Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MORALITAS ILMU PENGETAHUAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu: Dr.M.Isman, M.Hum

Oleh :

ANDINI EKA PRATIWI

2320060007

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki
dalam kehidupan manusia. Hal ini menjadi ciri manusia karena manusia senang
bereksistensi, tidak hanya berada seperti batu atau rumput ditengah lapangan, tetapi
manusia selalu bereksistensi. Oleh karena itu manusia berbudaya, mengembangkan
ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk kehidupan pribadi dan lingkungannya.

Ilmu pada prinsipnya merupakan suatu untuk mengorganissasikan dan


mensistematisasikan suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan
pengamatan sehari-hari. Kemudian dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan
teliti dengan menggunakan berbagai metode.

Untuk melakukan usaha tersebut manusia harus mempunyai untellectual


activity, yang berarti upaya manusia untuk mempelajari dan mengamati fenomena-
fenomena yang dihadapi sampai akarnya. Intellectual activity juga merupakan
kegiatan pencarian dan pengembangan ilmu.

Dalam memanfaatkan suatu ilmu yang harus disadari ialah ilmu itu harus
dihubungkan dengan konteks dimana manusia itu berada. Ada beberapa fungsi ilmu
pengetahuan, yaitu: pertama, fungsi deskriptif, menggambarkan, melukiskan dan
memaparkan masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti. Kedua, fungsi
pengembangan, melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu
pengetahuan yang baru. Ketiga, fungsi prediksi, meramalkan kejadian kejadian yang
besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mempersiapkan untuk
menghadapinya. Keempat, fungsi control, berusaha mengendalikan peristiwa-
peristiwa yang tidak dikehendaki.
Singkatnya dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat
mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka
sadari. Jelaslah kiranya seorang ilmuwanmempunyai tanggjungjawab sosial yang
terpikul dibahunya karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak hanya pada penelaahan dan
keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggungjawab agar produk keilmuan
sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu pengetahuan dan teknologi


yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi kedalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai
baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Golongan kedua sebaliknya berpendapat
bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya, bahkan memilih objek penelitian, maka kegiatan
ilmuwan harus berlandaskan asas-asas moral.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan moral?
2. Bagaimana tanggungjawab moral keilmuan itu?
3. Bagaimana sikap para ilmuwan?
4. Apa problema etika keilmuan?
5. Apakah ilmu bebas nilai atau tidak?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui maksud dari moral
2. Untuk mengetahui apa saja tanggungjawab moral keilmuan
3. Untuk mengetahui sikap sikap yang harus dimiliki para ilmuwan
4. Untuk mengetahui problema etika keilmuan
5. Untuk mengetahui apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral

Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang


penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah onologi,
epistemologi, dan aksiologi.1 Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang
berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian
sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan
yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.2

Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar manusia menjadi manusia
yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan
yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan
tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah
sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada dalam
tingkatan yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup,m bukan etika
melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana
kita mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan pelbagai ajaran
moral.3

B. Tanggungjawab Moral Keilmuan


1. Komponen-komponen Pembangun Ilmu

Komponen ilmu sedikitnya meliputi fakta, teori, fenomena, dan konsep. Fakta
atau realitas menjadi salah satu perangkat ilmu yang sangat kuat dan berharga.

1
Departemen Penddikan dan Kebudayaan, Buku 1A Filsafat Ilmu, 1984/1985, hlm 88
2
Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, 2007, Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm 147
3
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, 1987, Yogyakarta: Kanisius, hlm 14
Realitas yang ada sekaligus juga menggambarkan fenomena yang sebenarnya terjadi
di lapangan. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti kemudian bisa
dikembangkan menjadi teori konsep. Kom[onen pembangun ilmu yang hakiki adalah
fakta dan teori, namun ada juga komponen yang lain, yaitu fenomena dan konsep.
Fenomena (gejala atau kejadian) yang ditangkap indra manusia (karena dijadikan
masalah yang ingin diketahui) diabstraksikan dengan konsep-konsep. Jadi, konsep
adalah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari
fenomena. Dengan kata lain, konsep merupakan penyederhanaan dari fenomena.4

Melalui penelaahan yang terus menerus maka ilmu akan sampai pada
hubungan-hubungan yang meruoakan hasil akhir dari ilmu itu sendiri. Hubungan
yang telah ditemukan dan ditunjang oleh data empiris disebut fakta. Jadi, ilmu
merupakan fakta. Sedangkn jaringan fakta-fakta secara keseluruhan disebut teori.
Berarti teori merupakan seperangkat, konsep, definisi, dan proposisi-proposisi yang
berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan berbagai fenomena. Jeas bahwa teori
merupakan suatu konstruksi yang jelas, yang dibangun atas jalinan fakta-fakta.

Fakta mempunyai peranan dalam pijakan, formulasi, dan penjelasan teori


dengan asumsi bahwa : a. Fakta memulai teori, teori berpijak pada satu atau dua fakta
hasil penemuan; b. Fakta menolak dan meereformasi teori yang telah ada; c. Fakta
dapat mendefinisikan kembali atau memperjelas definisi-definisi yang ada dalam
teori.

Sementara teori mempunyai peranan dalam pengembangan ilmu, yaitu


sebagai orientasi, sebagai konseptualitas, dan sebagai klasifikasi, secara generalisasi,
serta sebagai peramal fakta, dan sebagai point to gaps in our knowledge. Pertama,
teori sebagai orientasi; memberikan suatu orientasi pada para ilmuwan sehingga
dengan teori tersebut dapat mempersempit cakupan telaah, sehingga dapat
menentukan fakta-fakta mana yang diperlukan. Kedua, teori sebagai konseptual dan

4
Soetriono, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, 2007, hlm 324
klasifikasi; dapat memberikan petunjuk tentang kejelasan hubungan antara konsep-
konsep dan fenomena atas dasar klasifikasi tertentu. Ketiga, teori sebagai generalisasi
memberikan rangkuman terhadap generalisasi empiris dan antarhubungan proposisi
(teorama; kesimpulan umum yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu, baik yang
akan diuji maupun yang sudah diterima. Keempat, teori sebagai peramal fakta, yaitu
bahwa teori membuat prediksi-prediksi tentang adanya fakta. Kelima, teori sebagai
point to the gasp im our knowledge adalah teori menunjukkan aadnya kesenjangan
dalam pengetahuan kita.5

2. Sumber-sumber Ilmu

Menurut Suriasumantri (2003: 50) terdapat empat cara pokok dalam


mendapatkan pengetahuan. Pertama, adalah pengetahuan yang berdasarkan pada
rasio yang dikembangkan oleh kaum rasionalis yang dikenal dengan rasionalisme.
Kedua, pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman yang dikenal dengan paham
empirisme. Ketiga, pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusatkan pemikirannya pada suatu masalah tiba-
toba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Keempat, adalah wahyu
yang merupakan pengetahuan yang disampaikan Tuhan kepada manusia.

3. Kesadaran Moral

KEsadaran manusia untuk melaksanakan cita-cita dalam nilai dan norma,


didorong oleh pandangan hidup atau agama yang disebut kesadaran moral. Kesadaran
moral muncul apabila kita harus memutuskan sesuatu yang menyangkut hak atau
kebehagiaan orang lain. Menurut Franz Magnis Suseno, unsur-unsur pokok dalam
kesadaran moral menunjukkan ada tiga unsur dalam kesadaran moral, yaitu:

1. Mengungkapkan kesadaran bahwa kewajiban moral itu bersifat mutlak.


2. Mengungkapkan rasionalitas kesadaran moral.

5
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, 2016,
Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm 186
3. Mengungkapkan segi tanggungjawab subjektif

Untuk mewujudkan kesadaran moral kita harus memahami moral itu sendiri.
Menurut W. Huki (1981) untuk memahami moral ada 3 cara, yaitu:

1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada
kesadaran bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan.
2. Moral sebagai perangkat ideal-ideal tentang tingkah laku hidup, dengan
warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia didalam
satu lingkungan kultural tertentu.
3. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan
pandangan hidup atau agama tertentu.6
C. Sikap Ilmuwan

Untuk menyelesaikan krisis moral yang diakibatkan oleh oleh ilmu


pengetahuan dan teknlogi, diperlukan seorang ilmuwan yang baik sehingga segala
tindakan yag dilakukan akan selalu dipikirkan baik buruknya menurut etika moral.
Seorang ilmuwan harus memiliki sikap ilmiah untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Antara lain:

1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang


diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan
menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2. Besikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan
mampu engadakan pemilihan terhada[ segala sesuatu yang dihadapi.
Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing
menunjukkan kekuatannya, atau cara penyimpulan yang satu cukup
berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya.

6
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, 2016,
Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm 197
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun alat-alat
indra serta budi.
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatau kepercayaan (beieve) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu
telah mencapai kepasatian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak
puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada
dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam
hidupnya.
6. Seorang ilmuwan harus mempunyai sikap etis (akhlak) yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk
kebahagiaan manusia, lebih khususnya untuk pembangunan bangsa dan
negara.

Pengetahuan ilmiah adalah pengetauan yang didalam dirinya memiliki


karakteristik kritis,rasional, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu
keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu masalah
mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kuat
adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tidak dapat
disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia kearah perubahan yang cukup besar.
Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat
manusia bukan sebaliknya. disinilah letak tanggungjawab seorang ilmuwan, moral
dan akhlak sangat diperlukan. Oleh karena itu penting bagi para ilmuwan memiliki
sikap ilmiah.

Yamg perlu diperhatikan bagi para ilmuwan khususnya di Indonesia adalah


sebagaimana telah tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya etika keilmuan dijelaskan bahwa etika
keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan
martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan
kemajuan sesuai dengan nilai-nlai agama dan budaya.7

D. Problema Etika Ilmu Pengetahuan

Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis


sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses
perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggungjawab etis
merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan
ilmu pengetauan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat
manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan
umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh
eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.

Tanggungjawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga


tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dimasa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya dimasa depan
berdasar keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu
aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggungjawab untuk
selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan
perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu
sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusis secara utuh.8

E. Ilmu: Bebas nilai Atau Tidak Bebas Nilai

7
Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, 2007, Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm 154
8
Ahmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu,
2002, Yogyakarta: Lembaga Studi Fisafat Islam (LSFI)
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap
skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu.
Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia
untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.

Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas


nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai sebagaimana yang dimaksud Josep
Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai, artinya tuntutan terhadap setiap
kegiatan ilmiah agar disadarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu
pengetahuan menolak intervensi faktor eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak, ada tiga faktor sebagai
indikatpr bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu:

1. Ilmu harus bebas dari berbagai pengendalian, yakni bebas dari pengaruh
eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur
kemasyarakatan lainnya.
2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan
terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan
penentuan diri.
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.

Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai,
tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika
para ilmuwan sosiall melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai
bidang ilmu mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak biasa.
Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik
itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani segelintir orang,
budaya, maka seorang ilmuwan sosial tidak beralasan mengajarkan atau mnuliskan
itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan
objektivitas ilmiah. (Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, 2010)

Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak,
bisa dipahami mengingat satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu
pengetahuan, sedang dipihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan
pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang
dibuatnya.

Tokoh lain, Habermas, berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah
bebas nilai. Pendiria ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat
fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang
sudah terjadi. Fakta atau obejek itu sebenaranya sudah tersusun secara spontan dan
primordial dalam pengalaman sehari-hari, dalam Lebenswelt tau dunia sebagaimana
dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt sejumlah fakta yang
kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis.

Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk


berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya
tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneutika juga
ditentukan oleh kepentingan praktis kendai dengan cara yang berbeda.
Kepentingannya adalah memelihara dan memperluad bidang saling pengertian
antarmanusia dan perbaikan komunikasi. Setiap kegiatan teoretis yang melibatkan
pola subjek subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja
pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, bahasa, dan otoritas. Pekerjaan merupakan
kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu ejarah dan
hermeneutika, sedang otoritis merupakan kepentingan ilmu sosial.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang
baik. Kemudian dalam tanggugjawab keilmuan terdapat komponen pengembangan
ilmu yang sedikitnya meliputi fakta, teori, fenomena, dan konsep. Fakta atau realitas
menjadi salah satu perangkat ilmu yang sangat kuat dan berharga. Komponen
pembangun ilmu yang utama adalah fakta dan teori, namun ada juga komponen yang
lain yaitu fenomena dan konsep. Terdapat empat cara pokok dalam mendapatkan
pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang berdasar pada rasio, kedua, pengetahuan
yang berdasar pada pengalaman, ketiga, pengetahuan yang didapatkan melalui proses
penalaran tertentu, keempat, wahyu.

Sikap yang harus dimiliki seorang ilmuwan antara lain; tidak ada rasa pamrih,
bersikap selektif, adanya rasa percaya terhadap kenyataan, sikap percaya dan pasti,
kegiatan rutin tidak puas dengan penelitiannya, dan harus memiliki akhlak. Sebagian
ilmuwan menganggap ilmu bebas nilai artinya tuntutan setiap kegiatan ilmiah agar
didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, dan ada juga yang berpendapat
sebaliknya yakni ilmu tidak pernah bebas nilai karena fakta atau objek alam
diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi.

B. Saran

Sebagai seorang ilmuwan hendaknya harus memiliki sikap sikap dan


tanggungjawab sebagaimana tertera diatas. Para ilmuwan harus mengetahui bahwa
ilmu itu bebas nilai atau ada ketergantungan nilai sehingga bisa diterapkan sesuai
hakekatnya. Dalam menggunaka ilmu pengetahuan, seharusnya melihat berbagai
aspek, baik dari segi norma, sosial, dan kegunaan ilmu karena hasil dari ilmu, pasti
akan berdampak besar bagi yang lainnya. Sehingga ilmu itu harus terikat nilai, karena
harus diperhatikan faktor sebab dan akibat dalam penggunaan ilmu pengetahuan. Dan
juga subjek dan objek ilmu sendiri adalah manusia, sehingga karena manusia
memiliki tatanan nilai lainnya, tentunya akan mempengaruhi dalam oenggunaan ilmu.
Kekuasaan ilmu mengharuskan seorang ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat,
me,egang ideologi dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuwannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian
Filsafat Ilmu, 2002, Yogyakarta: Lembaga Studi Fisafat Islam (LSFI)

Departemen Penddikan dan Kebudayaan, Buku 1A Filsafat Ilmu

Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, 1987, Yogyakarta: Kanisius

Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, 2007, Jakarta: PT Bumi


Aksara

Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis, 2016, Jakarta: PT Bumi Aksara

Soetriono, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, 2007

Anda mungkin juga menyukai