Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Oleh :
2320060007
2024
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki
dalam kehidupan manusia. Hal ini menjadi ciri manusia karena manusia senang
bereksistensi, tidak hanya berada seperti batu atau rumput ditengah lapangan, tetapi
manusia selalu bereksistensi. Oleh karena itu manusia berbudaya, mengembangkan
ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk kehidupan pribadi dan lingkungannya.
Dalam memanfaatkan suatu ilmu yang harus disadari ialah ilmu itu harus
dihubungkan dengan konteks dimana manusia itu berada. Ada beberapa fungsi ilmu
pengetahuan, yaitu: pertama, fungsi deskriptif, menggambarkan, melukiskan dan
memaparkan masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti. Kedua, fungsi
pengembangan, melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu
pengetahuan yang baru. Ketiga, fungsi prediksi, meramalkan kejadian kejadian yang
besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mempersiapkan untuk
menghadapinya. Keempat, fungsi control, berusaha mengendalikan peristiwa-
peristiwa yang tidak dikehendaki.
Singkatnya dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat
mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka
sadari. Jelaslah kiranya seorang ilmuwanmempunyai tanggjungjawab sosial yang
terpikul dibahunya karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak hanya pada penelaahan dan
keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggungjawab agar produk keilmuan
sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan moral?
2. Bagaimana tanggungjawab moral keilmuan itu?
3. Bagaimana sikap para ilmuwan?
4. Apa problema etika keilmuan?
5. Apakah ilmu bebas nilai atau tidak?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui maksud dari moral
2. Untuk mengetahui apa saja tanggungjawab moral keilmuan
3. Untuk mengetahui sikap sikap yang harus dimiliki para ilmuwan
4. Untuk mengetahui problema etika keilmuan
5. Untuk mengetahui apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Moral
Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar manusia menjadi manusia
yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan
yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan
tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah
sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada dalam
tingkatan yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup,m bukan etika
melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana
kita mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan pelbagai ajaran
moral.3
Komponen ilmu sedikitnya meliputi fakta, teori, fenomena, dan konsep. Fakta
atau realitas menjadi salah satu perangkat ilmu yang sangat kuat dan berharga.
1
Departemen Penddikan dan Kebudayaan, Buku 1A Filsafat Ilmu, 1984/1985, hlm 88
2
Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, 2007, Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm 147
3
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, 1987, Yogyakarta: Kanisius, hlm 14
Realitas yang ada sekaligus juga menggambarkan fenomena yang sebenarnya terjadi
di lapangan. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti kemudian bisa
dikembangkan menjadi teori konsep. Kom[onen pembangun ilmu yang hakiki adalah
fakta dan teori, namun ada juga komponen yang lain, yaitu fenomena dan konsep.
Fenomena (gejala atau kejadian) yang ditangkap indra manusia (karena dijadikan
masalah yang ingin diketahui) diabstraksikan dengan konsep-konsep. Jadi, konsep
adalah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari
fenomena. Dengan kata lain, konsep merupakan penyederhanaan dari fenomena.4
Melalui penelaahan yang terus menerus maka ilmu akan sampai pada
hubungan-hubungan yang meruoakan hasil akhir dari ilmu itu sendiri. Hubungan
yang telah ditemukan dan ditunjang oleh data empiris disebut fakta. Jadi, ilmu
merupakan fakta. Sedangkn jaringan fakta-fakta secara keseluruhan disebut teori.
Berarti teori merupakan seperangkat, konsep, definisi, dan proposisi-proposisi yang
berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan berbagai fenomena. Jeas bahwa teori
merupakan suatu konstruksi yang jelas, yang dibangun atas jalinan fakta-fakta.
4
Soetriono, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, 2007, hlm 324
klasifikasi; dapat memberikan petunjuk tentang kejelasan hubungan antara konsep-
konsep dan fenomena atas dasar klasifikasi tertentu. Ketiga, teori sebagai generalisasi
memberikan rangkuman terhadap generalisasi empiris dan antarhubungan proposisi
(teorama; kesimpulan umum yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu, baik yang
akan diuji maupun yang sudah diterima. Keempat, teori sebagai peramal fakta, yaitu
bahwa teori membuat prediksi-prediksi tentang adanya fakta. Kelima, teori sebagai
point to the gasp im our knowledge adalah teori menunjukkan aadnya kesenjangan
dalam pengetahuan kita.5
2. Sumber-sumber Ilmu
3. Kesadaran Moral
5
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, 2016,
Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm 186
3. Mengungkapkan segi tanggungjawab subjektif
Untuk mewujudkan kesadaran moral kita harus memahami moral itu sendiri.
Menurut W. Huki (1981) untuk memahami moral ada 3 cara, yaitu:
1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada
kesadaran bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan.
2. Moral sebagai perangkat ideal-ideal tentang tingkah laku hidup, dengan
warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia didalam
satu lingkungan kultural tertentu.
3. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan
pandangan hidup atau agama tertentu.6
C. Sikap Ilmuwan
6
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, 2016,
Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm 197
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun alat-alat
indra serta budi.
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatau kepercayaan (beieve) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu
telah mencapai kepasatian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak
puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada
dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam
hidupnya.
6. Seorang ilmuwan harus mempunyai sikap etis (akhlak) yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk
kebahagiaan manusia, lebih khususnya untuk pembangunan bangsa dan
negara.
7
Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, 2007, Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm 154
8
Ahmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu,
2002, Yogyakarta: Lembaga Studi Fisafat Islam (LSFI)
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap
skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu.
Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia
untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
1. Ilmu harus bebas dari berbagai pengendalian, yakni bebas dari pengaruh
eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur
kemasyarakatan lainnya.
2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan
terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan
penentuan diri.
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai,
tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika
para ilmuwan sosiall melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai
bidang ilmu mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak biasa.
Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik
itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani segelintir orang,
budaya, maka seorang ilmuwan sosial tidak beralasan mengajarkan atau mnuliskan
itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan
objektivitas ilmiah. (Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, 2010)
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak,
bisa dipahami mengingat satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu
pengetahuan, sedang dipihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan
pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang
dibuatnya.
Tokoh lain, Habermas, berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah
bebas nilai. Pendiria ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat
fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang
sudah terjadi. Fakta atau obejek itu sebenaranya sudah tersusun secara spontan dan
primordial dalam pengalaman sehari-hari, dalam Lebenswelt tau dunia sebagaimana
dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt sejumlah fakta yang
kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang
baik. Kemudian dalam tanggugjawab keilmuan terdapat komponen pengembangan
ilmu yang sedikitnya meliputi fakta, teori, fenomena, dan konsep. Fakta atau realitas
menjadi salah satu perangkat ilmu yang sangat kuat dan berharga. Komponen
pembangun ilmu yang utama adalah fakta dan teori, namun ada juga komponen yang
lain yaitu fenomena dan konsep. Terdapat empat cara pokok dalam mendapatkan
pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang berdasar pada rasio, kedua, pengetahuan
yang berdasar pada pengalaman, ketiga, pengetahuan yang didapatkan melalui proses
penalaran tertentu, keempat, wahyu.
Sikap yang harus dimiliki seorang ilmuwan antara lain; tidak ada rasa pamrih,
bersikap selektif, adanya rasa percaya terhadap kenyataan, sikap percaya dan pasti,
kegiatan rutin tidak puas dengan penelitiannya, dan harus memiliki akhlak. Sebagian
ilmuwan menganggap ilmu bebas nilai artinya tuntutan setiap kegiatan ilmiah agar
didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, dan ada juga yang berpendapat
sebaliknya yakni ilmu tidak pernah bebas nilai karena fakta atau objek alam
diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi.
B. Saran
Ahmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian
Filsafat Ilmu, 2002, Yogyakarta: Lembaga Studi Fisafat Islam (LSFI)
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis, 2016, Jakarta: PT Bumi Aksara