Anda di halaman 1dari 15

AKSOLOGI SAINS

"Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Semester Satu


” DASAR-DASAR SAINS"

Dosen Pengampu :

HOTRIMSYAH SIMBOLON, M.Pd

DISUSUN OLEH:

Rahmy Jelita Daulay (23180004)

Solatiyah (23180007)

PROGRAM STUDI TADRIS IPA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
T.P 2023/2024
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Semua ini semata-mata karena Allah
SWT.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas yang telah di berikan oleh
dosen,sebagai salah satu bahan pembelajaran yang kami terima di semester genap
ini. Makalah kami yang berjudul "AKSIOLOGI SAINS”. Semoga makalah ini
dapat membantu dan bermanfaat dalam proses pembelajaran yang saat ini kita
tempuh.

Panyabungan, November,2023
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. A. Latar belakang........................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ......................................................................................................................... 1
C. Tujuan................................................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2
A. A. Pengertian Aksiologi................................................................................................ 2
B. Objek Kajian Filsafat Aksiologi............................................................................... 3
C. Nilai Kegunaan Ilmu Aksiologi............................................................................... 6
D. D. Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan.................................... 8
E. Kaitan Aksiologi Dengan Ilmu Filsafat 9
F. Beberapa Penjelasan Aksiologi 9
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 10
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 11
BAB 1
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Filsafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Mengenai masalah


utama yang harus kita bahas adalah masalah kenyataan, tentang kenyataan,tentang
yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik permasalahan adalah kitaharus
memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kitatentang
realitas mengendalikan pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpaadanya
pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh jawaban dari mana kitanantinya
akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki danmenetapkan
disiplin tentang masalah- masalah pokoknya.
Dengan semakin meluasnya filsafat dan tepecah menjadi ilmu-ilmu yang
baru maka dirasa perlu untuk mengetahui pembagian filsafat dalam cabang-
cabang filsafat serta aliran-alian yang ada dalam filsafat sehingga kita bisa
mengetahui arah pikir dalam mempelajari suatu ilmu pengetahuan serta
penggolongannya dalam filsafat. Secara singkat dapat dikatakan filsafat adalah
refleksi kritis yang radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh pengetahuan yang
mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti.
Aksiologi merupakan salah satu kajian filsafat. Aksiologi membahas
kegunaan atau suatu nilai. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas
fungsi dari suatu ilmu. Untuk mendapatkan nilai itu, diperlukan aksiologi proses
bagaimana nilai tersebut dapat diterapkan.Untuk itu proses tersebut memerlukan
pola berpikir, dan pola berpikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan
digunakan sebagai seharusnya dengan condon dalam hal positif.Di dalam ilmu
harus diletakkan secara proporsional dan memihak padanilai-nilai kebaikan dan
kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang
terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Sehingga dengan latar belakang tersebut kami akan membahas tentang
“Aksiologi SAINS” yang meliputi pembahasan pengertian Aksiologi dan objek
kajian Aksiologi.

B.Rumusan Masalah
1.Apakah pengertian Aksiologi?
2.Apa saja objek kajian Aksiologi?

C.Tujuan
1.Untuk memahami pengertian Aksiologi.
2.Untuk mengetahui objek kajian Aksiologi.
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Aksiologi

Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan
logos artinya teori atau ilmu. Menurut kamus bahasa Indonesia aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian
yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian
yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran
dan kesucian. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata
sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk menuju kepada sesuatu yang
bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam
ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat
ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar.1
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup
kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
sosial dan agama. Sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang
diidamkan setiap insan.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan
utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki
manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan
estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai
dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial,
kawasan simbolik ataupun fisik material. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai.

Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi:


1. Menurut suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.2
2. Menurut Wibisono dalam surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai
tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.3
1
Rizal Mstansyir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hal.26.
2
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 1990), hal 244
3
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 20077.
3. Seheleer dan langeveki memberikan defenisi tentang aksiologi sebagai berikut:
seheleer mengontraskan aksiologi dengan praxcology, yaitu suatu teori dasar
tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu
suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
4. Langeveki memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama,
yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian
yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat
tentang nilai dan penilaian yang mamandang karya manusia dari sudut indah
dan jelek.
5. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagi ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakekat niali yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.4

B.Objek Kajian Filsafat Aksiologi

Dalam aksiologi dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi


kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dikembangkan pada setiap
domainnya. Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu isi abstrak dan
tidak dapat disentuh oleh panca Indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologi
adalah materi atau tingakah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan
soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji. Ukurannya sangat subjektif dan
objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dikehendaki atau tidak. Berbeda
dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat
memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari
suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.5
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat
manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah:" Apa manfaat (untuk
apa) ilmu bagi manusia?" (dalam psikologi, lihat juga"The New Science Of
Axiological Psychology" oleh Leon Pomeory). Dalam konteks ini, dapat
ditambahkan pertanyaan: Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?".
Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara
epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut
Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika:
" Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada
kenyataannya boleh dipraktikkan juga?"
Pertanyaannya aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab
oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu.
Jawabanya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaanya, yakni
4
Kattsoff, Unsur-Unsur Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
5
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak
kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik. 6
Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori
logika. Para hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atau besarnya
kenikmatan yang dirasakan seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari
sistem nilai. Kaum idealis menjadikan sistem objektif mengenai norma-norma
rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria.
Dari berbagai corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat
diselidiki melalui tiga hal. Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan
tidak ada kaitan antara pengalaman manusia dengan sistem nilai. Kedua,
objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan esensi logis dan
substnatif yang tidak ada kaitannya dengan status atau tindakan eksistensi dalam
realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai adalah norma
ideal yang mengandung unsur integral objektif dan aktif dari kenyataan
metafisik.7
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat
dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para
pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, dan pemikiran lainnya. Pertanyaan
umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah: apakah itu
bebas dari sistem nilai? Ataukah sebaliknya,apakah itu itu terkait pada sistem
nilai?.8
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari
para ilmuwan.Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian
terhadap masalah tersebut.Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat
netral terhadap sistem nilai.Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menentukan
pengetahuan ilmiah.Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada
yang menggunakannya,ilmuan tidak ikut campur.Kelompok kedua sebaliknya
berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian,maka
kegiatan keilmuan harus berlandaskan azaz-azaz moral.9

Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hati-hati
dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu.pandangan Jujun S
mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut.10
1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka pembahasan masalah ini harus di dekati dari segi-segi yang lebih
terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi,dan aksiologi.
6
Magnis-Suseno, F..Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
7
Amyo, Ensiklopedi Nasional Indinesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990.
8
Jujun S. Suriasumantri. Op. Cit.,hal. 2
9
Ibid., hlm.231
10
Ibid., hlm 15-16
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor
sejarah,baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri maupun pengunaan ilmu
dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek
penelaahannya (objek ontologis/objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah
moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan
martabat manusia,dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang
berporiskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang
berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh
kejujuran,tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan
argumentasi an sich.
5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan
manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan
memperhatikan kodrat manusia,martabat manusia, dan
keseimbangan/kelestarian alam.Upaya ilmiah ini dilakukan dengan
penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal Universal.

Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup
bila hanya di bahas dari tinjauan aksilogi tinjauan ontologis dan epistemologi
diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam
pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral
Copemis (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi
matahari,yang kemudian diperkuat oleh Galileo(1564-1642) yang menyatakan
bumi bukan merupakan pusat tata Surya yang akhirnya harus berakhir di
pengadilan inkuisisi.Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses
perkembangan berfikir di Eropa.Moral reasioning adalah proses dengan mana
tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan di nilai apakah sesuai atau
menyalahi standar kriterianya: Logis,bukti nyata yang digunakan untuk
mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya.
Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami
sebagai etika.Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti
a system of moral principles or rules of behavior atau suatu sistem, prinsip moral,
aturan atau cara berperilaku.Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf
s) dapat berarti singular.Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch of
philosophy that deals with moral principles,suatu cabang filsafat yang
memberikan batasan prinsip-prinsip moral.Jika ethics dengan maksud plural
(jamak) berarti moral principles that govem or influence a person's.Prinsip-
prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi.11
Dalam bahasa Yunani kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk
11
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, Padang rumput, kandang,adat,
akhlak,watak perasaan,sikap cara berpikir.Dalam bentuk jamak(ta etha) artinya
adalah adat kebiasaan.Jadi,jika kita membatasi diri dari asal- usul kata ini,maka
"etika" berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan.12 Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
"etika" yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan
filsafat moral Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.

C.Nilai Kegunaan Ilmu Aksiologi

Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika dimana makna Etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan perbuatan. tingkah laku, atau lainnya. Nilai itu
bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergantung pada subjektif atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif,
apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi
tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan
mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, Kenyataan yang
tidak dapan dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu
dan teknologi, sains dan teknologi di kembangkan untuk memudahkan manusia
agak lebih mudah dan nyaman.
Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan
teknologi karena itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi
pada sains dan teknologi. Berkat sains dan teknologi pemenuhan kebutuhan
manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. perkembangan ini baik,
dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah
mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap-tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang,
disamping lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan
lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan Kebutuhan
manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus menyelesaikan
diri dengan teknologi.
Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagai mana adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya,untuk
apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu

12
K. Bertens, Etika Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999
akan berkembang? Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu
pengetahuan.Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan
berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari
kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari
teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai
sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga
berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia pada penciptaan bom atom yang
menimbulkan malapetaka.

Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya


mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral
dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para
ilmuan terbagi ke dalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang
menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara
ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam
penggunaannya ilmu berlandaskan pada moral golongan kedua mendasarkan
pendapatnya pada beberapa hal yaitu: Ilmu secara fictual telah dipergunakan
secara destruktif oleh manusia yang telah di buktikan dengan adanya dua perang
dunia yang mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuwan telah
mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.Ilmu dapat
mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus
revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial. Berkenaan dengan nilai guna ilmu,
tak dapat di bantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan
hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri
yaitu bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan
berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang walaupun terjadi
malapetaka yang di sebabkan oleh ilmu, karna ilmu itu sendiri merupakan alat
bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat
netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada
pemilik dalam menggunakannya.13
D.Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama,
tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh
umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan
13
Masri Elmasyar Bidin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum, Jakarta: UIN Jakarta
Press.
dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh
Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan" apakah
kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia.
Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita
tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu
sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi
pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk
melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa
filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai
tiga hal, yaitu:

1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia


pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung
suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem
kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya
mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori
filsafat ilmu
2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua
teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan.
Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam
menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita
menghadapi banyak masalah. Bila ada bantui di depan pintu, setiap keluar dari
pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah.Kehidupan akan dijalani
lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara
menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling
rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.14

E.Kaitan Aksiologi dengan Ilmu Filsafat

Nilai itu bersifat objektif,tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan


objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
14
Amsal Bakhtiar, Ilmu Filsafat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2009.
individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif,
apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi
tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan
mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.15
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan
diterima oleh berbagai bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang
membedakan antara pernyataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada
objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan
mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang
ilmuan haruslah bebas dalam menemukan topik penelitian. Ketika seorang ilmuan
bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya,
dia tidak mau terkait pada nilai subjektif.16

F. Beberapa Penjelasan Aksiologi

1.Ilmu dan Moral


Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan
kebenaran, makin benar maka makin baik perbuatan kita? Apakah manusia
mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi
oleh anlisis yang hakiki, atau sebaliknya makin cerdas maka makin pandai pula
kita berdusta?. Masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka dalam
tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan
pengetahuan ilmiah.
Ontologi di artikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek
yang di telaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sokrates
minum racun, John Huss dibakar sebagai contoh betapa ilmuwan memiliki
landasan moral, jika tidak ilmuan sangat mudah tergelincir dalam prostitusi
intelektual.
2.Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya.Bukan saja
karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung
dengan di masyarakat yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi
tertentu dalam keberlangsungan hidup manusia.
Sampai ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat
15
Salam Burhanuddin, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Reneka Ciota,
1997.
16
Jujun S. Suriasumantri., Op.Cit.., hlm. 333.
dimanfaatkan oleh masyarakat.Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten
dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu
itu bebas dari sistem nilai itu sendiri netral dan para ilmuanlah yang
memberikannya nilai.

3.Nuklir dan Pilihan Moral


Seorang ilmuan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya
dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu
adalah bangsanya sendiri. Seorang ilmuan tidak boleh berpangku tangan, dia
harus memilih sikap, berpihak pada pilihan moral memang terkadang getir sebab
tidak bersifat hitam diatas putih, seperti halnya yang terjadi pada Albert Einstein
diperintahkan untuk membuat bom atom oleh pemerintah negaranya.
Seorang ilmuan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya, apapun
juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan
terjadi dari penemuannya itu. Seorang ilmuan tidak boleh memutar balikkan
temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangka pemikiran
yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena
bertentangan dengan fakta-fakta pengujian.

4. Revolusi Genetik
Revolusi Genetik merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuwan manusia
sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaah
itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan
ilmiah dengan berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun
penelaahan-penelaahan itu dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan
teknologi.
Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak
lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya menciptakan teknologi yang
memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sekarang menjadi objek
penelaah yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yamg memberikan
kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.
Pembahasan ini berdasarkan kepada asumsi bahwa penemuan dalam riset genetika
akan dipergunakan dengan itikad baik untuk keluhuran manusia.17

BAB lll
PENUTUP

A. Kesimpulan

17
Ibid.., hlm. 230-236.
Jika ilmu pengetahuan tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi
epistemologi dan aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti
atau hal yang pokok atau intisari atas dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu
tersebut. Contohnya membangun filsafat teknologi pendidikan perlu menelusuri
dari aspek : Ontologi eksistensi (keberadaan) ilmu-ilmu Teknologi pendidikan
ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi
dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi
juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan
teknologi harus diperhatikan sebaik-baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi
meninjaunya dari segi aksiologi keilmuwan.
Ilmu memiliki fungsi yang bersifat estetik, yang kalau kita kemungkinan
dengan baik, memberikan kenikmatan batiniah atau kepuasan jiwa. Jiwa kita
tergetar, terharu, tersenyum oleh komunikasi artistik, menyebabkan dunia makna
yang tak terjangkau kasat mata. Jiwa kita bertambah kaya, persepsi kita bertambah
dewasa, yang selanjutnya akan mengubah sikap kelakuan kita.

DAFTAR PUSTAKA

Amsal Bakhtiar, Ilmu Filsafat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2009.


Amyo, Ensiklopedi Nasional Indinesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990.
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Filsafat: Sebuah Pengantar Populer Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1990.
K. Bertens, Etika Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Kattsoff, Unsur-Unsur Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Magnis-Suseno, F..Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Masri Elmasyar Bidin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum, Jakarta: UIN
Jakarta Press.
Rizal Mstansyir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Salam Burhanuddin, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Reneka
Ciota, 1997.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi
Aksara, 20077.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

Anda mungkin juga menyukai