Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu dan moral adalah dua kata yang memiliki makna berbeda namun

sebenarnya kedua makna kata tersebut saling melengkapi dan berhubungan erat

dengan kepribadian seseorang. Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait

dengan masalah moral. Ketika Copernicus (14731543) mengajukan teorinya

tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar

mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam

ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber

pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin

mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat

keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang

terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama.1

Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber

pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo

pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut

pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.

Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan

konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep

ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah

yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi,

konflik antarilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan

penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala

alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan

1
Kamrani Buseri, 2007. Makalah Pengantar Kuliah Filsafat Ilmu, h. 32.

1
2

memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol

dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan

ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi .

Dalam tahap manipulasi ilmu, masalah moral muncul kembali. Jika dalam

kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam

tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan

ilmiah atau secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan

konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan,

sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau

dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang

berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Filosof beragama biasanya menempatkan kebenaran berpikir manusia

berada di bawah kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan

etika, tak bisa disangkal bahwa doktrin agama akan mengarahkan seseorang untuk

merefleksikan penemuan atau penciptaan sebuah ilmu. Euthanasia, aborsi, kloning

dan penerbangan ke bulan atau produksi tenaga nuklir merupakan beberapa

contoh hasil perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk menciptakan tatanan

manusia yang lebih baik dan beradab, Ketidakmanusiaan merupakan pelanggaran

terhadap etika seorang ilmuwan. Profesi dokter di Indonesia misalnya, terbatasi

oleh etika-aturan yang terakumulasi dalam etika profesi dokter. Tidak dibenarkan,

misalnya, seorang dokter yang sedang melakukan penelitian virus HN51

menyebarkannya ke lingkungan masyarakat sekitar untuk mencari obat

penawarnya. 2

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian yang

membahas tentang bagaimana hubungan antara cara penggunaan ilmu dengan

2
Praja, Juhaya S., 1977. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, h.5.
3

kaidah moral, baik dari segi ontologi maupun aksiologi. Dari segi ontologi perlu

diketahui bagaimanakah hakikat hubungan antara ilmu dan kaidah moral,

sedangkan dari segi aksiologi, perlu dibahas bagaimana aplikasi antara

penggunaan ilmu dengan kaidah moral.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah :

1. Bagaimana hakikat kemungkinan hubungan ilmu dengan kaidah moral?

2. Bagaimanakah dampak positif dan negative dalam penerapan hubungan

antara cara penggunaan ilmu dengan kaidah moral?

C. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan pada makalah ini yaitu

sebagai berikut:

1. Untuk memahami hakikat kemungkinan hubungan ilmu dengan kaidah

moral?

2. Untuk mengetahui dampak positif dan negative dalam penerapan

hubungan antara cara penggunaan ilmu dengan kaidah moral?


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Ilmu

Secara etimologi, kata ilmu sendiri merupakan kata serapan dari bahasa

Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan

penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu

pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial,

dan lain sebagainya. 3

Di dalam situs ensiklopedi wikipedia, lmu adalah seluruh usaha sadar

untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman amnesia dari

berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar

dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan

membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari

keterbatasannya. Contoh: Ilmu alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya

dibatasi kedalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa

meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam

segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini,

ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi,

atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi

perawat. 4

Ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-

akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut

3
Podjawiyatna, 1966. Etika Filsafat Tingkah Laku, h.8.
4
www. Ensiklopedia.wikipedia, diakses pada tanggal 05 Juni 2017

4
5

kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika

dilihat dari dalam). 5

Dari definisi yang diungkapkan di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat

ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang ;

1. berdiri secara satu kesatuan;

2. Tersusun secara sistematis;

3. Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung

jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data);

4. Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset;

5. Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat

dimengerti dan dipahami maknanya;

6. Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di

mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini;

7. Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan

dan penemuan-penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan

pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang dari sebelumnya.

Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan

dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut:

Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk

mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak

ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan

dalam dari pengetahuan.

Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang

ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi

kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul

5
Mohammad Hatta (dalam Ahira : 2008), h. 21.
6

pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi

ilmu.

Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu

dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah,

manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu

pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap

pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia. Pengetahuan

kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara,

dan meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu

keadaan. Ilmu pun dapat berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir

manusia.

B. Pemanfaatan Ilmu

Manfaat ilmu bagi manusia tidak terhitung jumlahnya. Sejak Nabi Adam

hingga sekarang, dari waktu ke waktu ilmu telah mengubah manusia dan

peradabannya. Kehidupan manusia pun menjadi lebih dinamis dan berwarna.

Dengan ilmu, manusia senantiasa:

1. Mencari tahu dan menelaah bagaimana cara hidup yang lebih baik dari

sebelumnya,

2. Menemukan sesuatu untuk menjawab setiap keingintahuannya;

3. Menggunakan penemuan-penemuan untuk membantu dalam menjalani

aktivitas sehari-hari.

Manusia pun menjadi lebih aktif mengfungsikan akal untuk senantiasa

mengembangkan ilmu yang diperoleh dan yang dipelajarinya. Selain itu berkat

ilmu, manusia:

1. Menjadi tahu sesuatu dari yang sebelumnya tidak tahu

2. Dapat melakukan banyak hal di berbagai aspek kehidupan;


7

3. Menjalani kehidupan dengan nyaman dan aman.

C. Definisi Moral

Istilah moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata moral yaitu

mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai

arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata

etika, maka secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral karena kedua

kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan, adat. Dengan kata lain,

kalau arti kata moral sama dengan kata etika, maka rumusan arti kata moral

adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau

suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan

hanya bahasa asalnya saja yaitu etika dari bahasa Yunani dan moral dari bahasa

Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak

bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan

norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan

bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-

nilai dan norma-norma yang tidak baik. 6

Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada

dasarnya sama dengan moral, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang

moralitas suatu perbuatan, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik

buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas

dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas daan tanggung

jawab. Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang

6
Podjawiyatna, 1966. Etika Filsafat Tingkah Laku, h.43.
8

tidak memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian. Moralitas tidak bisa

dijelaskan dengan akal, karena itu berasal dari kepribadian manusia. 7

Kondratyev menjelaskan lebih jauh bahwa moralitas manusia berasal dari

kehidupan keluarga. Jadi keluarga yang baik akan menghasilkan pribadi yang

memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat mendidik moralitas.

Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang berantakan

nilai-nilainya.

Moralitas yang meliputi nilai-nilai moral alam semesta dapat dirasakan

oleh pikiran manusia dalam bentuk tiga dorongan dasar yaitu :

1. Dorongan tentang diri sendiri (pilihan moral, personal morality berpengaruh

pada perkembangan spiritual dari manusia itu);

2. Dorongan tentang masyarakat ( pilihan etik, berubah terus sesuai perubahan

kesadaran sosial);

3. Dorongan tentang Allah (pilihan religius).

Kondratyev membagi moralitas ke dalam dua bagian yaitu : 8

1. Moralitas pribadi yaitu moralitas yang melekat pada kepribadian. Moralitas

pribadi itu ada dari semula, pada semua pribadi, tidak dihasilkan dari

evolusi. Moralitas pribadi adalah salah satu ciri khas kepribadian yang tulen

dan dasar.

2. Moralitas sosial, yaitu moralitas yang berkembang pada kehidupan

bermasyarakat. Moralitas sosial akan terus berubah sesuai perubahan evolusi

masyarakat dan peradaban, contoh : adat makan dan minum akan berubah

sesuai perkembangan masyarakat.

7
Kondratyev (2000), h.12.
8
Kondratyev (2000), h. 23.
9

D. Kaidah-Kaidah Moral

Anderson menyatakan bahwa ada satu hukum moral yang bukan

merupakan bagian dari hukum alam. Konsep hukum ini sangat mudah dimengerti.

Hal ini tidak mudah dirasionalisasi, dan kemudian seluruh perhatian yang diujikan

pada setiap individu ditujukan untuk mengetahui dengan pasti apakah mereka itu

benar atau salah, baik atau tidak baik dan seterusnya.

Keputusan moral merupakan bagian yang penting dalam kajian filsafat

moral. Penetapan apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik yang

menjadi persoalan mendasar dalam kajian filsafat moral tidak lain adalah

persoalan yang sangat terkait dengan persoalan keputusan nilai. Hal ini

dikarenakan jawaban tentang persoalan ini terletak pada bagaimana pemberian

keputusan nilai moral tersebut. Dalam pengertian ini dapat pula dipahami bahwa

betapa eratnya kaitan antara kajian nilai dan keputusan moral dalam filsafat moral.

Sebenarnya keputusan moral lahir melalui dua proses, yaitu moral deliberation

dan moral justification. 9

Moral deliberation adalah proses pencarian alasan untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu yang selanjutnya dijadikan sebagai alasan untuk

pembenaran atau tidak melakukan sesuatu yang selanjutnya dijadikan alasan

untuk pembenaran atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan moral justification

merupakan pemberian alasan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu

perbuatan oleh seseorang atau oleh setiap orang, pada masa lalu atau dalam

lingkungan tertentu, serta menunjukkan pula kenapa suatu perbuatan itu baik atau

tidak baik.

Penelaahan terhadap pemikiran filsafat para filsuf mengenai keputusan

moral memiliki kaitan erat tentang keputusanK hair (baik) yang dibuatnya.

9
AS., Asmaran, 1994. Pengantar Studi Akhlak, h.9.
10

Mereka mengandaikan, bahwa sesuatu yang dianggap baik apabila memilki 3

unsur yaitu :

1. Bermanfaat

2. Elok atau indah

3. Kenikamatan

Adanya kriteria baik yang disampaikan oleh para filsuf di atas memiliki

makna dan posisi yang berbeda pada masing-masing baik. Kelompok

naturalistik yang mengatakan bahwa baik itu adalah juga bermanfaat atau

sebaliknya. Baik karena zatnya adalah karena baik dirinya sendiri yang

dicerminkan pada tujuan yang ada padanya sebagaimana nilai instrinsiknya, atau

setiap orang berakal mengiginkannya, atau tidak ada kebaikan yang sesudahnya,

ketidakbaikan atau sebaliknya, maka semua ini dapat dianggap sebagai alasan

moral yang objektif bagi para filsuf untuk menetapkan nilai baik.
11

BAB III

PEMBAHASAN

A. Kemungkinan Hubungan Ilmu dengan Moral

Ilmu dalam perspektif Aristoteles tak mengabdi pada pihak lain. Ilmu

digeluti umat manusia demi ilmu itu sendiri. Dikenallah ucapanprimun vivere,

deinde philoshopori berjuanglah terlebih dahulu, baru boleh berfilsafat. Ilmu

hadir untuk kepentingan umat manusia. Sehingga dengan makalah inilah, sebuah

ilmu memiliki dasar tujuan. Etika dan moral adalah sebuah nilai. Muncul

persoalan problematis, ketika nilai mengerangkeng ilmu pengetahuan, apakah

ilmu akan mengalami perkembangan?

Pertanyaan tersebut, tentunya memiliki ragam jawaban. Tergantung apa

yang dijadikan sebagai landasan berpikir seseorang. Bagi kaum materialistik-

rasional dan empirisme murni, ilmu mesti bebas dari berbagai nilai. Dari moralitas

dan etika yang mengerangkeng. Mereka menyebut nilai sebagai penjara bagi

kaum berpikir atau seorang ilmuwan.

Akan tetapi, bagi kalangan agamawan atau kaum spiritualis dan humanis

seperti yang telah diungkapkan pada latar belakang di atas, mereka lebih

mengedepankan azas kemanfaatan. Mereka mempertanyakan segala produk

manusia, apakah bermanfaat bagi kehidupan manusia ataukah tidak. Filosof

beragama biasanya, menempatkan kebenaran berpikir manusia berada di bawah

kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan etika, tak bisa

disangkal bahwa doktrin agama akan mengarahkan seseorang untuk

merefleksikan penemuan atau penciptaan sebuah ilmu.

Moralitas dalam filsafat ilmu, merupakan wasit yang berfungsi sebagai

pembentuk sikap hidup sang ilmuwan. Ini berguna bagi pembangunan hubungan
yang harmonis antara dirinya dengan orang lain.Oleh karena itu, perlu diungkap

11
12

dan diangkat kembali urgensi reintegrasi moral ke dalam ilmu . Bagaimanapun

juga kita berkepentingan agar perkembangan ilmu dapat berjalan secara wajar,

sehat dan mampu menjadi pendorong terwujudnya kehidupan yang lebih adil,

bahagia dan sejahtera. Dalam konteks pemikiran demikian, maka keutuhan moral

dengan ilmu harus tetap dijaga, baik pada tataran teoretis maupun praktis.

Dalam segala keterbatasan yang ada, kita perlu mengungkap dan

mengangkat moral dan moralitas religius sebagai pondasi utama untuk merespon

keterpurukan perkembangan ilmu. Hal ini saya pandang penting, karena pada

tataran paradigmatis, filosofis maupun empiris, sejarah kehidupan manusia di

belahan bumi manapun telah terbukti bahwa agama mampu menjadi pilar-pilar

yang kokoh bagi terwujudnya perikehidupan dan penegakan hukum yang benar-

benar adil.

Apa yang dimaksud dengan moral di sini tidak lain adalah akhlak. Kata

akhlak berasal dari bahasa Arabak hl aq, bentuk jamak dari katakhul uq.Khuluq

berarti tabiat, watak, perangai dan budi pekerti yang bersumber atau berinduk

padaal-Khaliq (Tuhan Yang Maha Esa). Akhlak sebagai hal yang melekat dalam

jiwa, yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang dengan mudah untuk

dilakukan tanpa dipikir dan diteliti. Jika hal-ihwal jiwa itu melahirkan perbuatan-

perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan hukum, maka hal-ihwal itu disebut

akhlak yang baik, sebaliknya jika yang keluar darinya adalah perbuatan-perbuatan

buruk, maka hal-ihwal jiwa yang menjadi sumbernya disebut akhlak yang buruk.

Dengan demikian setiap perbuatan individu maupun interaksi sosial tidak dapat

lepas dari pengawasanal-K haliq (Allah Subhanallahu wataaala). 10

Dari definisi itu dapat ditegaskan bahwa akhlak senantiasa berkaitan

dengan nilai baik dan buruk. Pertanyaan yang muncul kemudian dengan definisi

10
AS., Asmaran, 1994. Pengantar Studi Akhlak, h.32
13

ini adalah masih relevankah memposisikanal-Khaliq sebagai sumber, induk dan

tolok ukur untuk penilaian baik dan buruk, sehingga dapat dibedakan antara

akhlak yang baik/mulia (akhlaq al-karimah) dan akhlak buruk/jahat (akhlaq al-

madzmudah)? Bagi orang-orang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain

Allah swt, tentu tidak akan pernah ada keraguan barang sedikitpun bahwa sumber,

induk dan tolok ukur tertinggi akhlak adalah Allah swt. Dialah Yang Maha Benar

(al-Haq) dan daripada-Nya asal-usul kebenaran itu. Dia pula Yang Maha Adil (al-

Adl) dan daripada-Nya keadilan absolut berasal. Berasal dan berawal dari-Nya

dan akan terpulang kepada-Nya, segala amal manusia baik yang tergolong

bermoral maupun amoral. Ajaran demikian itu telah sampai pada semua manusia

melalui agama yang diwahyukan kepada para Rasul dan selanjutnya oleh para

Rasul diajarkan, dijelaskan bahkan dicontohkan dalam segala aspek kehidupan.

Inilah yang saya sebut dengan moral religius.

Moral religius merupakan moral kehidupan. Apabila kita sepakat bahwa

seluruh aspek kehidupan tidak ada yang bebas, lepas dan netral dari nilai-nilai

kebenaran dan keadilan, maka sebenarnya apa yang disebut moral religius

menjadi identik dengan moral ilmu. Jangkauan dan cakupan moral religius

menjadi sangat luas, menyeluruh dan menyentuh semua sendi-sendi kehidupan

bagi siapapun, di manapun dan kapanpun. Dengan kata lain, moral religius

bersifat universal.

Untuk memahami moral religius, maka kita harus memposisikan hati

nurani (qalbu) Apabila hati nurani sehat, jernih dan suci maka segala amal

perbuatan manusia pun akan menjadi bermoral, akan tetapi sebaliknya apabila hati

nurani telah sakit, kotor dan keras maka amal perbuatan yang lahir pun menjadi

amoral. Segalanya bertolak melalui hati nurani, dan segalanya berpulang melalui

hati nurani. Di sini, menjadi sangat penting menjaga kesehatan, kesucian dan
14

kejernihan hati nurani secara terus-menerus, agarqalbu tetap dalam keadaan suci,

tidak terkontaminasi dengan nafsu/hasrat yang cenderung mendorong manusia

pada jurang kehancuran.

Dengan memposisikan hati nurani (qalbu) sebagai kata kunci untuk

memahami moral religius, segera memunculkan pertanyaan, di manakah posisi

akal (ratio)? Pertanyaan ini wajar dimunculkan dan perlu mendapatkan

penjelasan, terkait dengan suatu keyakinan bahwa kelebihan manusia atas

makhluk-makhluk lain adalah terletak pada akal. Akal manusia diberikan untuk

berpikir secara logis sesuai dengan batas kemampuannya untuk berpikir. Dengan

berpikir itulah manusia dapat berfilsafat atau menemukan sebuah ilmu.

Sebagai seorang yang mampu menelurkan ilmu pengetahuan atau

dianggap sebagai ilmuan, maka diri seorang tersebut perlu menyelaraskan antara

hati nuraninya dengan akalnya, bila ia hanya menggunakan akalnya untuk berpikir

tanpa mempedulikan nuraninya, maka yang terjadi adalah ketimpangan yang

tentunya sangat disayangkan dan tidak diharapkan.

Apabila ilmu tersebut dipergunakan oleh orang yang menggandeng hati

nurani, maka tentu saja manfaat yang besar akan diperoleh bagi segenap

kehidupan, namun sebaliknya bila ilmu dipergunakan tanpa dibarengi dengan hati

nurani, berarti sama saja layaknya seorang ilmuan yang tak bermoral, maka tentu

saja ilmu manfaat tersebut menjadi rusak dan membahayakan bagi kehidupan

manusia pada umumnya.

Meskipun akal mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam

kehidupan manusia, namun akal bukanlah faktor penentu untuk menetapkan nilai-

nilai moral. Akal itu bersifat nisbi atau relatif. Produk yang dihasilkan oleh akal

melalui berpikir pun bersifat nisbi atau relatif. Daya jangkauan akal terbatas. Akal

tidak memadahi untuk memahami alam semesta, lantaran akal secara maksimal
15

hanya bisa menangkap potongan-potongan alam yang terisolasi, dan kemudian

menghubungkan potongan-potongan itu satu dengan lainnya.

Akal dan hati nurani sebagai unsur-unsur kemanusiaan berada dalam satu

wadah yang disebut roh (jiwa). Hati nurani mempunyai fungsi sebagai kendali

terhadap akal agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan kehancuran.

Sebelum akal melangkah (berpikir) kepada sesuatu keputusan, seharusnya ia

mengontrolnya dengan hati nurani. Dengan adanya kontrol atau kendali dari hati

nurani, akal dapat berjalan lurus, menuju kebenaran dan keadilan absolut,

walaupun hasil maksimal dari kebenaran dan keadilan yang dicapainya masih

bersifat relatif. Derajat, kualitas dan moralitas ilmu hukum pada hakikatnya

merupakan fungsi keterpaduan, keseimbangan dan kemaksimalan kerja hati

nurani dan akal.Apabila demikian adanya maka seperti yang diharapkan akan

tercapai konsep seorang ilmuan yang memiliki pendapat bahwa netralitas ilmu

terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam

penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada azas-azas moral.

B. Penerapan Hubungan Antara Penggunaan Ilmu dengan Kaidah Moral

Marilah kita lihat bagaimana kedudukan moral religius dalam

perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah perkembangan ilmu telah menorehkan

catatan penting bahwa semasa Teori Hukum Alam berjaya, hati nurani diposisikan

lebih tinggi dari akal. Teori ini menempatkan wahyu secara terberi, sebagai

kekuasaan spiritual dari hukum Tuhan, dan berada di atas semua perundang-

undangan lainnya. Dominasi hati nurani atas akal memang terbukti telah

menghasilkan kemajuan spiritual, akan tetapi terbelakang dalam bidang materi,

fisik dan kebutuhan lahiriah. Dominasi hati nurani atas akal dapat membawa
16

manusia kepada kemajuan rohaniah, tetapi tidak jarang dapat mengakibatkan

manusia terjerumus kepada dunia mistik yang berlebihan dan menyesatkan. 11

Di tengah perubahan kondisi sosial-ekonomi maupun hukum sepanjang

abad sejak usainya Wars of Investiture dan Perang Salib (1095-1291), para

saudagar yang bermukim di kota-kota mulai mengembangkan hegemoni paham

mereka yaitu industrialisme, urbanisme, kapitalisme dan sekularisme. Dalam

perkembangan seperti itu, para saudagar seakan telah menemukan jati dirinya

yaitu sebagai manusia yang terbebas dari segala afiliasi kepada siapapun,

termasuk kepada Tuhan. Hukum Tuhan mulai dicampakan. Bagi mereka, ilmu

hukum (pada tataran teoretis maupun praktis) tak perlu lagi bermuatan moral dan

moralitas seperti: halal atau haram, pahala atau dosa, karena pembicaraan tentang

hal itu dapat menghalangi pencapaian keuntungan materiil. Tatanan normatif

dalam ranah privat maupun publik dipandang cukup dibangun atas dasar

kesepakatan internal antar-subjek dan dituangkan dalam wujud kontrak-kontrak,

dan harus terbebaskan dari moralitas religius maupun intervensi hukum Tuhan.

Kesepakatan, perjanjian, kontrak merupakan refleksi intersubjektif individu-

individu manusia, yaitu manusia yang punya otoritas penuh dan kebebasan

mutlak. Paham liberalisme dan sekularisme benar-benar telah mendominasi

perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.

Apa makna dari perkembangan ilmu yang cenderung liberal dan sekular

tersebut dalam konteks moral dan moralitas? secara terminologi, perkembangan

ilmu telah memasuki tahap positivistis. Pada tahap demikian, ilmu telah

mengibaskan pencarian kebenaran dan keadilan melalui qalbu. Cara seperti itu

dianggap cocok ketika manusia masih berada pada tahap teologis dan metafisis,

sementara pada tahap positivistis pencarian kebenaran dan keadilan harus

11
Yacub, Hamzah, 1983. Etika Islam, h.21.
17

dilakukan dengan akal. Berpijak pada filsafat positivisme, maka berolah ilmu

harus menggunakan akal/rasio sebagai alat analisis. Melalui metode induksi ala

Francis Bacon, metode rasional ala Descartes dan metode atomistis ala Issac

Newton yang sudah diperkenalkan sejak abad Pertengahan. Maka ilmu secara

agresif menguasai objek-objek fisik dan menganalisisnya dengan cara atomistis,

mekanis dan reduksionistis. Sekalian objek-objek ilmu dipilah-pilah, kemudian

digarap secara mekanis, dan dijelaskan secara rasional. Tidak sekali-kali ilmu

dipandang ilmiah kecuali memenuhi standar baku yakni rasional.

Sejak adanya dominasi positivisme, dan seiring dengan kehidupan

bernegara, berbangsa dan bermasyarakat pada era modern yang ditata dengan

hukum positif, maka kehidupan dengan segala aspeknya dipaksa harus rasional.

Itulah realitas yang dipandang benar. Manakala ilmu berbicara tentang keadilan,

maka keadilan pun harus diukur dengan ukuran-ukuran yang rasional pula, bukan

dengan hati nurani yang dianugrahkan kepada mereka. Rasio menjadi di atas

segala-galanya. Sejak saat itu, ilmu pengetahuan menjadi ilmu yang distinct dan

esoterik, baik dalam substansi, metodologi maupun administrasi.

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai keberadaan ilmu

dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua

golongan pendapat. Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus

bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis.

Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah

kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu

dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Ilmuwan

golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai

hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya


18

kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada azas-azas moral. Golongan kedua

mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni :

1. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang

dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan

teknologi-teknologi keilmuan;

2. Ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga kaum ilmuwan lebih

mengetahui tentang kejadian-kejadian yang mungkin terjadi bila terjadi

salah penggunaan; dan;

3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan

bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki

seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.

Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu

secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan

martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.


19

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara ontologi, hakikat antara penggunaan ilmu dengan kaidah moral

bahwa kaidah moral sebagai kendali dari penggunaan ilmu agar ilmu tersebut

dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia, sehingga hubungan keduanya sangat

jelas.

Dampak positif dan negatif dalam penerapan hubungan antara cara

penggunaan ilmu dengan kaidah moral, para ilmuwan terbagi menjadi dua

golongan yaitu :

1. Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral

terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam

tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah

kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan

itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.

2. Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu

terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan

dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada azas-

azas moral.

B. Saran Saran

1. Perlunya menjunjung tinggi nilai secara penuh moralitas agama agar

menjadi pilar-pilar yang kokoh bagi terwujudnya perikehidupan dan

penegakan hukum yang benar-benar adil.

19
20

2. Hendaknya kita memposisikan hati nurani (qalbu) sebagai kata kunci

untuk memahami moral religius serta memposisikan akal dengan tepat

sesuai dengan penggunaannya pada batas-batas tertentu.

3. Penggunaan ilmu serta kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada

azas-azas moral agar penggunaan ilmu tersebut tidak menyalahi aturan

dengan melanggar norma-norma kehidupan yang telah di atur dan juga

agar pemanfaat ilmu tersebut dapat berguna bagi seluruh kehidupan di

muka bumi.
21

DAFTAR PUSTAKA

AS., Asmaran, 1994. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta, Raja Grafindo.


Buseri, Kamrani, 2007. Makalah Pengantar Kuliah Filsafat Ilmu, Banjarmasin.
Antasari, Muhadjir, Noeng, 1998. Filsafat Telaah Sistematis Fungsional
Komparatif, Yogyakarta, Rake Sarasin.
Podjawiyatna, 1966. Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta, Aneka Cipta.
Praja, Juhaya S., 1977. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bandung, Yayasan Piara.
Team Penyusun Fak. Filsafat UGM, 1977. Filsafat Ilmu sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Klaten, Intan Pariwara.
Yacub, Hamzah, 1983. Etika Islam, Bandung, Dipenogoro.

21

Anda mungkin juga menyukai