nilai-nilai Pancasila dalam suatu bidang keilmuan dapat
dilakukan dengan 2 (dua) hal, yakni; nilai nilai Pancasila sebagai paradigma ilmu
pengetahuan dan Pancasila sebagai landasan etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan. M.
Sastrapartedja (2006) menyatakan ada 2 (dua) peran Pancasila dalam hubungannya dengan
ilmu pengetahuan. Pertama, Pancasila merupakan landasan bagi kebijakan pengembangan
ilmu pengetahuan. Kedua, Pancasila menjadi landasan bagi etika pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Melalui pembelajaran bab ini, mahasiswa nantinya diharapkan
mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu
yang ditekuninya.

1
2. Rumusan Masalah
Berpijak dari pernyataan di atas, bahasan dalam bab ini meliputi sebagai berikut:
1. Apa kaitan pancasila dan ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana pancasila sebagai landasan etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan?
4. Bagiamana fungsi pancasila sebagai genetivus objektivus dan genetivus
subjektivus?

2
BAB II

ISI

1. Pancasila Dan Ilmu Pengetahuan


Adakah kaitan Pancasila dengan ilmu pengetahuan? Sebelumnya, perlu dikemukakan
apa itu ilmu pengetahuan.
1. Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) itu berbeda dengan ilmu (science). Sedangkan istilah ilmu
pengetahuan merupakan terjemahan dari science itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia, kata
ilmu dilanjutkan dengan istilah ilmu pengetahuan. Istilah ilmu pengetahuan” biasa dan
umum digunakan, padahal istilah tersebut dapat dikatakan sebagai "pleonasme", suatu
pemakaian kata yang lebih dari yang diperlukan (Sapriya, 2012).

Setiap ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak setiap pengetahuan adalah ilmu.
Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil pekerjaan manusia menjadi
tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi pikiran manusia yang merupakan hasil dari
proses usaha manusia untuk tahu. Ilmu berada setingkat di atas pengetahuan. Ilmu adalah
pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan bersifat ilmiah. Ilmu bukan sekadar
pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-
teori yang disepakati dan didapatkan secara sistematik diuji dengan seperangkat metode
yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Lebih lanjut dikatakan terdapat 3 (tiga) pengertian
ilmu (Gie dalam Sapriya, 2012). Pengertian pertama lebih menekankan bahwa ilmu
merupakan pengetahuan yang sistematis. Pengertian ini telah dianut begitu luas dalam
berbagai ensiklopedia dan kepustakaan yang banyak membahas tentang ilmu. Pengertian
kedua, menekankan bahwa ilmu sebagai metode penelitian ilmiah. Pengertian yang ketiga
menekankan bahwa ilmu merupakan suatu proses aktivitas penelitian.

Tiga sudut pandang pengertian ilmu ini pada dasarnya saling melengkapi pengertian
ilmu secara utuh bahwa ilmu seyogianya merupakan pengetahuan yang bersifat sistematis,
diperoleh melalui langkah berpikir metode ilmiah, dan perolehan tersebut harus melalui
kegiatan penelitian. Dengan kata lain, ilmu dihasilkan melalui proses penelitian sesuai
dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh komunitas keilmuan masing-masing
untuk membangun struktur keilmuan.

3
Ada beberapa persyaratan pengetahuan dapat meningkat menjadi paradigma ilmu
ilmu alam yang telah ada lebih dahulu. Persyaratan itu adalah sebagai berikut.

a. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri atas satu golongan masalah
yang sama sifat hakikatnya, bentuknya tampak dari luar maupun dari dalam.
Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji
keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni
persesuaian antara tahu dengan objek sehingga disebut kebenaran objektif bukan
subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian
b. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada
cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Secara umum metodis berarti
metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
c. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan men- jelaskan suatu
objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis
sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu,
dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.
Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat
merupakan syarat ilmu yang ketiga.
d. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat
umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Oleh karena
itu, universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial
menyadari kadar keumuman (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu
ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Oleh karena itu, untuk
mencapai tingkat universalitas dalam ilmu- ilmu sosial, harus tersedia konteks
tertentu pula.

Ilmu dibagi menjadi 3 (tiga) bidang utama, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu
budaya (humaniora). Ilmu alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun
ilmu dimana objeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan
umum, berlaku kapan pun di mana pun. Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & non
manusia tentang bumi dan alam sekitarnya. Istilah ilmu alam juga digunakan untuk
mengenali “ilmu” sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah, berbeda dengan filsafat
alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari secara umum di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA). Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat objeknya yang konkret.

4
Beberapa contoh yang termasuk kategori ilmu alam adalah Astronomi, Biologi, Ekologi,
dan Fisika.

Ilmu sosial (social science) atau Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah sekelompok
disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan
lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan
penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metode kuantitatif dan
kualitatif. Istilah ini juga termasuk menggambarkan penelitian dengan cakupan yang luas
dalam berbagai lapangan meliputi perilaku dan interaksi manusia pada masa kini dan
masalalu. Berbeda dengan ilmu sosial secara umum, IPS tidak memusatkan diri pada satu
topik secara mendalam melainkan memberikan tinjauan yang luas terhadap masyarakat.
Beberapa cabang dari ilmu sosial, meliputi Antropologi, Ekonomi, Geografi, Hukum,
Linguistik, Pendidikan, dan Politik.

Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah ilmu


pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra, seni, dsb: makna
intrinsik nilai-nilai humanistik. Setidaknya, ada dua pengertian dari humaniora. Pertama,
humaniora adalah ilmu manusia beserta persoalan-persoalan manusiawi mereka dengan
tujuan untuk meraih kualitas kehidupan yang lebih baik. Karena humaniora mempelajari
tentang manusia, maka objek material ilmu ini sebenarnya adalah manusia itu sendiri.
Kedua, humaniora terdiri atas cabang-cabang ilmu lain, di antaranya bahasa, sastra, filsafat,
sejarah, dan seni. Ilmu-ilmu ini pada dasarnya sama-sama mengkaji tentang manusia,
namun dengan cara yang berbeda-beda.

2. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi ilmu

Membicarakan ilmu pengetahuan dapat ditinjau dari 3 (tiga) cabang dalam filsafat
yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani,
yang terdiri atas dua kata, yaitu ontos berarti ada, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau
ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan

Menurut Suriasumantri (1998), ontologi membahas tentang apa yang ingin kita
ketahui seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain, suatu pengkajian mengenai
teori tentang "ada". Telaah ontologis tentang ilmu pengetahuan akan menjawab pertanyaan
pertanyaan pokok, yakni

a. Apakah objek ilmu yang akan ditelaah,

5
b. Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, dan
c. Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

Epistemologi berdasarkan akar katanya berasal dari kata episteme (pengetahuan)


dan logos (ilmu yang sistematis, teori). Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau
ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang
berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya
pengetahuan itu.

Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu
yang berharga, dan logos artinya akal, teori. Aksiologi artinya teori nilai, penyelidikan
mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Aksiologi sebagai cabang filsafat
ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut
pandangan kefilsafatan.

Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Jadi, aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang
sebenarnya dari pengetahuan. Sebenarnya, ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia
kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di
jalan yang baik pula. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu
tidak bebas nilai. Artinya, pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan
nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, dan
bukan sebaliknya.

3. Kaitan Pancasila dengan Ilmu Pengetahuan

Sebelumnya, dikemukakan Pancasila itu lebih terkait dengan kehidupan bernegara.


Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia memiliki implikasi etis, yuridis, dan
politis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Implikasi etis. Pancasila dasar falsafah
negara adalah Pancasila menjadi sumber norma etik bernegara. Implikasi yuridis Pancasila
dasar falsafah negara adalah Pancasila menjadi sumber norma hukum bernegara. Implikasi
politis Pancasila dasar falsafah negara adalah Pancasila menjadi ideologi nasional.
Kedudukan, isi, dan implikasi Pancasila dalam kehidupan bernegara itu telah banyak
dikemukakan baik melalui pemikiran jalur akademik maupun politik kenegaraan. Namun
demikian, di antara pemikiran yang berkembang juga menyatakan bahwa Pancasila

6
memiliki kaitan dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial di Indonesia. Pemikiran
ini sudah dimulai sejak ma, hanya saja sekarang ini tidak sekuat pemikiran Pancasila di
bidang kenegaraan.

Ilmu pengetahuan tidak diabdikan untuk manusia, ia bisa membawa bencana bagi
manusia itu sendiri. Penting pula dilakukan penyelidikan ilmu pengetahuan dengan sifat
gotong royong sebagai jiwa dari Pancasila. Gotong royong mengandaikan pendekatan dari
berbagai jurusan (multiple approach) dalam mencari kebenaran ilmu. Melalui ilmu
pengetahuan khususnya Ilmu Pengetahuan Sosial, unsur-unsur Pancasila atau gotong
royong ini dapat kita jalinkan atau sisipkan. Filsafat Pancasila dapat digunakan sebagai
pangkal tolak pembahasan keadaan alam dan masyarakat Indonesia. Demikian pula pada
cabang-cabang Ilmu Pengetahuan Sosial lainnya dapat juga kita masukkan unsur-unsur
Pancasila secara sistematis, dengan tidak menyimpang dari kebenaran yang menjadi tujuan
ilmu pengetahuan (Soepardo, et al., 1960). Pemikiran berikutnya yang mengkaitkan adalah
karya Prof. Notonagoro yang berjudul Pantjasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia,
terbit pertama tahun 1974. Beberapa bahasan terkait adalah butir 6, berjudul “Pancasila
sebagai pegangan dan pedoman bagi ilmu pengetahuan"; butir 7, "Pancasila sebagai
pangkal sudut pandangan dalam penyelidikan"; butir 8, “pertanggungjawaban ilmiah bagi
sila Ketuhanan"; butir 9, “Pancasila terhadap soal-soal fundamentil ilmu pengetahuan"; dan
butir 10, “Pancasila sebagai objek ilmu pengetahuan tentang negara dan hukum.

M. Sastrapratedja melihat ada 2 (dua) peran utama Pancasila dalam


hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Pertama, Pancasila merupakan landasan bagi
kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan, dan dua, Pancasila menjadi landasan bagi etika
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembicara lain pada Simposiun dan
seminar, yakni Prof. Umar Anggara Jenie berpendapat, Pancasila akan bisa digunakan
sebagai paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi yakni dalam memberikan panduan etika
kepada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.

Dengan demikian, itulah beberapa pemikiran pakar mengenai hubungan Pancasila


dengan ilmu pengetahuan. Namun, harus diakui bahwa wacana Pancasila dan ilmu
pengetahuan ini belumlah sekuat perkembangan pemikiran Pancasila dalam konteks
kenegaraan.

2. Pancasila Sebagai Landasan Etik Pengembangan Ilmu Di Indonesia

7
Banyak ahli yang telah mewacanakan bahwa Pancasila dapat menjadi landasan etik
bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, seperti dicontohkan oleh Notonagoro
dan para pembicara di simposium tahun 2006. Merujuk pada pendapat Kaelan (2007),
menghubungkan Pancasila dengan ilmu pengetahuan bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara,
yaitu (1) Pancasila menjadi landasan etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan (2)
nilai-nilai Pancasila menjadi paradigma ilmu pengetahuan di Indonesia.

Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat mengacu pada beberapa jenis
pemahaman (Tim dosen Pancasila, 2014). Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikembangkan di Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Kedua, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai- nilai Pancasila sebagai faktor
internal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Ketiga, bahwa nilai
nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia, artinya mampu mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi
agar tidak keluar dari cara berpikir dan cara bertindak bangsa Indonesia. Keempat, bahwa
setiap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus berakar dari budaya dan
ideologi bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indigenisasi ilmu
(mempribumian ilmu).

Keempat pengertian Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu sebagaimana


dikemukakan di atas mengandung konsekuensi yang berbeda-beda. Pengertian pertama
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila mengandung asumsi bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
itu sendiri berkembang secara otonom, kemudian dalam perjalanannya dilakukan adaptasi
dengan nilai-nilai Pancasila. Pengertian kedua bahwa setiap ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai Pancasila sebagai
faktor internal mengandaikan bahwa sejak awal pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sudah harus melibatkan nilai-nilai Pancasila. Namun, keterlibatan nilai-nilai
Pancasila ada dalam posisi tarik ulur, artinya ilmuwan dapat mempertimbangkan sebatas
yang mereka anggap layak untuk dilibatkan.

Pengertian ketiga bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengasumsikan bahwa ada aturan main
yang harus disepakati oleh para ilmuwan sebelum ilmu itu dikembangkan. Namun, tidak

8
ada jaminan bahwa aturan main itu akan terus ditaati dalam perjalanan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Sebab, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi terus
berkembang, aturan main seharusnya terus mengawal dan membayangi agar tidak terjadi
kesenjangan antara pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan aturan main.

Pengertian keempat yang menempatkan setiap pengembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi harus berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri sebagai proses
indegenisasi ilmu mengandai- kan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu, namun sudah menjadi paradigma ilmu yang berkembang di Indonesia.
Untuk itu, diperlukan penjabaran yang lebih rinci dan pembicaraan di kalangan intelektual
Indonesia, sejauh mana nilai- nilai Pancasila selalu menjadi bahan pertimbangan bagi
keputusan- keputusan ilmiah yang diambil.

Pancasila sebagai landasan etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia


berkaitan dengan aksiologi ilmu. Pertanyaan utama dalam aksiolgi adalah untuk apa
pengetahuan tersebut digunakan dan bagaimana kaitan penggunaan tersebut dengan kaidah-
kaidah moral. Sebagaimana dinyatakan Slamet Sutrisno (2006), bahwa butir- nilai-nilai
Pancasila dapat dikembangkan sebagai pembangun filsafat ilmu sosial, sekurang-kurangnya
dalam kapasitas aksiologi ilmu, meliputi (1) spiritualitas, (2) keadilan, dan (3)
kekeluargaan.

Dalam hal ini, nilai-nilai Pancasila menjadi panduan etik pengembangan ilmu karena
aksiologi berbicara tentang nilai atau moral. Pancasila menjadi kaidah moral perihal untuk
apa dan bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan itu. Merujuk pada pendapat Slamet
Sutrisno di atas, maka konfigurasi nilai-nilai Pancasila sebagai aksiologi ilmu tersebut
adalah sebagai berikut.

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai fundamen moral Pancasila menempatkan realitas
spiritual religius sebagai nilai tertinggi, termasuk dalam konteks kegiatan ilmiah. Manusia
dan masyarakat sebagai subjek dan objek penelahan ilmu sosial tidak dapat mengabaikan
realitas spiritual ini.

Sama dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab menekankan pada pesan keadilan dalam interaksi antar manusia. Realisasi pesan
sila ini akan mengantarkan manusia dan masyarakat Pancasila membangun keadaban dan
peradaban spiritual. Acuan materialis ditekankan lebih pragmatis pada sila Keadilan Sosial

9
bagi Seluruh Masyarakat Indonesia sehingga keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai
dijiwai oleh semangat keadaban dan peradaban.

Postulat kekeluargaan ada pada sila Persatuan Indonesia dan sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Postulat
kekeluargaan dimaksudkan se- bagai prinsip integralistik holistik dan prinsip tata diri
dinamik dalam sistem kemasyarakatan dan kebudayaan Indonesia.

Dalam kapasitas aksiologi ilmu, nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila
merupakan merupakan sumber nilai, kerangka pikirserta asas moralitas bagi pembangunan
ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Apabila kita melihat sila demi sila, Pancasila
menunjukkan adanya panduan etika dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai berikut (T. Jacob, 1986).

Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, implementasi ilmu pengetahuan, perlu
menciptakan perimbangan antara rasional dan Irrasional, antara akal, rasa, dan kehendak.
Berdasarkan sila pertama ilmu pengetahuan tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan,
dibuktikan, dan diciptakan, tetapi juga mempertimbangkan maksud dan akibatnya, kerugian
dan keuntungan untuk manusia dan sekitarnya. Pengolahan diimbangi dengan pelestarian.
Sila pertama menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai posisi sentral
melainkan sebagai bagian yang sistematika dari alam yang diolahnya.

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa
manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah secara beradab.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari proses budaya manusia yang beradab
dan bermoral. Oleh karena itu, pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
berdasarkan kepada usaha-usaha mencapai kesejahteraan umat manusia. Ilmu pengetahuan
dan teknologi harus dapat diabadikan untuk peningkatan harkat dan martabat manusia,
bukan menjadikan manusia sebagai makhluk yang angkuh dan sombong akibat dari
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sila Persatuan Indonesia, memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia bahwa


rasa nasionalisme bangsa Indonesia akibat dari sumbangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi persatuan dan kesatuan bangsa dapat
terwujud dan terpelihara, persaudaraan dan pesahabatan antar daerah di berbagaidaerah
terjalin karena tidak lepas dari faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
sebab itu, ilmu pengetahuan dan teknologi harus dapat dikembangkan untuk memperkuat

10
rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan selanjutnya dapat dikembangkan dalam hubungan
manusia Indonesia dengan masyarakat internasional.

Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan, mendasari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
secara demokratis. Artinya, setiap ilmuwan haruslah memiliki kebebasan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, setiap ilmuwan juga harus menghormati dan menghargai
kebebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka. Terbuka untuk dikritik/dikaji
ulang maupun dibandingkan dengan penemuan teori lainnya.

Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengimplementasikan


pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah menjaga keseimbangan keadilan
dalam kehidupan kemanusiaan, yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lain, manusia
dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam lingkungannya.

3. Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan Di Indonesia


Pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan adalah aktualisasi Pancasila di
bidang keilmuan selain sebagai panduan etik pengembangan ilmu. Menurut KBBI, istilah
paradigma berarti daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi
dan deklinasi kata tersebut; model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berpikir.
Paradigma secara etimologis diartikan sebagai model teori ilmu pengetahuan atau
kerangka berpikir. Secara terminologi diartikan sebagai pandangan mendasar para ilmuan
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang senantiasa dipelajari oleh satu cabang ilmu
pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, orang yang pertama kali mengemukakan istilah
tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma sebagai alat bantu para illmuwan
dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana
seharusnya dalam menjawab, dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan
dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang dan
kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut.
Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang
ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.

11
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan,
tetapi pada bidang lain, seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma
kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan,
orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan
Paradigma keilmuan sebagai suatu contoh, model, atau pola berpikir, misalnya,
merupakan hasil kesepakatan dari komunitas keilmuan yang berdasarkan pada kode etik
dan tradisi keilmuan. Hasil kesepakatan yang telah menjadi paradigma ini seyogianya telah
menjadi kerangka pikir, cara pandang, dan prosedur kerja dari anggota komunitas keilmuan
yang sama.
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai
acuan, kerangka acuan berpikir, pola acuan berpikir atau sebagai sistem nilai yang
dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah tujuan bagi yang
menyandangnya.Yang menyandangnya itu di antaranya: (1) pengembangan ilmu
pengetahuan, (2) pengembangan hukum. (3) supremasi hukum dalam perspektif
pengembangan HAM, (4) pengembangan sosial politik, (5) pengembangan ekonomi, (6)
pengembangan kebudayaan bangsa, dan (7) pembangunan pertahanan (Pipin Hanapiah,
2001).
Pancasila memberikan dasar nilai-nilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. yaitu didasarkan moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan diletakkannya pengembangan ilmu pengetahuan di atas Pancasila sebagai
paradigmanya, maka perlu dipahami dasar dan arah peranannya dari nilai Pancasila sebagai
berikut
1. Aspek ontologi, bahwa hakikat ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya
untuk mencari dan menentukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan
harus dipandang secara utuh dalam dimensinya sebagai:
a. Masyarakat, menunjukkan adanya suatu academic community yang dalam
hidup keseharian para warganya untuk terus menggali dan mengembangkan
ilmu pengetahuan,
b. Proses, menggambarkan suatu aktivitas masyarakat ilmiah yang melalui
abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi
dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan,
c. Produk, adalah hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya
karya ilmiah beserta implikasinya yang berwujud fisik ataupun nonfisik.

12
2. Aspek epistemologi, bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya dijadikan metode berpikir.
3. Aspek aksiologi, dengan menggunakan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila sebagai metode berpikir, maka kemanfaatan dan efek pengembangan
ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan ideal dari Pancasila
dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.

Menempatkan nilai-nilai Pancasila sebagai paradigma ilmu


pengetahuan merupakan kontekstualisasi nilai-nilai Pancasila dalam suatu bidang keilmuan.
Dalam hal ini, Pancasila memberikan dasar ontologis bagi ilmu pengetahuan (Kaelan,
2007). Berdasar pendapat ini dan pendapat-pendapat sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa
Pancasila dapat memberi dasar-dasar aksiologis dan ontologis bagi ilmu pengetahuan.
Dasar-dasar aksiologis berhubungan dengan peran Pancasila sebagai kaidah moral atau
nilai-nilai yang memandu perihal untuk apa ilmu pengetahuan digunakan dan bagaimana
kaidah moral/etik menggunakan ilmu pengetahuan tersebut. Dasar- dasar ontologis,
berkaitan dengan bagaimana sebuah pengembangan kajian ilmu, khususnya ilmu-ilmu
sosial "diisi" menurut sudut pandang Pancasila.

4. Pancasila Sebagai Genetivus Objectivus Dan Genetivus Subjectivus


Istilah Pancasila sebagai genetivus subjectivus dan genetivus objectivus, dapat ditelusuri
dari pendapat Darji Darmodiharjo (2006) yang mengatakan Pancasila bisa sebagai genetivus
objectives maupun genetivus subjectivus. Menurutnya, menempatkan Pancasila sebagai
subjek yang memberi penilaian terhadap segala sesuatu yang menyangkut kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Atau dengan perkataan lain, sebagai genetivus
subjektivus berarti mengonsepsi Pancasila sebagai suatu sistem filsafat. Sebagai sistem
filsafat, Pancasila dalam arti praktis dipandang sebagai produk dan pandangan hidup, dan
dalam arti praktis.
Di sisi lain, Pancasila merupakan genetivus objectivus berarti Pancasila berkedudukan
sebagai objek yang dapat dikaji secara ilmiah dengan menggunakan kerangka berpikir
teoretis barat. Koento Wibisono (Mustafa Kamal Pasha, 2002) menyatakan bahwa bidang
filsafat Pancasila dapat dibedakan menjadi dua, yakni filsafat Pancasila sebagai genetivus
objectivus dan filsafat Pancasila sebagai genetivus subjectivus. Sebagai genetivus objectivus,
artinya nilai-nilai Pancasila dijadikan objek material dalam telaah filsafati. Nilai-nilai

13
Pancasila bisa dikaji secara teoretis akademik menurut sudut pandang aliran- aliran filsafat
tertentu. Misalnya, nilai-nilai Pancasila dikaji dari sudut pandang filsafat pragmatisme,
eksistensialisme, fenomenologis, dan lain-lain. Pemikiran ini bisa menghasilkan keragaman
pendapat karena menggunakan perspektif filsafat yang berbeda-beda.
Sebagai genetivus subjectivus, Pancasila dijadikan subjek yang mengkaji dan menguji
berbagai aliran filsafat yang lain. Pancasila dijadikan pisau analisis, pokok pangkal, dan sudut
pandang untuk mencari jawaban atas masalah-masalah fundamental, seperti masalah
hubungan manusia dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan diri sendiri. Contoh dari metode
ini adalah apa yang dilakukan oleh Notonagoro dalam menelaah hukum Indonesia berdasar
filsafat Pancasila, pemikiran Mubyarto dalam menelaah ekonomi Indonesia menurut
perspektif Pancasila, dan pemikiran Mohammad Noer Syam dalam menelaah pendidikan
Indonesia melalui perspektif Pancasila.

14
BAB III

KESIMPULAN

1. Kesimpulan

Berdasar pada uraian-uraian sebelumnya dapat dikemukakan beberapa simpulan


perihal Pancasila dan kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Bahwa Pancasila dapat
memberikan dasar-dasar baik ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu pengetahuan di
Indonesia. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
Indonesia. Pengertian dasar nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah
pengembangan ilmu. Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi
ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia untuk mencari kebenaran yang
tidak mengenal titik henti. Dalam dimensi epistemologis, nilai- nilai Pancasila dijadikan
pisau analisis/metode berpikir dan tolok ukur kebenaran, misal dengan pendekatan gotong
royong. Dalam dimensi aksiologis, ada nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu
yakni sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan.

2. Saran

Indonesia sebagai bangsa yang masyarakatnya menganut ideologi pancasila,


hendaknya dalam mengembangkan maupun memanfaatkan perkembanagan ilmu
pengetahuan, harus sesuai dengan nilai nilai yang terkandung dalam pancadila dan
berdasarkan tujuan untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup rakyat indonesia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Winarno. 2016.Paradigma Baru Pendidikan Pancasila. Cetakan Ke-5.

Jakarta: Bumi Medika

16

Anda mungkin juga menyukai