Anda di halaman 1dari 21

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

HAKIKAT DAN KARAKTERISTIK


AKSIOLOGI ILMU

Disusun Oleh:
Wiwik Julia Fitri
2010247422

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Dr. Nahor Murani Hutapea, M.Pd

PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini. Makalah ini menyajikan materi mata kuliah Filsafat Pendidikan
Matematika dengan judul “Hakikat dan Karakteristik Aksiologi Ilmu”.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan makalah dikemudian hari. Demikian makalah ini
penulis buat, semoga dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan data
memberika wawasan yang lebih luas.

Pekanbaru, 03 April 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….1
A. Latar Belakang .....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor Pendorong Timbulnya Aksiologi Ilmu .........................3
B. Hakikat dan Karakteristik Aksiologi Ilmu..........................................3
C. Hakikat Ilmu Ditinjau dari Dimensi Aksiologi ..................................7
D. Pengetahuan Aksiologi………………………………..…………… 7
E. Ilmu dan Azas Moral………………………………………………..9
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………….14
B. Saran…………………………………………………………………15
C. Soal dan Jawaban…………………………………………………….15
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara
substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari filsafat, dan
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Dengan filsafat, pola pikir
yang selalu tergantung pada Dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung
pada rasio. Pada penelitian alam jagad raya, muncullah matematika, astronomi,
fisika, dan lain sebagainya. Ilmu–ilmu tersebut kemudian menjadi lebih
terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil, aplikatif, dan lebih bermakna, serta
bermanfaat.
Cakupan obyek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu
hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup
yang empiris dan yang non empiris. Karena itulah, filsafat disebut sebagai induk
ilmu. Sebab, dari filsafat-lah, ilmu – ilmu modern dan kontemporer berkembang,
sehingga manusia dapat menikmati ilmu sekaligus buahnya, yaitu teknologi.
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan
makhluk lain, karena manusia diberikan daya berpikir. Daya pikir inilah yang
menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Secara kodrati, manusia dianugerahi
akal, daya pikir, yang tidak diperoleh oleh makhluk lain, yang dapat dipergunakan
semaksimal mungkin untuk kemampuan berpikir tersebut. Filsafat merupakan
sarana yang baik untuk memahami bagaimana cara berpikir tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor-faktor pendorong timbulnya aksiologi ilmu?
2. Bagaimana hakikat dan karakteristik aksiologi ilmu?
3. Bagaimana hakikat ilmu ditinjau dari dimensi aksiologi?
4. Apa yang dimaksud dengan pengetahuian aksiologi?
5. Apa yang dimaksud dengan ilmu dan azas moral?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui faktor-faktor pendorong timbulnya aksiologi ilmu
2. Untuk mengetahui hakikat dan karakteristik aksiologi ilmu
3. Untuk mengetahui hakikat ilmu ditinjau dari dimensi aksiologi
4. Untuk mengetahui pengetahuan aksiologi
5. Untuk mengetahui ilmu dan azas moral

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor Pendorong Timbulnya Aksiologi Ilmu


Aksiologi merupakan filsafat ilmu yang mengkaji tentang nilai
kegunaan ilmu. Yang mana sebelumnya telah di bahas dalam ontologi, yang
mana ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun
rohani/abstrak (Didi Haryono, 2014) dalam aspek ontologi bahwa ilmu
bertujuan untuk memudahkan manusia dalam mengatasi berbagai
permasalahan hidupnya. Namun apakah dalam kenyataannya ilmu selalu
merupakan berkah, terbebas dari kutukan, dan tidak membawa malapetaka
bagi umat manusia? Aksiologi ini dipergunakan untuk memberikan jawaban
atas pertanyaan “mengapa”. Misalnya: Mengapa pengetahuan yang berupa
ilmu itu diperlukan? Mengapa pemanfaatan ilmu pengetahuan itu perlu
memperhatikan kaidah-kaidah moral? Semuanya menunjukkan bahwa
aksiologi diperuntukkan dalam kaitannya untuk mengkaji tentang kegunaan,
alasan, dan manfaat ilmu itu sendiri. Dalam sejarah lahirnya, aksiologi ini
muncul belakangan dan menjadi perbincangan yang hangat, khususnya setelah
terjadinya perang dunia kedua di mana kemajuan ilmu dan teknologi tampak
digunakan secara kurang terkontrol. Hal inilah menjadi pendorong timbulnya
aksiologi ilmu.

B. Hakikat dan Karakteristik Aksiologi Ilmu


Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi
atau nilai suatu kehidupan. Aksiologi berasal dari bahasa Yunani kuno, terdiri
dari kata aksios yang berarti nilai dan kata logos yang berarti teori. Dengan
demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah ilmu tentang nilai
(Suaedi, 2015). Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari
tentang nilai dan juga dipahami sebagai teori nilai (Uyoh Sadulloh, 2007).
Menurut Mohammad Adib (2011) aksiologi disebut juga teori nilai, karena ia

3
dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu
pertanyaan yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak.
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2005) aksiologi adalah teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Dari definisi-
definisi aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama
adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki
manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori nilai atau aksiologi ini kemudian melahirkan etika dan estetika. Hal ini
berarti bahwa aksiologi berfokus pada kajian terhadap nilai-nilai manusiawi
serta bagaimana cara mengekspresikannya.
Bramel dalam Totok (2016) membagi aksiologi dalam tiga bagian,
yakni moral conduct, estetic expression, dan socio-political life. Moral
Conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan yang mana bidang ini
melahirkan keindahan. Dan terakhir yang mebidani lahirnya filsafat kehidupan
sosial politik.
Dagobert Runes dalam Bartolomeus (2007) menyebutkan terdapat
beberapa hakikat nilai berdasarkan teori-teori sebagai berikut: menurut teori
voluntarisme, nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan.
Hidup yang bernilai adalah hidup yang mampu memuaskan keinginan dan
kemauan diri pribadi. Kepentingan bersama dan komunitas social dipandang
bernilai kalau merupakan instrument bagi pemenuhan keinginan dan kepuasan
diri. Kaum hedonisme, hakikat nilai adalah ”pleasure” atau kesenangan.
Menurut Magnis Suseno (1987) yang khas bagi hedonism adalah anggapan
bahwa orang lain akan menjadi bahagia apabila ia mencari kenikmatan dan
menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Para penganut teori
hedonism ini memegang prinsip bahwa “sesuatu itu bernilai sejauh ia dapat
memberikan kesenangan atau kepuasan”. Pandangan demikian tentu

4
mempengaruhi aktivitas para penganut hedonism sehingga mereka
mengarahkan semua kegiatan dirinya untuk mencapai kesenangan. Artinya,
orientasi hidup mereka akhirnya adalah untuk memenuhi kepuasan atau
kesenangan diri semata. Orientasi hidup demikian tampaknya sudah menjadi
gaya hidup tersendiri yang menghinggapi sebagian besar masyarakat dunia
dewasa ini. Artinya, masyarakat sulit mengelak kenyataan bahwa sebagian
besar generasi muda dewasa ini justru seakan-akan mengkultuskan teori
hedonism, kesenangan adalah sebuah nilai tersendiri yang harus direngkuh
dalam kehidupan.
Bagi formalisme, nilai adalah kemauan yang bijaksana, yang
didasarkan pada akal rasional. Para penganut teori ini menganggap bahwa
sesuatu itu bernilai kalau sudah diverivikasi melalui olah rasio dan bisa
diterima oleh orang lain sebagai yang “masuk akal’. Kemauan yang bijaksana
menjadi tekanan formalism, sementara rasio menjadi instrument bagi
tercapainya kemauan yang bijaksana itu. Dalam konstelasi itu, segera terlintas
dalam benak kita bahwa, sebetulnya hedonism dihadapan formalism
dipandang sebagai pola dan praktik hidup yang menyimpang sebab
bertentangan dengan kemauan yang bijaksana dalam memandang kodrat hidup
manusia, yang tidak sebatas makhluk individual, tapi juga makhluk sosial.
Sementara kaum pragmatisme, meyakini bahwa nilai itu baik apabila mampu
memenuhi kebutuhan dan memiliki nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Suseno dalam Totok (2016) mengemukakan bahwa hakikat
nilai dilihat dari anggapan atau pendapatnya terdiri dari kehendak
(voluntarisme), kesenangan (hedonism), kepentingan, hal yang lebih disukai
(preference), dan terakhir berasal dari kehendak rasio murni.
Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004) mengatakan bahwa
hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga cara: pertama, nilai sepenuhnya
berhakikat subyektif, tergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu
sendiri. Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyatan ditinjau dari segi
ontology, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut

5
merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Ketiga, nilai-nilai
merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.
Erliana Hasan (2014) menyebutkan ada beberapa karakteristik nilai
yang berkaitan dengan teori nilai (the theory of value), yaitu;
1. Nilai objektif atau subjektif.
Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya,
bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak bergantung
pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta.
Sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik, kesadaran mausia
menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia,
seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang
atau tidak senang.
2. Nilai absolut atau abadi.
Suatu nilai sikatakan absolut apabila nilai yang berlaku sekarang
sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta absah sepanjang
masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memmperhatikan ras, maupun
kelas sosial. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative
sesuai dengan keinginan atau harapan manusia. Misalnya, Allah maha
pengampun, merupakan nilai absolut yang dimiliki-Nya, dan diyakini oleh
umat beragama pada umumnya. Kaum idealism yakin sekali bahwa nilai itu
absolut. Bagi mereka apa yang dikatakan sebagai yang baik, benar, cantik,
atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke
generasi, da merupakan akal yang mutlak (absoliut reason). Bahwa alam
itu indah adalah esensi dari alam dan alam adalah kseluruhan jiwa yang
diobjektifkan dalam dan melalui pikiran. Maka alam adalah akal yang
mutlak. Oleh karena itu, pada hakikatnya nilai itu tetap, tidak diciptakan
manusia, tetapi merupakan bagian dari alam semesta.

6
C. Hakikat Ilmu Ditinjau Dari Dimensi Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
orientasi atu nilai suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai, karena ia
dapat menjadi sarana orientasi dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yanga
amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
Dengan kata lain, aksiologi adalah ilmu yang menyoroti masalah nilai dan
kegunaan ilmu pengetahuan itu. Secara moral dapat dilihat apakah nilai dan
kegunaan ilmu itu berguna untuk peningkatan kualitas kesejahteraan dan
kemaslahatan umat manusia atau tidak. Nilai-nilai (values) bertalian dengan
apa yang memuaskan keinginan atau kebutuhan seseorang, kualitas dan harga
sesuatu, atau appreciative responses. Landasan aksiologi adalah berhubungan
dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia.
Dengan perkataan lain apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap
perkembangan ilmu itu dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
Pengetahuan itu hanya alat (means) dan bukan tujuan (ends), substansi ilmu
itu bebas nilai (value free), tergantung pada pemakainya (Suaedi, 2015).
Karena itu sangat dikhawatirkan dan berbahaya jika ilmu dan pengetahuan
yang sarat muatan negative dikendalikan atau jatuhnya ke orang-orang yang
berakal picik, sempit, dan sektarian; berjiwa kerdil, kumuh dan jahat,
bertangan besi dan kotor. Sekarang coba kita lihat, di berbagai bidang terjadi
krisis: ketidakberdayaan, kemerosotan, kebodohan, keresahan, kemiskinan,
kesakitan, keterbelakangan, ketidakpercayaan, dan lainnya sebagai dampak
miss management, miss direction, miss manipulation ,dan lain sebagainya.

D. Pengetahuan Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Secara aksiologi
pengetahuan yang dimiliki manusia yang berupa ilmu itu digunakan untuk
kepentingan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang terus
bertambah sesuai perkembangan zaman. Di dunia ini terdapat banyak cabang

7
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus
seperti epistimologis, etika dan estetika (Zainudin, 2001). Epistimologis
bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah
kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
1. Epistemologis
Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (Theory Of
Knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari bahasa
Yunani Episteme, yang artinya pengetahuan, dan Logos yang artinya ilmu
atau teori. Epistemologi sebagai cabang yang relevan dengan sifat dasar dari
ruang lingkup pengetahuan, pra-anggapan dan dasar-dasarnya, serta
rehabilitas umum dan tuntutan akan pengetahuan. Epistemologi secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang mengkaji
asal mula, struktur, metode dan validitas pengetahuan (Totok, 2016)

2. Etika
Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan
manusia Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal
dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos
atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat, dan cara
hidup. Dalam Bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan
kesusilaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) menjelaskan etika dalam
tiga arti. Pertama, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Kedua, etika
adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga,
etika ialah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Etika membahas baik-buruk atau benar-salahnya tingkah-laku
dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban
manusia, etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi
mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak
(Paulus, 2016). Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan
manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Sedangkan

8
objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, atau bermoral dan tidak
bermoral dari tingkah laku tersebut.

3. Estetika
Estetika merupakan cabang aksiologi yang berbicara tentang nilai-
nilai yang berkaitan dengan seni atau kreasi seni. Istilah estetika berasal
dari bahasa Yunani kuno, aeshton, yang berarti “kemampuan melihat lewat
penginderaan”. Yang memperkenalkan istilah estetika adalah seorang filsuf
Jerman bernama Alexander Gottlieb Baumgarten (17 Juli 1714 - 26 Mei
1762). Istilah itu diperkenalkan lewat karyanya yang monumental yang
diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Reflection On Poetry (1954).
Baumgarten mendefinisikan filsafat estetika sebagai ilmu pengetahuan
tentang keindahan (Rapar dalam Totok, 2016). Keindahan mengandung arti
bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara
tertib dan harmonis dalam suatu hubungan yang utuh menyeluruh.
Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat
selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian
(Salam, 1997). Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan
permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer), atau issues (Farber) mengenai
keindahan menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku, dan
pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan
manusia (Sutardjo, 2006).

E. Ilmu Dan Azas Moral


Keterkaitan ilmu dengan nilai-nilai moral sebenarnya sejak
pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun
dalam perspektif yang berbeda. Ilmu menghasilkan teknologi yang diterapkan
pada masyarakat. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah
menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Teknologi dan ilmu
pengetahuan dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi

9
manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah
pemanfaatan pengetahuan dan teknologi perlu diperhatikan sebaik-baiknya.
Para ilmuan sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuan
tentu perlu memiliki visi moral khusus sebagai ilmuan. Moral didalam filsafat
ilmu disebut sikap ilmiah (Abbas Hamami M dalam Mohammad Adib, 2011).
Sikap ilmiah harud similiki oleh setiap ilmuan. Karena sikap ilmiah adalah
suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat
objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuan bukanlah membahas tentang tujuan
dari ilmju, melainkan bagaimana cara untuk mecapai suatu ilmu yang bebas
dari prasangka pribadi. Disamping itu, ilmu tersebut dapat
dipertanggungjawabkan kepada tuhan, artinya selaras antara kehendak
manusia dengan kehendak tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuan menurut Abbas Hamami
dalam Mohammad Adib (2011) terdapat enam hal sebagai berikut;
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterestedness), artinya suatu sikap yang
diarahkan untuk mecapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan
menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang bertujuan agar para ilmuan
mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi.
Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang menunjukkan
kekuatannya masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu cukup
berbedaa walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya.
3. Ada rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap
alat-alat indra serta budi (mind0.
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan 9believe dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu
telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahaw aseorang ilmuan harus selalu tidak
puas terhadap penelitian yang telah dilakukan sehingga selalu ada
dorongan untuk riset dan riset sebagai aktifitas yang menonjol dalam
kehidupannya.

10
6. Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagiaan manusia,
lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.

Dihadapkan dengan masalah moral dan akses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak, para ilmuan dapat dipilahkan kedalam dua golongan
pendapat, yaitu: (1) golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat
netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Dalam
hal in ilmuan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang
lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang
baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi
kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo, dan (2) golongan
yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada metafisika
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai
moral (Mohammad Adib, 2011). Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral
manusia, ujar Charles Darwin adalah ketika kita menyadari bahwa kita
seyogyanya mengontrol pikiran kita (Jujun S. Suriasumantri, 1996).
Golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara
pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua
mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: (1) ilmu secara faktual
telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan
adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi
keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esotrik sehingga
kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi
bila terjadi penyalahgunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa
dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan
teknik perubahan sosial (social engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka
golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk
kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat
kemanusian.

11
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia
sangat berhutang pada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini
maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan
lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang
seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi
(Jujun S, Suriasumantri, 1996). Masalah teknologi mengakibatkan proses
dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan daripada
masalah moral. Artinya dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat
negatif, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang
dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka hal ini
berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan
teknologinya agar sesuai dengan nilai budaya yang dijunjungnya (Jujun. S,
Suriasumantri, 1996).
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan,
apakah itu berupa teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan
sebagainya itu, masalah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama,
nilai adat dan sebagainya. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah
masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya. Oleh karena itu, tanggung
jawab lain yang berkaitan dengan penerapan teknologi di masyarakat yaitu
menciptakan hal positif. Namun tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan
selalu memiliki dampak positif ketika berada di tengah masyarakat.
Kadangkala teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau
mengklaim suatu teknologi bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan
atau pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa
genetik (kloning manusia) yang dapat bertentangan dengan kodrat manusia
atau ajaran agama.
Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih lanjut. Bagi seorang
ilmuwan jika ada semacam kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa besar,
bersifat terbuka untuk menerima kritikan dari masyarakat. Tugas seorang
ilmuwan harus dapat menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas
dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.

12
Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk
menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih
lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Tanpa
landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan
prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah mencapai harkatnya
seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat
mendustakan kebenaran. Manfaat moral adalah menjadi pedoman untuk
bersikap dan bertindak atau berperilaku dalam interaksi sosial yang dinilai
baik buruk. Tanpa memiliki moral, seseorang akan bertindak menyimpang
dari norma dan nilai sosial di mana mereka hidup dan mencari penghidupan.
Jadi ilmu tidak dapat dibiarkan lepas dari moral, karena ilmu harus selalu
didampingi oleh moral. Jika tidak, maka ilmu akan menjajah manusia dan
menjadikan manusia itu serakah dan curang dengan ilmu yang dimilikinya.
Manusia yang berilmu pada pandangan kita akan berperilaku baik hal ini
berlaku bagi manusia yang memiliki ilmu dan moral.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam sejarah lahirnya, aksiologi ilmu muncul belakangan dan
menjadi perbincangan yang hangat, khususnya setelah terjadinya perang dunia
kedua di mana kemajuan ilmu dan teknologi tampak digunakan secara kurang
terkontrol. Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
orientasi atau nilai suatu kehidupan. Aksiologi adalah ilmu tentang nilai.
aksiologi disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi sarana orientasi
manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental,
yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
Aksiologi terbagi dalam tiga bagian, yakni moral conduct (tindakan
moral), estetic expression (ekspresi keindahan), dan socio-political life (social
politik). Suseno dalam Totok (2016) mengemukakan bahwa hakikat nilai
dilihat dari anggapan atau pendapatnya terdiri dari kehendak (voluntarisme),
kesenangan (hedonism), kepentingan, hal yang lebih disukai (preference), dan
terakhir berasal dari kehendak rasio murni. Erliana Hasan (2014)
menyebutkan ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai
(the theory of value), yaitu nilai objektif atau subjektif, dan nilai absolut atau
abadi.
Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu
tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain
apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap perkembangan ilmu itu dalam
meningkatkan kualitas hidup manusia. Di dunia ini terdapat banyak cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus
seperti epistimologis, etika dan estetika Keterkaitan ilmu dengan nilai-nilai
moral sebenarnya sejak pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-
masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda.

14
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini penulis berharap semoga makalah ini
dapat menambah dan memenuhi kebutuhan materi bacaan, terutama bagi
mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika. Penulis menyadari
pemaparan masih terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Penulis sangat
mengharapkan kritik yang membangun dari para pembaca sehingga
pembahasan ini semakin lengkap dan dapat menambah wawasan mengenai
hakikat dan karakteristik filsafat dan filsafat ilmu.

C. Pertanyaan dan Jawaban


Berikut soal dan jawaban mengenai hakikat dan karakteristik aksiologi
ilmu.
1. Sebutkan bagian aksiologi
Jawaban:
Bramel dalam Totok (2016) membagi aksiologi dalam tiga bagian, yakni
moral conduct, estetic expression, dan socio-political life. Moral Conduct,
yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan yang mana bidang ini melahirkan
keindahan. Dan terakhir yang mebidani lahirnya filsafat kehidupan sosial
politik.

2. Kapankah nilai itu disebut subjektif atau objektif?


Jawaban:
Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek
yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak bergantung pada kebenaran pada
pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya nilai itu
subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada
reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini
bersifat psikis atau fisik, kesadaran mausia menjadi tolak ukur penilaian
(Erlina Hasan, 2014).

15
3. Teknologi dan ilmu pengetahuan dalam penerapannya dapat menjadi berkah
dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia.
Apa dampaknya terhadap para ilmuan terhadap masalah moral dan akses ilmu
dan teknologi yang bersifat merusak tersebut?
Jawaban:
Dihadapkan dengan masalah moral dan akses ilmu dan teknologi yang bersifat
merusak, para ilmuan dapat dipilahkan kedalam dua golongan pendapat, yaitu:
(1) golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuan
hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik ataukah
untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan
ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo, dan (2) golongan yang
berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada metafisika
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai
moral (Mohammad Adib, 2011).

4. Sebutkan hakikat nilai menurut para ahli.


Jawaban:
a. Suseno dalam Totok (2016) mengemukakan bahwa hakikat nilai dilihat
dari anggapan atau pendapatnya terdiri dari kehendak (voluntarisme),
kesenangan (hedonism), kepentingan, hal yang lebih disukai (preference),
dan terakhir berasal dari kehendak rasio murni.
b. Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004) mengatakan bahwa hakikat
nilai dapat dijawab dengan tiga cara: pertama, nilai sepenuhnya
berhakikat subyektif, tergantung kepada pengalaman manusia pemberi
nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyatan ditinjau dari
segi ontology, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai
tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Ketiga,
nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.

16
c. Dagobert Runes dalam Bartolomeus (2007) menyebutkan terdapat
beberapa hakikat nilai berdasarkan teori-teori sebagai berikut: menurut
teori voluntarisme, nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau
kemauan. Kaum hedonisme, hakikat nilai adalah ”pleasure” atau
kesenangan. Bagi formalisme, nilai adalah kemauan yang bijaksana, yang
didasarkan pada akal rasional. Sementara kaum pragmatisme, meyakini
bahwa nilai itu baik apabila mampu memenuhi kebutuhan dan memiliki
nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan.

5. Sebutkan cabang pengetahuan aksiologi.


Jawaban:
Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan
masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika
(Zainudin, 2001). Epistimologis bersangkutan dengan masalah kebenaran,
etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan
dengan masalah keindahan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Didi Haryono. 2014. Filsafat Matematika. Alfabeta. Bandung.


Bartolomeus Samho. 2007. Perspektif Aksiologi Sebagai Teori Nilai. Universitas
Katolik Parahyangan.
Hasan., Erliana. 2014. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu
Pemerintahan. Ghalia. Indonesia.
Jujun S. Suriasumantri. 1996. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik:
Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Gramedia. Jakarta.
Jujun S Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Sinar
Harapan. Jakarta
Mohammad Adib. 2011. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
M. Zainudin. 2001. Filsafat dalam Perspektif Islam. 2(3): 25-45. Jurnal Al-
harakah. Malang
O. Kattsoff, Louis, (Alih Bahasa: Soejono Soemargono). 2004. Pengantar
Filsafat. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.
Paulus Wahana.2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Pustaka Diamond. Yogyakarta.
Salam, B. 1997. Logika materil filsafat ilmu pengetahuan. Rineka Cipta. Jakarta.
Suaedi. 2015. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press. Bogor.
Suseno, Frans Magnis.1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Kanisius. Yogyakarta.
Sutardjo A.Wiramihardja 2006. Pengantar Filsafat. PT. Refika Aditama.
Bandung.
Totok wahyu Abadi. 2016. Aksiologi: Antara Etika, moral dan Estetika. Jurnal
Ilmu Komunikasi. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Uyoh Sadulloh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta. Bandung.

18

Anda mungkin juga menyukai