Anda di halaman 1dari 26

1

Tugas : Filsafat Ilmu Islam

MAKALAH AKSIOLOGI

Oleh

Reno Hartama Putra


0016.10.15.2021

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021

1
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT,


yang telah memberikan nikmat yang luarbiasa, keteguhan, serta
kekuatan sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat
beserta salam semoga tercurahkan limpahkan kepada Nabi kita semua
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya.
Dalam penyusunan makalah ini,saya telah berusaha semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan atau rujukan dari berbagai
sumber, sehingga dapat memperlancar penyusunan makalah ini.
Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah ikut membantu dalam pembuatan
makalah ini. Diharapkan makalah ini dapat memberikan wawasan yang
cukup seputar Aksiologi. Saya sadar bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karenanya penulis sangat menghargai
masukan atau kritik yang membagun supaya bisa lebih baik lagi
dalam penyusunan makalah kedepannya.

Makassar,
Oktober

Penulis

i
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 3
A. Latar Belakang.......................................................................... 3
B. Rumusan Masalah.................................................................... 3
C. Tujuan Masalah......................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 5
A. Definisi Aksiologi..................................................................... 5
B. Fungsi Aksiologi...................................................................... 5
C. Pendekatan-Pendekatan dalam Aksiologi............................ 6
D. Ilmu Pengetahuan dalam Aksiologi....................................... 6
E. Makna dan Kedudukan Nilai Ilmu.......................................... 9
F. Etika dalam Ilmu Pengetahuan............................................... 11
G. Landasan Membangun Sikap Etis......................................... 20
BAB III PENUTUP................................................................................. 23
A. Kesimpulan................................................................................ 23
B. Saran.......................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia,
danmanusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal
manusia setelah mencapai pengetahuan.
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata
melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan
pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut
sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai. Sekarang
mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?
Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang
ontologis, epistomologis dan aksiologi, Pembahasan aksiologi
menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Artinya pada tahap-
tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai
budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan
ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya
meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan
menimbulkan bencana.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan
masalah sebagai berikut:
H. Apa yang dimaksud dengan aksiologi?
I. Apa yang menjadi fungsi dari aksiologi?
J. Bagaimana pendekatan-pendekatan dalam aksiologi?
K. Bagaimana ilmu pengetahuan dalam aksiologi?
L. Bagaimana makna dan kedudukan nilai ilmu?
4

M. Bagaimana etika dalam ilmu pengetahuan?


N. Bagaimana membangun sikap etis?
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah dari makalah tersebut, diantaranya
yaitu:
1. Menjelaskan pengertian aksiologi
2. Menjelaskan fungsi dari aksiologi
3. Menjelaskan pendekatan-pendekatan dalam aksiologi
4. Menjelaskan ilmu pengetahuan dalam aksiologi
5. Menjelaskan makna dan kedudukan nilai ilmu
6. Menjelaskan etika dalam ilmu pengetahuan
7. Menjelaskan membangun sikap etis

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Aksiologi
Istilah aksiologi dalam bahasa Inggris adalah axiology, berasal
dari kata Yunani axios (layak, pantas) dan logos (ilmu, studi
mengenai). Dalam filsafat, pembicaraan aksiologis merupakan analisis
untuk mengetahui batas arti, ciri-ciri, tipe, kriteria dan status
epistemologis nilai-nilai. Atas dasar itu pembicaraannya juga
menyangkut pembahasan segala sesuatu yang bernilai dan siapa
yang menentukan (menilai) bahwa sesuatu itu bernilai. Sudah tentu,
dalam filsafat ilmu, yang dimaksudkan sebagai sesuatu adalah ilmu.
Artinya, ilmu itulah yang akan dibicarakan nilai-nilainya, atau
kebernilaiannya.
Jika pembicaraan filsafat ilmu pada aspek ontologi telah
membawa kita pada pandangan (menurut filsafat science moderen
dan filsafat ilmu islami) tentang apa hakikat obyek ilmu pengetahuan,
yang daripadanya kita bisa menjawab pertanyaan apa hakikat ilmu
pengetahuan. Pembicaraan mengenai sumber pengetahuan kita juga
telah memperoleh pengertian dari mana pengetahuan potensial
diperoleh. Pembicaraan pada aspek epistemologi telah membawa kita
pandangan mengenai bagaimana ilmu pengetahuan dicapai secara
sah dan benar.
B. Fungsi Aksiologi
Aksiologi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk
mengantisipasi perkembangan dan teknologi (IPTEK) tetap
berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja
aksiologi antara lain :
1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan menemukan
kebenaran yang hakiki.
6

2. Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara


etis, tidak mengubah kodrat manusia, dan tidak merendahkan
martabat manusia.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat
meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan
martabat manusia serta memberikan keseimbangan alam lewat
pemanfaatan ilmu.
C. Pendekatan-Pendekatan dalam Aksiologi
Pendekatan-pendekatan dalam aksiologidapat dijawab
dengan tiga macam cara, yaitu :
1. Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut
pandang ini, nilai-nilai merupaka reaksi-reaksi yang
diberkan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya
tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.
2. Nilai-Nilai merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari
segi ontologi namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.
3. Nilai-Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun
kenyataan.
D. Ilmu Pengetahuan Dalam Aksiologi
Dalam realitas dunia ilmu, khususnya setelah memasuki abad
kehidupan moderen, kenyataan sejarah ilmu menunjukkan pada kita
bahwa ilmu pengetahuan memiliki sifat dasar :
1. Potensial dikembangkan secara kumulatif dan divergen,
2. Dapat dikembangkan ke tingkat terapan praktis untuk
memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupan.
Sifat dasar yang pertama kita lihat dalam kenyataannya bahwa
ilmu pengetahuan berkembang secara internal (dalam dunia ilmu itu
sendiri) hingga menjadi suatu khazanah (perbendaharaan ) ilmu
dalam berbagai bidang dan disiplin. Jika ilmu pada awalnya
diibaratkan sebagai satu biji bibit tanaman, maka sekarang ia telah

6
7

menjadi sebuah pohon yang mempunyai cabang dan ranting yang


banyak dan tidak pernah berhenti pertumbuhannya.
Jika dalam era pemikir Yunani kuno paling tidak sejarah
perkembangan ilmu bisa dibaca dari tumbuhnya filsafat alam, maka
selanjutnya ia berkembang membentuk rumpun ilmu-ilmu kealaman
(natural science). Natural science kemudian diarahkan untuk
menjawab berbagai pertanyaan mengenai massa, energi yang
kemudian melahirkan physical science (ilmu fisika); menjawab
pertanyaan mengenai zat dan substansi yang kemudian melahirkan
chemical science (ilmu kimia), menyelidiki benda-benda langit yang
kemudian melahirkan astronomical science (ilmu astronomi); dan
penyelidikan-penyelidikan khusus mengenai bumi yang melahirkan
berbagai bentuk earth science. Demikian untuk menyebut sedikit
contoh dalam ilmu-ilmu kealaman.
Demikian pula dalam cabang ilmu sosial Filsafat moral
berkembang menjadi berbagai cabang ilmu sosial seperti antropologi
psikologi ilmu ekonomi, sosiologi dan ilmu politik. Demikian untuk
menunjukkan sedikit perkembangan dalam ilmu-ilmu sosial
Selanjutnya, perkembangan tersebut tidak hanya terjadi dan
mengarah ke dalam perkembangan khazanah ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu juga pada akhirnya menginspirasikan manusia
untuk menjawab berbagai masalah praktis dalam kehidupan, sehingga
lahir ilmu pengetahuan terapan. Kelistrikan dan magnetisme sebagai
teori-teori ilmu mumi dalam fisika kemudian dikembangkan menjadi
ilmu "terapan (teknologi) dalam elektronika yang kemdudian
melahirkan berbagai bentuk produk teknologi elektronika dewasa ini.
Demikian halnya Mekanika berkembang menjadi mekanika teknik
yang kemudian berujung pada teknologi konstruksi. Dua contoh
tersebut menunjukkan bagaimana ilmu berkembang ke arah
pemecahan masalah-masalah praktis dalam kehidupan manusia.

7
8

Dari dua kenyataan sejarah perkembangan ilmu tersebut


akhirnya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tujuan ilmu diperoleh
bukan semata-mata untuk berilmu itu sendiri. Sekarang manusia tidak
lagi menjawab bahwa ia mencari ilmu sekedar agar berilmu saja,
tetapi agar ia dapat menggunakan ilmu untuk memecahkan berbagai
problema praktis dalam kehidupan. Karena itulah, dalam menjawab
pertanyaan tentang tujuan ilmu, filsafat science moderen telah
memberi jawaban, yaitu untuk pengembangan khazanah ilmu, dan
memecahkan problema praktis kehidupan. Sedangkan dari sudut
pandang aksiologis, filsafat science modem telah memberikan
jawaban kebernilaian ilmu menurut keilmiahan dan kebergunaannya.
Sebenarnya dalam jawaban filsafat science modem itu sendiri
masih terdapat satu masalah aksiologis, yaitu masalah nilai etik ilmu.
Masalah itu dikatakan inhearent karena ketika ilmu digunakan, maka
ia terkait dengan lingkungan di mana ilmu itu diterapkan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial manusia. Karena itu harus
ada etika penggunaan ilmu.
Tapi apakah tujuan ilmu hanya untuk pengembangan ilmu
sendiri ? Atau hanya untuk memecahkan masalah-masalah praktis
kehidupan manusia ?
Apabila kita menjawabnya dengan mendasarkan diri pada
ajaran Islam, jelas tidak hanya demikian. Memang benar bahwa kedua
hal tersebut perlu dicapai dalam penyelenggaraan ilmu, namun pada
makna hakikinya ia memerlukan pemahaman yang lebih dalam.
Pertama, Islam mengajarkan prinsip dalam hidup, yaitu bahwa
tujuan umum dari hidup manusia adalah ibadah kepada Allah. Artinya,
segala sesuatu yang dilakukan dalam hidup manusia harus :
1. Diniatkan sebagai ibadah kepadaNya
2. Dilakukan dengan cara yang diridhaiNya
3. Memberi hasil yang bermanfaat bagi manusia dan mahluk-mahluk
Allah lainnya.

8
9

Tujuan ilmu pengetahuan dalam Islam adalah juga demikian.


Pertama, memproses ilmu serta menggunakannya harus diniatkan
sebagai ibadah (pengabdian) kepada Allah. Kedua, ketika ilmu
diproses dan digunakan ia harus berpijak pada tuntunan Allah. Dalam
hal ini, harus dipahami bahwa menggunakan acuan hukum-hukum
alam sebagai dasar dalam pengembangan ilmu-ilmu kealaman,
misalnya, harus dipahami sebagai salah-satu wujud penggunaan
tuntunan Allah. Demikian pula dengan acuan nilai-nilai moraL Ketiga,
sejak ilmu diproses hingga digunakan ia harus diarahkan bagi
pencapaian manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan mahluk
Allah lainnya, dalam arti sejauh tidak bertentangan dengan makna
syarat ibadah yang pertama dan kedua.
Dengan demikian, dengan mendasarkan diri pada ajaran Islam,
nilai-nilai ilmu sebenarnya tidak hanya diletakkan pada nilai ilmiah dan
nilai kebergunaan secara pragmatis, tapi nilai ibadah dan nilai etik.
Bahkan untuk mewujudkan hai itu, ia harus berpangkal pada satu nilai
utama yaitu nilai tauhid, dimana nilai-nilai lain diturunkan darinya.
E. Makna dan Kedudukan Nilai Ilmu
Perkembangan ilmu pengetahuan pada akhirnya memang
menunjukkan berbagai dampak pada manusia sendiri. Perkembangan
ilmu melahirkan perkembangan kemampuan dan cara berfikir
manusia. Perkembangan kemampuan dan cara berfikir akhirnya
melahirkan perubahan dalam sikap dan gaya hidup. Secara singkat
perkembangan ilmu melahirkan perubahan dalam kebudayaan dan
akhirnya peradaban manusia.
Perkembangan ilmu pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari
kerangka pandangan perkembangan sosiologis ilmu pengetahuan.
Dalam perspektif inilah selain dampak positip yang ditunjukkannya
dalam pengembangan kemampuan berfikir manusia, juga terlihat
dampak-dampak negatif nya, baik secara fisik maupun secara moral
Dalam kaitan inilah kemudian timbul perdebatan yang cukup

9
10

berkepanjangan, bagaimana melihat hubungan antara ilmu dan moraL


Jawaban terhadap hal ini sangat penting untuk memberi landasan
bagaimana orang bersikap terhadap ilmu pengetahuan dan bersikap
dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan.
Pandangan mengenai hubungan antara moral dan ilmu
pengetahuan, atau antara nilai-nilai moral dan nilai ilmiah, memang
beragam, tergantung bagaimana latar belakang pemahaman
mengenai status atau kedudukan nilai-nilai moral dan nilai ilmiah itu
sendiri
Sebelum kita memasuki pembahasannya, perlu kita lanjutkan
terlebih dahulu pembahasan kita mengenai dampak ilmu pengetahuan
pada manusia, pada kehidupannya dan pada lingkungannya.
Sudah menjadi penilaian umum bahwa pada kenyataannya
ketika ilmu pengetahuan digunakan (dalam hal ini termasuk teknologi)
ada dampak yang ditimbulkannya, baik positif maupun negatif. Dalam
hal ini dampak positifnya tidak perlu dibicarakan.
Yang menjadi pertanyaan adalah dampak negatifnya. Apakah
dampak negatif tersebut adalah konsekuensi wajar ilmu pengetahuan,
dalam arti adalah wajar bila sesuatu menghasilkan pengaruh positif
dan juga negatif, sehingga tergantung pada bagaimana ia
digunakan ? Ataukah dalam ilmu pengetahuan itu sendiri memang
terkandung suatu yang inhearent sedemikian sehingga ketika ia
diterapkan pasti dampak negatif itu akan terjadi ? Atau dalam
pertanyaan yang lebih filosofis, pernyataan manakah yang lebih tepat
digunakan, dampak negatif ilmu pengetahuan atau dampak negatif
penggunaan ilmu pengetahuan ?
Pernyataan pertama mengindikasikan dampak negatif
inhearent dengan ilmu pengetahuan, sementara pernyataan kedua
mengindikasikan dampak negatif tersebut pada penggunaannya.
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut sangat tergantung pada apa
yang telah kita singgung di atas, yaitu bagaimana pandangan

10
11

mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dan moral, atau


hubungan antara nilai-nilai moral dan nilai-nilai ilmiah.
F. Etika Ilmu Pengetahuan
1. Nilai Ilmiah dan Nilai Moral : Dua Hal Yang Terpisah
Salah-satu pandangan mengenai hubungan ilmu dan moral
ialah yang memandang bahwa nilai ilmiah adalah satu hal dan
nilai moral adalah hal yang lain. Keduanya berbeda dan terpisah
antara satu dengan yang lain.
Menurut pandangan ini sesuatu disebut ilmu tidak ada
kaitannya, dan karena itu tidak ditentukan oleh kriteria-kriteria
moral Sesuatu disebut ilmu semata-mata karena nilai-nilai
keilmiahan terkandung di dalamnya, dan bukan oleh nilai-nilai lain
di luarnya, termasuk nilai-nilai moral Karena itu, menurut penganut
pandangan ini nilai-nilai acuan yang harus digunakan hanyalah
nilai-nilai ilmiah. Misalnya, ketika penelitian kemungkaran klonaig
dapat diterapkan, maka satu-satunya nilai yang harus digunakan
untuk menilai kemungkinannya adalah nilai ilmiah.
Bila kita memperhatikan berbagai pandangan dalam filsafat
science moderen, sebenarnya masih terjadi varian pandangan
lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Varian pertama, yaitu pandangan yang sama sekali
menempatkan nilai moral sebagai urusan subyektif ilmuan. Ibarat
ilmu adalah pisau, maka tugas proses ilmiah adalah menghasilkan
pisau. Apakah pisau itu akan digunakan untuk sesuatu yang baik
atau tidak, terserah kepada yang menggunakannya, dan tidak
perhi dibuat aturan untuk penggunaannya
Varian kedua adalah pandangan yang mengatakan bahwa
nilai-nilai moral memang perhi diperhatikan, karena itu ia harus
menjadi pertimbangan dalam penggunaan ilmu itu agar dampak
negatifnya dapat dicegah menjadi seminim mungkin. Misalnya

11
12

pada kasus kloning di atas, pandangan ini mengimplikasikan


perlunya dibuat aturan penerapan kloning.
Varian ketiga adalah pandangan yang mengatakan bahwa
nilai-nilai moral tidak hanya perlu diperhatikan dalam penggunaan
ilmu, tetapi ia sudah harus menjadi pertimbangan bagi proses ilmu
itu sendiri Namun dalam hal ini nilai-nilai moral tetap harus
dipahami dan didudukkan bukan sebagai kriteria keilmiahan
pengetahuan itu sendiri Misalnya, pada kasus kloning tersebut,
pandangan ini mengimplikasikan perlunya nilai-nilai moral
dijadikan sebagai pertimbangan, misalnya dengan pertanyaan
apakah cara-cara yang digunakan dalam kloning itu sendiri tidak
bertentangan dengan nilai-nilai moral ? Jika pada tahap
pertanyaan ini jawabannya menyatakan bertentangan, maka ia
menjadi pertimbangan untuk tidak meneruskan proses tersebut
Tapi dalam hai ini, pertimbangan moral dimaksud tetap bukan
sebagai kriteria keilmiahan. Artinya, proses tersebut dihentikan
bukan karena ia tidak ilmiah.
Pandangan-pandangan tersebut di atas adalah pandangan
dalam filsafat science moderen yang bertitik-tolak dan prmsgi
mengenai ilmu yang bebas nilai. Varian-varian pandangan yang
dikemukakan kemudian, menunjukkan lebih jauh variasi mengenai
apa yang mereka maksudkan sebagai bebas nilai itu. Sebenarnya
dengan memperhatikan argumen-argumennya, filsafat science
moderen meletakkan doktrin bebas nilai dengan tujuan agar
tercipta kebebasan berfikir dalam proses ilmu. Artinya, ketika ilmu
dalam proses untuk diwujudkan maka ia harus bebas dari nilai-
nilai lain selain nilai kebenaran ilmiah saja. Sebab bila tidak
demikian, maka keilmiahan suatu menjadi subyektif dan sulit
dicapai
2. Nilai Ilmiah dan Nilai Moral : Berbeda, Namun Satu Somber.

12
13

Pada dasarnya nilai ilmiah dan nilai-nilai moral memang


berbeda dalam hubungannya dengan penetapan kriteria
keilmiahan pengetahuan. Tetapi pada hakikatnya kedua nilai
tersebut berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Tuhan.
Untuk memahami prinsip tersebut, misalnya, mari kita
pahami apa makna keilmiahan pengetahuan mengenai alam fisik.
Dalam pengetahuan mengenai alam fisik, salah-satu cara untuk
menetapkan keilmiahan (berarti bernilai ilmiah) yang digunakan
adalah kebenaran obyektif melalui pembuktian empiris. Apa yang
dilakukan dengan cara itu sebenarnya adalah menilai suatu
pernyataan pengetahuan berdasarkan korespondensinya secara
obyektif empirik dengan apa yang dinyatakannya (baca kembali
Teori Korespondensi atau Teori Istiqamah Al Haqiqah). Pengujian
berpijak pada asumsi bahwa alam obyektif memiliki hukum-hukum
yang bersifat tetap sehingga mengakibatkannya menunjukkan
regularitas fenomena. Karena memiliki hukum yang tetap maka
hukum itu memenuhi untuk dijadikan acuan dalam menilai
kebenaran pernyataan pengetahuan yang relevan dengannya.
Pada dasarnya pandangan Islam juga demikian. Akan
tetapi Islam memberikan pandangan yang lebih jauh dan
mendasar Hukum-hukum yang mengatur keberadaan alam
dengan fenomenanya, pada dasarnya adalah hukum-hukum Allah
yang ditetapkanNya berlaku bagi Alam. Dalam Al-Quran ia
diistilahkan sebagai Taqdir Al-Aziz, Al-Alim, yaitu Tetapan Yang
Maha Mulia dan Yang Maha Berilmu (baca: Q.S. Al-Qamar 49. AJ-
Ahzab 38, Al-An'am 96, Yasin 38, Fushshilat 12).
Atas dasar pengertian tersebut, maka acuan nilai yang
digunakan untuk menetapkan keilmuan yang benar suatu
pernyataan pengetahuan, pada dasarnya adalah nilai-nilai Allah
juga.

13
14

Selanjutnya mengenai nilai-nilai moral Dalam hubungannya


dengan ilmu, nilai-nilai moral adalah nilai-nilai yang digunakan
sebagai acuan untuk menilai prilaku manusia baik dalam
memproses perolehan ilmu maupun dalam penggunaan ilmu.
Nilai-nilai moral dasar itu juga bersumber dari Tuhan.
Dengan demikian, nilai-nilai ilmiah dan nilai-nilai moral pada
dasarnya bersumber dari satu sumber yang sama, karena itu tidak
mungkin terjadi kontradiksi antara satu dengan yang lainnya. Jika
tidak mungkin terjadi kontradiksi, maka juga tidak mungkin ia
menjadi dilematis dalam penggunaannya untuk satu hal yang
sama, yaitu dalam ilmu. Misalnya, tidak mungkin komitmen
terhadap nilai moral akan mengakibatkan upaya pengembangan
ilmu menjadi terhambat. Jika keadaan tersebut tercipta, maka
pasti ada sesuatu yang salah pada dirinya, sehingga perlu
dikoreksi kembali oleh penyelenggara ilmu itu sendiri.
Dalam hal ini, memang ada satu hal yang secara cermat
perlu dipahami, yaitu perbedaan antara ilmu dan berilmu, yaitu
ilmu sebagai kata benda dan berilmu sebagai kata kerja.
lmu dalam arti yang diperoleh manusia, adalah hasil dari
proses kegiatan berilmu yang dilakukannya. Karena itu harus bisa
dibedakan antara ilmu dan kegiatan berilmu itu sendiri.
Ilmu tentang alam fisik misalnya, pada dasarnya adalah
suatu hasil dari proses manusia menyelidiki bagaimana alam fisik
berprilaku. Proses manusia menyelidiki adalah prilaku manusia,
dan fenomena alam fisik yang diamatinya adalah Mpnlaku” alam
fisi tersebut Prilaku alam fisik menjadi aktual karena '‘ketaatannya*
terhadap hukum-hukum Tuhan yang diberlakukan padanya.
Manusia hanya mungkir mengamati alam fisik tersebut karena
alam itu tunduk pada hukum Tuhan yang berlaku padanya Karena
ku, adalah suatu prilaku yang tidak sepadan, jika manusia
memperoleh pengetahuan dari ketaatan alam terhadap

14
15

hukumnya, sementara manusia sendiri tidak taat terhadap hukum


yang berlaku pada dirinya.
Di sini, sebagai ilustrasi dikemukan sebuah contoh untuk
menduduksoalkan makna keilmiahan pengetahuan tersebut
Misalnya mengenai terjadinya pembuahan dari pertemuan antara
spennatozoide dan sel telur sepasang manusia. Secara ilmiah
dapat dikatakan adalah potensial terjadi pembuahan apabila
berlangsung pertemuan spennatozoide lelaki siapa saja dengan
sel telur wanita siapa saja, dalam kondisi yang memenuhi syarat
terjadinya pembuahan, baik kondisi alamiah maupun kondisi
buatan. Mengapa hai tersebut bisa terjadi ? Karena spennatozoide
dan sel tehir sebagai bagian dari alam, tunduk pada hukum Aliah
tentang alam. Akan tetapi interaksi spennatozoide dengan sel tehir
adalah “prilaku’* spennatozoide dan sel telur tersebut, dan tindak
mempertemukan keduanya adalah prilaku manusia. Jika terhadap
prilaku spennatozoide dan sel tehir ada ada hukum yang
mengaturnya, maka prilaku manusia juga harus ada hukum yang
mengaturnya. Dengan demikian, kebenaran ilmiah teori
pembuahan pada manusia, tidak dengan sendirinya merupakan
kebenaran ilmiah yang boleh dipisahkan dari prilaku manusianya
sendiri.
Demikian, akhirnya pandangan yang telah dikemukakan di atas
membawa kita pada beberapa prinsip, yaitu :
1. Bahwa ilmu pada dasarnya tidak bebas nilai, baik dalam
pengertian ia mengandung nilai keilmiahan, maupun ketidak
bebasan dari pertimbangan nilai moral, hukum serta aqidah dalam
proses dan penggunaannya.
2. Nilai-nilai ilmiah, serta nilai-nilai moral, hukum serta aqidah
bersumber dari satu sumber yang sama, yaitu Tuhan. Karena itu,
dalam proses ilmiah dan penggunaan ilmu, nilai-nilai tersebut tidak

15
16

toleh dibuat kontradiktif antara satu dengan lainnya. Kontradiksi


nilai itu tidak akan terjadi bila ia berpangkal dari nilai-nilai tauhid.
3. Nilai-nilai ilmiah, serta nilai-nilai moral, hukum serta aqidah harus
digunakan secara proporsional dalam totalitas ilmtiulai dari
penetapan gagasannya, proses ilmiahnya serta penggunaan
ilmunya. Karena itu, dalam arti totalitas ilmu, nilai-nilai tersebut
secara bersama-sama menetapkan keilmiah pengetahuan. Dalam
hal ini nilai-nilai tersebut memang harus dapat dibedakan, tapi
tidak dipisah-pisahkan.
Pada hakikatnya tidak ada tujuan lain penciptaan manusia
(demikian pula jin) oleh Allah, kecuali agar mengabdi (beribadah)
kepadaNya. Karena itu, kedudukan atau status manusia di hadapan
Allah adalah ‘abdun (hamba) bagi Allah, atau secara lebih tepat
disebut ‘abdullah (hamba Allah).
Hamba ialah setiap mereka yang menunjukkan sikap ketunduk-
patuhannya yang tertinggi terhadap petunjuk, aturan-aturan, dan
perintah dari yang memberikan petunjuk dan aturan-aturan tersebut
Siapa yang memberikan petunjuk dan aturan-aturan yang dipatuhinya
secara demikian, pada hakikatnya kepadanyalah seseorang
menghambakan dirinya. Jika itu adalah Allah, maka ia
menghambakan dirinya kepada Allah. Demikian pula jika itu adalah
selain Allah.
Diantara semua mahluk (ciptaan) Allah, manusia ditempatkan
oleh Allah dalam kedudukan yang paling tinggi. Karena itu, menurut
harkat dan martabatnya, manusia tiada layak menghambakan dirinya
kepada sesamanya manusia, apalagi terhadap mahluk yang lebih
rendah derajatnya dari dirinya sendai. Karena itu, hanya Allah saja
yang patut menjadi tempat manusia menghambakan diri.
Namun betapapun manusia ditempatkan pada derajat tertinggi
diantara seluruh mahlukNya, namun menurut fitrahnya (kodratnya) ia
juga memiliki keterbatasan-keterbatasan, mempunyai kebutuhan dan

16
17

harapan-harapan Dengan demikian, pada hakikatnya manusia juga


tetap memiliki ketergantungan terhadap sesuatu, terhadap mana ia
meletakkan harapan-harapan untuk memenuhi kebutuhannya secara
jasmaniah, nafsar.tah dan ruhaniah.
Yang pada dirinya terletak seluruh ketergantungan disebut
sebagai rabbun, dan secara mutlak sebagai rabbun hanya Allah SWT.
Karena itu, manusia yang secara sadar hanya menempatkan Allah
sebagai rabbunnya disebut bertauhid rububiyah. Sedangkan
konsekswensi logis dari pemahaman tauhid rububiyyah sdatab
ketundukan tunggal hanya kepada Allah. Ketundukan tunggal kepada
Allah itulah yang disebut sebagai tauhid uluhiyyah yang secara formal
dinyatakan dalam kalimat laa ilaaha illaLlaah, tida ilah melainkan
Allah.
Seseorang yang mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba
Allah, ditunjukkan oleh kesadaran ketergantungan seluruh
harapannya kepada Allah. Karena itu, mulai dari keyakinannya,
perasaan-perasaan yang bersemayam dalam hatinya, ukirannya,
serta prilakunya adalah pengejawantahan sikap tunduknya kepada
Allah. Dalam makna inilah hakikat ibadah kepada Allah harus
dipahami.
Pengejawantahan ibadah kepada Allah ditunjukkan sendiri oleh
Allah dengan petunjuk melalui rasuINya, Muhammad SAW. Ada
pengejawantahan ibadah yang kaifiatnya secara khusus telah
ditunjukkan oleh Allah dan rasuINya yang diistilahkan sebagai ibadah
khassah, atau ibadah mahdah, yaitu sebagaimana diatur dalam rukun
Islam. Selanjutnya, pengejawantahan ibadah yang lain adalah seluruh
kegiatan selain rukun Islam, sejauh ia dilaksanakan menurut hakikat
makna ibadah yang dikemukakan di atas.
Ilmu pada hakikatnya hanyalah sebuah cara manusia
membahasakan makna-makna fenomena ciptaan Allah ke dalam
bahasa ilmu. Demikian halnya kegiatan menerapkan ilmu hanyalah

17
18

salah-satu cara manusia mengatur aktivitas tertentu dalam


kehidupannya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Apa yang
dilakukan manusia dengan menggunakan ilmu sebenarnya hanyalah
salah-satu noktah diantara continuum noktah lain yang membentuk
garis kehidupannya. Dengan demikian kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam berilmu dan juga kegiatan lainnya, harus memenuhi
sebagai perwujudan ibadah kepada Allah.
Pengertian tersebut membawa kita pada pemahaman filosofis
bahwa tujuan ilmu ialah agar manusia dapat melakukan aktivitas serta
pencapaian sasaran-sasarannya untuk memberi kontribusi ibadah
kepada Allah
Dalam hal hubungan, disadari atau tidak oleh manusia, Islam
meletakkan ajaran bahwa terhadap manusia senantiasa terjadi
hubungan antara Allah dengan dirinya, demikian pula hubungan
dengan mahluk-mahluk Allah (yang seringkah tidak masuk dalam
pertimbangan manusia) yang bersifat gaib seperti malaikat dan setan.
Terhadap hubungan dengan diriNya, Allah sendiri
mengingatkan melalui Al Quran bahwa ia selalu bersama manusia di
manapun manusia itu berada. Karena itu, menurut tuntunan Islam,
akhlak yang utama dan pertama-tama harus senantiasa dimiliki oleh
manusia ialah kesadarannya atas kehadiran Allah disetiap saat dan
tempat (omnipresent conciousness).
Untuk itu islam meletakkan sebuah doktrin bahwa kemuliaan
manusia hanya mungkin tercapai bila secara sempurna mewujudkan
hablun minalLah dan hablun minannas. (Q.S. Alu Imran 112). Bahkan
secara lebih hakiki, makna hubungan tersebut harus lebih dipahami
sebagai hablun minalLah saja, dimana hablun minannas diletakkan
dalam kesadaran sebagai hablun minalLah. Artinya, prilaku yang
terjadi dalam hubungan terhadap sesama manusia adalah perwujudan
kesadaran membangun hubungan dengan Allah dengan cara
menggunakan tuntunanNya dalam hubungan manusia tersebut

18
19

Dengan demikian, hubungan yang terjadi dalam kegiatan


berilmu, dalam hal mana kualitas respon dalam berhubungan tersebut
etika ilmu akan dilihat, Islam meletakkan filosofi akhlak kepada Allah
yang termanifestasikan pada perasaan, pemikiran dan prilaku (1)
terhadap Allah, dan (2) terhadap Allah melalui prilaku terhadap
sesama manusia dan mahluk Allah lainnya.
Bertitik-tolak dari pandangan filosofis demikian itulah, maka
nilai-nilai akhlaqi dalam manajemen dibangun dengan bertitik-tolak jari
nilai-nilai akhlaqi kepada Allah SWT.
Dari model filosofis yang meletakkan [I] makna akhlaq sebagai
perwujudan dari hubungan manusia (sebagai makhluq) terhadap Allah
(sebagai KhaliqNya), dan [2] makna akhlaq sebagai perwujudan dari
akidah yang mengejawantah melalui syariah, kita dapat menurunkan
nilai-nilai etika manajemen dari dua nilai utama, yaitu [ I ] tauhid dan
[2] ibadah. Tauhid adalah implementasi pertama dari akidah sedang
ibadah (mahdah) adalah implementasi pertama dari syariah.
Sikap bertauhid kepada Allah adalah sikap yang menunjukkan
nilai akhlaqi pertama dan utama kepada Allah SWT, karena dari nilai
tauhid itulah bisa terjabarkan nilai-nilai akhlaqi lainnya yang
representasinya adalah keyakinan akan makna-makna yang
terkandung dalam al asma al husna, yang kemudian mengejawantah
dalam perasaan, fikiran dan tingkah-laku.
Karena itu, nilai etika ilmu yang pertama-tama harus dibangun
dalam dunia ilmu adalah nilai pentauhidan Allah. Salah-satu
contohnya, yaitu penggunaan pandangan konsep filsafat ihnu Islami
ini bahwa sumber ilmu satu-satunya ialah Allah SWT. Pandangan itu
adalah perwujudan pertama etika ilmu Islami yang menanamkan
kesadaran bahwa kemutlakan pemilikan ilmu hanya di tangan Allah
SWT. Demikian halnya, segala pemikiran ilmiah yang dibangun
dengan berpijak dengan pandangan tersebut merupakan pemikiran
etis. Begitu pula langkah-langkah yang dibangun sebagai ekspresi

19
20

perasaan dan pemikiran tersebut adalah prilaku etis. Karena itu,


secara filosofis kita memiliki model untuk menjabarks akhlaq kepada
Allah tersebut sebagai etika ilmu sebagai berikut: moral dari satu
sumber yang sama tanpa k >n radiksi antara satu dengan lainnya.
Berbeda dengan itu. pandangan Islami mengenai nilai ilmu
sebagaimana pertama-tama dapat ditunjukkan bahwa ia tetap dapat
digunakan untuk menetapkan keilmiahan pengetahuan sebagaimana
dikehendaki dalam filsafat science moderen.
Syarat bebas nilai ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai
condition sine qua non bagi proses ilmiah demi pencapaian kebenaran
ilmiah, dapat ditunjukkan justru bisa dicapai tanpa harus bertMik-tolak
dari doktrm bebas nilai.
Menduduksoalkan nilai-nilai yang berkenaan dengan ilmu
berdasarkan ajaran Islam secara jelas menunjukkan bukti konseptual
bahwa pengembangan ilmu tetap dapat dilakukan secara otonom dan
bebas dari kungkungan dogmatisme sempit. Bahkan dapat
ditunjukkan bahwa doktrin-doktrin dasar Ajaran Islam, yang dalam hal
ini adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi, yang menjadi landasan bagi
konsep ilmu pengetahuan, bukanlah sebagai dogma-dogma yang
mengungkung, metemkan justru sebagai landasan untuk
mengembangkan pemikiran mengenai ifrnu pengetahuan Sebagai
contoh, permtah membaca sebagai ayat pertama turun dari Al-Quran
adalah sebuah doktrin, tapi doktrin itu justru mengarahkan manusia
untuk mengembangkan pengetahuan dengan berangkat dari
paradigma dan sistem nilai yang dijabarkan secara konsekwensial dan
isun kerububiyahan Allah.
G. Landasan Membangun Sikap Etis
Sejalan dengan model filosofis yang telah dikemukakan di atas,
Syed Nawab Haider Naqvi (1985) merekonstruksi sebuah konsep
yang disebutnya sebagai Aksiomatika Etika Islam sebagai berikut:
1. Tauhid

20
21

Sistem etika islam yang meliputi kehidupan manusia secara


keseluruhan tercermin dalam konsep tauhid, yang dalam
pengertian absolut, hanya berhubungan dengan allah.
Meskipun demikian, karena manusia bersifat teomorfis
(karena ia adalah khalifatullah), ia juga mencerminkan sifat ilahiah.
Umat manusia tak lain adalah wadah kebenaran dan harus
memantulkan cahaya kemuliaan allah dalam semua manifestasi
duniawi, (lihat Q.12:40, Q.6:162, Q.10:36)

2. Kesetimbangan (Mizan)
Dalam kebulatan homogen tempat kehidupan berada
dalam perspektip islam. Anasirnya yang beragam harus disetim-
bangkan agar menghasilkan tatanan sosial yang paling bak.
Sehingga kesetimbangan yang diwujudkannya, bukanlah
kesetimbangan mekanistis, (hhm Q.67:3-4, Q.5:87, Q.57:25).
3. Kebebasan (berkehendak)
Manusia sebagai khalifatullah adalah makhluk teomorfis. Ia
mempunyai kapasitas untuk memproyeksikan sifat-sifat ilahiah
dengan kapasitas kemanusiaannya itu dalam kehidupan
berkebudayaannya demikian pula ia punya kemungkinan untuk
merefleksikan.
Sifat-sifat sebaliknya. Dengan potensinya untuk melakukan
pertimbangan memilih, manusia memiliki kebebasan untuk
memilih
Kebebasan pada hakekatnya adalah peluang otonomi pada
manusia, sehingga ia mempunyai kemampuan bertindak atas kes
ad ajiannya sendiri, (lihat q. 18:29)
4. Tanggungjawab
Yang secara logis berhubungan dengan kebebasan
berkehendak adalah tanggungjawab. Tanggungjawab
menetapkan batasan apa yang bebas dilakukan manusia dengan

21
22

membuatnya bertanggung-jawab terhadap apa yang


dilakukannya.
Manusia yang otonom adalah manusia yang otonom
bertanggung-jawab kepada (i) tuhan. (2) dirinya sendirl serta (3)
sesama manusia. Baik yang secara langsung terlibat dengannya,
maupun yang tidak secara langsung. Namun terlibat serta
memperoleh dampak dari tindakannya, (lihat Q.74:38, Q.6:64.
Q.4:85).
Kemudian bagaimana sikap etis itu memungkinkan dfcangun
manusia, adalah sangat relevan jika kita kemukakan pandangan Imam
Al Ghazali bahwa akhbq sebagai suatu perangai (watak, tabnt) yang
menetap kuat dalam jiwa manusia memiliki pangkal terbentuknya
pada faktor-faktor berikut:
1. Kearifan
Yaitu suatu kualitas diri yang dapat memahami dan
menghayati nilai-nilai akhlaq sehingga ia dapat membedakan
antara perbuatan yang baik dan tidak baik dengan kekuatan akal
dan hati nuraninya.
Secara positif, kualitas kearifan melahirkan sikap moderat,
teliti, pikiran jernih, pandangan tajam. Secara negatip kekuatan
akal dapat melahirkan kelicikan dan kecurangan.
2. Keberanian
Yaitu kualitas diri untuk menguasai dan mengendalikan
emosi dengan kearifan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Secara positip, keberanian bisa menghasilkan kesigapan
untuk menolong, keteguhan hati dan kekuatan menahan amarah.
Secara negatip ia melahirkan kesombongan, takabbur, sewenang-
wenang, otoriter dan lain lain.
3. Pengendalian Diri

22
23

Yaitu kualitas diri untuk menguasai dan mengendalikan


kecenderungan sifat negatip keberanian yang mengakibatkan
berkuasanya hawa nafsu.
Secara positip pengendalian diri bisa melahirkan sabar,
pemaaf, harga diri, qanaah. Wara' dan sebagajnya. Namun secara
negatip ia akan mewujudkan sifat kikir, rakus, munafik dengki dan
lain lain.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu;
axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang
berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
2. Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut
pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992).
3. Kaitan Antara Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu adalah Nilai itu
bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif.
Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek
atau kesadaran yang menilai.
4. Aksiologi memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu di pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai. Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
nilai.
B. Saran
Seorang pendidik hendaknya tahu akan pentingya hakekat
nilai yang akan diajarkan kepada para anak didiknya, sehingga
anak didik mengetahui etika keilmuan yang bermoral dalam ilmu
yang dipelajarinya. Semoga makalah ini bisa menjadi bahan
acuan dan semangat untuk mengkaji dan membuat makalah
yang semakin baik. Pembahasan makalah ini mungkin masih
kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan
saran dan perbaikan dari para pembaca.
25

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Totok Wahyu. 2016. Aksiologi: Antara Etika, Moral,


dan Estetika. KANAL (JURNAL ILMU KOMUNIKASI). 4(2), 187-204.
Amsal, Bachtiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Barnadib,Imam. 1990. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Andi
offset.
Daeng Mallongi, Syahrir. 2015. Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah
(Dalam Pandangan Sekuler dan Islami). Makassar: PT. UMITOHA
UKHUWAH GRAFIKA
S. Suriassumantri. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta:Pustaka

25

Anda mungkin juga menyukai