Oleh :
KELAS 2E
Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayahnya
makalah yang berjudul “AKSIOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU” ini dapat selesai tepat
waktu. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
Makalah ini kami susun berdasarkan penelitian dan pengamatan dari beberapa sumber
berupa buku,jurnal, maupun sumber lainnya.
Semoga dengan membaca makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah
wawasan kita dalam mempelajari Filsafat Ilmu. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna, maka dari itu kami memohon kritik dan saran yang membangun agar
dapat menyempurnakan makalah berikutnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan................................................................................................................15
B. Saran..........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Nunu Burhanuddin, FILSAFAT ILMU, (Jakarta Timur: PRENADAMEDIA GROUP (Divisi Kencana), 2018),
hal. 163-164
1
5. Dapat menganalisa hubungan antara aksiologi dengan filsafat ilmu.
D. Manfaat
Dengan mempelajari aksiologi, kita sebagai manusia yang diberi akal untuk
berpikir supaya mampu menilai suatu ilmu sehingga dapat menempatkan ilmu itu
secara tepat sesuai dengan kegunaan ilmu tersebut. Selain itu, dengan mempelajari
ilmu aksiologi, kita menjadi lebih tahu dan lebih terarah dalam menggunakan sebuah
ilmu, tidak hanya memandang ilmu dari segi subjektif saja tetapi juga melihat sebuah
ilmu secara objektif.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Ibid, hal. 164-165
3
Agus Hermawan, Pengantar FILSAFAT ILMU, (Jawa Tengah: AN-NUUR Kudus, 2012), hal. 39
3
B. Ilmu Pengetahuan, Teknologi , dan Etika
1. Ilmuwan dan Sikap Ilmiah
Dalam sejarah manusia, kemunculan ilmu diawali dengan kegilaan berpikir
para filsuf sehingga pemikiran filsufis mendapatkan reaksi keras dari kalangan
agamawan. Hal ini menimbulkan konflik yang tajam dan sering bermuara kepada
pengucilan diiringi sikap represif terhadap ilmuwan melalui tangan penguasa
dibawah pengaruh keyakinan agamawan. Sikap berlebihan tersebut memicu
lahirnya dua pandangan.
Pertama, keterpisahan masalah duniawi denganmasalah agama sebagai reaksi
keras tindakan berlebihan beberapa oknum agamawan. Katolik di zaman
pertengahan Eropa misalnya, dianggap telah menghamba kepada kebebasan
berfikir dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua, muncul pandangan tentang
manusia sebagai pemegang otoritas mutlak dalam pengelolaan seluruh potensi
alam. Yang disebut pertama melahirkan sekularisme, dan yang belakangan
melahirkan humanisme, suatu pandangan bahwa manusia sebagai pemegang
otoritas penuh terhadap pengelolaan sumber daya alam. Keduanya menjadikan
aspek rasional yang bersandar penuh pada peranan akal menjadi sangat dominan.
Kekhawatiran akan terjadinya sesuatu yang buruk terhadap ilmu pengetahuan
dan teknologi yang berbasis humanis pun menyeruak. Ini pada gilirannya akan
mengancam pilar-pilar kemanusiaan dan dehumanisasi teknologi sebagai produk
langsung ilmu pengetahuan. Pada titik ini lahirlah kajian etik (juga estetika) untuk
ilmu pengetahuan. Filsafat nilai (aksiologi) memberikan kontribusi besar untuk
mengarahkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan
peradaban dan perkembangannya untuk masa sekarang dan masa yang akan
datang. Maka, etika dan estetika menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam ilmu
pengetahuan.
Adapun sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki oleh ilmuwan, atau
para pencari ilmu. Beberapa pokok yang menjadi cirri sikap ilmiah yaitu objektif,
terbuka, rajin, sabar, tidak sombong, dan tidak memutlakkan suatu kebenaran
ilmiah.4
4
Muncul pertanyaan apakah ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
rahmat bagi kebudayaan dan peradaban manusia? Atau justru sebaliknya, ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi mesin penghancur bagi kebudayaan dan
peradaban manusia? Selain itu muncul pertanyaan lain, bagaimana dengan
teknologi yang mengakibatkan dehumanisasi? Apakah hal ini merupakan masalah
kebudayaan atau masalah moral?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini para ilmuwan terbagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Kelompok ini
ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era
Galileo.
Adapun kelompok kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-
nilai hanyalah terbatas pada metafisika keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua ini
mendasarkan pendapatnya pada hal-hal berikut:
a. Ilmu secara faktual telah digunakan secara destruktif oleh manusia, yang
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi
keilmuan.
b. Ilmu telah berkembang dengan pesat hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui
ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
c. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa
ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang hakiki seperti pada
kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
Dengan demikian, pendapat pertama merilis netralitas pada tahap aksiologi,
sedangkan pandangan kedua melihat netralitas ilmu terletak pada bidang
epistemologi.
3. Masalah Etika, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi
Beberapa paradigma yang berkembang, yaitu:
a. Paradigma deterministik-mekanistik memuat prinsip-prinsip dasar fisika;
massa, energi, kecepatan, ruang, dan waktu menjadi temuan berharga dari
ilmuwan Sir Issaac Newton tahun1686. Menurut Anwar Jenie, paradigma ini 5
menempatkan tatanan etika dan religius pada posisi peran marginal. Melalui
paradigm ini, muncul efek kehancuran lingkungan serta konflik diskursus
5
Ibid, hal. 167-170
5
kemanusiaan. Contoh, revolusi industry dan pertanian mengakibatkan
kehancuran system ekologi, teknologi cloning yang dilarang untuk
dipraktikkan terhadap manusia, plutonium dan lain sebagainya.
b. Paradigma probabilistik-relativistik setelah penemuan Heinsenberg dan Albert
Einstein atas ketidakmungkinan penentuan suatu posisi dan kecepatangerak
massa pada satu satuan waktu yang sama dan relativitas ruang dan waktu.
Paradigma ini telah bertemu dengan aras agama, karena sifat probabilistic-
relativistiknya telah memungkinkan untuk memperbincangkan persoalan-
persoalan lain yang sulit dipecahkan melalui rujukan etika-religius.
4. Pragmatisitas Sains-Teknologi
Menurut Noeng Muhajir, pragmatisme menjadi bagian dari pertimbangan dalam
tata nilai sains-teknologi yang bermuara pada tingkatan praksis. Tiga konsep yang
dapat dilihat, yaitu:
a. Teori terapan
Dilandasi konsep pure research, didalamnya analisis ilmu adalah objek formal
ilmu itu sendiri, hakikat objek ilmu dianalisis dengan sikap objektif, serta
kepentingan lain diluar objek ilmu dieliminasi.
b. Rekayasa-teknologi .
Sejak abad XX, konsep pure research dan rekayasa teknologi telah bergeser
menjadi basic research dan technological research . pada ranah ini pure dan
applied research ditempatkan pada terapan yang sebenarnya yang dikenal
dengan istilah rekayasa-teknologi .
c. Praktis
Dalam tahapan aplikatif atau praksis manusia tidak dapat semena-mena
menempatkan tindakannya lepas dari lingkungan material dan konteks sosial-
historical-nya. Manusia akan melakukan refleksi konseptual atas praktik yang
dilandaskan kepada penghayatan konsep historis. Disamping itu tiga nilai
pragmatisitas diatas, terdapat lima dimensi hakikat teknologi, yaitu:
(1) Fungsi, bahwa teknologi berkaitan dengan bagaimana sesuatu dijalankan,
bukan apakah kita membutuhkannya .6
(2) Energi, bahwa teknologi merupakan rekayasa energi. . Ia merupakan upaya
kenservatif atas sumber-sumber energi alami ke sumber-sumber energy
buatan .
6
Ibid, hal. 170-176
6
(3) Pabrikasi, bahwa teknologi berwujud proses standarisasi dari bagian-
bagian peralatan teknis maupun perbuatan-perbuatan manusia yang
menjalankan peralatan .
(4) Komunikasi dan kontrol , bahwa teknologi berkaitan erat dengan
penguasaan sistem informasi sehingga dapat melakukan kontrol terhadap
fungsi, energi, dan pabrikasi .
(5) Aturan – aturan pengambilan kesimpulan.
5. Bagaimana Etika Mengawal Sains-Teknologi
Hubungan etika dalam mengawal terapan sains-teknologi berpulang pada dua
hal penting, yaitu kenyataan dan keharusan. Kenyataan melukiskan apa yang
senyatanya ada dan terjadi, sedangkan keharusan merupakan term yang menjadi
kajian etika, tentang apa yang seharusnya dilakukan. 7
7
Ibid, hal. 176
8
Totok Wahyu Abadi, Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika, (Sidoarjo: KANAL (JURNAL ILMU
KOMUNIKASI), 2016), hal. 195-196
7
tindakan tindakan atau perbuatan pasti benar kendati
ditentukan akibat perbuatan itu sendiri ternyata buruk.
oleh sebab-
sebabyang
menjadi
dorongan
tindakan itu
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai. Ada tiga
isu aksiologi penting yang perlu dijabarkan, yakni:
8
pandangan ini bersumber pada keniscayaan bahwa suatu penelitian pasti
menghasilkan distorsi dari apa yang hendak diteliti. Distorsi tersebut kadang kala
besar dan kadang kala kecil, namun yang pasti akan selalu ada distorsi dan
karenanya teori pasti terdapat campur tangan terhadap teori yang dihasilkan.
3. Apakiah ilmuwan memengaruhi proses sosial atau tidak?
Pertanyaan ini sejalan dengan pertanyaan apakah ilmuwan harus tetap objektif
vataukah harus berperan aktif membantu masyarakat untuk berubah secara
positif? Banyak pakar mengatakan bahwa tugas ilmuwan adalah memproduksi
ilmu pengetahuan, sedangkan urusan perubahan social diserahkan pada pihak ;ain
seperti politikus. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa ilmuwan memiliki
tanggung jawab untuk mempromosikan nilai-nilai positidf dalam masyarakat.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi sebaliknya sadar
nilai (value conscious).10
D. Etika, Moral, dan Estetika
Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi
menjadi dua kelompok:
1. Ilmu bebas nilai
Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang etika, karena
sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau tidaknya
ilmu merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya atau tidak.11
Ketika Copernicus (1473-1543 M) mengajukan teorinya tentang kesemestaan
alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan
bukan sebaliknya seperti yang diajarkan oleh agama (gereja) maka timbullah
reaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang
berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sedangkan
dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-
pernyataan nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang bersumber
pada penafsiran metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi
Galileo pada tahun 1633 M.
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar
ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu
itu tidak bebas nilai.
10
Ibid, hal. 44
11
Bahrum, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, (Makassar: dalam Sulesana Vol.8 No. 2, 2013), hal. 40
9
2. Teori tentang nilai
Pembahasan tentang nilai akan dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai
perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai.
Pemandangan yang indah, akhlak anak terhadap orang tuanya dengan sopan
santun, suasana lingkungan dengan menyenangkan dan kondisi badan dengan nilai
sehat.
Ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta. Fakta
berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan pancaindra, sedang nilai hanya
dapat dihayati. Walaupun para filosof berbeda pandangan tentang defenisi nilai,
namun pada umumnya menganggap bahwa nilai adalah pertimbangan tentang
penghargaan.
Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan antara
keduanya karena saling memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga
termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini
berarti pertimbangan nilai dipengaruhi oleh fakta. Fakta itu sebenarnya netral,
tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamannya sehingga ia mengandung
nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai nilai. Namun bagaimanakah
kriteria benda atau fakta itu mempunyai nilai.12
Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.
a. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari
kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau
mores (Latin) yang artinya kebiasaan (Hamersma, 1985; Rapar, 1996; Tim
Dosen UGM, 2007), watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup. Dalam Bahasa
Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2003) menjelaskan etika dalam tiga arti. Pertama, etika merupakan
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak). Kedua, etika adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak. Ketiga, etika ialah nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat.
Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia
dan memandangnya dari sudut baik dan buruk. Adapun cakupan dari nilai
etika adalah:
12
Ibid, hal. 41-42
10
Adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku secara universal bagi
seluruh manusia, apakah dasar yang dipakai untuk menentukan adanya norma-
norma universal tersebut, apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan
buruk dalam perbuatan manusia, apakah yang dimaksud dengan kewajiban
dan apakah implikasi suatu perbuatan baik dan buruk.
Ada yang mendefinisikan etika dan moral sebagai teori
mengenai tingkah laku manusia yaitu baik dan buruk yang masih dapat
dijangkau oleh akal. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam
arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku
manusia itu dapat dinilai oleh etika.
Syarat-syarat tingkah laku manusia yang dapat dinilai oleh etika, yaitu :
1) Perbuatan manusia itu dikerjakan dengan penuh pengertian.
Oleh karena itu orang-orang yang mengerjakan sesuatu perbuatan jahat
tetapi ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan itu jahat, maka
perbuatan manusia semacam ini tidak mendapat sanksi dalam etika.
2) Perbuatan yang dilakukan manusia itu dikerjakan dengan sengaja.
Perbuatan manusia (kejahatan) yang dikerjakan dalam keadaan tidak
sengaja maka perbuatan manusia semacam itu tidak akan dinilai atau
dikenakan sanksi oleh etika.
3) Perbuatan manusia dikerjakan dengan kebebasan atau dengan kehendak
sendiri.
4) Perbuatan manusia yang dilakukan dengan paksaan (dalam keadaan
terpaksa) maka perbuatan itu tidak akan dikenakan sanksi etika.13
Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang,
benda, alam) tidak mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum
baik atau buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakan ia mencuri, mencuri 14
itu nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum bersalah.
Tetapi kalau kucing mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak dihukum
bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak hati-hati, tidak menutup atau
mengunci pintu lemari.
b. Estetika
13
Totok Wahyu Abadi, Op. Cit., hal. 193-194
14
Bahrum, Op. Cit., hal. 42
11
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty),
yang berasal dari kata Yunani yaitu aisthetika atau aisthesis. Kata tersebut
berarti hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika
sebagai bagian dari aksiologi selalu membicarakan permasalahan, pertanyaan,
dan isu-isu tentang keindahan, ruang lingkupnya, nilai, pengalaman, perilaku
pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan
manusia (Wiramiharja, 2006).15
Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan
kreasi seni, dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni atau
kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni dan kadang-kadang
prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan dengan keindahan.
16
Syarat estetika terbatas pada lingkungannya, disamping juga terikat dengan
ukuran-ukuran etika. Etika menuntut supaya yang bagus itu baik. Lukisan
porno dapat mengandung nilai estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena
tidak etika. Sehingga kadang orang memetingkan nilai panca-indra dan
mengabaikan nilai ruhani. Orang hanya mencari nilai nikmat tanpa
mempersoalkan apakah ia baik atau buruk. Nilai estetika tanpa diikat oleh
ukuran etika dapat berakibat mudarat kepada estetika, dan dapat merusak.
Menurut Randal, ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, yaitu:
1) Seni sebagai penembusan (penetrasi) tehadap realisasi disamping
pengalaman.
2) Seni sebagai alat untuk kesenangan, seni tidak berhubungan dengan
pengetahuan tentang alam dan memprediksinya , tetapi manipulasi alam
untuk kepentingan kesenangan.
3) Seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh tentang pengalaman.
Dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk terletak pada manusia itu
sendiri. Namun dalam Islam penilaian baik dan buruknya sesuatu mempunyai
nilai yang universal yaitu al-Qur’an dan hadis.
E. Relasi Aksiologi dengan Filsafat Ilmu
Tempat kedudukan filsafat ilmu didalam lingkungan filsafat sebagai
keseluruhan, dimana aksiologi berperan penting didalamnya.
15
Totok Wahyu Abadi, Op. Cit., hal. 199
16
Bahrum, Op. Cit., hal. 42-43
12
Being (ada) Knowing (tahu) Axiology (nilai)
13
moral?
4. Bagaimana kaitan antara teknik
procedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral/professional?
19
http://khaidiralibatubara.blogspot.co.id/2015/09/aksiologi-sains.html
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aksiologi merupakan salah satu cabang filsafat yang berperan penting dalam
kelimuan. Dalam aksiologi dijelaskan apa kegunaan dari sebuah ilmu dan
beberapa teori yang mendasari penilaian terhadap ilmu. Selain itu, aksiologi
menjelaskan penilaian terhadap ilmu apakah baik atau buruk serta dampak
perkembangan keilmuan bagi manusia. Tidak semua ilmu yang dipandang etis
dapat memberikan kemaslahatan bagi manusia. Bisa saja sesuatu yang dipandang
etis ternyata memunculkan persoalan yang membahayakan.
B. Saran
Sebagai generasi muda, kita harus mampu menilai sebuah ilmu menggunakan
prinsip aksiologi. Dengan begitu, kita dapat mengetahui kegunaan ilmu yang kita
dapatkan sehingga dapat diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan nyata.
15
DAFTAR PUSTAKA
16