BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu dan moral adalah dua kata yang memiliki makna berbeda namun
sebenarnya kedua makna kata tersebut saling melengkapi dan berhubungan erat
ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber
pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama.1
Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber
pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut
ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah
yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi,
konflik antarilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan
1
Kamrani Buseri, 2007. Makalah Pengantar Kuliah Filsafat Ilmu, h. 32.
1
2
Dalam tahap manipulasi ilmu, masalah moral muncul kembali. Jika dalam
ilmiah atau secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan
konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan,
sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau
dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang
etika, tak bisa disangkal bahwa doktrin agama akan mengarahkan seseorang untuk
oleh etika-aturan yang terakumulasi dalam etika profesi dokter. Tidak dibenarkan,
penawarnya. 2
2
Praja, Juhaya S., 1977. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, h.5.
3
kaidah moral, baik dari segi ontologi maupun aksiologi. Dari segi ontologi perlu
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan pada makalah ini yaitu
sebagai berikut:
moral?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Ilmu
Secara etimologi, kata ilmu sendiri merupakan kata serapan dari bahasa
Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar
keterbatasannya. Contoh: Ilmu alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya
dibatasi kedalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa
segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini,
ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi,
atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi
perawat. 4
akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut
3
Podjawiyatna, 1966. Etika Filsafat Tingkah Laku, h.8.
4
www. Ensiklopedia.wikipedia, diakses pada tanggal 05 Juni 2017
4
5
Dari definisi yang diungkapkan di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat
6. Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan
Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk
ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan
ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi
kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul
5
Mohammad Hatta (dalam Ahira : 2008), h. 21.
6
pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi
ilmu.
dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah,
manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu
pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap
dan meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu
keadaan. Ilmu pun dapat berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir
manusia.
B. Pemanfaatan Ilmu
Manfaat ilmu bagi manusia tidak terhitung jumlahnya. Sejak Nabi Adam
hingga sekarang, dari waktu ke waktu ilmu telah mengubah manusia dan
1. Mencari tahu dan menelaah bagaimana cara hidup yang lebih baik dari
sebelumnya,
aktivitas sehari-hari.
mengembangkan ilmu yang diperoleh dan yang dipelajarinya. Selain itu berkat
ilmu, manusia:
C. Definisi Moral
Istilah moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata moral yaitu
arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata
etika, maka secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral karena kedua
kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan, adat. Dengan kata lain,
kalau arti kata moral sama dengan kata etika, maka rumusan arti kata moral
adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
hanya bahasa asalnya saja yaitu etika dari bahasa Yunani dan moral dari bahasa
Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak
bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan
norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan
bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-
Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada
dasarnya sama dengan moral, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang
moralitas suatu perbuatan, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik
buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas
jawab. Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang
6
Podjawiyatna, 1966. Etika Filsafat Tingkah Laku, h.43.
8
tidak memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian. Moralitas tidak bisa
kehidupan keluarga. Jadi keluarga yang baik akan menghasilkan pribadi yang
memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat mendidik moralitas.
Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang berantakan
nilai-nilainya.
kesadaran sosial);
pribadi itu ada dari semula, pada semua pribadi, tidak dihasilkan dari
evolusi. Moralitas pribadi adalah salah satu ciri khas kepribadian yang tulen
dan dasar.
masyarakat dan peradaban, contoh : adat makan dan minum akan berubah
7
Kondratyev (2000), h.12.
8
Kondratyev (2000), h. 23.
9
D. Kaidah-Kaidah Moral
merupakan bagian dari hukum alam. Konsep hukum ini sangat mudah dimengerti.
Hal ini tidak mudah dirasionalisasi, dan kemudian seluruh perhatian yang diujikan
pada setiap individu ditujukan untuk mengetahui dengan pasti apakah mereka itu
moral. Penetapan apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik yang
menjadi persoalan mendasar dalam kajian filsafat moral tidak lain adalah
persoalan yang sangat terkait dengan persoalan keputusan nilai. Hal ini
keputusan nilai moral tersebut. Dalam pengertian ini dapat pula dipahami bahwa
betapa eratnya kaitan antara kajian nilai dan keputusan moral dalam filsafat moral.
Sebenarnya keputusan moral lahir melalui dua proses, yaitu moral deliberation
perbuatan oleh seseorang atau oleh setiap orang, pada masa lalu atau dalam
lingkungan tertentu, serta menunjukkan pula kenapa suatu perbuatan itu baik atau
tidak baik.
moral memiliki kaitan erat tentang keputusanK hair (baik) yang dibuatnya.
9
AS., Asmaran, 1994. Pengantar Studi Akhlak, h.9.
10
unsur yaitu :
1. Bermanfaat
3. Kenikamatan
Adanya kriteria baik yang disampaikan oleh para filsuf di atas memiliki
naturalistik yang mengatakan bahwa baik itu adalah juga bermanfaat atau
sebaliknya. Baik karena zatnya adalah karena baik dirinya sendiri yang
dicerminkan pada tujuan yang ada padanya sebagaimana nilai instrinsiknya, atau
setiap orang berakal mengiginkannya, atau tidak ada kebaikan yang sesudahnya,
ketidakbaikan atau sebaliknya, maka semua ini dapat dianggap sebagai alasan
moral yang objektif bagi para filsuf untuk menetapkan nilai baik.
11
BAB III
PEMBAHASAN
Ilmu dalam perspektif Aristoteles tak mengabdi pada pihak lain. Ilmu
digeluti umat manusia demi ilmu itu sendiri. Dikenallah ucapanprimun vivere,
hadir untuk kepentingan umat manusia. Sehingga dengan makalah inilah, sebuah
ilmu memiliki dasar tujuan. Etika dan moral adalah sebuah nilai. Muncul
rasional dan empirisme murni, ilmu mesti bebas dari berbagai nilai. Dari moralitas
dan etika yang mengerangkeng. Mereka menyebut nilai sebagai penjara bagi
Akan tetapi, bagi kalangan agamawan atau kaum spiritualis dan humanis
seperti yang telah diungkapkan pada latar belakang di atas, mereka lebih
kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan etika, tak bisa
pembentuk sikap hidup sang ilmuwan. Ini berguna bagi pembangunan hubungan
yang harmonis antara dirinya dengan orang lain.Oleh karena itu, perlu diungkap
11
12
juga kita berkepentingan agar perkembangan ilmu dapat berjalan secara wajar,
sehat dan mampu menjadi pendorong terwujudnya kehidupan yang lebih adil,
bahagia dan sejahtera. Dalam konteks pemikiran demikian, maka keutuhan moral
dengan ilmu harus tetap dijaga, baik pada tataran teoretis maupun praktis.
mengangkat moral dan moralitas religius sebagai pondasi utama untuk merespon
keterpurukan perkembangan ilmu. Hal ini saya pandang penting, karena pada
belahan bumi manapun telah terbukti bahwa agama mampu menjadi pilar-pilar
yang kokoh bagi terwujudnya perikehidupan dan penegakan hukum yang benar-
benar adil.
Apa yang dimaksud dengan moral di sini tidak lain adalah akhlak. Kata
akhlak berasal dari bahasa Arabak hl aq, bentuk jamak dari katakhul uq.Khuluq
berarti tabiat, watak, perangai dan budi pekerti yang bersumber atau berinduk
padaal-Khaliq (Tuhan Yang Maha Esa). Akhlak sebagai hal yang melekat dalam
dilakukan tanpa dipikir dan diteliti. Jika hal-ihwal jiwa itu melahirkan perbuatan-
perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan hukum, maka hal-ihwal itu disebut
akhlak yang baik, sebaliknya jika yang keluar darinya adalah perbuatan-perbuatan
buruk, maka hal-ihwal jiwa yang menjadi sumbernya disebut akhlak yang buruk.
Dengan demikian setiap perbuatan individu maupun interaksi sosial tidak dapat
dengan nilai baik dan buruk. Pertanyaan yang muncul kemudian dengan definisi
10
AS., Asmaran, 1994. Pengantar Studi Akhlak, h.32
13
tolok ukur untuk penilaian baik dan buruk, sehingga dapat dibedakan antara
akhlak yang baik/mulia (akhlaq al-karimah) dan akhlak buruk/jahat (akhlaq al-
madzmudah)? Bagi orang-orang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah swt, tentu tidak akan pernah ada keraguan barang sedikitpun bahwa sumber,
induk dan tolok ukur tertinggi akhlak adalah Allah swt. Dialah Yang Maha Benar
(al-Haq) dan daripada-Nya asal-usul kebenaran itu. Dia pula Yang Maha Adil (al-
Adl) dan daripada-Nya keadilan absolut berasal. Berasal dan berawal dari-Nya
dan akan terpulang kepada-Nya, segala amal manusia baik yang tergolong
bermoral maupun amoral. Ajaran demikian itu telah sampai pada semua manusia
melalui agama yang diwahyukan kepada para Rasul dan selanjutnya oleh para
seluruh aspek kehidupan tidak ada yang bebas, lepas dan netral dari nilai-nilai
kebenaran dan keadilan, maka sebenarnya apa yang disebut moral religius
menjadi identik dengan moral ilmu. Jangkauan dan cakupan moral religius
bagi siapapun, di manapun dan kapanpun. Dengan kata lain, moral religius
bersifat universal.
nurani (qalbu) Apabila hati nurani sehat, jernih dan suci maka segala amal
perbuatan manusia pun akan menjadi bermoral, akan tetapi sebaliknya apabila hati
nurani telah sakit, kotor dan keras maka amal perbuatan yang lahir pun menjadi
amoral. Segalanya bertolak melalui hati nurani, dan segalanya berpulang melalui
hati nurani. Di sini, menjadi sangat penting menjaga kesehatan, kesucian dan
14
kejernihan hati nurani secara terus-menerus, agarqalbu tetap dalam keadaan suci,
makhluk-makhluk lain adalah terletak pada akal. Akal manusia diberikan untuk
berpikir secara logis sesuai dengan batas kemampuannya untuk berpikir. Dengan
dianggap sebagai ilmuan, maka diri seorang tersebut perlu menyelaraskan antara
hati nuraninya dengan akalnya, bila ia hanya menggunakan akalnya untuk berpikir
nurani, maka tentu saja manfaat yang besar akan diperoleh bagi segenap
kehidupan, namun sebaliknya bila ilmu dipergunakan tanpa dibarengi dengan hati
nurani, berarti sama saja layaknya seorang ilmuan yang tak bermoral, maka tentu
saja ilmu manfaat tersebut menjadi rusak dan membahayakan bagi kehidupan
kehidupan manusia, namun akal bukanlah faktor penentu untuk menetapkan nilai-
nilai moral. Akal itu bersifat nisbi atau relatif. Produk yang dihasilkan oleh akal
melalui berpikir pun bersifat nisbi atau relatif. Daya jangkauan akal terbatas. Akal
tidak memadahi untuk memahami alam semesta, lantaran akal secara maksimal
15
Akal dan hati nurani sebagai unsur-unsur kemanusiaan berada dalam satu
wadah yang disebut roh (jiwa). Hati nurani mempunyai fungsi sebagai kendali
terhadap akal agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan kehancuran.
mengontrolnya dengan hati nurani. Dengan adanya kontrol atau kendali dari hati
nurani, akal dapat berjalan lurus, menuju kebenaran dan keadilan absolut,
walaupun hasil maksimal dari kebenaran dan keadilan yang dicapainya masih
bersifat relatif. Derajat, kualitas dan moralitas ilmu hukum pada hakikatnya
nurani dan akal.Apabila demikian adanya maka seperti yang diharapkan akan
tercapai konsep seorang ilmuan yang memiliki pendapat bahwa netralitas ilmu
catatan penting bahwa semasa Teori Hukum Alam berjaya, hati nurani diposisikan
lebih tinggi dari akal. Teori ini menempatkan wahyu secara terberi, sebagai
kekuasaan spiritual dari hukum Tuhan, dan berada di atas semua perundang-
undangan lainnya. Dominasi hati nurani atas akal memang terbukti telah
fisik dan kebutuhan lahiriah. Dominasi hati nurani atas akal dapat membawa
16
abad sejak usainya Wars of Investiture dan Perang Salib (1095-1291), para
perkembangan seperti itu, para saudagar seakan telah menemukan jati dirinya
yaitu sebagai manusia yang terbebas dari segala afiliasi kepada siapapun,
termasuk kepada Tuhan. Hukum Tuhan mulai dicampakan. Bagi mereka, ilmu
hukum (pada tataran teoretis maupun praktis) tak perlu lagi bermuatan moral dan
moralitas seperti: halal atau haram, pahala atau dosa, karena pembicaraan tentang
dalam ranah privat maupun publik dipandang cukup dibangun atas dasar
dan harus terbebaskan dari moralitas religius maupun intervensi hukum Tuhan.
individu manusia, yaitu manusia yang punya otoritas penuh dan kebebasan
Apa makna dari perkembangan ilmu yang cenderung liberal dan sekular
ilmu telah memasuki tahap positivistis. Pada tahap demikian, ilmu telah
mengibaskan pencarian kebenaran dan keadilan melalui qalbu. Cara seperti itu
dianggap cocok ketika manusia masih berada pada tahap teologis dan metafisis,
11
Yacub, Hamzah, 1983. Etika Islam, h.21.
17
dilakukan dengan akal. Berpijak pada filsafat positivisme, maka berolah ilmu
harus menggunakan akal/rasio sebagai alat analisis. Melalui metode induksi ala
Francis Bacon, metode rasional ala Descartes dan metode atomistis ala Issac
Newton yang sudah diperkenalkan sejak abad Pertengahan. Maka ilmu secara
digarap secara mekanis, dan dijelaskan secara rasional. Tidak sekali-kali ilmu
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat pada era modern yang ditata dengan
hukum positif, maka kehidupan dengan segala aspeknya dipaksa harus rasional.
Itulah realitas yang dipandang benar. Manakala ilmu berbicara tentang keadilan,
maka keadilan pun harus diukur dengan ukuran-ukuran yang rasional pula, bukan
dengan hati nurani yang dianugrahkan kepada mereka. Rasio menjadi di atas
segala-galanya. Sejak saat itu, ilmu pengetahuan menjadi ilmu yang distinct dan
dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua
bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis.
Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah
dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Ilmuwan
1. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
teknologi-teknologi keilmuan;
bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki
Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
bahwa kaidah moral sebagai kendali dari penggunaan ilmu agar ilmu tersebut
jelas.
penggunaan ilmu dengan kaidah moral, para ilmuwan terbagi menjadi dua
golongan yaitu :
itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.
azas moral.
B. Saran Saran
19
20
muka bumi.
21
DAFTAR PUSTAKA
21