Anda di halaman 1dari 25

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

HAKIKAT DAN KARAKTERISTIK ONTOLOGI ILMU

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:

Hayatun Nufus

NIM. 2010247418

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Nahor Hutapea, M. Pd.

PROGRAM STUDI PASCASARJANA


PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat beserta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wassallam yang telah meluruskan akhlak dan akidah manusia
sehingga dengan akhlak dan akidah yang lurus manusia akan menjadi makhluk
yang paling mulia. Makalah ini berjudul “Hakikat dan Karakteristik Ontologi
Ilmu” yang ditulis untuk memenuhi tugas struktur bidang studi Filsafat
Pendidikan Matematika pada Program Pascasarjana Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau.
Makalah ini disusun secara sederhana dan dikembangkan dengan situasi
nyata berdasarkan sumber-sumber yang ada. Dengan kesederhanaan itu
diharapkan dapat membantu pembaca memahami makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang menbangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca demi menambah
pengetahuan, khususnya bagi penulis sendiri. Atas kesediannya membaca
makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih. semoga Allah Swt. senantiasa
meridhoi segala usaha kita. Aamiin aamiin ya rabbal ‘alamin.

Pekanbaru, Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor Pendorong Timbulnya Ontologi Ilmu ..................................3
B. Hakikat dan Karakteristik Ontologi Ilmu ....................................................7
C. Hakikat ilmu ditinjau dari Dimensi Ontologi Ilmu......................................9
D. Objek Ilmu..................................................................................................12
E. Struktur Ilmu .............................................................................................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................16
B. Saran ..........................................................................................................17
PERTANYAAN DAN JAWABAN.....................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha
memahami persoalan-persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang
lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian, filsafat dibutuhkan manusia
dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berbagai
lapangan kehidupan manusia, termasuk masalah kehidupan dalam bidang
pendidikan.
Menurut Rosenberg, ada tiga aspek pertanyaan mendasar yang dijawab
filsafat ilmu meliputi: (1) Objek apa yang ditelaah oleh ilmu?, ini dikenal
dengan landasan ontologis “keapaan” atau “hakikat makna dan wujud”, (2)
bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang timba
atau dirangkai oleh ilmu? Ini dikenal dengan dengan landasan epistemologis
“aspek kebagaimanaan” atau “metodologis”, (3) untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu digunakan?, landasan ini dikenal dengan landasan aksiologis
“aspek keuntukapaan” atau “manfaat”.
Hakikat filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem
mendasar yang terdapat dalam ilmu pengetahuan, seperti ontologi ilmu,
epistemologi ilmu dan aksiologi ilmu. Dari ketiga landasan ini, jika dikaitkan
dengan ilmu pegetahuan maka letak filsafat ilmu lebih pada aspek ontologi
dan epistemologinya. Penulis akan menitikberatkan pembahasan pada salah
satu hakikat filsafat ilmu yaitu “Hakekat dan Karakteristik Ontologi Ilmu”.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor pendorong timbulnya ontologi ilmu?
2. Bagaimana hakikat dan karakteristik ontologi ilmu?
3. Bagaimana hakikat ilmu jika ditinjau dari dimensi ontologi?
4. Apa saja objek ilmu?
5. Bagaimanakah struktur ilmu?

1
C. Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui faktor-faktor pendorong timbulnya ontologi ilmu.
2. Mengetahui hakikat dan karakteristik ontologi ilmu.
3. Mengetahui hakikat ilmu jika ditinjau dari dimensi ontologi.
4. Mengetahui saja objek ilmu.
5. Mengetahui struktur ilmu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor Pendorong Timbulnya Ontologi Ilmu.


Cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang objek pengetahuan yang
menjadi dasar dari ilmu pengetahuan yaitu ontologi. Ontologi merupakan
salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno. Menurut bahasa, ontologi
berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu.
Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu
yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality,
baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak (Didi Haryono,
2014).
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Dengan ontologi,
diharapkan terjawab pertanyaan tentang “apa”. Misalnya; Objek apa yang
ditelaah ilmu? Apa wujud yang hakiki dari objek tersebut? Hal-hal apa yang
harus diperhatikan agar kita mendapatkan ilmu? Apa yang disebut kebenaran
itu? Apa kriterianya? Teknik apa yang membantu kita mendapatkan ilmu?.
Jujun S. Suriasumantri dalam Mohammad Adib (2011) menyatakan
bahwa pokok permasalahan yang menjadi objek kajian filsafat mencakup tiga
segi, yakni (a) logika (benar salah), (b) etika (baik. buruk), dan (c) estetika
(indah-jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini lanjut Suriasumantri, kemudian
bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada tentang hakikat keberadaan
zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya
terangkum dalam metafisika: kedua, kajian mengenai organisasi
sosial/pemerintahan yang ideal, terangkum dalam politik. Kelima cabang
filsafat ini logika, etika, estetika metafisika dan politik-menurut
Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi cabang- cabang filsafat
yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.
Ada beberapa argumen yang mendorong timbulnya ontologi ilmu,
diantaranya sebagai berikut:

3
1. Argumen Plato
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (28-318
SM) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam
nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah
definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada
socker kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang
berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda
yang berwarna hitam, putih ataupun belang. baik yang hidup ataupun
yang sudah mati. Idea kuda itu adalah paham, gambaran atau konsep
universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua mana
pun di dunia ini.
Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato
adalah badan hidup yang kita kenal dan dapat berpikir. Dengan kata lain,
idea manusia adalah "binatang berpikir". Konsep binatang berpikir ini
bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua-muda,
lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, Cina, dan sebagainya.
Tiap tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang
merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-
idea itu berada di balik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-
benda yang kita lihat atau yang dapat ditangkap dengan pancaindra
senantiasa berubah. Karena itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya
bayangan, kopi atau gambaran dari idea-ideanya. Dengan kata lain,
benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca-indra ini hanyalah
khayal dan ilusi belaka Mohammad Adib (2011).
2. Argumen St. Augustine
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354-430
M). Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman
hidupnya bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun, akal manusia
terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa yang benar, tetapi terkadang
pun merasa ragu ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah untuk
kebenaran. Menurutnya. akal manusia mengetahui bahwa di atasnya

4
masih ada suntu kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah),
dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya
mengetahui apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran
yang mutlak, kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.
3. Argumen Thales.
Awal mula pikiran Barat yang tertua di antara segenap filsuf Barat
yang kita kenal ialah orang Yunani yang bijak dan arif yang bernama
Thales. Atas perenungannya terhadap air yang terdapat dimana-mana, ia
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan subtansi terdalam yang
merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang penting bagi kita
sesungguhnya bukanlah ajaran- ajarannya yang mengatakan bahwa air
itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa
mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu subtansi belaka. Thales
merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-
tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Disinilah letak
pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu
memandang segala sesuatu sebagaimana keadaan yang wajar. Apabila
mereka menjumpai kayu, besi, air, danging, dan sebagainya, hal-hal
tersebut dipandang sebagai subtansi-subtansi (yang terdiri sendiri-
sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada
pemeliharaan antara kenampakan (appearance) dangan kenyataan
(reality).
Dari argumen-argumen beberapa tokoh diatas timbullah
pemikiran pemikiran tentang ontology. Pengertian paling umum pada
ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari
hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara
tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri.
Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai
dengan berjalannya waktu.
Sebagaimana telah dikatakan filsafat dapat dipandang sebagai
sejenis bahasa yang bertugas sebagai alat yang membahas segala

5
sesuatu. Sesuai dengan pendapat ini, maka usaha pertama untuk
memahami ontologi ialah menyusun daftar dan memberikan keterangan
mengenai sejumlah istilah dasar yang digunakan di dalamnya. Didalam
buku Mohammad Adib (2011) disebutkan istilah-istilah terpenting yang
terdapat dalam bidang antologi ialah: yang-ada (being), kenyataan
(reality), eksistensi (existence), perubahan (change), tunggal (one),
jamak (many).
Menurut Rinjin dalam Kuntjojo (2009), filsafat dan ilmu timbul
dan berkembang karena akal budi, thauma, dan aporia.
1. Manusia merupakan makhluk berakal budi.
Manusia dengan akal budi yang dimilikinya dapat
mengubah kemampuan manusia dalam bersuara berkembang
menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sehingga
manusia disebut sebagai homo loquens dan animal symbolicum.
Manusia dapat berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya
disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir). Menurut
Aristoteles, manusia dipandang sebagai animal that reasons yang
ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all men by nature desire to
know). Pada diri manusia melekat kehausan intelektual
(intellectual curiosity), yang menjelma menjadi pertanyaan yang
beraneka ragam. Bertanya adalah berpikir dan berpikir
dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.
2. Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta dan
isinya.
Manusia merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum
pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnya saja
kekaguman pada bulan, matahari, bumi, tumbuhan, binatang,
dirinya sendiri dan lain lain. Kekaguman inilah yang kemudian
mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu
sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia
juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi,

6
hakikat, dan tujuan hidupnya.
3. Manusia senantiasa menghadapi masalah.
Faktor lain yang juga mendorong timbulnya filsafat dan
ilmu adalah masalah yang dihadapi manusia (aporia). Kehidupan
manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik masalah yang
bersifat teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia
untuk berbuat dan mencari jalan keluar yang tidak jarang
menghasilkan temuan yang sangat berharga (necessity is the
mother of science).
Ketiga faktor pendorong timbulnya ontologis ilmu tersebut
merupakan faktor pendorong timbulnya filsafat ilmu. Akan tetapi,
menurut Saifullah dan Fuad dalam bukunya yang berjudul
Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu, dijelaskan
bahwa ketiga faktor tersebut senantiasa berlaku bagi setiap bidang
atau cabang filsafat, tidak hanya filsafat ilmu. Perbedaan filsafat
ilmu dengan cabang-cabang filsafat lainnya adalah pada fokus
penelaahannya (objek formal). Sedangkan persamaannya antara
filsafat ilmu dengan cabang filsafat lainnya itu tercermin pada
metode dalam berfilsafat, pendekatan yang digunakan, dan unsur-
unsur pemikiran filosofis lainnya. Sehingga ketiga faktor tersebut
membentuk suatu ciri khas pemikiran filsafat, sebagaimana
pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam kajian filsafat ilmu
dan cabang-cabangnya.

B. Hakikat dan Karakteristik Ontologi Ilmu


Hakikat kenyataan atau realitas memang dapat didekati ontologi dengan
dua sudut pandang: 1) kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah
kenyataan itu tunggal atau jamak? 2) Kualitatif, yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas
tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar
yang beraroma harum.

7
Beberapa karekteristik ontologi seperti diungkapkan oleh Lorens Bagus
(1991), antara lain dapat disederhanakan sebagai berikut:
1. Ontologi adalah study tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri
esensial dari yang ada dalam dirinya sendirinya, menurut bentuknya
yang paling abstrak.
2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur
realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan katagori-
katagori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata
atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan
waktu, perubahan, dan sebagainya
3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat
terakhir yang ada, yaitu yang satu, yang absolute, bentuk abadi,
sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung
kepada-nya.
4. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata
atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya
Mohammad Adib (2011) dalam bukunya menyebutkan karakteristik
ontologi ilmu pengetahuan antara lain adalah:
1. Ilmu berasal dari riset (penelitian);
2. Tidak ada konsep wahyu;
3. Adanya konsep pengetahuan empiris;
4. Pengetahuan rasional bukan keyakinan;
5. Pengetahuan objektif ;
6. Pengetahuan sistematik;
7. Pengetahuan metodologis;
8. Pengetahuan observatif (observable);
9. Menghargai asas verifikasi (pembuktian);
10. Menghargai asas eksplanatif penjelasan;
11. Menghargai asas keterbukaan dan dapat diulang kembali;
12. Menghargai asas skeptisisme yang radikal;
13. Melakukan pembuktian bentuk kausalitas (causality);

8
14. Mengakui pengetahuan dan konsep yang relatif (bukan absolut);
15. Mengakui adanya logika logika ilmiah;
16. Memiliki berbagai hipotesis dan teori-teori ilmiah;
17. Memiliki konsep tentang hukum-hukum alam yang telah dibuktikan;
18. Pengetahuan bersifat netral atau tidak memihak;
19. Menghargai berbagai metode eksperimen, dan
20. Melakukan terapan ilmu menjadi teknologi.
Ontologi ilmu, layak dipelajari bagi orang yang ingin memahami
secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu
empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya,
fisika, ilmu teknik dan sebagainya).

C. Hakikat Ilmu Ditinjau dari Dimensi Ontologi Ilmu


Menurut Beni Ahmad Saebeni (2009), istilah ilmu dalam bahasa Arab
dikenal dengan “’ilm” yang berarti memahami, mengerti atau mengetahui.
Ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa
penyebab sesuatu dan mengapa. Menurut Sudarsono dalam Mukhtar Latif
(2014) , sifat ilmu yaitu:
1. Berdiri secara satu kesatuan
2. Tersusun secara sistematis
3. Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat
dipertanggungjawabkan disertai sebab-sebab nya yang meliputi fakta
dan data).
4. Mendapat legalitas bahwa ilmu itu hasil pengkajian atau riset
5. Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga
dapat dimengerti dan dipahami maknanya.
6. Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku
dimana saja dan kapan saja diseluruh alam semesta ini
7. Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan dan
penemuan baru. Sehingga manusia mampu menciptakan pemikiran
yang lebih berkembang dari sebelumnya.

9
Menurut The Liang Gie (2007), ilmu adalah rangkaian aktivitas
manisia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka
prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan
yang sistematik mengenai kealaman, kemasyarakaran atau keorangan untuk
tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan
penjelasan atau melakukan penerapan. Dengan demikian, ilmu dapat
dipandang sebagai keseluruhan pengetahuan kita dewasa ini atau sebagai
aktivitas penelitian, atau sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan
yang tidak dapat lagi dipandang sebagai suatu kumpulan pengetahuan atau
suatu metode khusus untuk memperoleh pengetahuan, ilmu harus dilihat
sebagai suatu aktivitas kemasyarakatan pula.
Amsal Bakhtiar (2009) mengatakan, ilmu memiliki ciri khusus yang
membedakan dengan bidang non-ilmu, antara lain:
1. Ilmu bersifat koheren, empiris, sistematis dan dapat diukur dan
dibuktikan.
2. Ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek yang
sama dan saling berkaitan secara logis.
3. Ilmu termuat didalam dirinya sendiri secara hipotesis dan teori yag
belum sepenuhnya dimantapkan.

Selanjutnya Amsal (2009) mengatakan ciri pokok ilmu yaitu:


1. Sistematis
2. Empiris
3. Objektif
4. Analitis
5. Verifikatif
Dilihat dari sudut sejarah perkambangannya, ilmu pengetahuan di
zaman dahulu bermula dari tingkat berpikir yang lazim disebut tahap mistik,
tidak terdapat perbedaan diantara pengetahuan yang berlaku juga untuk
objeknya. Pada tahap ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan
ghaib disekitarnya, sehingga semua objek tampil dalam kesemestaan dalam
artian satu sama lain berdifusi menjadi titik yang tidak jelas batas-

10
batasannya. Fenomena ini sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang
belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan.
Tahap berikutnya yaitu tahap ontologis, yang membuat manusia telah
terbebas dari kepungan kekuatan ghaib, sehingga mampu mengambil jarak
dari objek sekitarnya dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak
mengakui status ontologis objek metafisika pasti tidak akan mengakui status
ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap sebagai
tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah
obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata
mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal itu merupakan salah satu ciri
pendekatan ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis
dan sintesis.
Kalau ditinjau dari dimensi ontologi yaitu untuk mengetahui dasar
ontologi ilmu, sebagai pertanyaan awal adalah apakah yang ingin diketahui
ilmu? Atau dengan kata lain apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?
Dalam konteks pembahasan ini, ilmu membatasi diri pada hal-hal yang
dapat dijangkau oleh pengalaman panca indera manusia atau dengan
perkataan lain hal-hal yang bersifat empiris. Berlainan dengan agama, atau
bentuk-bentuk pengetahuan lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya
kepada kejadian yang bersifat empiris dan rasional. Objek penelaahan ilmu
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera
manusia. Dalam batas-batas tersebut, maka ilmu mempelajari objek-objek
empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuhan, hewan atau manusia itu
sendiri. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap
dunia empiris.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan dalam satu napas tercakup pula telaahan filsafat yang
menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Dari segi ontologis, yaitu
tentang apa dan sampai dimana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak
awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut
yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu dan terjangkau

11
oleh pengalaman indrawi.
Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat
diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi dan ditarik
kesimpulan. Dengan kata lain, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti
soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.

D. Objek Ilmu

Menurut Jujun S (2005) dalam Kuntjojo (2009), menyatakan bahwa


ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup
pengalaman manusia. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman
manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ditinjau dari segi
ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris, yang
terjangkau fitrah pengalaman manusia. Salah satu ciri dari ilmu adalah
bahwa ilmu itu memiliki objek penyelidikian. Objek penyelidikan dari ilmu
terdiri dua objek yaitu objek material dan objek formal.

1. Objek Material
Menurut Saifullah Idris dan Fuad Ramly (2016), objek material
adalah seluruh bidang atau bahan yang dijadikan telaahan ilmu, baik
konkret maupun abstrak. Objek material yang bersifat konkret adalah
objek yang secara fisik dapat terlihat dan terasa oleh alat peraba.
Contohnya anjing, pohon, batu, tanah, air dan lain sebagainya. Objek
material yang bersifat abstrak misalnya nilai-nilai, paham, aliran sikap
dan sebagainya. Jadi tidak terbatas apakah ada dalam realitas konkret
ataukah didalam realitas abstrak.
2. Objek Formal
Objek formal adalah objek yang berkaitan dengan bagaimana objek
material itu ditelaah oleh suatu ilmu (Saifullah Idris dan Fuad Ramly,
2016). Objek formal merupakan sudut pandang atau cara memandang
terhadap objek material, termasuk prinsip-prinsip yang digunakan. Dengan
objek formal ini akan ditentukan suatu pengetahuan menjadi ilmu

12
pengetahuan. Selanjutnya, ia menentukan jenis ilmu pengetahuan yang
tergolong bidang studi apa dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong
kuantitatif atau kualitatif. Hal ini berarti bahwa dengan objek formal,
ruang lingkup (scope) ilmu pengetahuan bisa ditentukan pula. Misalnya,
Ilmu Ekonomi dan Sosiologi mempunyai objek material yang sama yaitu
manusia, namun objek formalnya jelas berbeda. Ilmu Ekonomi melihat
manusia dalam kaitannya dengan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya,
sedangkan Sosiologi dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia
(masyarakat).
Dapat disimpulkan bahwa objek formal mempunyai kedudukan dan
peran yang mutlak dalam menentukan suatu pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan. Selanjutnya ia menentukan jenis ilmu pengetahuan yang
tergolong bidang studi apa, dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong
kuantitatif dan kualitatif.

E. Struktur Ilmu
Menurut Kuntjojo (2009), ilmu sebagai produk merupakan suatu sistem
pengetahuan yang di dalamnya berisi penjelasan-penjelasan tentang berbagai
fenomena yang menjadi objek kajiannya. Dengan demikian, ilmu terdiri dari
komponen-komponen yang saling berhubungan. Saling hubungan di antara
berbagai komponen tersebut merupakan struktur dari pengetahuan ilmiah.
Menurut Savage & Armstrong (1983) dalam dalam Saifullah Idris dan
Fuad Ramly (2016) menyatakan bahwa struktur ilmu merupakan ilustrasi
hubungan antara fakta, konsep serta generalisasi. Keterkaitan tersebut
membentuk suatu bangun struktur ilmu. Terdapat dua hal pokok dalam suatu
struktur ilmu yaitu :

1. A body of knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep,


generalisasi, dan teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang
bersangkutan sesuai dengan boundary yang dimilikinya.
2. A mode of inquiry. Atau cara pengkajian/penelitian yang mengandung
pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh jawaban atas

13
permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.
Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan. Bila
digambarkan akan nampak sebagai berikut :

Dari gambar tersebut nampak bahwa bagian yang paling dasar adalah
fakta-fakta, fakta-fakta tersebut akan menjadi bahan atau digunakan untuk
mengembangkan konsep-konsep, bila konsep-konsep menunjukan ciri
keumuman maka terbentuklah generalisasi, untuk kemudian dapat
diformulasikan menjadi teori. Fakta-fakta sangat dibatasi oleh nilai transfer
waktu, tempat dan kejadian. Konsep dan generalisasi memiliki nilai transfer
yang lebih luas dan dalam, sementara itu teori mempunyai jangkauan yang
lebih universal, karena cenderung dianggap berlaku umum tanpa terikat oleh
waktu dan tempat, sehingga bisa berlaku universal artinya bisa berlaku
dimana saja (hal ini sebenarnya banyak dikritisi para ahli). Namun demikian
keberlakuannya memang perlu juga memperhatikan jenis ilmunya.
1. Fakta
Fakta merupakan Building Blocks untuk mengembangkan konsep,
generalisasi dan teori. Menurut Bertrand Russel, fakta adalah segala
sesuatu yang berada di dunia, ini berarti gejala apapun baik gejala alam
maupun gejala human merupakan fakta yang bisa menjadi bahan baku
bagi pembentukan konsep-konsep, namun demikian karena luasnya,
maka tiap-tiap ilmu akan menyeleksi fakta-fakta tersebut sesuai dengan
orientasi ilmunya. Menurut Moh. Nazir peranan fakta terhadap teori
adalah :

14
a) Fakta menolong memprakarsai teori
b) Fakta memberi jalan dalam mengubah atau memformulasikan
teori baru
c) Fakta dapat membuat penolakan terhadap teori
d) Fakta memperterang dan memberi definisi kembali terhadap teori.
2. Konsep
Konsep adalah label atau penamaan yang dapat membantu
seseorang membuat arti informasi dalam pengertian yang lebih luas
serta memungkinkan dilakukan penyederhanaan atas fakta-fakta
sehingga proses berfikir dan pemecahan masalah lebih mudah.
3. Generalisasi
Generalisasi adalah kesimpulan umum yang ditarik berdasarkan
hal-hal khusus (induksi). Generalisasi menggambarkan suatu
keterhubungan beberapa konsep dan merupakan hasil yang sudah teruji
secara empiris. Kebenaran suatu generalisasi ditentukan oleh akurasi
konsep dan referensi pada fakta-fakta. Generalisasi yang diakui
kebenarannya bisa dimodifikasi bila diperoleh fakta baru atau bukti-
bukti baru, bahkan mungkin juga ditinggalkan jika lebih banyak bukti
yang mengingkarinya.
4. Teori
Menurut Goetz dan Le Comte, teori adalah komposisi yang
dihasilkan dari pengembangan sejumlah proposisi atau generalisasi
yang dianggap memiliki keterhubungan secara sistematis. Teori
merupakan suatu upaya untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu serta
harus dapat diuji. Jika pernyataan tersebut tidak dapat menjelaskaan
dan memprediksi sesuatu, maka hal tersebut bukanlah teori.
Generalisasi berbeda dengan teori, karena teori mempunyai tingkat
keberlakuan yang lebih universal dan lebih kompleks. Jadi, apabila
suatu generalisasi telah bertahan dari uji verifikasi maka generalisasi
tersebut dapat berkembang menjadi teori.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian materi mengenai “hakikat dan karakteristik
ontologi ilmu” dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :
1. Ontologi mempelajari tentang objek apa yang ditelaah ilmu,
perwujudannya dan hubungannya dengan daya tangkap manusia,
sehingga dapat menghasilkan ilmu pengetahuan. Pembahasan ontologi
tidak mencakup pada proses, prosedur dan manfaat dari suatu objek
yang ditelaah ilmu, tetapi lebih kepada perwujudannya “ada” itu.
2. Faktor pendorong timbulnya ontologis ilmu ada tiga yaitu akal budi,
thauma, dan aporia.
3. Ilmu adalah keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara sistematis
dan logis.
4. Hakikat ontologi ilmu adalah mengkaji apa hakikat ilmu atau
pengetahuan ilmiah yang disebut dengan ilmu pengetahuan, apa
hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan
empiris yang tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan
bagaimana yang “ada” itu.
5. Objek ilmu ada dua yaitu objek material dan objek formal. Objek
material adalah suatu hal yang menjadi sasaran penyelidikan atau
pemikiran sesuatu yang dipelajari, baik berupa benda konkret maupun
abstrak. Sedangkan objek formal adalah sudut pandang atau cara
memaandang terhadap objek material, termasuk prinsip-prinsip yang
digunakan.
6. Struktur ilmu terdiri atas fakta, konsep, generalisasi dan teori.

16
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan.
Sumber yang didapat pun sangat minim, namun penulis bisa memberi saran
bahwa pembelajaran tentang Filsafat ilmu bisa diterapkan oleh semua
kalangan, dengan mempelajari ontologi ilmu ini diharapkan bisa mengkaji
hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas sampai pada akar-akarnya
yang pada akhirnya diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang objek
tersebut.

C. PERTANYAAN DAN JAWABAN

1. Jelaskan menurut ahli, faktor-faktor apa saja yang menjadi pendorong


timbulnya ontologi ilmu!
Jawaban :
Menurut Rinjin dalam Kuntjojo (2009), faktor-faktor pendorong
timbulnya ontologis ilmu ada tiga, yaitu akal budi, thauma, dan aporia.

a. Manusia merupakan makhluk berakal budi


Akal budi yang dimiliki oleh manusia mengubah
kemampuan manusia dalam bersuara berkembang menjadi
kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sehingga manusia
disebut sebagai homo sapiens dan animal symbolicum. Pada diri
manusia melekat kehausan akan intelektual yang menjelma dalam
wujud pertanyaan yang beraneka ragam. Bertanya adalah berpikir
dan berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.
b. Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta dan
isinya
Manusia merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum
pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Kekaguman itulah
yang akan mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam
semesta itu apa, bagaimana asal usulnya, eksistensinya, hakikat
dan tujuan hidupnya.

17
c. Manusia senantiasa menghadapi masalah (aporia)
Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik
masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Masalah yang
dihadapi inilah yang akan mendorong manusi untuk berbuat dan
mencari solusi yang tidak jarang menghasilkan temuan yang
sangan berharga.
Ketiga faktor pendorong timbulnya ontologis ilmu tersebut
merupakan faktor pendorong timbulnya filsafat ilmu. Akan tetapi,
menurut Saifullah dan Fuad dalam bukunya yang berjudul Dimensi
Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu, dijelaskan bahwa ketiga
faktor tersebut senantiasa berlaku bagi setiap bidang atau cabang
filsafat, tidak hanya filsafat ilmu. Perbedaan filsafat ilmu dengan
cabang-cabang filsafat lainnya adalah pada fokus penelaahannya (objek
formal). Sedangkan persamaannya antara filsafat ilmu dengan cabang
filsafat lainnya itu tercermin pada metode dalam berfilsafat, pendekatan
yang digunakan, dan unsur-unsur pemikiran filosofis lainnya. Sehingga
ketiga faktor tersebut membentuk suatu ciri khas pemikiran filsafat,
sebagaimana pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam kajian
filsafat ilmu dan cabang-cabangnya.

2. Jelaskan objek ilmu menurut pendapat ahli!

Jawaban:

Objek penyelidikan dari ilmu terdiri dua objek yaitu objek material dan
objek formal.
a. Objek Material
Menurut Saifullah Idris dan Fuad Ramly (2016), objek
material adalah seluruh bidang atau bahan yang dijadikan
telaahan ilmu, baik konkret maupun abstrak. Objek material yang
bersifat konkret adalah objek yang secara fisik dapat terlihat dan
terasa oleh alat peraba. Contohnya anjing, pohon, batu, tanah, air

18
dan lain sebagainya. Objek material yang bersifat abstrak
misalnya nilai-nilai, paham, aliran sikap dan sebagainya. Jadi
tidak terbatas apakah ada dalam realitas konkret ataukah didalam
realitas abstrak.
b. Objek Formal
Objek formal adalah objek yang berkaitan dengan bagaimana
objek material itu ditelaah oleh suatu ilmu (Saifullah Idris dan
Fuad Ramly, 2016). Objek formal merupakan sudut pandang atau
cara memandang terhadap objek material, termasuk prinsip-
prinsip yang digunakan. Dengan objek formal ini akan ditentukan
suatu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Selanjutnya, ia
menentukan jenis ilmu pengetahuan yang tergolong bidang studi
apa dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif atau
kualitatif. Hal ini berarti bahwa dengan objek formal, ruang
lingkup (scope) ilmu pengetahuan bisa ditentukan pula. Misalnya,
Ilmu Ekonomi dan Sosiologi mempunyai objek material yang
sama yaitu manusia, namun objek formalnya jelas berbeda. Ilmu
Ekonomi melihat manusia dalam kaitannya dengan upaya
memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan Sosiologi dalam
kaitannya dengan hubungan antar manusia (masyarakat).

3. Jelaskan manfaat mempelajari ontologi ilmu?

Jawab:
Menurut Ansari (1987) dalam buku Ihsan (2010) Manfaat dalam
mempelajari ontologi, yaitu berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek
atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan postulat-
postulat ilmu. Di antara asumsi dasar keilmuan antara lain pertama,
dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar ada.
Kedua, dunia empiris dapat diketahui oleh manusia dengan pancaindra.
Ketiga, fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu dengan

19
yang lainnya secara kausal.
Ontologi menjadi penting karena pertama, kesalahan suatu asumsi
akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yang salah pula. Sebagai
contoh, ilmu ekonomi dikembangkan atas dasar postulat bahwa
“manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” dan asumsi bahwa
hakikat manusia adalah “homo ekonomikus”, makhluk yang serakah
(Sastra ratedja 1988 dalam buku Ihsan 2010).
Oleh karena itu, asumsi ini akan memengaruhi teori dan metode
yang didasarkan atas keserakahan manusia tersebut. Kedua, ontologi
membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang integral,
komprehensif, dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji hal-hal
yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan
dapat memperoleh gambaran tentang objek. Namun, pada kenyataannya
kadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan yang
parsial dan terpisah-pisah.

4. Apa-apa saja ciri khusus ilmu yang membedakan dengan bidang non-
ilmu?
Jawab:
Amsal Bakhtiar (2009) mengatakan, ilmu memiliki ciri khusus
yang membedakan dengan bidang non-ilmu, antara lain:
1) Ilmu bersifat koheren, empiris, sistematis dan dapat diukur dan
dibuktikan.
2) Ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek
yang sama dan saling berkaitan secara logis.

3) Ilmu termuat didalam dirinya sendiri secara hipotesis dan teori


yag belum sepenuhnya dimantapkan

20
5. Bagaimana bentuk struktur ilmu?
Jawab:
Menurut Savage & Armstrong (1983) dalam dalam Saifullah Idris
dan Fuad Ramly (2016) menyatakan bahwa struktur ilmu merupakan
ilustrasi hubungan antara fakta, konsep serta generalisasi. Keterkaitan
tersebut membentuk suatu bangun struktur ilmu. Terdapat dua hal
pokok dalam suatu struktur ilmu yaitu :
1. A body of knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep,
generalisasi, dan teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang
bersangkutan sesuai dengan boundary yang dimilikinya

2. A mode of inquiry. Atau cara pengkajian/penelitian yang


mengandung pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh
jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.

21
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2015. Filsafat Ilmu; Ontologi, Enpistemologi, Aksiologi, dan


Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Burhanuddin, Nunu. 2018. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenamedia Group.

Haryono, Didi. 2014. Filsafat Matematika. Bandung: Alfabeta.


Kuntjojo. 2009. Filsafat Ilmu. Kediri: Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Latif, Mukhtar. 2015. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group
Nasution, Muhammad Syukri A dan Haris, RM. 2017. Filsafat Ilmu. Depok: Raja
Grafindo Persada.
Saifullah Idris dan Fuad Ramly. 2016. Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus
Integrasi Ilmu. Yogyakarta: Darussalam Publishing.
Susanto, A. 2016. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

22

Anda mungkin juga menyukai